Seringkali saya merasa bahwa dunia saat ini masih memperlakukan wanita sebagai objek untuk meningkatkan daya tarik. Banyak iklan, dalam berbagai bentuk, yang menggunakan wanita sebagai modelnya walaupun pada kenyataannya tidak terlalu relevan. SPG (Sales Promotion Girl) tentunya lebih banyak terlihat ketimbang SPB (Sales Promotion Boy). Kelihatannya SPB lebih cenderung ditempatkan di gudang atau bagian angkut barang.
Untuk urusan bisnis, wanita pun punya andil yang signifikan. Saat mengajukan penawaran ke klien, sales wanita lebih diutamakan; apalagi kalau klien yang dituju adalah pria. Bagian layanan pelanggan pun umumnya mempekerjakan para wanita untuk menerima keluhan pelanggan. Alasannya kemungkinan besar karena suara wanita lebih enak didengar ketimbang suara pria.
Contoh-contoh di atas mungkin tidak representatif; atau bahkan salah. Mungkin saja para wanita lebih dihargai karena kemampuan dan prestasinya, tapi tetap saja penilaian terhadap wanita tidak lepas dari kondisi fisiknya. Entah itu parasnya, bentuk tubuhnya, suaranya, atau kondisi fisik lainnya, penilaian terhadap potensi wanita sepertinya sangat subjektif.
Eksploitasi terhadap wanita ini sudah membentuk opini umum tentang cantik dan seksi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Terbentuknya opini umum ini tentunya tidak lepas dari peran industri mode yang iklan-iklannya secara spesifik membentuk citra seorang wanita yang cantik dan seksi itu. Akhirnya para wanita berbondong-bondong merubah dirinya menjadi cantik dan seksi.
Saya pribadi tidak menentang usaha seseorang, baik pria maupun wanita, menuju keindahan diri. Hanya saja menurut saya usaha ini kerap berbalik menjadi memprihatinkan. Mereka yang berkulit hitam ingin berkulit putih hanya karena cantik itu identik dengan putih walaupun mereka yang mengeluarkan uang banyak untuk produk kecantikan. Mereka yang gemuk ingin menjadi lebih kurus hanya karena seksi itu identik dengan langsing. Mereka pun tak segan menjaga pola makan (kadang sampai ke titik ekstrim), membeli obat-obatan pengecil lingkar pinggang, dan mengikuti berbagai perawatan tubuh untuk mendapatkan tubuh yang langsing.
Tinggi badan pun tidak luput dari perhatian para wanita. Berhubung cantik dan seksi itu tidak lepas dari kata "semampai", banyak wanita pun mengejar tinggi badan yang memadai untuk melengkapi kulitnya yang putih dan badannya yang langsing. Putih, tinggi, langsing menjadi tiga kata yang krusial untuk mendefinisikan cantik dan seksi. Itu pun bila mereka tidak memasukan hal-hal sepele seperti bibir, hidung, alis mata, payudara, atau hal-hal sepele lainnya.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi di atas itu tidak kenal usia. Dari anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar sampai wanita yang sudah pantas dipanggil "nenek" hidup dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Anak SD sudah tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Nenek-nenek tetap tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Anak SD sudah akrab dengan dandanan. Nenek-nenek tetap berdandan layaknya wanita usia 30-an.
Dunia wanita begitu memprihatinkan. Keprihatinan ini mungkin akan lebih terasa saat kita mendengar komentar seorang pria jomblo yang tidak pernah puas dengan kecantikan gadis-gadis yang dikenalkan orang lain kepadanya. Hal ini tentu saja menjelaskan kenapa pria itu tetap jomblo. Rasa prihatin itu akan timbul saat kita mendengar kisah seorang suami yang selingkuh demi wanita yang lebih cantik. Belum lagi cerita bagaimana seorang wanita cerdas dan berprestasi tidak kunjung mendapatkan pasangan karena dirinya kurang cantik. Dan masih banyak lagi cerita-cerita memprihatinkan lainnya.
Entah siapa yang harus disalahkan atas terbentuknya dunia seperti itu? Dunia mode, dunia periklanan, dunia bisnis, para pria, atau para wanita itu sendiri? Entah ada berapa faktor yang akhirnya menyebabkan para wanita harus bersaing untuk terlihat cantik dan seksi. Satu hal yang pasti, para pria punya andil. Mereka yang melihat wanita lewat syahwatnya dan mengukur potensi wanita lewat ukuran dada dan pinggulnya tentunya punya andil yang sangat besar.
Penulis pun seorang pria yang tidak lepas dari tanggung jawab itu, tapi tulisan ini bukan sebuah topeng kemunafikan yang dipakai saat menulis. Tulisan ini merupakan bagian dari proses introspeksi diri karena sebuah perubahan besar hanya dapat terjadi bila setiap orang yang terlibat mau melakukan perubahan yang sama pada dirinya sendiri.
Selasa, 31 Agustus 2010
Rabu, 18 Agustus 2010
Bajingan Bernama Pengendara Motor
Dia yang nyelip, dia yang oleng, dia yang nyungsruk, dia yang marah. Berkendara tidak hati-hati tapi justru merasa orang lain yang harus lebih hati-hati. Jalanan seharusnya milik bersama tapi justru hanya orang lain yang harus mengalah. Sopan santun berkendara tertinggal di rumah. Yang dibawa dalam perjalanan hanya keegoisan semata. Bajingan!
Pengendara motor itu memang egois dan tidak tahu sopan santun. Mendahului dari berbagai sisi, melawan arus kendaraan seenak dengkulnya sendiri, menerobos lampu merah tanpa basa basi, memotong jalan orang tanpa permisi, dan berbagai bentuk keegoisan berkendara sudah menjadi citra para pengendara motor. Citra buruk ini yang membuat para pengendara kendaraan roda empat atau lebih (terutama mobil pribadi) memilih untuk mengalah dan membiarkan para pengendara motor itu semakin menggila. Bajingan!
Saya yakin tidak sedikit pengendara mobil yang lebih memilih mengalah dibandingkan harus berurusan dengan pengendara motor. Bagaimana tidak? Dalam sebuah kecelakaan antara mobil dan motor, kemungkinan besar pihak yang dinyatakan bersalah adalah pengendara mobil. Walaupun kecelakaan itu merupakan akibat dari kecerobohan pengendara motor, masyarakat pada umumnya tetap menyalahkan pengendara mobil. Ini pun salah satu faktor yang membuat para pengendara motor itu semakin menggila. Mereka dipenuhi kesombongan karena merasa dirinya akan dibela dalam kondisi apa pun. Bajingan!
Kombinasi dari sifat sombong dan egois itu yang membuat para pengendara motor itu terus tumbuh menjadi kumpulan bajingan. Hal ini berlaku benar terutama bagi mereka yang merasa dirinya hebat dan gemar tancap gas. Motor mereka modifikasi sedemikian rupa sehingga (mereka pikir) menyerupai motor balap. Jalan raya pun mereka jadikan arena balap. Setiap kendaraan mereka jadikan lawan tanding yang harus disalip walau harus mengorbankan nyawa. Sayangnya yang menjadi korban seringkali tidak hanya nyawa mereka sendiri, tapi juga nyawa orang lain. Bajingan!
Untunglah tidak semua pengendara motor itu bajingan. Masih ada pengendara motor yang mematuhi peraturan dan berkendara dengan penuh sopan santun. Masih ada pengendara motor yang memikirkan akibat dari cara berkendara yang sembrono sehingga mereka pun lebih berhati-hati.
Pada kenyataannya memang bukan pengendara motor yang merupakan bajingan. Bajingan-bajingan sombong dan egois ini ada di mana-mana. Ada yang berwujud pengendara motor, ada yang berwujud pengendara motor gede, ada yang berwujud pengendara mobil, ada yang berwujud pengendara angkutan umum, ada yang berwujud pengendara truk, dan berbagai wujud lain. Tidak semua pengendara motor itu bajingan, tapi sebagian bajingan itu ada dalam wujud pengendara motor.
Bajingan-bajingan itu mungkin akan terus ada sampai akhir dunia ini. Kalau Anda adalah salah satunya dan masih memiliki sedikit kesadaran akan sopan santun dan toleransi, maka berubahlah. Saya yakin dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman bila jumlah bajingan di dunia ini berkurang.
Pengendara motor itu memang egois dan tidak tahu sopan santun. Mendahului dari berbagai sisi, melawan arus kendaraan seenak dengkulnya sendiri, menerobos lampu merah tanpa basa basi, memotong jalan orang tanpa permisi, dan berbagai bentuk keegoisan berkendara sudah menjadi citra para pengendara motor. Citra buruk ini yang membuat para pengendara kendaraan roda empat atau lebih (terutama mobil pribadi) memilih untuk mengalah dan membiarkan para pengendara motor itu semakin menggila. Bajingan!
Saya yakin tidak sedikit pengendara mobil yang lebih memilih mengalah dibandingkan harus berurusan dengan pengendara motor. Bagaimana tidak? Dalam sebuah kecelakaan antara mobil dan motor, kemungkinan besar pihak yang dinyatakan bersalah adalah pengendara mobil. Walaupun kecelakaan itu merupakan akibat dari kecerobohan pengendara motor, masyarakat pada umumnya tetap menyalahkan pengendara mobil. Ini pun salah satu faktor yang membuat para pengendara motor itu semakin menggila. Mereka dipenuhi kesombongan karena merasa dirinya akan dibela dalam kondisi apa pun. Bajingan!
Kombinasi dari sifat sombong dan egois itu yang membuat para pengendara motor itu terus tumbuh menjadi kumpulan bajingan. Hal ini berlaku benar terutama bagi mereka yang merasa dirinya hebat dan gemar tancap gas. Motor mereka modifikasi sedemikian rupa sehingga (mereka pikir) menyerupai motor balap. Jalan raya pun mereka jadikan arena balap. Setiap kendaraan mereka jadikan lawan tanding yang harus disalip walau harus mengorbankan nyawa. Sayangnya yang menjadi korban seringkali tidak hanya nyawa mereka sendiri, tapi juga nyawa orang lain. Bajingan!
Untunglah tidak semua pengendara motor itu bajingan. Masih ada pengendara motor yang mematuhi peraturan dan berkendara dengan penuh sopan santun. Masih ada pengendara motor yang memikirkan akibat dari cara berkendara yang sembrono sehingga mereka pun lebih berhati-hati.
Pada kenyataannya memang bukan pengendara motor yang merupakan bajingan. Bajingan-bajingan sombong dan egois ini ada di mana-mana. Ada yang berwujud pengendara motor, ada yang berwujud pengendara motor gede, ada yang berwujud pengendara mobil, ada yang berwujud pengendara angkutan umum, ada yang berwujud pengendara truk, dan berbagai wujud lain. Tidak semua pengendara motor itu bajingan, tapi sebagian bajingan itu ada dalam wujud pengendara motor.
Bajingan-bajingan itu mungkin akan terus ada sampai akhir dunia ini. Kalau Anda adalah salah satunya dan masih memiliki sedikit kesadaran akan sopan santun dan toleransi, maka berubahlah. Saya yakin dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman bila jumlah bajingan di dunia ini berkurang.
Kamis, 12 Agustus 2010
Kepercayaan Pangkal Keharmonisan
Seorang calon suami mengajak saya diskusi. Ajakannya agak mendadak karena memang waktunya sudah mendesak. Calon suami ini tidak lama lagi akan melamar calon istrinya. Lamaran yang dimaksud adalah lamaran skala besar, yaitu saat keluarga calon suami secara resmi mendatangi keluarga calon istri untuk melakukan lamaran. Saya sebut mendesak bin mendadak karena menjelang waktu lamaran ini calon suami tersebut masih saja gundah. Ada satu hal yang mengganjal di hati calon suami ini. Satu hal yang krusial. Satu hal yang vital. Satu hal yang terkait erat dengan kepercayaan calon suami kepada calon istri tersebut.
Masalahnya berputar sekitar pergaulan. Untuk mempersingkat cerita, masalah ini terkait dengan lingkungan pergaulan calon istri. Calon istri ini tidak memiliki batasan tertentu dalam pergaulan. Dia bisa berteman dengan wanita dan pria. Bahkan salah satu teman dekatnya adalah seorang pria. Calon istri ini (sebagaimana manusia pada umumnya) memiliki lingkaran kecil pertemanan. Lingkaran kecil ini seringkali meluangkan waktu bersama-sama. Makan siang, tukar pikiran (baca: ngobrol), dan berbagai aktifitas lain sering mereka lakukan bersama.
Calon suami tidak merasa nyaman dengan pola pergaulan calon istri. Walau berkali-kali calon istri menegaskan bahwa pergaulannya tidak akan menjadi "penghalang", calon suami ini masih tidak bisa meyakinkan hatinya. Bagi sebagian orang mungkin calon suami ini akan terlihat posesif atau kolot. Akan tetapi pada kenyataannya calon suami ini hanya sekedar berhati-hati. Bagi saya ini adalah hal wajar melihat pergaulan sudah semakin bebas dan perselingkuhan sudah semakin terlihat biasa.
Dalam hal ini saya memihak calon suami. Mengarungi lautan pernikahan tanpa rasa saling percaya yang memadai antara suami dan istri kelak akan mengundang badai. Ombak akan senantiasa terlihat besar dan langit akan senantiasa gelap. Keharmonisan rumah tangga akan selalu ada di ujung tanduk bila ikatan dalam rumah tangga itu terjalin tanpa didasari kepercayaan. Dukungan ini bukan semata-mata karena saya adalah seorang pria. Dukungan ini datang karena keyakinan saya akan pentingnya membentuk rasa saling percaya antara suami dan istri.
Dalam usaha untuk membentuk kepercayaan itu terdapat dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Baik istri maupun suami memiliki kedua kewajiban itu. Seorang suami wajib mempercayai istrinya dan sebaliknya seorang istri wajib membuat dirinya dapat dipercaya oleh suaminya. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya.
Di antara kedua kewajiban itu, kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain ada di atas kewajiban untuk mempercayai orang lain. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini sudah melakukan kewajibannya untuk menjaga batasan dalam bergaul. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini memilih untuk tidak memiliki sekretaris wanita. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini tidak bepergian tanpa alasan yang kuat dengan pria lain. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini tidak membuat-buat alasan saat sulit dihubungi.
Kembali ke masalah calon suami di atas, saya justru merasa calon istri di atas perlu melakukan kewajibannya untuk membatasi pergaulannya. Dengan begitu calon istri ini sudah melakukan kewajibannya untuk membuat dirinya dapat dipercaya. Bila hal ini sudah dilakukan, maka calon suami ini pun wajib mempercayai calon istrinya tanpa kecuali. Kalau memang hal di atas sulit diwujudkan, saya pribadi lebih memilih agar pernikahan mereka dibatalkan.
Kondisi di atas bukan kondisi luar biasa. Kenyataannya masalah kepercayaan ini sudah menjadi masalah yang lumrah dalam sebuah ikatan pernikahan; terutama SETELAH ikatan pernikahan itu terjalin. Saya sendiri pernah menemukan kondisi yang mirip dengan kondisi calon suami istri di atas. Perbedaannya adalah pasangan yang terlibat bukan lagi calon -mereka sudah menikah. Dalam hal ini tentunya saya tidak cenderung ke arah membatalkan pernikahan.
Untungnya dengan pasangan di atas kondisinya relatif lebih mudah. Pihak istri berkenan mengambil inisiatif untuk membatasi pergaulannya dengan teman-teman prianya. Dengan begitu lebih mudah bagi pihak suami untuk menghilangkan kegundahan hatinya dan kembali mempercayai istrinya. Saya tidak sampai hati membayangkan seandainya pihak istri tetap bersikeras dengan pola pergaulannya.
Masalah kepercayaan memang masalah yang sensitif dan tidak berlaku hanya di dunia pernikahan saja. Hubungan pertemanan, hubungan kerja, hubungan bisnis, dan berbagai bentuk hubungan lain tentu mengandalkan kepercayaan untuk membentuk keharmonisan. Tidak mungkin ada orang yang mau berteman dengan pengkhianat, tidak mungkin ada orang yang mau bekerja dengan orang yang tidak dapat dipercaya, tidak mungkin ada orang yang mau berbisnis dengan orang yang reputasinya meragukan.
Sementara dalam pernikahan itu sendiri, kepercayaan tidak hanya berkutat pada masalah pergaulan saja. Kepercayaan juga terkait erat dengan pengelolaan keuangan keluarga, pola pendidikan anak, hubungan dengan keluarga besar, dan berbagai hal lain. Saya yakin sulit rasanya mempercayai pasangan yang boros, sering tidak terus terang, asal-asalan mendidik anak, atau risih dengan kehadiran mertua.
Memang tidak semua orang mengalami masalah kepercayaan yang sama karena kemampuan memberikan kepercayaan masing-masing orang itu berbeda. Akan tetapi saat berhadapan dengan masalah kepercayaan, maka kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan cerita di atas. Semuanya akan kembali kepada kedua kewajiban yang disebutkan di atas, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Prioritasnya tentu saja pada kewajiban yang kedua.
Masalahnya berputar sekitar pergaulan. Untuk mempersingkat cerita, masalah ini terkait dengan lingkungan pergaulan calon istri. Calon istri ini tidak memiliki batasan tertentu dalam pergaulan. Dia bisa berteman dengan wanita dan pria. Bahkan salah satu teman dekatnya adalah seorang pria. Calon istri ini (sebagaimana manusia pada umumnya) memiliki lingkaran kecil pertemanan. Lingkaran kecil ini seringkali meluangkan waktu bersama-sama. Makan siang, tukar pikiran (baca: ngobrol), dan berbagai aktifitas lain sering mereka lakukan bersama.
Calon suami tidak merasa nyaman dengan pola pergaulan calon istri. Walau berkali-kali calon istri menegaskan bahwa pergaulannya tidak akan menjadi "penghalang", calon suami ini masih tidak bisa meyakinkan hatinya. Bagi sebagian orang mungkin calon suami ini akan terlihat posesif atau kolot. Akan tetapi pada kenyataannya calon suami ini hanya sekedar berhati-hati. Bagi saya ini adalah hal wajar melihat pergaulan sudah semakin bebas dan perselingkuhan sudah semakin terlihat biasa.
Dalam hal ini saya memihak calon suami. Mengarungi lautan pernikahan tanpa rasa saling percaya yang memadai antara suami dan istri kelak akan mengundang badai. Ombak akan senantiasa terlihat besar dan langit akan senantiasa gelap. Keharmonisan rumah tangga akan selalu ada di ujung tanduk bila ikatan dalam rumah tangga itu terjalin tanpa didasari kepercayaan. Dukungan ini bukan semata-mata karena saya adalah seorang pria. Dukungan ini datang karena keyakinan saya akan pentingnya membentuk rasa saling percaya antara suami dan istri.
Dalam usaha untuk membentuk kepercayaan itu terdapat dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Baik istri maupun suami memiliki kedua kewajiban itu. Seorang suami wajib mempercayai istrinya dan sebaliknya seorang istri wajib membuat dirinya dapat dipercaya oleh suaminya. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya.
Di antara kedua kewajiban itu, kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain ada di atas kewajiban untuk mempercayai orang lain. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini sudah melakukan kewajibannya untuk menjaga batasan dalam bergaul. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini memilih untuk tidak memiliki sekretaris wanita. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini tidak bepergian tanpa alasan yang kuat dengan pria lain. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini tidak membuat-buat alasan saat sulit dihubungi.
Kembali ke masalah calon suami di atas, saya justru merasa calon istri di atas perlu melakukan kewajibannya untuk membatasi pergaulannya. Dengan begitu calon istri ini sudah melakukan kewajibannya untuk membuat dirinya dapat dipercaya. Bila hal ini sudah dilakukan, maka calon suami ini pun wajib mempercayai calon istrinya tanpa kecuali. Kalau memang hal di atas sulit diwujudkan, saya pribadi lebih memilih agar pernikahan mereka dibatalkan.
Kondisi di atas bukan kondisi luar biasa. Kenyataannya masalah kepercayaan ini sudah menjadi masalah yang lumrah dalam sebuah ikatan pernikahan; terutama SETELAH ikatan pernikahan itu terjalin. Saya sendiri pernah menemukan kondisi yang mirip dengan kondisi calon suami istri di atas. Perbedaannya adalah pasangan yang terlibat bukan lagi calon -mereka sudah menikah. Dalam hal ini tentunya saya tidak cenderung ke arah membatalkan pernikahan.
Untungnya dengan pasangan di atas kondisinya relatif lebih mudah. Pihak istri berkenan mengambil inisiatif untuk membatasi pergaulannya dengan teman-teman prianya. Dengan begitu lebih mudah bagi pihak suami untuk menghilangkan kegundahan hatinya dan kembali mempercayai istrinya. Saya tidak sampai hati membayangkan seandainya pihak istri tetap bersikeras dengan pola pergaulannya.
Masalah kepercayaan memang masalah yang sensitif dan tidak berlaku hanya di dunia pernikahan saja. Hubungan pertemanan, hubungan kerja, hubungan bisnis, dan berbagai bentuk hubungan lain tentu mengandalkan kepercayaan untuk membentuk keharmonisan. Tidak mungkin ada orang yang mau berteman dengan pengkhianat, tidak mungkin ada orang yang mau bekerja dengan orang yang tidak dapat dipercaya, tidak mungkin ada orang yang mau berbisnis dengan orang yang reputasinya meragukan.
Sementara dalam pernikahan itu sendiri, kepercayaan tidak hanya berkutat pada masalah pergaulan saja. Kepercayaan juga terkait erat dengan pengelolaan keuangan keluarga, pola pendidikan anak, hubungan dengan keluarga besar, dan berbagai hal lain. Saya yakin sulit rasanya mempercayai pasangan yang boros, sering tidak terus terang, asal-asalan mendidik anak, atau risih dengan kehadiran mertua.
Memang tidak semua orang mengalami masalah kepercayaan yang sama karena kemampuan memberikan kepercayaan masing-masing orang itu berbeda. Akan tetapi saat berhadapan dengan masalah kepercayaan, maka kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan cerita di atas. Semuanya akan kembali kepada kedua kewajiban yang disebutkan di atas, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Prioritasnya tentu saja pada kewajiban yang kedua.
Langganan:
Postingan (Atom)