"... Penipu Laporan Pajak = SETAN, setelah dicurigai lalu diperiksa oleh petugas pajak ditemukan kebohongan dari jumlah yang seharusnya disetor kepada negara melalui BANK atau KANTOR POS. Lalu si SETAN menggunakan kemampuan uangnya untuk menyogok petugas pajak SETAN sehingga pajaknya tidak diperbaiki sebagaimana mestinya. Jadilah istilah "uang SETAN dimakan SETAN".Kutipan di atas merupakan salah satu komentar yang dituangkan dalam blog bicarapajak.blogspot.com. Tidak semua isi komentar tersebut saya kutip di atas. Klik di sini untuk membaca versi selengkapnya dari komentar tersebut.
Fakta di lapangan seiring adanya kasus gayus:
1.Seorang pembeli sayur yang seorang PNS berseragam mengatakan "ngapain bayar pajak, cuma buat bikin kaya orang pajak". dan apa yg saya dengar berikutnya sangat mengejutkan. Ibu penjual sayur berkata "ya makanya bayar pajaknya ke bank om, jangan sama orang pajaknya".
Bisa dibayangkan betapa gelinya saya waktu itu. seorang Pegawai Negeri Sipil, yang setiap bulannya dapat penghasilan yang uangnya berasal dari Pajak, dengan tidak tahu malunya bicara seperti itu.
2.dari beberapa kejadian seperti itu dapat saya simpulkan seperti pepatah "Tong Kosong Nyaring Bunyinya". Orang-orang yang paling keras menyuarakan "STOP MEMBAYAR PAJAK" adalah salah satu dari SETAN penipu pajak, dan yg lain adalah orang-orang yang sama sekali tidak pernah melaporkan pajak ataupun membayar pajak. ..."
Komentar di atas secara gamblang menegaskan aspek lain dalam menilai kasus-kasus pajak, yaitu keberadaan wajib pajak bermasalah. Saat sorotan dalam kasus-kasus perpajakan ditujukan kepada pegawai dan instansi perpajakan negeri ini, faktor wajib pajak sama sekali tidak diperhatikan. Padahal faktanya kasus-kasus perpajakan itu tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Selalu ada faktor aparat perpajakan dan wajib pajak dalam setiap korupsi di bidang perpajakan.
Meminjam istilah "kejahatan itu terjadi karena ada kesempatan", maka terlihat jelas bahwa korupsi yang dilakukan aparat perpajakan tidak mungkin dilakukan kalau wajib pajak tidak membuka peluang. Jadi wajib pajak pun bersalah karena membuka peluang korupsi. Wajib pajak seperti ini justru menjadi kaki tangan pelaku korupsi perpajakan; bukan sebagai korban. Korban dari korupsi perpajakan ini adalah rakyat, yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari kas negara.
Jadi jangan lagi kita salah kaprah menilai pelaku-pelaku kejahatan dalam korupsi perpajakan. Arahkan jari kita tidak hanya pada aparat perpajakan yang terlibat, tetapi juga pada para wajib pajak yang mendapatkan keuntungan lewat manipulasi data perpajakan. Mereka itulah orang-orang egois yang mengedepankan kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan umum.