Terus terang saya sempat ragu saat hendak menerima surat tilang itu. Alasan paling kuat adalah karena saya malas berurusan dengan calo. Buat apa saya repot-repot menerima surat tilang kalau pada akhirnya saya harus menggunakan calo untuk menebus SIM saya? Mendingan damai deh.
Tetap saja saya optimis. Saya yakin bisa menghindari calo saat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri nantinya. Saya pikir menghadiri sidang tilang adalah sesuatu yang perlu saya lakukan sendiri. Ini adalah pengalaman sekali seumur hidup. Maksudnya tentu saja jangan sampai saya ditilang lagi. Selain itu, saya yakin pengalaman ini bisa
Saya dipanggil untuk menghadiri sidang pada hari Jum'at, 12 Oktober 2012. Umumnya Pengadilan Negeri Tangerang sudah beroperasi mulai jam 8 pagi. Sayangnya hari Jum'at adalah waktu bagi pegawai negeri sipil untuk melakukan olah raga pagi bersama. Jadi saya pun terpaksa menunggu hingga pukul 9 pagi.
Padahal saya sendiri sengaja datang ke sana sekitar pukul 07:30. Saya berasumsi pukul 07:30 itu belum masuk jam beroperasi calo. Jadi saya datang sepagi mungkin dengan tujuan untuk menghindari calo -dan untuk menghindari antrian. Ternyata Pengadilan Negeri Tangerang sudah bersih dari calo. Dan... antrian orang yang menghadiri sidang tilang sepagi itu pun sudah cukup panjang.
Untungnya, walaupun sidang belum bisa dimulai, antrian sudah dibuka. Pengurus tilang diminta mengumpulkan lembar merah sidang tilang mereka. Tidak sampai jam 9 pagi, para "tersangka" yang sudah mengumpulkan lembar merah pun dipanggil satu per satu. Setiap orang yang dipanggil satu per satu masuk dan menunggu di dalam ruang sidang. Setelah memenuhi "kuota" ruang sidang, kami pun menghadap hakim satu per satu.
Peraturan di dalam ruang sidang cukup ketat. Setiap orang diminta untuk mematikan handphone (atau mengaktifkan mode silent) dan melepas jaket masing-masing. Saya pribadi maklum dengan peraturan seperti ini, tapi yang membuat saya heran adalah tidak ada keharusan untuk menggunakan sepatu. Saya pikir masuk ke ruang sidang itu harus formal sehingga saya sendiri berpakaian lengkap dengan batik, celana panjang, dan sepatu pantofel. Mungkin untuk sidang tilang aturannya lebih fleksibel karena toh yang hadir di sidang tilang ini datang dari berbagai kalangan; termasuk yang tidak merasa perlu repot-repot memiliki sepatu pantofel.
Sidang tilang berlangsung cepat. Hakim menanyai para pelanggar itu satu per satu, tapi tetap saja terkesan seperti formalitas. Saya pun ditanya "di mana" dan "kenapa", tapi apa pun yang saya katakan terkesan tidak ada artinya. Pada akhirnya saya harus mengeluarkan uang Rp. 75.000 untuk menebus SIM A saya; ditambah Rp. 500 untuk biaya perkara.
Dan... selesai. SIM yang ditahan polisi pun sudah kembali ke dalam dompet saya.
Ada beberapa hal menarik yang perlu saya ungkapkan di sini. Pertama, ladies are welcome. Saya melihat ada 3 atau 4 orang wanita yang menghadiri sidang tilang; salah satunya adalah seorang ibu yang menggendong balita. Mungkinkah balita itu diajak untuk melembutkan hati hakim agar tidak memutuskan denda terlalu tinggi? Entahlah.
Kedua, ditilang dua kali berturut-turut itu memungkinkan. Di dalam rombongan yang menghadiri sidang tilang itu, ada 2 (dua) orang yang mengaku mengurus dua tilang. Salah satu dari mereka sempat bercerita kalau tilang pertama diambil SIM-nya dan tilang kedua diambil STNK-nya; atau malah sebaliknya? Saya agak lupa.
Itu saja yang bisa saya tuangkan dalam tulisan kali ini.
Semoga bermanfaat!