Menindaklanjuti tulisan saya Belajar Lagi, Belajar Terus, akhirnya tahap pertama seleksi di program beasiswa dalam negeri yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun saya lewati. Program beasiswa Government Chief Information Officer (GCIO) ini bekerja sama langsung dengan universitas-universitas terkait, salah satunya Universitas Indonesia, khususnya Program Magister Teknologi Informasi (MTI). Bentuk kerja samanya mengharuskan para pendaftar beasiswa untuk mendaftarkan diri melalui SIMAK UI dan mengikuti ujian masuk S2 UI sesuai jadwal registrasi umum.
Keuntungan seleksi beasiswa lewat SIMAK UI adalah prosedurnya lebih teratur. Jadwal ujiannya jelas dan jadwal pengumuman hasil ujiannya pun jelas. Dengan begitu, saya lebih bisa memprediksi tanggal-tanggal penting terkait seleksi beasiswa ini. Kerugiannya adalah biaya pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu harus saya tanggung sendiri; tanpa ada reimbursement.
Lalu bagaimana dengan pengalaman saya mengikuti ujian masuk S2 UI? Menyenangkan sekaligus menegangkan; tapi saya tidak akan banyak menulis tentang hal-hal subjektif penuh nostalgia ini. Saya hanya akan berbagi pengalaman saya saat mengikuti ujian yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 14 April 2013 lalu.
Ujian masuk itu merupakan ujian masuk yang bersifat umum. Jadi peserta ujian masuk di situ tentu saja tidak terbatas pada para pendaftar beasiswa program GCIO. Mulai dari wajah baru lulus S1 sampai wajah yang sudah lama lulus S1 pun terlihat mondar-mandir di sekitar ruang ujian. Jumlah pesertanya begitu banyak sampai antrian toilet pun mengular panjang sampai keluar toilet. Saya bersyukur tiba di lokasi ujian agak pagi karena antrian toilet saat saya datang belum begitu parah.
Kembali ke ujian masuk. Ujian masuk tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Tes Potensi Akademik dan Tes Bahasa Inggris. Tes Potensi Akademik terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Logika. Pembagian tersebut hanya istilah saya saja. Soal-soal di bagian Bahasa Indonesia mencakup mencari padanan kata dan membaca artikel. Soal-soal Matematika lebih fokus di permainan rumus; jarang sekali ada soal yang mengharuskan kita menghitung nilai. Soal-soal Logika lebih cenderung menguji kemampuan berpikir. Contohnya kita diberikan narasi tentang hasil kualifikasi pembaca berita di sebuah stasiun televisi, kemudian kita akan ditanya mengenai siapa yang berada di urutan keberapa.
Untuk menyelesaikan 3 (tiga) bagian dalam Tes Potensi Akademik itu kita diberikan total waktu 150 menit; masing-masing bagian diberi waktu 50 menit. 50 menit untuk menyelesaikan 50 soal Bahasa Indonesia, 50 menit untuk 30 soal Matematika, dan 50 menit untuk 25 soal Logika itu terasa lapang. Justru yang menegangkan adalah Tes Bahasa Inggris. Untuk menyelesaikan 100 soal di Tes Bahasa Inggris, peserta ujian hanya memiliki waktu 90 menit. Saya pribadi merasakan betapa ketatnya waktu untuk Tes Bahasa Inggris itu.
Tes Bahasa Inggris itu sendiri terbagi menjadi 40 soal tentang Structure dan 60 soal terkait Reading Comprehension. Saya yakin saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengerjakan soal Structure sehingga waktu yang tersisa untuk bagian Reading terasa kurang. 60 soal Reading Comprehension itu berarti 6 (enam) artikel yang harus saya baca; 10 soal untuk masing-masing artikel. Bagian membaca artikel itu yang benar-benar butuh konsentrasi dan waktu yang memadai.
Tidak seperti Tes Potensi Akademik yang terbilang santai, Tes Bahasa Inggris membuat saya harus berpikir pragmatis. Awalnya saya mencoba membaca masing-masing artikel dengan baik, tapi waktu yang terbatas membuat saya memilih untuk membaca sekilas dan langsung fokus pada soal-soalnya saja. Cara seperti ini sebenarnya cukup efektif, tapi memang pada akhirnya membuat kita harus berkali-kali membaca artikel saat menjawab soal.
Itu saja yang dapat saya ceritakan terkait tes-tes yang diujikan. Prosesi ujiannya pun terbilang tertib. Setiap peserta hanya diperbolehkan membawa pulpen, pensil, penghapus, rautan, kartu peserta ujian, dan kartu tanda pengenal; bahkan papan jalan pun tidak diperbolehkan. Alat komunikasi seperti handphone atau walkie-talkie harus dimatikan; bahkan jam tangan pun tidak diperbolehkan dipakai saat ujian. Jaket atau sejenisnya pun harus dilepas; kecuali yang hanya mengenakan singlet di balik jaketnya.
Secara keseluruhan pengalaman ujian masuk kali ini adalah pengalaman yang menyenangkan dan menegangkan. Menyenangkan karena memberi saya kesempatan untuk keluar dari rutinitas akhir pekan dan merasakan kembali suasana kampus. Menegangkan karena saya benar-benar berharap tidak kehilangan uang pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu.