Sebelumnya saya bercerita bahwa untuk menumbuhkan[1] sifat jujur dalam diri anak-anak itu diperlukan sikap tegas, adil, dan konsisten. Tegas dengan menyatakan bahwa bohong itu salah, adil dengan ikut bersikap jujur, terutama saat berurusan dengan anak-anak, dan konsisten dalam menerapkan semua itu. Bila kita bisa menerapkan ketiga sikap tersebut, sifat jujur akan lebih mudah tumbuh di dalam diri anak-anak; cepat atau lambat.
Walaupun begitu, ada baiknya kita pun mencari tahu berbagai alasan anak-anak kita berbohong. Kenapa kita perlu mencari informasi tentang itu? Karena untuk memenangkan perang, kita perlu mengenali musuh kita. Jadi, untuk menumbuhkan sifat jujur dalam anak-anak kita, kita pun perlu mengenali alasan-alasan kenapa anak-anak kita berbohong. Dengan mengenali berbagai penyebab anak-anak berbohong, kita akan memiliki peluang yang lebih baik untuk mencegah munculnya kebiasaan berbohong. Pada akhirnya, bila kebiasaan berbohong tak kunjung muncul, sifat jujur pun akan lebih mudah tumbuh dalam diri anak-anak kita.
Kaligrafi Amaanah* |
Mengajarkan apa itu berbohong tentu saja tidak membutuhkan kelas atau sesi khusus. Tanpa kita ajarkan pun anak-anak kita akan mengetahui sendiri apa itu yang dimaksud dengan berbohong. Mereka bisa mengetahuinya dari mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar mereka, dari buku yang mereka baca, dari serial televisi atau film yang mereka tonton, atau bahkan dari pengalaman mereka sendiri. Walaupun begitu, kita perlu memastikan bahwa anak-anak kita sudah tahu apa itu berbohong sebelum kita mulai mengajarkan mereka tentang kejujuran.
Kedua, seorang anak berbohong karena dia tidak tahu bahwa berbohong itu buruk. Kalaupun anak-anak kita sudah mengerti apa itu berbohong, mereka tetap akan berbohong selama mereka menganggap berbohong itu baik. Kita lagi-lagi berperan penting untuk menjelaskan kenapa berbohong itu buruk kepada anak-anak kita. Kalau anak-anak kita tidak mengetahui buruknya sebuah kebohongan, kenapa mereka harus berhenti berbohong?
Mengajarkan keburukan dari berbohong kepada anak-anak kita tentu lebih sulit daripada sekedar mengajarkan apa itu berbohong. Apalagi kalau anak-anak kita sudah mulai (atau bahkan terbiasa) berbohong, mengajarkan keburukan dari berbohong akan menjadi lebih sulit lagi. Salah satu penyebabnya adalah karena anak kita sudah merasakan "manfaat" berbohong, misalnya untuk menutupi kesalahan yang mereka lakukan dan menyelamatkan mereka dari murka ayah-bunda. Kondisi ini yang menjadi tantangan besar kita dalam menumbuhkan sifat jujur ke dalam diri anak-anak kita.
Saat anak-anak kita sudah menyadari bahwa berbohong itu salah, atau paling tidak memberikan akibat buruk bagi diri mereka sendiri, mereka akan berhenti berbohong dengan sendirinya. Kejujuran pun akan tumbuh dengan sendirinya di dalam diri anak-anak kita. "Pohon kejujuran" itu pun bukan sekedar tumbuh, tapi tumbuh dengan subur karena hati anak-anak kita sudah menjadi "tanah" yang gembur dan cocok bagi pohon tersebut.
Dua alasan di atas merupakan alasan-alasan mendasar yang dapat "mendorong" seorang anak berbohong. Alasan yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah alasan kedua, yaitu ketidaktahuan seorang anak bahwa berbohong itu buruk. Kenapa menarik? Karena ketidaktahuan anak mengenai keburukan berbohong itu memiliki beberapa alasan turunan yang membuat seorang anak menganggap bahwa berbohong itu baik. Tulisan mengenai alasan-alasan turunan tersebut akan saya tuangkan dalam tulisan berikutnya; insya Allah.
--
[1] Saya sengaja menggunakan kata "menumbuhkan", bukan "menanamkan", karena saya pun yakin bahwa sifat jujur itu sudah ada di dalam diri setiap anak. Hal yang perlu kita lakukan adalah membantu mereka menumbuhkan sifat jujur itu agar tidak hilang ditelan pragmatisme.
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search