Sudah lama saya menjadikan pertambahan usia sebagai momentum untuk introspeksi diri. Saya mencoba melihat kembali apa yang sudah saya lakukan dalam hidup saya selama satu tahun ke belakang. Untungnya hidup saya cukup berwarna. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa saya ceritakan, tapi untuk tulisan kali ini, saya hanya akan bercerita tentang satu hal.
Cerita kali ini adalah cerita tentang ambisi. Ambisi yang seperti apa? Ambisi yang sederhana; tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin menafkahi keluarga saya sepenuhnya. Rasanya tidak sreg bila istri saya terus-menerus "berkontribusi" ke dalam rumah tangga walaupun hal itu dia lakukan atas keinginannya. Istri saya memang mampu dan mau memaklumi dan menutupi lubang-lubang yang ada dalam nafkah saya, tapi sayangnya, dibalik kerelaan istri itu, rasa tidak sreg dalam hati saya tetap ada. Harapan saya adalah saya bisa menafkahi keluarga sepenuhnya tanpa harus mengandalkan istri. Harapan saya adalah kalimat "Milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikmu" tidak hanya menjadi slogan hidup saja. Harapan itu yang menjadi target ambisi saya.
Saya pun memanfaatkan peluang yang ada dalam pekerjaan saya agar saya bisa segera naik gaji. Tambahan penghasilan bulanan itu yang saya butuhkan untuk menggapai ambisi saya. Saya tidak akan menceritakan rinciannya, tapi peluang itu memang ada dan bagi saya, peluang itu cukup besar. Saya pun bekerja secara terarah untuk menggapai ambisi tersebut. Kerja tidak asal kerja, tapi saya arahkan untuk mendekatkan saya ke target ambisi saya. Hal itu saya lakukan secara konsisten walaupun realita kadang membuat saya patah semangat. Kondisinya memang tidak selalu baik, tapi pada akhirnya saya masih bisa melihat cahaya; saya masih bisa berharap.
Terlepas dari itu, ambisi tetap akan menjadi ambisi. Sepositif apa pun target seseorang, ambisi tetap saja membuat orang itu memakai kacamata kuda. Pandangannya hanya tertuju pada target. Waktu dan energinya pun diarahkan untuk mencapai target. Dalam kondisi itu, dia seringkali lupa melihat kondisi di sekitarnya. Kalaupun dia menyempatkan diri melihat kondisi sekitar, seringkali dia tidak benar-benar memperhatikan.
Kalaupun dia menyempatkan diri melihat kondisi sekitar, seringkali dia tidak benar-benar memperhatikan.Itu yang terjadi pada diri saya. Ambisi saya membuat saya lupa untuk siapa saya berjuang. Saya lupa melihat reaksi istri dan anak-anak saya terhadap perubahan orientasi hidup saya. Kalaupun saya melihat, saya tidak benar-benar memperhatikan. Apakah mereka benar-benar nyaman saat saya harus mengutamakan pekerjaan dibandingkan mereka? Apakah mereka rela bila waktu keluarga terpaksa berkurang seiring usaha saya menggapai target saya? Dan banyak pertanyaan lainnya yang bahkan tidak sempat saya tanyakan. Itu terjadi karena saya tidak benar-benar memperhatikan.
Saya dan istri bahkan sempat bertengkar. Pertengkaran itu bukan pertengkaran biasa. Bukan tidak mungkin bahwa dalam konteks rumah tangga, pertengkaran kami masuk kategori "perang dunia ketiga". Anak-anak pun merasakan panasnya api konflik antara saya dan istri saya. Akibat ambisi, saya sudah menyakiti orang-orang yang menjadi alasan munculnya ambisi saya. Menyedihkan, bukan?
Untungnya Allah SWT masih memberikan kesempatan. Saya pun mencoba mengoreksi ambisi saya. Saya mencoba untuk melambat. Saya mencoba untuk lebih acuh dengan pekerjaan saya. Saya mencoba mengembalikan skala prioritas yang sudah terlanjur ngawur akibat munculnya ambisi. Saya tegaskan kembali ke diri saya bahwa keluarga tetap harus jadi nomor satu.
Seiring waktu, hubungan dengan istri saya pun membaik. Kami kembali bekerja sama sehingga api yang sempat membesar perlahan-lahan mengecil dan mulai padam. Anak-anak saya pun kembali merasakan kehangatan dari kedua orang tuanya. Pasca proses pemulihan ini, saya tetap harus menjaga diri agar tidak lagi terjerumus ke dalam ambisi yang membutakan. Jangan sampai api yang sudah padam berkobar lagi akibat kebodohan sendiri.
Satu hal yang benar-benar membantu saya adalah mengingat mati. Ambisi membuat saya hidup demi masa depan, padahal masa depan datangnya masih tak pasti. Mengingat mati memaksa saya untuk lebih seimbang dalam mempersiapkan masa depan dan menikmati hidup yang saya jalani detik ini. Saya tidak lagi meluangkan seluruh waktu dan energi saya untuk masa depan, tapi membaginya untuk masa depan dan "saat ini" secara proporsional.
Saya belajar untuk mendikte ambisi, bukan sebaliknya.Bagian yang menarik dari cerita ini adalah saat saya memutuskan untuk tidak lagi berpacu mengejar target, ambisi saya justru terwujud. Untungnya saya sudah tidak lagi didikte oleh ambisi. Terwujudnya harapan saya tidak lantas memicu munculnya ambisi baru. Saya belajar untuk mendikte ambisi, bukan sebaliknya. Kalaupun ambisi lain bermunculan, saya harus bisa pastikan bahwa saya yang pegang kendali.