Here goes.
Tulisan kali ini masih terkait dengan agile parenting, khususnya manifesto "parents, children, and interactions over parenting styles and rules." Manifesto tersebut menegaskan bahwa dalam agile parenting, interaksi dalam keluarga itu lebih penting daripada cara atau aturan tertentu dalam proses mendidik anak-anak. Saya yakin semua orang tua tahu akan hal ini, tapi sejauh apa kita "tahu" tentang interaksi dalam keluarga?
Saya sendiri tidak banyak tahu. Ketidaktahuan saya semakin diperkuat saat saya membaca buku "Kukatakan ini karena Kucinta Kamu" karya Deborah Tannen. Buku itu membahas tentang seni berbicara dalam keluarga. Penggunaan kata "seni" sepertinya ditujukan untuk menegaskan bahwa untuk bisa berbicara dalam keluarga membutuhkan keahlian. Dari dua bab pertama saja saya berhasil membuka banyak pintu menuju pengetahuan baru tentang interaksi dan komunikasi dalam keluarga.
Dalam bab 1, saya menemukan bahwa pesan tersirat memiliki dampak yang kuat saat kita berkomunikasi dalam keluarga. Dampaknya bahkan lebih kuat daripada kata-kata yang diucapkan (tersurat). Walaupun pesan tersurat yang disampaikan tidak bermasalah, pesan tersirat tetap berisiko menimbulkan masalah. Setiap anggota keluarga perlu mengenali pesan-pesan tersirat tersebut dan mencoba menyampaikannya agar lebih memahami satu sama lain.
Dalam bab 2, saya menemukan bahwa ikatan dalam keluarga berjalan beriringan dengan kontrol. Sayangnya pemahaman yang kurang tepat antara ikatan dan kontrol juga berisiko menimbulkan masalah. Misalnya seorang anak menganggap bahwa ibunya terlalu mengatur dirinya. Si Anak hanya bisa melihatnya dari sudut pandang kontrol karena memang hanya itu yang dirasakan si Anak. Sebaliknya Si Ibu justru melihatnya dari sudut pandang ikatan karena mengatur anaknya merupakan wujud dari ikatan hati yang kuat terhadap anaknya.
Masalah muncul karena si Anak tidak mau terus-menerus diatur oleh ibunya. Dia tidak bisa memahami bahwa kontrol dari ibunya itu ditujukan sebagai wujud kasih sayang ibunya kepadanya. Sebaliknya si Ibu akan merasa kesal atau marah karena anaknya tidak bisa diatur. Dia tidak bisa memahami bahwa ikatan yang dia rasakan membuat anaknya merasa tertekan. Seandainya setiap anggota keluarga dapat memahami bahwa dalam ikatan ada kontrol dan dalam kontrol ada ikatan, risiko timbulnya masalah dapat lebih dikendalikan.
Ada lagi? Sayangnya tidak. Saya baru selesai membaca sampai bab 2. Jadi, tidak banyak yang bisa saya ceritakan lewat tulisan ini. Seiring waktu, saya akan share satu per satu sesuai hasil pemahaman saya. Satu hal yang pasti, buku karya Deborah Tannen itu benar-benar menarik. Tidak hanya para orang tua yang akan mendapatkan pelajaran-pelajaran penting dengan membaca buku itu, tapi juga para calon orang tua dan setiap anggota keluarga.