Sekolah (Gambar oleh srip) |
Semua dimulai pada tanggal 20 Agustus 2005, saat saya resmi menikahi calon ibu dari anak-anak saya. ...
Maaf saya mundurnya terlalu jauh. Saya ulangi.
Semua dimulai saat saya mendapat kepastian bahwa pendaftaran SMP untuk kedua anak saya akan dilakukan secara online (daring). Hal itu merupakan kabar baik bagi saya karena pendaftaran daring seharusnya lebih mudah dan efisien. Sebelumnya saat saya dan istri saya berburu SD untuk kedua anak saya, pendaftarannya harus dilakukan dengan datang ke sekolah. Cara itu tentu saja lebih ribet karena kami harus mengunjungi beberapa sekolah secara bergantian, menyiapkan dokumen (1 rangkap untuk 1 sekolah), dan mengantri berkali-kali.
Kabar yang lebih baik lagi adalah ujian nasional (UN) segera ditiadakan akibat wabah Covid-19. Anak-anak (termasuk kami) tidak perlu jumpalitan lagi untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Kami tidak perlu khawatir lagi kedua anak kami kesulitan mendapatkan nilai pada ujian dengan standar nasional yang kemungkinan standarnya lebih tinggi daripada sekolah kedua anak kami.
Tanpa adanya UN, penilaian akademik hanya dilakukan berdasarkan nilai rata-rata rapor dari kelas 4 sampai kelas 6. Untungnya kedua anak kami memiliki prestasi akademik yang cukup baik. Salah satunya langganan peringkat 1, sementara saudaranya, di kelas yang berbeda, tidak pernah lepas dari peringkat 2, 3, atau 4; bahkan berhasil mendapat peringkat 1 di kelas 6 semester 1. Kami begitu yakin bahwa nilai-nilai mereka akan memudahkan mereka mendapatkan SMP kelak.
Ternyata dugaan kami salah. Tanpa adanya UN, standar penilaian justru menjadi tidak jelas. Saat nilai rata-rata dijadikan acuan, standar tidak mungkin tercapai karena tiap-tiap sekolah memiliki standar nilai tersendiri. Di antara semua SD yang ada di Kota Tangerang, apa mungkin semuanya memiliki standar nilai yang sama? Sepertinya tidak mungkin. Akhirnya kabar baik dihapuskannya UN berubah menjadi kabar buruk.
Jalur Zonasi
Sebelum curcol saya di atas menjadi terlalu panjang, saya langsung masuk ke proses pendaftaran yang saya jalani bersama istri dan anak-anak saya. Proses ini benar-benar efisien. Kami hanya perlu menunggu PIN yang disiapkan dan didistribusikan kepada tiap-tiap siswa oleh SD (bukan SMP). Setelah menerima PIN, anak-anak saya dapat login ke dalam situs PPDB Mandiri menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan PIN masing-masing.
Jadwal PPDB SMP Kota Tangerang Tahun 2020 (Sumber: Situs Resmi PPDB Kota Tangerang) |
Situs PPDB Mandiri tersebut mulai dapat digunakan sesuai jadwal yang saya cantumkan di atas. Seperti yang dapat dilihat di gambar tersebut, PPDB SMP Kota Tangerang terbagi menjadi 2 tahap, yaitu Tahap 1 dan Tahap 2. Tahap 1 dibagi menjadi 4 jalur, yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi (akademik dan non-akademik yang dilombakan). Tahap 2 hanya memiliki 1 jalur, yaitu jalur prestasi akademik yang dibatasi untuk daerah dalam kota (Kota Tangerang).
Prosesnya berjalan sesuai jadwal. Kedua anak saya mulai dari jalur zonasi. Persaingannya sangat ketat. Saya melihat banyak pendaftar yang memiliki nilai rata-rata 90. Itu artinya para siswa itu memperoleh nilai yang sangat tinggi sejak kelas 4 semester 1 sampai kelas 6 semester 1. Bagi siswa dan sekolah terkait, hal itu adalah prestasi yang luar biasa, tapi kondisi itu justru menegaskan dalam diri saya bahwa kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam penilaian itu cukup besar.
Persaingannya semakin ketat bagi anak-anak saya karena, selain nilai rata-rata mereka tidak terlalu tinggi, skor zona mereka juga rendah. Dari nilai maksimal 5, anak-anak saya hanya mendapat skor 2. Berhubung lokasi sekolah di Kota Tangerang tidak tersebar secara merata, saya melihat banyak sekali pendaftar yang memiliki skor 2. Persaingan pendaftar dengan skor zona 2 benar-benar tinggi karena jumlah mereka benar-benar dominan. Hal itu terjadi di setiap SMP yang ada di Kota Tangerang.
Kenapa saya bisa tahu? Karena sistemnya transparan. Kami bisa melihat perkembangan penerimaan di setiap SMP. Kami dapat melihat siapa orangnya, berapa skor zonanya, berapa nilai rata-ratanya, berapa usianya, dan berapa skor totalnya. Skor total itu yang menjadi penentu apakah seorang siswa diterima atau tidak dan ada di urutan keberapa dari keseluruhan siswa yang diterima.
Skor Jalur Zonasi
Skor (Freepik) |
Saya ambil contoh salah satu anak saya dengan skor total 28402899283xxxxx. Saya pecah menjadi:
- Digit 1: 2. Ini adalah skor zona.
- Digit 2-5: 8402. Ini adalah skor berdasarkan nilai rata-rata. Nilai rata-rata anak saya adalah 84,02.
- Digit 6-11: 899283. Ini adalah skor berdasarkan tanggal lahir.
- Digit 12-16: xxxxx. Sepertinya ini adalah skor berdasarkan urutan pendaftaran.
Hal itu sempat dialami langsung oleh anak saya. Ada pendaftar lain dengan nilai rata-rata 77 yang diterima di sebuah sekolah karena skor zonanya 5. Terakhir saya lihat, posisinya ada di antara posisi 15-20 di sekolah tempat dia mendaftar. Anak saya justru ada di area waswas. Ada juga pendaftar lain dengan skor zona dan nilai rata-rata yang sama persis dengan anak saya. Posisinya 1 tingkat di atas anak saya karena usianya sedikit lebih tua.
Jalur Prestasi
Monster (Gambar oleh Smashicons) |
Setelah jalur afirmasi dan perpindahan orang tua selesai, jalur prestasi pun dimulai. Rasa waswas akibat pengalaman pahit di jalur zonasi masih ada, tapi kami mencoba untuk tetap optimis. Kami cukup yakin bahwa jalur zonasi telah melahap habis para siswa yang bernilai tinggi sehingga persaingan di jalur prestasi pun tidak akan seketat jalur zonasi.
Keyakinan itu pun terbukti. Walaupun jalur prestasi itu mencakup para siswa dengan prestasi non-akademik yang dilombakan, mayoritas tetap berisi para siswa yang mendaftar melalui prestasi akademik. Itu artinya persaingannya lebih ditentukan oleh nilai rata-rata dan usia. Pada akhirnya, walaupun awalnya posisi kedua anak saya sempat sempat mengkhawatirkan, mereka berhasil bertahan.
Model penghitungan skornya serupa tapi tak sama dengan penghitungan skor di jalur zonasi. Perbedaannya adalah di jalur prestasi tidak ada faktor seperti zona sehingga skor total yang diperoleh benar-benar mencerminkan nilai rata-rata, usia, dan urutan pendaftaran. Kami beruntung karena nilai rata-rata kedua anak saya masih mampu membawa mereka bertahan di SMP yang sesuai harapan mereka.
Perbaikan yang Perlu Dilakukan
Saya yakin tidak semua pendaftar itu mengalami happy ending seperti anak-anak saya. Walaupun sistem PPDB Kota Tangerang secara daring terbukti efektif, efisien, dan transparan, penghitungan skor yang menentukan diterima atau tidaknya seorang siswa masih perlu dioptimalkan. Saya sendiri melihat ada beberapa hal yang dapat diperbaiki.
Pertama, perbaikan di skor zona. Berhubung menyebarkan lokasi sekolah lebih merata butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit, penentuan skor zona perlu dimodifikasi agar tidak ada penumpukan siswa dengan skor zona 2. Ada yang mengusulkan agar kelurahan-kelurahan yang tidak memiliki SMP dipertimbangkan untuk "didekatkan" dengan sekolah tertentu sehingga skor zonanya meningkat untuk sekolah tersebut.
Kedua, pembobotan faktor penghitungan skor. Pembobotan juga dapat dijadikan alternatif. Faktor-faktor di atas jangan dijadikan urutan prioritas, tapi masing-masing memiliki bobot untuk menentukan skor total. Model penghitungannya tentu tidak sesederhana yang dilakukan saat ini (seperti saya jelaskan di atas), tapi hasilnya mungkin akan lebih adil. Dengan bobot, skor zona tetap dapat meningkatkan daya saing seorang siswa, tapi tidak terlalu dominan seperti saat ini.
Menurut saya, kedua hal itu yang penting untuk diperhatikan. Sistemnya sendiri tidak hanya efektif, efisien, dan transparan, tapi juga sudah cukup stabil. Saya sendiri tidak merasakan kendala yang berarti selama saya menggunakan sistem tersebut bersama anak-anak saya. Rasa waswas justru timbul saat saya melihat hasilnya. Tentu disayangkan bila sistem yang layak pakai justru memberikan keluaran atau hasil yang mengecewakan.