Judul tulisan ini seolah-olah menggambarkan bahwa tulisan ini adalah mengenai seorang pahlawan super (super hero) bernama Coraline. Namun demikian, saya yakin setiap penggemar novel karya Neil Gaiman tahu persis siapa yang saya maksud dengan Coraline. Walaupun begitu, saya tidak bermaksud menulis tentang novel Coraline. Yang saya maksud dengan "amazing" adalah film Coraline yang merupakan adaptasi dari novel tersebut.
Coraline merupakan film dengan cerita yang sangat menarik. Ceritanya memiliki tema yang terkait dengan keluarga; sebuah tema yang senantiasa menarik perhatian saya. Film Coraline bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Coraline Jones yang menjauh dari ayah dan ibunya karena ayah dan ibunya dianggap tidak terlalu peduli kepada dirinya. Pada akhirnya dia menemukan ayah dan ibu baru yang identik dengan ayah dan ibunya yang asli. Lebih tepatnya Coraline menemukan dunia paralel yang berisi rumahnya, ayah ibunya, dan tetangga-tetangganya. Perbedaannya adalah dunia paralel yang ditemukan Coraline ini jauh lebih menyenangkan.
Kunjungan pertama Coraline memang mengejutkan. Apalagi bila setiap makhluk hidup (bukan hanya manusia) di dunia paralel itu memiliki mata berupa kancing baju. Akan tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Coraline tidak terlihat terganggu sama sekali dengan semua itu. Dia tidak terlihat memiliki masalah apa pun menatap kancing-kancing baju itu. Bahkan akhirnya dia memutuskan bahwa dunia paralel itu lebih menyenangkan ketimbang dunia yang sebenarnya.
Terus terang film itu mengingatkan saya agar lebih berhati-hati dalam bersikap untuk menjaga perasaan anak-anak saya. Agak menyedihkan juga melihat seorang anak lebih memilih orang tua dengan kancing baju sebagai mata mereka ketimbang orang tua anak itu sendiri. Semoga saja hal itu tidak perlu dialami oleh anak-anak saya kelak.
Kembali ke Coraline. Selepas masa-masa menyenangkan itu akhirnya Coraline dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Coraline harus memilih salah satu dari kedua dunia itu. Dunia nyata dengan ayah ibunya yang asli, yang jelas-jelas merupakan dunia yang membosankan dan tidak menyenangkan, atau dunia paralel yang merupakan dunia yang dia impikan selama ini.
Pilihannya memang sulit, tapi akhirnya Coraline memutuskan untuk kembali ke dunia nyata yang hambar bersama kedua orang tuanya. Akan tetapi, kepulangannya justru membawa dia ke dalam kondisi yang lebih sulit. Dunia paralel itu rupanya tidak pernah berniat melepaskan Coraline. Pada saat itu, Coraline justru dihadapkan kepada kondisi yang lebih sulit lagi. Untuk kelanjutannya saya persilakan untuk melihat sendiri film Coraline ini.
Bagi saya pribadi, hal yang paling menarik dari jalan cerita film Coraline adalah perubahan hati Coraline yang dimulai dari tidak menyukai hidupnya sampai akhirnya dapat kembali mencintai hidupnya. Coraline yang pada awalnya tidak masalah meninggalkan dunianya justru pada akhirnya dipaksa untuk berjuang mempertahankan dunianya itu. Pada akhirnya Coraline pun dapat menghargai setiap orang yang ada di sekelilingnya walaupun setiap orang itu memiliki keterbatasannya masing-masing.
Coraline adalah sebuah film keluarga yang menggugah; sama halnya dengan film Up.
Senin, 12 Juli 2010
Jumat, 09 Juli 2010
Terlambat Dewasa (3)
Semakin kering segumpal tanah liat, semakin sulit tanah liat itu dibentuk. Hal yang sama berlaku juga untuk manusia. Semakin tua seseorang, semakin sulit baginya untuk belajar dan berubah. Kita semua tahu bahwa yang proses "menjadi dewasa" itu merupakan rangkaian perubahan yang harus dilalui seseorang dalam hidupnya. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, semakin sulit bagi diri orang itu untuk menjadi dewasa.
Bila seseorang sudah sebegitu sulitnya berubah menuju kedewasaan, maka orang itu sudah -atau sedang- memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Pada tahap ini, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk menolak setiap hal yang memaksanya -atau mengharapkannya- untuk berubah. Semakin besar tekanan untuk berubah, semakin besar pula penolakan yang diberikan orang itu.
Kondisi seperti ini dapat kita lihat dalam masyarakat. Contohnya seorang ayah yang hanya tahu bagaimana cara mencari uang dan bersenang-senang. Ayah seperti ini punya kecenderungan untuk mengajak anak-anaknya bersenang-senang dengan caranya sendiri. Cara bersenang-senang si Ayah ini mungkin saja tidak aman, tidak sehat, atau membawa dampak buruk terhadap anak-anaknya. Istrinya (si Ibu) tentu berharap si Ayah dapat merubah caranya bermain dengan anak-anaknya. Bila si Ayah ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa", maka semua anjuran dari si Ibu akan mental begitu saja.
Contoh lain adalah seorang pria yang sudah bekerja namun belum menikah. Pria yang sudah bekerja kemungkinan memiliki rasa kemandirian yang sangat tinggi. Kadang rasa kemandirian ini begitu tinggi sampai-sampai pria ini tidak lagi peduli apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya. Yang dia pedulikan hanyalah hal-hal yang penting bagi dirinya sendiri saja. Dia akan peduli apa kata atasannya karena dia ingin promosi, tapi dia tidak akan peduli apa kata orang tuanya karena dia merasa orang tuanya tidak bisa lagi mengatur dia. Dia akan peduli dengan apa yang dikatakan teman dekatnya, tapi tidak tidak akan peduli apa kata saudara-saudaranya karena dia merasa saudaranya tidak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Pria seperti ini bisa jadi memiliki halusinasi bahwa dirinya mapan, toleran, dan bertanggung jawab. Sementara kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri.
Masih ada banyak contoh lain yang bisa saya paparkan, tapi saya yakin setiap orang bisa menemukan contohnya sendiri; baik di orang lain maupun di dalam dirinya sendiri. Contoh di atas merupakan ilustrasi yang saya berikan hanya dalam tulisan ini. Saya tidak ingin mengatakan bahwa contoh-contoh di atas merupakan gambaran umum seorang ayah atau seorang pria bujangan yang sudah bekerja.
Kembali kepada kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini adalah kondisi yang perlu dihindari oleh setiap orang. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, "terlambat dewasa" itu tidak bermasalah asalkan tidak sampai memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Orang yang "terlambat dewasa" bukanlah orang yang tidak bisa dewasa. Orang seperti ini hanya membutuhkan waktu lebih lama untuk menjalani proses menuju kedewasaan. Sementara orang yang ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa" dapat dikatakan berhenti untuk berubah menjadi dewasa. Kalau pun orang seperti ini masih memiliki keinginan untuk berubah, besaran keinginannya mungkin sangat kecil sampai efeknya terhadap perubahan dirinya dapat dikatakan tidak ada.
Orang tua yang sikapnya menyerupai anak balita atau remaja adalah bukti bahwa kondisi "tidak pernah dewasa" ini nyata. Setiap orang bisa mengalami tahap "terlambat dewasa" sampai terjerumus ke dalam kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini perlu dihindari karena kedewasaan merupakan hal yang diperlukan oleh diri seseorang dan masyarakat pada umumnya untuk bergerak ke arah kehidupan yang lebih baik. Tentunya tidak akan menyenangkan bagi kita semua bila nantinya pemimpin-pemimpin di negeri ini adalah sekumpulan orang yang berpikir dan bertingkah laku seperti anak kemarin sore.
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/kVgVidCT/TerlambatDewasa.html
Bila seseorang sudah sebegitu sulitnya berubah menuju kedewasaan, maka orang itu sudah -atau sedang- memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Pada tahap ini, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk menolak setiap hal yang memaksanya -atau mengharapkannya- untuk berubah. Semakin besar tekanan untuk berubah, semakin besar pula penolakan yang diberikan orang itu.
Kondisi seperti ini dapat kita lihat dalam masyarakat. Contohnya seorang ayah yang hanya tahu bagaimana cara mencari uang dan bersenang-senang. Ayah seperti ini punya kecenderungan untuk mengajak anak-anaknya bersenang-senang dengan caranya sendiri. Cara bersenang-senang si Ayah ini mungkin saja tidak aman, tidak sehat, atau membawa dampak buruk terhadap anak-anaknya. Istrinya (si Ibu) tentu berharap si Ayah dapat merubah caranya bermain dengan anak-anaknya. Bila si Ayah ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa", maka semua anjuran dari si Ibu akan mental begitu saja.
Contoh lain adalah seorang pria yang sudah bekerja namun belum menikah. Pria yang sudah bekerja kemungkinan memiliki rasa kemandirian yang sangat tinggi. Kadang rasa kemandirian ini begitu tinggi sampai-sampai pria ini tidak lagi peduli apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya. Yang dia pedulikan hanyalah hal-hal yang penting bagi dirinya sendiri saja. Dia akan peduli apa kata atasannya karena dia ingin promosi, tapi dia tidak akan peduli apa kata orang tuanya karena dia merasa orang tuanya tidak bisa lagi mengatur dia. Dia akan peduli dengan apa yang dikatakan teman dekatnya, tapi tidak tidak akan peduli apa kata saudara-saudaranya karena dia merasa saudaranya tidak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Pria seperti ini bisa jadi memiliki halusinasi bahwa dirinya mapan, toleran, dan bertanggung jawab. Sementara kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri.
Masih ada banyak contoh lain yang bisa saya paparkan, tapi saya yakin setiap orang bisa menemukan contohnya sendiri; baik di orang lain maupun di dalam dirinya sendiri. Contoh di atas merupakan ilustrasi yang saya berikan hanya dalam tulisan ini. Saya tidak ingin mengatakan bahwa contoh-contoh di atas merupakan gambaran umum seorang ayah atau seorang pria bujangan yang sudah bekerja.
Kembali kepada kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini adalah kondisi yang perlu dihindari oleh setiap orang. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, "terlambat dewasa" itu tidak bermasalah asalkan tidak sampai memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Orang yang "terlambat dewasa" bukanlah orang yang tidak bisa dewasa. Orang seperti ini hanya membutuhkan waktu lebih lama untuk menjalani proses menuju kedewasaan. Sementara orang yang ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa" dapat dikatakan berhenti untuk berubah menjadi dewasa. Kalau pun orang seperti ini masih memiliki keinginan untuk berubah, besaran keinginannya mungkin sangat kecil sampai efeknya terhadap perubahan dirinya dapat dikatakan tidak ada.
Orang tua yang sikapnya menyerupai anak balita atau remaja adalah bukti bahwa kondisi "tidak pernah dewasa" ini nyata. Setiap orang bisa mengalami tahap "terlambat dewasa" sampai terjerumus ke dalam kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini perlu dihindari karena kedewasaan merupakan hal yang diperlukan oleh diri seseorang dan masyarakat pada umumnya untuk bergerak ke arah kehidupan yang lebih baik. Tentunya tidak akan menyenangkan bagi kita semua bila nantinya pemimpin-pemimpin di negeri ini adalah sekumpulan orang yang berpikir dan bertingkah laku seperti anak kemarin sore.
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/kVgVidCT/TerlambatDewasa.html
Kamis, 08 Juli 2010
Terlambat Dewasa (2)
Batas waktu untuk menjadi dewasa adalah hal yang sangat relatif. Walaupun begitu, masyarakat sudah mengambil perannya untuk menentukan batas waktu ini. Masyarakat pada umumnya menilai bahwa waktunya seseorang untuk menjadi dewasa antara lain saat orang itu sudah memasuki dunia kerja atau saat orang itu sudah memasuki usia menikah. Sementara besaran usia dewasa yang pasti masih bersifat relatif.
Terlambat atau tidaknya seseorang untuk menjadi dewasa memang seyogyanya dilihat dari besarnya tanggung jawab yang sudah seharusnya dia emban. Saat seseorang sudah harus mengemban tanggung jawab seberat 100 kg, maka orang itu dapat dikatakan terlambat dewasa bila dia memilih untuk mengemban hanya 10 kg saja atau bahkan melarikan diri dari tanggung jawab. Cara ini pun masih bersifat relatif karena untuk menentukan besarnya tanggung jawab yang SEHARUSNYA diemban seseorang itu pun bukan masalah mudah.
Memang tidak mudah menentukan apakah seseorang itu terlambat dewasa atau tidak sebab masalah ini umumnya bersifat subjektif. Seseorang menjadi terlambat dewasa kemungkinan besar karena orang-orang di sekitar dia menganggapnya seperti itu. Kata-kata seperti "Kamu kok masih bertingkah seperti anak kecil saja?!" atau "Kenapa kamu tidak pernah bisa bertanggung jawab dengan baik?!" merupakan tanda-tanda terlambatnya seseorang menjadi dewasa. Penilaian-penilaian ini tentunya sangat subjektif terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Terlepas dari itu, masalah yang sebenarnya bukan ada pada kata "terlambat dewasa". Masalah yang sebenarnya justru ada pada dampak keterlambatan ini, yaitu saat seseorang menjadi "tidak pernah dewasa". Seseorang yang masuk ke dalam tahap "terlambat dewasa" itu sangat dimungkinkan untuk masuk ke dalam tahap "tidak pernah dewasa". Hal ini terkait erat dengan sifat alami manusia dalam proses belajar dan berubah.
Seperti kita ketahui bersama, usia seseorang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Kemampuan belajar ini mencakup kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang baru dan menerapkan hasil belajarnya itu ke dalam hidupnya. Kemampuan belajar ini tidak terbatas pada pendidikan yang bersifat formal saja, tapi meluas kepada segala sesuatu yang dipelajari seseorang dalam hidupnya untuk kemudian membantunya membentuk sikap dan kepribadiannya sendiri.
Bersambung ...
Terlambat atau tidaknya seseorang untuk menjadi dewasa memang seyogyanya dilihat dari besarnya tanggung jawab yang sudah seharusnya dia emban. Saat seseorang sudah harus mengemban tanggung jawab seberat 100 kg, maka orang itu dapat dikatakan terlambat dewasa bila dia memilih untuk mengemban hanya 10 kg saja atau bahkan melarikan diri dari tanggung jawab. Cara ini pun masih bersifat relatif karena untuk menentukan besarnya tanggung jawab yang SEHARUSNYA diemban seseorang itu pun bukan masalah mudah.
Memang tidak mudah menentukan apakah seseorang itu terlambat dewasa atau tidak sebab masalah ini umumnya bersifat subjektif. Seseorang menjadi terlambat dewasa kemungkinan besar karena orang-orang di sekitar dia menganggapnya seperti itu. Kata-kata seperti "Kamu kok masih bertingkah seperti anak kecil saja?!" atau "Kenapa kamu tidak pernah bisa bertanggung jawab dengan baik?!" merupakan tanda-tanda terlambatnya seseorang menjadi dewasa. Penilaian-penilaian ini tentunya sangat subjektif terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Terlepas dari itu, masalah yang sebenarnya bukan ada pada kata "terlambat dewasa". Masalah yang sebenarnya justru ada pada dampak keterlambatan ini, yaitu saat seseorang menjadi "tidak pernah dewasa". Seseorang yang masuk ke dalam tahap "terlambat dewasa" itu sangat dimungkinkan untuk masuk ke dalam tahap "tidak pernah dewasa". Hal ini terkait erat dengan sifat alami manusia dalam proses belajar dan berubah.
Seperti kita ketahui bersama, usia seseorang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Kemampuan belajar ini mencakup kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang baru dan menerapkan hasil belajarnya itu ke dalam hidupnya. Kemampuan belajar ini tidak terbatas pada pendidikan yang bersifat formal saja, tapi meluas kepada segala sesuatu yang dipelajari seseorang dalam hidupnya untuk kemudian membantunya membentuk sikap dan kepribadiannya sendiri.
Bersambung ...
Rabu, 07 Juli 2010
Terlambat Dewasa (1)
Menjadi dewasa adalah sebuah proses berkesinambungan yang membutuhkan waktu lama. Saya bahkan berani mengatakan bahwa proses untuk menjadi dewasa ini adalah proses sepanjang masa. Proses menjadi dewasa yang dilalui seseorang hanya akan berhenti saat orang tersebut meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena grafik kedewasaan seseorang tidak stabil begitu saja. Setiap orang yang BERUBAH menjadi dewasa harus tetap berusaha untuk MEMPERTAHANKAN kedewasaannya. Proses mempertahankan kedewasaan ini yang menjadi tugas seumur hidup setiap orang.
Istilah “terlambat dewasa” yang menjadi judul tulisan ini lebih banyak berkaitan dengan bagian pertama dari proses menjadi dewasa yaitu BERUBAH. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti mengalami perubahan ini. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti mengalami proses untuk menjadi dewasa. Hanya saja kecepatan proses menjadi dewasa untuk masing-masing individu itu tidak sama.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Tingkat pendidikan seseorang merupakan salah satu faktor yang signifikan. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin terbuka pikirannya. Alhasil semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin matang pola pikirnya. Kematangan pola pikir ini menentukan tingkat kedewasaan seseorang.
Kondisi ekonomi seseorang pun dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan. Orang yang hidup dengan berbagai keterbatasan umumnya lebih mandiri ketimbang orang yang terbiasa hidup mewah. Hal ini dikarenakan orang yang terbiasa hidup mewah itu juga terbiasa dilayani. Pada umumnya sulit bagi seseorang yang terbiasa dilayani untuk tidak bergantung pada orang lain.
Pernikahan pun merupakan salah satu gerbang menuju tingkat kedewasaan yang lebih tinggi. Dengan menikah, setiap orang diharuskan bergerak ke arah keselerasan dengan pasangannya. Untuk melakukan hal ini tentunya diperlukan pengorbanan. Sifat egois harus dikendalikan dengan baik untuk menjaga keutuhan pernikahan dan sifat mengalah pun perlu dilestarikan. Proses mengendalikan sifat egois dan melestarikan sifat mengalah itu sendiri merupakan langkah-langkah menuju kedewasaan.
Ada banyak hal lain yang dapat mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Bila ada sesuatu yang dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, cara seseorang bersikap, dan cara seseorang bertingkah, maka sesuatu itu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan orang itu. Faktor-faktor ini tentunya tidak sama bagi setiap orang. Kalaupun ada yang sama, besaran pengaruhnya akan berbeda untuk masing-masing individu.
Kadang ada orang lulusan S1 yang tidak lebih dewasa dibandingkan orang lulusan SMU. Kadang ada orang yang hidup mewah namun tetap bisa mengendalikan dirinya untuk menjadi mandiri. Kadang ada orang yang menikah tapi pernikahannya tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap sikap dan tingkah lakunya.
Kecepatan seseorang untuk menjadi dewasa memang berbeda-beda. Ini yang menjadi dasar mengapa ada istilah "terlambat dewasa". Perbedaan kecepatan ini yang membuat pencapaian kedewasaan setiap orang berbeda bila diukur pada usia yang sama. Ada orang yang di usia 22 tahun sudah berani mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ada orang yang di usia 28 tahun masih saja ingin hidup sebebas-bebasnya tanpa ada tanggung jawab.
Orang berusia 28 tahun pada ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh orang yang terlambat dewasa. Akan tetapi, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa 28 tahun itu sebagai tolok ukur keterlambatan. Definisi "terlambat" itu sendiri sangat bergantung pada definisi "tepat waktu". Kita perlu menentukan terlebih dahulu batas waktu untuk menjadi dewasa sebelum mengatakan bahwa seseorang terlambat dewasa.
Bersambung ...
Istilah “terlambat dewasa” yang menjadi judul tulisan ini lebih banyak berkaitan dengan bagian pertama dari proses menjadi dewasa yaitu BERUBAH. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti mengalami perubahan ini. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti mengalami proses untuk menjadi dewasa. Hanya saja kecepatan proses menjadi dewasa untuk masing-masing individu itu tidak sama.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Tingkat pendidikan seseorang merupakan salah satu faktor yang signifikan. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin terbuka pikirannya. Alhasil semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin matang pola pikirnya. Kematangan pola pikir ini menentukan tingkat kedewasaan seseorang.
Kondisi ekonomi seseorang pun dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan. Orang yang hidup dengan berbagai keterbatasan umumnya lebih mandiri ketimbang orang yang terbiasa hidup mewah. Hal ini dikarenakan orang yang terbiasa hidup mewah itu juga terbiasa dilayani. Pada umumnya sulit bagi seseorang yang terbiasa dilayani untuk tidak bergantung pada orang lain.
Pernikahan pun merupakan salah satu gerbang menuju tingkat kedewasaan yang lebih tinggi. Dengan menikah, setiap orang diharuskan bergerak ke arah keselerasan dengan pasangannya. Untuk melakukan hal ini tentunya diperlukan pengorbanan. Sifat egois harus dikendalikan dengan baik untuk menjaga keutuhan pernikahan dan sifat mengalah pun perlu dilestarikan. Proses mengendalikan sifat egois dan melestarikan sifat mengalah itu sendiri merupakan langkah-langkah menuju kedewasaan.
Ada banyak hal lain yang dapat mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Bila ada sesuatu yang dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, cara seseorang bersikap, dan cara seseorang bertingkah, maka sesuatu itu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan orang itu. Faktor-faktor ini tentunya tidak sama bagi setiap orang. Kalaupun ada yang sama, besaran pengaruhnya akan berbeda untuk masing-masing individu.
Kadang ada orang lulusan S1 yang tidak lebih dewasa dibandingkan orang lulusan SMU. Kadang ada orang yang hidup mewah namun tetap bisa mengendalikan dirinya untuk menjadi mandiri. Kadang ada orang yang menikah tapi pernikahannya tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap sikap dan tingkah lakunya.
Kecepatan seseorang untuk menjadi dewasa memang berbeda-beda. Ini yang menjadi dasar mengapa ada istilah "terlambat dewasa". Perbedaan kecepatan ini yang membuat pencapaian kedewasaan setiap orang berbeda bila diukur pada usia yang sama. Ada orang yang di usia 22 tahun sudah berani mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ada orang yang di usia 28 tahun masih saja ingin hidup sebebas-bebasnya tanpa ada tanggung jawab.
Orang berusia 28 tahun pada ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh orang yang terlambat dewasa. Akan tetapi, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa 28 tahun itu sebagai tolok ukur keterlambatan. Definisi "terlambat" itu sendiri sangat bergantung pada definisi "tepat waktu". Kita perlu menentukan terlebih dahulu batas waktu untuk menjadi dewasa sebelum mengatakan bahwa seseorang terlambat dewasa.
Bersambung ...
Langganan:
Postingan (Atom)