Sebagaimana orang tua pada umumnya, interaksi saya dengan kedua anak saya kadang bersifat satu arah. Misalnya saat memperingatkan anak-anak saat mereka akan/sedang melakukan sesuatu yang berbahaya atau saat memberi "ceramah" tentang mana yang baik dan buruk.
Seiring banyaknya interaksi saya dengan Raito dan Aidan (kedua anak saya), semakin banyak pula variasi kata-kata yang saya gunakan. Alhamdulillah perkembangan kosa kata anak-anak pun berjalan lancar.
Jadi seiring waktu komunikasi dengan anak-anak pun semakin mudah (walau dalam beberapa kasus terasa semakin sulit).
Variasi yang saya maksud di atas tentunya sulit untuk saya beberkan di sini. Jadi sesuai judul tulisan, saya hanya akan membandingkan respon anak-anak saya terhadap kata-kata yang negatif dan kata-kata yang
positif.
Contoh kata-kata yang negatif antara lain yang mengandung kata "jangan", "tidak", atau "bukan". Kata-kata negatif ini lebih sulit dipahami anak-anak saya. Misalnya "jangan memukul" sepertinya lebih terdengar seperti suruhan untuk memukul. Itu karena anak-anak saya seolah-olah hanya memperhatikan kata "memukul" ketimbang keseluruhan kata-kata "jangan memukul".
Sampai saat ini (saat anak-anak saya berumur lebih dari 31 bulan), kondisi di atas masih berlaku. Oleh karena itu, saya senantiasa mencari padanan positif dari kata-kata negatif tersebut. Tujuannya adalah agar kata-kata negatif (yang umumnya berupa larangan) itu berubah menjadi kalimat yang positif (yang umumnya berupa himbauan).
Contohnya "jangan main di sana" diubah menjadi "main di sini". Larangan seperti "tidak boleh main X" diubah menjadi "main Y saja". "Tidak boleh ikut" saya ubah menjadi "ditinggal". "Jangan berisik" saya ubah menjadi "suaranya pelan-pelan ya". "Jangan ke tengah jalan" saya ubah menjadi "di pinggir jalan saja".
Contoh yang bisa saya berikan masih ada lebih banyak lagi, tapi intinya sama. Merubah kata-kata negatif menjadi kata-kata positif itu memudahkan anak-anak saya untuk mengerti sembari mempertahankan maksud
saya sebagai orang tua.
Dengan mengatakan "main di sini", sama saja dengan mengatakan "jangan main di sana". Bedanya anak-anak saya lebih mudah menangkap maksud dari "main di sini". Dengan mengatakan "di pinggir jalan saja", sama
saja dengan mengatakan "jangan ke tengah jalan". Bedanya anak-anak saya lebih mudah menangkap maksud dari "di pinggir jalan saja". Begitu seterusnya.
Kendala besar dalam menerapkan metode pendidikan anak tanpa kalimat negasi ini adalah menemukan padanan positifnya. Hal ini saya alami sendiri. Contohnya antara lain "jangan memukul" dan "jangan marah".
Saya sempat kesulitan menemukan padanan positifnya sampai akhirnya saya memilih untuk tidak menggunakan kata-kata. Saat saya memergoki anak-anak saya memukul, saya tahan tangannya dan saya ajak bicara. Saat saya memergoki anak-anak saya marah, saya rangkul dan saya ajak bicara.
Menggunakan larangan itu lumrah karena hidup dalam lingkungan sosial tidak mungkin luput dari larangan. Dilarang dan melarang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, wajar saja bila
orang tua pun banyak mengeluarkan larangan dalam mendidik anaknya.
Walaupun begitu, pola pendidikan ini dapat diubah. Yang negatif dapat diubah menjadi positif. Larangan pun dapat diubah menjadi himbauan. Perlu kita ingat bahwa menuruti himbauan itu lebih langgeng ketimbang
menuruti larangan. Bukan hanya karena manusia punya kecenderungan untuk memberontak bila dilarang, tapi juga karena himbauan itu menumbuhkan kesadaran.
Sebelum saya mengakhiri tulisan saya ini, ada beberapa hal yang perlu saya tegaskan kembali. Tulisan di atas adalah hasil pengamatan saya selama saya mendidik anak-anak saya hingga berumur 31 bulan. Hal yang
sama mungkin dapat dirasakan oleh orang tua yang lain dari anaknya masing-masing, tapi saya tidak berani menjaminnya.
Seiring banyaknya interaksi saya dengan Raito dan Aidan (kedua anak saya), semakin banyak pula variasi kata-kata yang saya gunakan. Alhamdulillah perkembangan kosa kata anak-anak pun berjalan lancar.
Jadi seiring waktu komunikasi dengan anak-anak pun semakin mudah (walau dalam beberapa kasus terasa semakin sulit).
Variasi yang saya maksud di atas tentunya sulit untuk saya beberkan di sini. Jadi sesuai judul tulisan, saya hanya akan membandingkan respon anak-anak saya terhadap kata-kata yang negatif dan kata-kata yang
positif.
Contoh kata-kata yang negatif antara lain yang mengandung kata "jangan", "tidak", atau "bukan". Kata-kata negatif ini lebih sulit dipahami anak-anak saya. Misalnya "jangan memukul" sepertinya lebih terdengar seperti suruhan untuk memukul. Itu karena anak-anak saya seolah-olah hanya memperhatikan kata "memukul" ketimbang keseluruhan kata-kata "jangan memukul".
Sampai saat ini (saat anak-anak saya berumur lebih dari 31 bulan), kondisi di atas masih berlaku. Oleh karena itu, saya senantiasa mencari padanan positif dari kata-kata negatif tersebut. Tujuannya adalah agar kata-kata negatif (yang umumnya berupa larangan) itu berubah menjadi kalimat yang positif (yang umumnya berupa himbauan).
Contohnya "jangan main di sana" diubah menjadi "main di sini". Larangan seperti "tidak boleh main X" diubah menjadi "main Y saja". "Tidak boleh ikut" saya ubah menjadi "ditinggal". "Jangan berisik" saya ubah menjadi "suaranya pelan-pelan ya". "Jangan ke tengah jalan" saya ubah menjadi "di pinggir jalan saja".
Contoh yang bisa saya berikan masih ada lebih banyak lagi, tapi intinya sama. Merubah kata-kata negatif menjadi kata-kata positif itu memudahkan anak-anak saya untuk mengerti sembari mempertahankan maksud
saya sebagai orang tua.
Dengan mengatakan "main di sini", sama saja dengan mengatakan "jangan main di sana". Bedanya anak-anak saya lebih mudah menangkap maksud dari "main di sini". Dengan mengatakan "di pinggir jalan saja", sama
saja dengan mengatakan "jangan ke tengah jalan". Bedanya anak-anak saya lebih mudah menangkap maksud dari "di pinggir jalan saja". Begitu seterusnya.
Kendala besar dalam menerapkan metode pendidikan anak tanpa kalimat negasi ini adalah menemukan padanan positifnya. Hal ini saya alami sendiri. Contohnya antara lain "jangan memukul" dan "jangan marah".
Saya sempat kesulitan menemukan padanan positifnya sampai akhirnya saya memilih untuk tidak menggunakan kata-kata. Saat saya memergoki anak-anak saya memukul, saya tahan tangannya dan saya ajak bicara. Saat saya memergoki anak-anak saya marah, saya rangkul dan saya ajak bicara.
Menggunakan larangan itu lumrah karena hidup dalam lingkungan sosial tidak mungkin luput dari larangan. Dilarang dan melarang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, wajar saja bila
orang tua pun banyak mengeluarkan larangan dalam mendidik anaknya.
Walaupun begitu, pola pendidikan ini dapat diubah. Yang negatif dapat diubah menjadi positif. Larangan pun dapat diubah menjadi himbauan. Perlu kita ingat bahwa menuruti himbauan itu lebih langgeng ketimbang
menuruti larangan. Bukan hanya karena manusia punya kecenderungan untuk memberontak bila dilarang, tapi juga karena himbauan itu menumbuhkan kesadaran.
Sebelum saya mengakhiri tulisan saya ini, ada beberapa hal yang perlu saya tegaskan kembali. Tulisan di atas adalah hasil pengamatan saya selama saya mendidik anak-anak saya hingga berumur 31 bulan. Hal yang
sama mungkin dapat dirasakan oleh orang tua yang lain dari anaknya masing-masing, tapi saya tidak berani menjaminnya.