Meruntuhkan tembok yang sudah terlanjur berdiri membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku untuk "tembok" antara saya dan kedua anak laki-laki saya. Butuh lebih dari ngobrol santai sambil jalan ke masjid untuk benar-benar merobohkan tembok itu.
Jalan panjang untuk merobohkan tembok itu saya mulai sejak tahun 2018. Saat itu, setelah bertahun-tahun berkutat dengan Agile, saya mulai menerapkan hal-hal positif dalam Agile ke dalam cara saya mendidik anak. Penerapannya mencakup teori (fondasi) sampai praktik yang relevan.
Sebagai fondasinya, saya menyusun Agile Parenting Manifesto saya sendiri. Manifesto itu menyontek isi Manifesto Agile yang asli, yaitu Manifesto for Agile Software Development. Saya ubah isinya agar Manifesto yang saya buat sesuai dengan konteks mendidik dan membesarkan anak.
Manifesto untuk Agile Parenting yang saya susun dapat dibaca di sini: https://asyafrudin.blogspot.com/2018/07/mendidik-anak-dengan-agileparenting.html
Inti dari Manifesto itu adalah mengutamakan kebahagiaan semua anggota keluarga, baik anak-anak maupun orang tua. Kebahagiaan didefinisikan bersama-sama melalui komunikasi yang positif dan terbuka. Untuk memaksimalkan keterbukaan, pastikan ada toleransi dan fleksibilitas.
Sejak saat itu, setiap praktik parenting yang saya lakukan terus mengacu ke Manifesto itu. Mulai dari membiasakan family meeting, lebih toleran terhadap masalah, sampai membuat kesepakatan internal rumah tangga, dasarnya adalah Manifesto itu. Pola parenting saya berubah drastis.
Perlahan-lahan kedua anak laki-laki saya lebih berani membuka diri. Frekuensi mereka bercerita, termasuk bercerita soal masalah, ikut meningkat. Masalah tetap ada, tapi lebih sedikit yang disembunyikan. Akibatnya kuantitas kebohongan dan silat lidah mereka juga menurun.
Upaya saya untuk menahan diri dari marah juga memberikan hasil positif. Semakin sedikit kebohongan, semakin mudah bagi saya untuk fokus pada masalah yang ada. Dengan begitu, saya bisa lebih bijak menghadapi masalah di tengah keluarga, khususnya yang terkait dengan anak-anak.
Setelah 5 tahun lebih menerapkan Agile Parenting, hasilnya memang positif. Anak-anak saya sendiri bahkan mengaku, lewat obrolan kami, bahwa mereka berdua merasa lebih nyaman berinteraksi dengan saya. Saya juga merasa lebih nyaman berinteraksi dengan mereka berdua.
Sayangnya sisa-sisa tembok yang runtuh itu masih ada. Kebohongan masih terdeteksi sesekali waktu. "Pemberontakan" yang tersembunyi juga masih saya pergoki walaupun saya berkali-kali minta mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Namun, trennya tetap ke arah yang lebih baik.
Hal yang menarik adalah kecepatan runtuhnya tembok itu berbeda di antara kedua anak laki-laki saya. Salah satu dari mereka kelihatannya memiliki luka yang lebih dalam di masa kecilnya. Alhasil proses untuk menjadi lebih terbuka juga membutuhkan waktu yang lebih lama.
Hal itu membuat saya menyadari bahwa anak-anak butuh pendekatan yang personal dan privat. Setiap anak butuh komunikasi dan interaksi yang sesuai dengan kondisi masing-masing dan saya harus merespons hal itu. Mungkin saya bisa bagikan juga ceritanya, tapi tidak di sini.
Satu hal yang pasti, obrolan yang terjadi saat kami bersama-sama pergi shalat berjamaah adalah hasil dari perbaikan komunikasi dan interaksi. Obrolan itu menjadi bagian dari keterbukaan yang kami butuhkan di tengah keluarga kami. Semoga saja hal ini bisa kami pertahankan. Aamiin.
***
Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932699408814080