Sejak pindah lokasi penempatan sementara ke Direktorat TPB (Transformasi Proses Bisnis), aku lebih sering pulang melewati Islamic Village di Karawaci, Tangerang. Hal itu terpaksa aku lakukan karena kuantitas kendaraan umum menuju Kebon Nanas (Tangerang) sangat memprihatinkan. Walaupun jalan pulang ke rumah (di daerah Serpong, Tangerang) dari kantor (di daerah Pancoran, Jakarta) lebih cepat lewat Kebon Nanas, tapi menunggu kendaraan umum menuju Kebon Nanas itu jauh lebih lama dan tak pasti.
Tapi untungnya cerita kali ini bukan tentang betapa melelahkannya perjalanan pulang kantor harianku. Cerita kali ini tentang persaingan antara tukang ojek dan supir angkot (angkutan umum) yang daerah buruannya di sekitar Islamic Village.
Ceritanya bermula saat aku dengan cerobohnya sampai terlalu malam di Islamic Village. Aku tiba di tempat itu sekitar pukul 20:00; waktu yang sangat memungkinkan untuk tidak lagi mendapat angkot. Tukang ojek yang mangkal di sekitar itu pun tahu benar fakta tersebut. Mereka benar-benar blak-blakan menawarkan jasa ojeknya dengan mengatakan bahwa tidak ada angkot lagi yang akan lewat dan mengambil penumpang.
Berhubung pada saat itu aku belum sadar betul akan kondisi di atas, aku tetap konsisten menunggu angkot. Paling tidak aku sadar betul bahwa ojek itu akan menerapkan tarif mahal sekali. Jadi apa pun yang diucapkan oleh para tukang ojek itu tetap aku acuhkan.
Alhamdulillah angkot yang aku tunggu pun datang. Aku bergegas menghampiri dan naik angkot itu. Saat aku naik aku dikejutkan oleh beberapa suara gebrakan keras. Tapi aku tidak peduli karena aku harus segera naik angkot itu. Setelah aku duduk di dalam itu, aku menengok ke arah belakang angkot. Aku melihat seseorang pergi menjauh dari angkot itu. Sepertinya orang itu adalah salah satu tukang ojek yang mangkal di situ. Sepertinya dia marah karena angkot itu mengambil peluang tambahan penghasilannya.
Aku geleng-geleng kepala. Sepertinya hukum rimba masih dipakai di situ. Siapa cepat dia dapat. Supir angkot itu bergerak cepat, dia yang dapat penumpang. Siapa kuat dia berani. Di daerah situ tukang ojek itu merasa kuat. Jadi sepertinya wajar bila salah seorang tukang ojek berani melampiaskan emosinya dengan menggebrak mobil angkot.
Sepanjang perjalanan supir angkot itu mengendarai angkotnya dengan tergesa-gesa. Sepertinya sepanjang jalan itu dia khawatir akan menarik perhatian tukang ojek lain. Bahkan penumpang yang turun pun diminta buru-buru. Yang membuat kesan tergesa-gesa itu jelas adalah saat ada 3 (tiga) orang calon penumpang menunggu untuk naik. Angkot itu jalan terus tak berani berhenti karena para calon penumpang itu menunggu tepat di pangkalan ojek.
Rupanya tidak sedikit orang yang masih berkutat dengan kebutuhan dasar mereka sehingga mereka tidak segan-segan bermain dengan hukum rimba. Kalau kondisi di atas terus-menerus terjadi, perseteruan akbar antara tukang ojek dan supir angkot bisa jadi tak terhindarkan.
Baik tukang ojek maupun supir angkot memperebutkan makanan dari piring yang sama, yaitu ongkos penumpang. Supir angkot melakukan berbagai cara untuk mencari penumpang. Tukang ojek juga melakukan berbagai cara untuk mencari penumpang. Lalu siapa yang harus disalahkan? Tidak ada.
Tidak ada yang bisa disalahkan kecuali memang sudah ada perjanjian antara para tukang ojek dan para supir angkot. Kalau sudah disepakati bahwa di atas pukul 20:00 angkot tidak boleh beroperasi, maka supir angkot yang aku ceritakan di atas patut disalahkan. Kalau tidak ada kesepakatan seperti itu, kita kembali ke kondisi rimba.
Sulit memang menyikapi orang-orang yang berusaha mempertahankan hidupnya dengan segala cara. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang tidak peduli tata krama. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang tidak bersikap santun. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang mendahulukan emosi dan kekerasan. Tapi orang-orang itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena hati dan pikiran mereka sudah terlalu letih memikirkan kebutuhan primer mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar