Saat ini uang sejumlah 500 Rupiah mungkin tidak terlalu berarti. Sebuah gorengan yang mungkin hanya sebesar telapak tangan dihargai 500 Rupiah. 500 Rupiah hanya dapat dibelikan 3 butir permen. Aqua kemasan gelas pun harganya 500 Rupiah. Kecil sekali arti uang 500 Rupiah itu.
Tapi tidak semua orang menganggap kecil uang 500 Rupiah itu. Kondektur bus tidak mungkin membiarkan penumpangnya membayar ongkos kurang 500 Rupiah. Penumpang bus pun sebaliknya tidak akan rela bila uang kembalian yang diterima kurang 500 Rupiah. Sekecil apa pun nilai 500 Rupiah itu, 1 juta Rupiah tetap tidak akan menjadi 1 juta Rupiah tanpa kehadiran 500 Rupiah.
Kenaikan tarif tol sebesar 500 Rupiah yang diberlakukan sejak tanggal 28 September 2009 pun disikapi dengan cara yang berbeda. Untuk para pemilik kendaraan pribadi (roda empat atau lebih) tentu tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan ini. Pengeluaran transportasi hariannya mungkin bertambah sebesar beberapa ribu Rupiah saja. Pengaruhnya terhadap pengeluaran bulanan mungkin tidak terlalu signifikan, kecuali yang bersangkutan cukup sering menggunakan tol.
Untuk pengelola kendaraan umum hal ini mungkin merupakan kenaikan yang signifikan. Walau bagaimana pun, mereka tidak akan mau rugi sepeser pun. Mereka akan mencari solusi agar setoran tetap jalan tapi penghasilan tetap tidak berkurang. Mungkin akan terjadi penyesuaian tarif untuk beberapa angkutan umum. Sayangnya saya belum menemukan informasi apa pun mengenai kenaikan tarif ini.
Akan tetapi ada satu bus yang saya tahu pasti mengalami kenaikan tarif. Kebetulan saya adalah pengguna setia bus tersebut. Bus yang saya maksud adalah bus ekonomi P100 jurusan Cikokol (Tangerang)-Senen. Bus ini sehari-hari menggunakan tol Jakarta-Merak. Bus ini melewati 2 (dua) gerbang tol dalam rutenya, yaitu gerbang tol Karang Tengah dan Kebon Jeruk. Tarif tol untuk kendaraan tipe bus P100 mengalami kenaikan 500 Rupiah di kedua gerbang tersebut. Dengan alasan kenaikan tarif tol ini, tarif bus itu pun dinaikan 500 Rupiah dari 2.500 Rupiah menjadi 3.000 Rupiah.
Pertama kali saya mengetahui kenaikan tarif ini, saya langsung curiga ini adalah alasan yang dibuat-buat. Walaupun begitu, saya tidak mau ribut dan membayar tarif 3.000 Rupiah itu. Kenyataannya tidak semua orang menyimpan kekecewaannya. Ada seorang penumpang yang mempertanyakan kenaikan tarif ini, "Masa' tol naek 500 terus semua penumpang juga nambah 500?" Kira-kira begitu celetuk penumpang tersebut.
Argumentasinya masuk akal. Memang sebesar apa kerugian yang ditanggung pengelola bus P100 itu akibat kenaikan tarif tol. 1 kali jalan, 2 kali gerbang tol. Itu artinya bus P100 harus membayar 1.000 Rupiah lebih banyak untuk tol. Dengan hanya membawa 30 penumpang, bus itu sudah mendapatkan tambahan pemasukan 15.000 Rupiah (30 x 50 Rupiah). Itu artinya bus itu mendapat untung 14.000 Rupiah.
Dari kenyataan ini saja penumpang bus sudah merasa dirugikan. Wajar saja kalau orang merasa alasan kenaikan tarif tol itu dibuat-buat. Apalagi di bus itu sama sekali tidak terlihat pengumuman resmi -dalam bentuk apa pun- mengenai perubahan tarif. Sungguh memprihatinkan melihat usaha mencari uang tanpa peduli perasaan orang lain seperti ini.
Seperti inilah kondisi Jakarta. Nilai uang 500 Rupiah mungkin kecil. Sebagian orang mungkin menganggapnya tidak berharga. Akan tetapi tidak sedikit orang yang mau perang urat syaraf hanya untuk mendapatkan uang 500 Rupiah ini. Kondisi sosial di Jakarta memang timpang.
bila masing - masing rakyat indonesia menyumbang 500 rupiah juga bisa mengurangi jumlah hutang luar negeri. :D
BalasHapusBetul. Kalau ada koin untuk Prita, mungkin perlu ada koin untuk membayar hutang luar negeri. Ide yang bagus, Tyo. Kalau terwujud kayaknya seru tuh. :)
BalasHapus