Saat kita memandang kebohongan sebagai sesuatu yang dibenarkan, peluang kita akan memandang remeh kebohongan itu akan meningkat. Namun apabila kita menegaskan bahwa bohong dalam kondisi apa pun adalah perbuatan dosa, kita akan lebih berhati-hati dalam berbohong. Kita pun akan lebih berhati-hati dalam menentukan kondisi terpaksa yang mengharuskan kita berbohong.
Garis batas keterpaksaan ini sayangnya bersifat subjektif. Sulit sekali menemukan panduan yang objektif untuk menentukan apakah sebuah kebohongan itu dilakukan karena terpaksa atau sekedar cari selamat. Perbedaan garis batas keterpaksaan ini yang menjadi dasar adanya istilah "terlalu jujur".
Saya ambil contoh pengalaman pribadi saja. Saya pernah beberapa kali terlambat tiba di kantor. Absensi di kantor masih dilakukan secara manual. Setiap pegawai cukup mengisi buku absen sesuai keyakinan masing-masing; bukan sesuai kenyataan. Menyikapi keterlambatan saya, saya tetap saja mengisi absen sesuai jam kedatangan. Terlambat berapa menit pun, saya isi sesuai kenyataan walaupun saya sadar bahwa pada setiap keterlambatan ada potongan gaji 1,25%.
Suatu kali saya mendengar celetukan seorang rekan kerja. Dengan nada bercanda, rekan saya mengatakan bahwa saya terlalu jujur. Pada saat itu saya hanya tersenyum. Saya tidak terlalu ingat bagaimana saya meresponnya. Satu hal yang pasti, istilah "terlalu jujur" itu menyangkut dalam pikiran saya. Hal itu mungkin candaan, tapi bagi saya kejujuran adalah topik yang harus disikapi dengan serius; asalkan tidak terlalu serius.
Saya berpikir saat celetukan terlalu jujur itu terlontar, saya merasa bahwa kejujuran saya itu dianggap berlebihan atau tidak pada tempatnya. Hal ini jelas membuat saya bingung. Bagian mana dari kejujuran saya yang tidak pada tempatnya? Bagian mana dari kejujuran saya yang berlebihan?
Walaupun begitu, saya sadar bahwa perbedaan pemikiran ini terjadi karena adanya perbedaan garis batas keterpaksaan yang membolehkan kejujuran. Bagi diri saya, memanipulasi jam kedatangan saat terlambat masuk kantor bukanlah sebuah kebohongan yang dapat diampuni. Bagi orang lain mungkin berlaku sebaliknya.
Alasan saya untuk tidak pernah berbohong saat terlambat karena saya tidak pernah menemukan alasan keterpaksaan tersebut. Walaupun alasannya untuk menghindari rapor merah kehadiran atau mencegah terjadinya pemotongan gaji, tetap saja saya tidak merasa terpaksa. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan menghindari pemotongan gaji 1,25%. Itu artinya untuk setiap manipulasi jam kedatangan, saya berhasil menyelamatkan 1,25% potongan gaji. Hal ini sama saja dengan mengatakan bahwa 1,25% tersebut merupakan hasil kebohongan. Na'udzubillaahi min dzaalik.
Contoh yang saya berikan di atas memang contoh kecil. Namun saya rasa justru contoh kecil tersebut menjadi fundamental. Orang pada umumnya lebih peduli pada kebohongan-kebohongan yang besar. Akhirnya orang pun terbiasa melakukan kebohongan-kebohongan yang kecil. Padahal dosa pada hakikatnya adalah dosa. Menghitung besar atau kecilnya dosa sama saja dengan mempertaruhkan nasib kita di akhirat kelak.
Referensi:
- Bohong Putih. 24 September 2008. http://islam-awam.blogspot.com/2008/09/bohong-putih.html; diakses tanggal 26 Oktober 2009.
tidak ada deskripsi yang jelas mengenai kebohongan itu dosa atau tidak, terkadang pada kondisi tertentu kita harus berbohong demi kebaikan orang lain.
BalasHapusMenurut saya, berbohong itu tetap dosa dalam kondisi apa pun. Akan tetapi dosa yang dilakukan dalam keadaan terpaksa itu kemungkinan besar akan diampuni. Begitu aturannya dalam Islam.
BalasHapusPerbedaannya sangat signifikan antara "tidak berdosa" dengan "berdosa tapi diampuni". Dengan "tidak berdosa", orang mungkin akan lebih mudah berbohong. Sementara dengan "berdosa tapi diampuni", orang akan lebih berhati-hati.