*http://cerero.deviantart.com/ |
Rasa ingin membalas di atas itu tidak pandang bulu. Rasa kesal karena dicaci itu pun tidak memandang konteks cacian. Apa pun atribut kita yang dicaci oleh orang lain, hati kita akan "terpanggil" untuk membalas. Contohnya bila agama dan kepercayaan kita yang dicaci oleh orang lain, hati kita pun akan "terpanggil" untuk membalas mencaci agama dan kepercayaan orang yang mencaci kita itu.
Saya pun sama. Setiap kali saya mendengar atau membaca cacian terhadap Islam, amarah langsung muncul di dalam hati. Rasanya saya ingin membalas semua cacian yang dilontarkan terhadap Islam. Rasanya saya ingin melihat para pencaci itu dipukuli dan dibungkam. Rasanya saya ingin memberikan balasan yang lebih pedih bagi orang-orang yang telah mencaci Islam.
Hanya saja, sejauh yang saya tahu, Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah menyarankan untuk membalas cacian dengan cacian. Saya tidak pernah menemukan ayat Al-Qur'an atau hadits yang menghimbau (atau bahkan memerintahkan) setiap Muslim untuk membalas keburukan dengan keburukan. Justru sebaliknya Islam menghimbau setiap Muslim untuk membalas keburukan dengan kebaikan.
Membalas keburukan dengan kebaikan ini dapat kita cermati lewat peristiwa turunnya ayat 199 dari surat Al-A'raaf sebagaimana saya kutip di bawah ini:
“Apa maksud semua ini wahai Jibril?” Tanya Rasul SAW pun ketika turun ayat: “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf: 199). Jibril pun menjawab, “Wahai Rasul Allah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu”.[1]Simak juga cuplikan dari kisah masyhur tentang seorang nenek buta yang konsisten menjelek-jelekan Rasulullah Muhammad SAW yang saya kutip di bawah ini:
Kisah lainnya adalah nenek yahudi buta yang terus menghina dan memfitnah Rasulullah SAW. Rasulullah setiap paginya justru mendatangi Nenek tersebut untuk diberikan suapan makanan, tanpa kata apapun. Setelah Rasulullah wafat, maka Abu Bakar menggantikan beliau. Saat Abu Bakar mulai menyuapinya, sontak pengemis berteriak, “Siapa kamu ? Orang yang biasa menyuapiku setiap pagi apabila Dia dating kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan mulut ini mengunyah”. Abu Bakar tidak bisa menahan air matanya, sambil terisyak dalam tangisnya Beliau mengatakan bahwa memang Beliau bukan orang yang biasanya, dan menyampaikan bahwa orang tersebut adalah Rasulullah SAW yang sering Ia hina. Sampai disini nenek itu terketuk hatinya dan bersayahadat dihadapan Abu Bakar r.a.[2]Dalam surat Al-A'raaf ayat 134 pun Allah SWT berfirman:
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-A'raaf:134)Saya pun sadar kalau pun ada manusia yang paling berhak marah saat Islam dihina, manusia itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah yang dicaci, dihina, disakiti secara fisik, dikucilkan, dan dikejar untuk dibunuh sudah memberikan contoh yang baik kepada kita. Sikap beliau terhadap semua perlakuan buruk itu adalah dengan tetap menahan amarah, menahan rasa benci serta senantiasa berbuat baik dan adil tanpa pandang bulu.
Jelas sudah bahwa kebanggaan saya sebagai seorang Muslim itu ditunjukan bukan dengan marah-marah dan balas mencaci orang yang mencaci Islam. Justru sebagai seorang Muslim yang bangga ini, saya perlu meneladani Rasulullah SAW dan menyikapi cacian terhadap Islam dengan tenang dan bijaksana. Dengan begitu, cacian terhadap Islam justru menjadi sarana untuk menunjukan nilai-nilai baik dalam Islam.
Apalagi di era Internet dan jejaring sosial saat ini, orang-orang bebas mengekspresikan caciannya secara tersembunyi; entah itu di forum-forum daring (online), Facebook, Twitter, atau situs-situs lainnya. Kalau kita emosi dan balas mencaci, bukankah itu berarti kita sudah terjebak di dalam kebodohan? Buat apa kita marah dan mencaci seseorang (atau sesuatu) yang tidak kita kenal orangnya dan bahkan tidak ketahui serius tidaknya? Terjebak dalam masalah seperti ini adalah hal yang bodoh, bukan?
Kita perlu menyikapi setiap cacian terhadap Isalm dengan tenang dan bijaksana. "Tenang dan bijaksana" di sini jelas berbeda dengan "diam saja". Setiap cacian itu juga perlu kita timpali dengan pembelaan yang objektif dan faktual. Belalah kepercayaan yang kita banggakan itu dengan kata-kata yang cerdas tanpa memancing konflik. Walau bagaimana pun, tujuan utama kita membela Islam adalah untuk menegakan kebenaran Islam tanpa harus disibukan dengan usaha untuk menumbangkan yang lain.
Bila ada orang yang menghina Islam, kita tetap perlu counter hinaan itu dengan penjelasan yang baik dan bijaksana. Yang tidak perlu kita lakukan adalah menjelek-jelekan atribut-atribut apa pun yang melekat pada orang tersebut. Dengan begitu kita tetap melaksanakan kewajiban kita untuk membela Islam tanpa perlu terjebak dalam lingkaran setan caci-mencaci.
Mari membela Islam dengan bijak!
--
[1]Membalas Keburukan dengan Kebaikan. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan; diakses tanggal 14 Februari 2012.
[2]Jalan yang Indah, Fitrah Kehidupan... http://js.ugm.ac.id/kolom/ibroh/274-jalan-yang-indah-fitrah-kehidupan.html; diakses tanggal 14 Februari 2012.