Senin, 11 Februari 2013

My Series of Unfortunate Events

Saya yakin semua orang yang hidup di dunia ini, apalagi yang sudah berumur lebih dari 30 tahun seperti saya, tentu pernah mengalami sesuatu yang kita sebut a series of unfortunate events. A series of unfortunate events ini adalah rangkaian "nasib sial" yang kita alami secara bertubi-tubi tanpa ada jeda untuk bernafas dan menenangkan pikiran. Sebuah rangkaian peristiwa seperti yang dialami Calvin di sini:
My series of unfortunate events starts last Tuesday; Tuesday afternoon, to be exact. Selasa sore itu saya mendapat pemberitahuan bahwa saya ditugaskan menjadi peserta Diklat Juggernaut. Diklat Juggernaut ini akan dimulai pada hari Rabu (keesokan harinya) dengan durasi lebih dari 1 (satu) bulan. "Wow!" Mungkin itu reaksi saya saat saya sadar akan terbebas dari rutinitas kantor selama sebulan lebih.

Sayangnya Diklat Juggernaut ini bentrok dengan penugasan yang lain. Satu hari sebelumnya (hari Senin), saya sudah ditunjuk untuk bertugas ke Kota Gotham pada hari Kamis dan Jumat. Berhubung tiket pesawat dan hotel sudah dibelikan atas nama saya, saya pun diminta untuk mengutamakan tugas ke Kota Gotham. Saya terpaksa bolos diklat selama 2 (dua) hari. Begitu keputusan yang diambil di akhir jam kantor pada hari Selasa lalu.

Rabu pagi saya berangkat menuju tempat diklat dengan sikap yang positif. Walaupun saya harus terjebak macet akibat ada truk mogok, tiba di tempat diklat dengan lelah dan penuh peluh (terlambat pula), saya tetap bersikap positif dan berharap diklat belum dimulai. Rupanya Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Persis di lantai ruang kelas tempat saya diklat, lift yang saya tumpangi mati. Waktunya tepok jidat?

Di dalam lift yang mati itu saya mencoba menekan tombol darurat, tombol buka, dan tombol tutup. Gagal. Saya pun lanjut mencoba membuka pintu lift dengan kekuatan bulan... maksud saya, kekuatan lengan saya sendiri. Gagal. Tak lama kemudian terdengar suara dari luar, "terjebak ya, Pak?" Sepertinya salah seorang staf di lantai itu akhirnya menyadari ada orang yang terjebak di dalam lift.

Di dalam lift itu ada 2 (dua) hal yang saya pikirkan. Pertama, bagaimana kalau lift itu jatuh? Pikir saya, 7 (tujuh) lantai sepertinya tidak masalah. Naif, bukan? Harap maklum. Ini pertama kalinya saya terjebak di dalam lift seumur hidup saya; sendirian pula. Kedua, berapa lama saya akan terjebak di dalam lift itu. Film-film tentang sekelompok orang yang terjebak di dalam lift pun mulai melintas di dalam benak saya. Saya pun mulai berpikir saya akan terjebak berjam-jam di dalam lift itu. Untungnya dalam hitungan menit pintu lift berhasil dibuka dan saya pun berhasil keluar. Salah seorang teman saya ada yang nasibnya lebih sial lagi. Dia baru datang setelah lift itu mati. Alhasil dia harus menggunakan tangga untuk naik ke lantai 7.

Lewat dengan insiden-insiden kecil, masalah sebenarnya pun akhirnya muncul. Berhubung saya sudah ditugaskan untuk ikut diklat dan tugas ke Kota Gotham belum resmi hitam di atas putih, tugas ke Kota Gotham tidak akan diakui. Konsekuensinya saya tidak akan mendapat penggantian biaya tiket pesawat dan hotel ke Kota Gotham. Akhirnya diputuskan bahwa saya akan digantikan orang lain ke Kota Gotham. Saya tegaskan kata "akhirnya" karena proses menuju "akhirnya" ini butuh waktu berjam-jam; sebuah proses yang melelahkan.

Tiket pesawat atas nama saya pun hangus, tapi untungnya saya hanya perlu menanggung 50% dari kerugian itu. Pemesanan hotel tentu saja dapat dioper ke pengganti saya dan penggantian biayanya tentu dapat diurus sesuai prosedur. Pikiran saya pun mulai terarah kembali kepada Diklat Juggernaut itu. Saya berasumsi masalah yang saya hadapi sudah reda karena pengganti saya ke Kota Gotham sudah ditentukan. Saya pun bisa fokus 100% menghadapi Diklat Juggernaut itu.

Sayang seribu sayang my series of unfortunate events belum berhenti. Kamis pagi saya diminta untuk menghadap ke atasannya atasan saya. Singkat cerita, beliau mengharapkan saya mengundurkan diri dari Diklat Juggernaut karena kehadiran saya di kantor lebih dibutuhkan. Apalagi Diklat Juggernaut ini rupanya tidak diperuntukan untuk seorang sarjana komputer seperti saya (hal ini saya ketahui belakangan), sehingga argumen atasannya atasan saya ini menjadi lebih kuat lagi.

Kamis pagi itu saya pun melapor ke pihak penyelenggara diklat dan bergegas mencari peserta pengganti. Pihak penyelenggara diklat ini memang tidak mengharuskan saya mencari pengganti, tapi konsekuensi yang harus mereka hadapi bila saya mengundurkan diri begitu saja terlihat agak berat. Daripada saya merasa bersalah di kemudian hari, saya putuskan untuk menunjukan iktikad baik saya dan mencarikan pengganti yang sesuai persyaratan mereka.

Untungnya saya berhasil menghubungi rekan kerja yang bersedia menggantikan saya dan bisa langsung berangkat ke tempat diklat. Kamis siang itu sudah dijadwalkan pelaksanaan ujian untuk mata diklat pertama. Oleh karena itu, pengganti saya harus bisa mengikuti ujian tersebut atau dia akan kehilangan 1 (satu) porsi nilai yang akan menentukan nilai akhir di diklat itu.

Demikian sekelumit peristiwa melelahkan yang saya alami dalam kurun waktu 2-3 hari itu. Kamis siang saya sudah duduk manis di kantor dan kembali beraktivitas seperti biasa. Masalahnya hanya 1 (satu): saya harus berjuang memerangi mood negatif saya yang terus memaksa untuk keluar.

Yang menarik dari rangkaian peristiwa ini adalah kejadiannya hanya 2 (dua) hari setelah saya menulis tentang Senyuman dan Sikap Positif. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang ingin menguji seberapa konsisten sikap dan kata-kata saya. Alhamdulillah saya masih bisa bersikap positif dan sama sekali tidak menyalahkan pihak lain.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikiran saya, tapi semua itu berhasil saya tepis. Saya meyakinkan diri bahwa setiap pihak yang terlibat mengambil keputusan terkait masalah saya sudah memilih yang terbaik menurut iktikad baik masing-masing. Saya pun bersyukur karena dengan sikap positif ini saya masih bisa menjaga diri saya dari sikap yang destruktif.

Tulisan ini pun dibuat bukan semata-mata untuk curhat. Saya hanya ingin melihat ke belakang dan belajar dari pengalaman saya agar saya tidak lagi terjebak dalam kondisi seperti ini. Di depan nanti, saya rasa saya perlu lebih tegas mengambil keputusan demi kebaikan saya sendiri. Dalam kasus di atas, rasanya lebih baik kalau saya langsung memutuskan untuk mencari pengganti diklat dan langsung mengundurkan diri pada hari Rabu itu.

Terlepas dari itu semua, berusaha untuk tetap bersikap positif dan tersenyum telah membantu saya untuk tetap berdiri dan bertahan melewati semua peristiwa yang melelahkan hati itu. Peran istri tercinta sangat penting di sini karena dialah yang terus memberikan dukungan emosinal untuk diri saya. Rekan kerja di kantor yang ikut membantu saya mencari jalan keluar masalah ini pun tidak kalah penting. Jadi, walaupun secara lahiriah saya seolah-olah dirugikan, my series of unfortunate events telah berhasil menunjukan bahwa yang sederhana itu memang tidak mudah.

*Gambar yang ada di tulisan ini adalah hasil karya masing-masing pembuatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar