Jumat, 13 April 2018

RTM, Dads!

Demi menjaga konsistensi dalam menulis, saya memaksa diri saya untuk mempublikasikan sebuah blog post setiap tanggal 13 pukul 13.00. Hal itu tentu saja tidak berarti saya akan menulis selama sebulan penuh sehingga menghasilkan tulisan yang berbobot atau bahkan layak dipublikasikan di media yang lebih formal. "Pemaksaan" itu hanya memaksa saya untuk berbagi sesuatu di blog ini setiap bulan, seringan apa pun bobotnya. Dengan berbagi, saya juga memaksa diri saya untuk belajar, baik dari pengalaman, pengamatan, maupun dari sumber eksternal lainnya. Tanpa belajar, apa yang mau dibagi?
Waktu kita untuk mendidik anak akan terus berkurang, sementara kemampuan kita untuk mendidik anak tidak akan bertambah tanpa usaha kita. 
"Belajar" merupakan tema tulisan saya kali ini. "RTM" di dalam judul tulisan ini merupakan singkatan dari "Read the Manual" yang dapat diterjemahkan menjadi "Bacalah Petunjuknya". "RTM, Dads!" dapat diartikan sebagai panggilan kepada para ayah, termasuk diri saya sendiri, untuk kembali membaca petunjuk (belajar) tentang mendidik anak. Belajar tentang mendidik anak adalah salah satu cara menjadi ayah yang proaktif. Dengan bersikap proaktif, mendidik anak memang terasa sulit, tapi pada hakikatnya tetap lebih mudah. Bila kita bersikap reaktif, yaitu hanya jumpalitan saat muncul masalah pada anak kita, proses mendidik anak sangat mungkin akan menjadi lebih sulit karena saat kita bereaksi, ada kemungkinan masalahnya sudah menjadi terlalu besar.

Contohnya dalam masalah bullying. Bila kita bersifat reaktif, saat kita tahu bahwa anak kita sudah menjadi korban bullying, penyelesaian masalahnya mungkin akan sulit karena anak kita sudah terlanjur tidak percaya diri dan tidak lagi merasa aman saat berinteraksi dengan teman-temannya. Kita tidak melakukan banyak hal dalam mempersiapkan anak kita menyikapi bullying, tapi pada akhirnya kita lebih repot lagi saat anak kita menjadi korban bullying. Seandainya kita bersifat proaktif, masalah bullying itu mungkin bisa segera dideteksi dan ditangani. Bahkan masalah bullying itu mungkin saja tidak dialami oleh anak kita karena kita sudah terbiasa melakukan hal-hal yang dapat mencegah anak kita menjadi korban bullying.

Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat betapa pentingnya bagi seorang ayah untuk belajar. Dengan belajar, kita bisa lebih siap menghadapi perubahan-perubahan yang muncul seiring dengan tumbuhnya anak kita. Kita bisa tahu langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk membentuk perilaku baik dalam diri anak kita. Kita pun bisa tahu langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki perilaku buruk dalam diri anak kita atau bahkan mencegah munculnya perilaku buruk itu. Kita bisa tahu bagaimana menemukan keseimbangan antara tegas dan keras atau antara lembut dan memanjakan. Kita bisa tahu jauh lebih banyak lagi asalkan kita mau belajar.

Sumber eksternal terkait pendidikan anak sangat banyak. Buku-buku tentang pendidikan anak masih banyak dijual di toko-toko buku, baik elektronik maupun konvensional. Artikel-artikel tentang pendidikan anak yang terpercaya pun banyak tersebar di Internet. Apalagi jaman now, saat kuota dan kecepatan Internet begitu tinggi (untuk daerah-daerah tertentu), ayah-ayah yang tidak suka membaca dapat beralih ke Youtube atau sejenisnya untuk menonton video-video tentang pendidikan anak. Apa pun medianya, di mana pun tempatnya, belajar. Itu intinya.

Saya sendiri sempat lama tidak belajar. Di awal perjalanan saya menjadi ayah, saya memang sempat tekun mencari ilmu tentang mendidik anak. Sayangnya seiring waktu, ketekunan itu tenggelam ditelan rutinitas hidup, khususnya pekerjaan kantor. Ditambah lagi dengan perasaan "cukup" yang timbul dalam hati, minat saya untuk menggali lebih dalam tentang pendidikan anak justru semakin menurun. Untungnya saya menemukan momen yang menyadarkan saya bahwa saya memang butuh lebih banyak belajar untuk mendidik anak-anak saya menjadi pribadi-pribadi yang baik. Sejak saat itu, saya senantiasa meluangkan waktu untuk membaca buku, artikel, atau menonton video tentang membangun keluarga dan mendidik anak.

Saya yakin setiap ayah pun pernah mengalami momen-momen seperti yang saya alami. Kalau salah satu momen tersebut berhasil membawa perubahan, bagus. Kalau sampai saat ini belum ada perubahan, tunggu apa lagi? Anak kita akan terus tumbuh, baik kita bersikap proaktif maupun reaktif. Waktu kita untuk mendidik anak akan terus berkurang, sementara kemampuan kita untuk mendidik anak tidak akan bertambah tanpa usaha kita. Tanyakan kepada diri kita, "Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar