Pernahkah Anda secara langsung melihat orang tua yang datang membela anaknya di depan orang lain walaupun anaknya itu yang salah? Mungkin ada pula yang pernah melihat orang tua yang memarahi anak orang lain karena anak orang lain itu menyakiti anaknya padahal anaknya sendiri yang mulai membuat masalah? Saya pernah. Pertama kali saya melihat insiden semacam itu adalah saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya tidak terlalu ingat rincian kejadiannya karena saat itu saya masih duduk di bangku kelas 1 atau 2. Satu hal yang pasti, saat itu ada orang tua yang datang ke sekolah untuk membela anaknya yang dipukul oleh anak lain.
Ucok
Orang tua itu adalah ayah dari Ucok (bukan nama sebenarnya). Sebelum Ayah Ucok datang ke sekolahnya Ucok, Ucok sedang berkelahi dengan Ujang (bukan nama sebenarnya). Kenapa Ucok berkelahi dengan Ujang? Saya pun tidak ingat. Tidak lama kemudian, Ucup (bukan nama sebenarnya) datang melerai mereka, tapi entah kenapa perkelahian beralih menjadi Ucok vs. Ucup. Mungkin Ucok tidak terima Ucup ikut campur karena urusan dengan Ujang belum selesai. Alasan persisnya saya pun tidak ingat.
Dalam perkelahian Ucok vs. Ucup, Ucup yang menang. Pukulan yang masuk terakhir adalah pukulan Ucup dan pukulan itu memupuskan semangat Ucok untuk terus bertahan. Seharusnya keributan pun usai, tapi entah siapa yang memberi kabar kepada Ayah Ucok, tidak lama kemudian Ayah Ucok mendatangi Ucup. Keributan berlanjut saat Ayah Ucok memberi pelajaran tersendiri kepada Ucup. Pada akhirnya, Ucok menang, tapi tetap kalah. Ucok menang karena Ucup mungkin kapok berurusan dengan Ucup, tapi Ucok kalah karena kemenangan yang dia peroleh adalah kemenangan semu.
Dari cerita di atas, kita dapat melihat bahwa tindakan Ayah Ucok jelas tidak bijaksana. Hari ini anak kita berkelahi, minggu depan, atau bahkan besok, mereka sudah berbaikan kembali. Mungkin saja mereka tidak akan berbaikan lagi, tapi urusan mereka adalah urusan mereka. Akan lebih bijaksana bila Ayah Ucok mengajari Ucok bagaimana cara mengatasi masalahnya, bukan justru membela dia tanpa mencari tahu sumber masalahnya. Apakah usia Ucok masih terlalu muda? Menurut saya, tidak. Anak-anak seusia itu dapat diajari bagaimana cara menyikapi masalah sejak dini sesuai kapasitas mereka. Bahkan anak usia tiga tahun sekalipun dapat diajari bagaimana menyikapi masalah dengan temannya.
Tindakan Ayah Ucok justru berisiko membuat masalah yang lebih besar, yaitu mengubah masalah antara anak-anak menjadi masalah antara orang tua. Bukan tidak mungkin Ayah Ucup juga bertindak tanpa pikir panjang sehingga perseteruan Ucok vs. Ucup berubah menjadi Ayah Ucok vs. Ayah Ucup. Hal itu mungkin saja terjadi sementara Ucok dan Ucup sendiri sudah berbaikan. Konyol, bukan?
Selain itu, ada dampak buruk yang lebih besar lagi, yaitu pada diri Ucok. Apa yang Ucok rasakan bila ayahnya secara konsisten membela dia tanpa melihat siapa yang benar atau siapa yang salah? Apalagi kalau terbukti memang Ucok yang salah, bagaimana perasaan dia bila ayahnya terus membela? Bukankah kondisi seperti itu akan menumbuhkan sifat egois dan manja dalam diri Ucok? Bukankah Ucok berisiko tumbuh menjadi seseorang yang merasa dirinya selalu menang walaupun dia salah? Kalau kondisi itu dibiarkan, Ucok akan tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah.
Cerita di atas sebenarnya bukan sesuatu yang unik. Dengan sedikit googling, saya menemukan sebuah post di Facebook oleh Veronica Hanny Arsanty Tan yang menampung banyak cerita serupa. Dari post tersebut terlihat bahwa perilaku membela anak tanpa melihat kesalahan anak merupakan perilaku yang ada di dalam diri banyak orang tua atau orang tuanya orang tua (kakek-nenek). Dari semua cerita itu, jelas bahwa sumber masalahnya adalah para orang tua yang lebay dalam membela anak-anak mereka.
Ino
Kembali ke saat ini, saya mendengar cerita tentang Ino (bukan nama sebenarnya). Ino dan Ucok mengalami insiden serupa. Entah kapan persisnya, saya mendengar cerita bahwa Ino ditegur oleh temannya karena sebuah kesalahan yang dia lakukan. Teguran dari temannya itu terbatas pada kesalahan Ino saja; tidak merembet ke urusan-urusan pribadi Ino. Tegurannya pun sebenarnya hanya sindiran. Sakit di hati, mungkin. Sakit secara fisik, tidak mungkin.
Beberapa hari kemudian, kabar beredar bahwa Ayah Ino menegur temannya Ino. Entah apa yang dikatakan Ayah Ino, tapi hal itu cukup untuk membuat temannya Ino merasa kesal. Temannya Ino sempat mendatangi Ino dan mencoba berbaikan. Terlepas dari berhasil atau tidaknya usaha berbaikan tersebut, sepertinya temannya Ino tetap memutuskan untuk menjauh dari Ino. Sepertinya dia berpikiran bahwa lebih baik Ino dibiarkan berbuat salah daripada ditegur karena teguran itu justru mendatangkan masalah lain yang lebih besar.
Kisah Ino setali tiga uang dengan kisah Ucok; beda tipis. Perbedaannya adalah Ucok masih anak-anak, sementara Ino sudah pantas memiliki anak. Ucok mengalami masalah di sekolahnya, sementara Ino mengalami masalah di pekerjaannya. Walaupun Ino sudah bekerja, Ayah Ino masih saja melakukan intervensi dalam masalah yang dihadapi anaknya seolah-olah Ino masih duduk di bangku sekolah dasar. Kalau dalam kasus Ucok saja terlihat bahwa sikap Ayah Ucok itu tidak bijaksana, apalagi dalam kasus Ino.
Saya membayangkan saat Ucok besar nanti. Mungkinkah Ucok tumbuh menjadi Ino? Terlepas dari perbedaan nama (dan jenis kelamin yang tercermin lewat namanya), saya rasa tidak aneh bila Ucok tumbuh menjadi laki-laki yang hidup di balik perlindungan ayahnya seperti halnya Ino. Ucok akan sangat bergantung pada ayahnya karena setiap kali Ucok menghadapi masalah, ayahnya akan turun tangan.
Agile Parenting
Apa kaitannya cerita Ucok dan Ino dengan Agile Parenting? Kaitannya dengan pernyataan pertama dalam Agile Parenting Manifesto, yaitu happiness (kebahagiaan) over grades and achievements. Dalam Agile Parenting, kebahagiaan menjadi tolok ukur utama dalam mendidik anak dan membentuk keluarga. Jadi, wajar saja bila orang tua melindungi anaknya dari hal-hal yang dapat mengganggu kebahagiaan anak. Akan tetapi, memastikan kebahagiaan anak itu bukan dengan memaksa orang lain untuk terus mengalah atau memaklumi perilaku buruk anak kita. Justru kita perlu mengajari anak kita untuk mendapatkan kebahagiaan itu tanpa mengganggu kebahagiaan orang lain. Kita perlu mengajari anak kita untuk menjadi manusia, bukan dewa.
Kembali ke cerita-cerita di atas, kita dapat memaklumi sikap lebay yang ditunjukkan Ayah Ucok dan Ayah Ino. Ayah Ucok ingin Ucok bahagia, maka Ayah Ucok memberi pelajaran kepada Ucup agar Ucup tidak lagi mengganggu Ucok. Sayangnya Ayah Ucok tidak menyadari dirinya sudah memberi contoh yang buruk kepada Ucok dengan lebih mementingkan Ucok walaupun mungkin saja Ucok yang pertama kali membuat masalah. Ayah Ino pun tidak jauh berbeda karena Ayah Ino pun sudah memberi contoh yang buruk kepada Ino bahwa kebahagiaannya lebih penting daripada bekerja secara profesional.
Seandainya Ayah Ucok mau bersabar, menunggu Ucok pulang, berbicara dengan Ucok, mencari sumber masalahnya, dan, bila memang Ucok yang bersalah, menegur dan mengajari Ucok bagaimana berteman dengan baik, Ucok akan mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya. Seandainya Ayah Ino pun mau bersabar, berbicara dengan Ino, menegur dan mengajari Ino tentang profesionalisme, Ino pun akan mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya. Sayangnya bukan jalan baik itu yang dipilih oleh Ayah Ucok dan Ayah Ino.
Mengutip salah satu tulisan dalam post milik Veronica Hanny Arsanty Tan di atas, setiap orang tua selayaknya prepare their kids for the world, not the world for their kids. Anak kita perlu kita bentuk untuk siap menghadapi dunia, bukan dunia yang kita bentuk untuk menghadapi (memaklumi) anak kita. Saat anak kita berperilaku buruk dan mengganggu orang lain, jangan dibela. Jelaskan kepada anak kita bahwa perilaku itu buruk dan perilaku itu harus diubah agar mereka dapat tumbuh menjadi orang yang baik. Jelaskan kepada anak kita bahwa kebahagiaannya itu penting, tapi kebahagiaan itu tidak boleh didapatkan dengan menyakiti atau mengganggu orang lain.
--
Kesamaan cerita di atas dan kejadian di dunia nyata hanya kebetulan belaka. Kalau memang hal itu terjadi, semoga menjadi sarana introspeksi bagi para ayah yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar