Mungkin ini baru pertama kalinya Anda mendengar istilah toxic parenting. Silakan googling untuk mencari tahu apa itu toxic parenting. Satu hal yang pasti, pola pengasuhan anak yang berdampak buruk itu bukanlah hal yang baru. Tingkatannya pun bervariasi mulai dari sekadar tekanan untuk berprestasi sampai kekerasan fisik demi membentuk kedisiplinan. Kenapa saya berani meyakinkan Anda bahwa toxic parenting ini bukanlah hal yang baru? Karena saya yakin Anda sudah melihat contoh dampak buruknya dalam diri orang-orang di sekitar Anda, bahkan dalam diri orang-orang yang saat ini sudah menjadi orang tua. Ya, kan?
Video yang terpasang di atas merupakan salah satu contoh pembahasan singkat mengenai toxic parent yaitu para orang tua pelaku toxic parenting. Isinya cukup bagus untuk mulai mengenal toxic parenting. Apa itu toxic parenting, apa dampak buruknya, dan bagaimana cara mengatasinya. Pertanyaan-pertanyaan dasar itu terjawab di dalam video itu, tapi saya akui pembahasannya masih menyentuh bagian permukaan. Untuk memahami toxic parenting dan solusi yang layak tentu saja tidak semudah itu, Ferguso.
Intinya toxic parent itu ada. "Buah karya"-nya pun ada. Sebagian bahkan sudah menjadi orang tua dengan kecenderungan toxic yang sama terhadap anak-anak mereka. Bayangkan bila kecenderungan itu terwujud, akhirnya anak-anak dari para toxic parent itu juga tumbuh menjadi toxic parent, kemudian mereka mendidik dan membesarkan anak-anak dengan model toxic serupa. Hal serupa terjadi secara berulang dari generasi ke generasi. Akhirnya apa yang terjadi? Pola toxic parenting menjadi warisan yang bertahan entah sampai berapa turunan.
Saya sadar tidak semua toxic parent berniat buruk. Sebagian dari mereka tulus ingin yang terbaik bagi anaknya. Mereka mendidik dan membesarkan anaknya untuk menjadi individu yang disiplin, mandiri, berprestasi, atau hal-hal positif lainnya demi kebahagiaan anaknya di masa depan. Mereka juga melakukannya agar anaknya bisa bangga terhadap dirinya sendiri.
Masalahnya adalah para toxic parent yang bertujuan mulia itu lupa kalau anak mereka adalah individu tersendiri. Anak mereka bukanlah perpanjangan dari mereka. Anak mereka punya minat, keinginan, karakteristik, dan hal lainnya yang tidak sama dengan apa yang ada di benak dan harapan para toxic parent itu. Mereka lupa bahwa mendidik dan membesarkan anak seharusnya mengembangkan diri si Anak, bukan membuat anak menjadi persis seperti apa yang diinginkan mereka. Apakah kita termasuk para toxic parent berhati mulia itu?
Kalau kita berada dalam kondisi seperti itu, solusinya sederhana seperti yang tersurat dalam video di atas. Kita harus belajar mendengarkan isi hati dan pikiran anak kita. Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan anak kita tidak semata-mata ditentukan oleh diri kita, tapi juga oleh anak kita. Dengarkan, bicarakan, lalu arahkan. Itulah 3 hal sederhana yang perlu kita lakukan terhadap anak kita masing-masing.
Saya sadar untuk benar-benar mendengarkan itu sulit. Been there, done that. Apalagi kalau kita sudah terbiasa didengarkan, sulitnya mungkin akan setengah mati. Kita harus terbiasa menahan diri dan membiarkan anak bicara sepenuh hati tanpa kita interupsi. Kita harus terbiasa menahan diri untuk tidak terlalu mengatur keinginan anak kita. Kita harus terbiasa menahan diri dan membiarkan anak kita memilih jalan ninja mereka sendiri. Namun, semua kesulitan itu sepadan.
Kita perlu melakukannya demi kebahagiaan, yaitu kebahagiaan kita bersama anak kita yang kita definisikan bersama-sama dengan anak kita. Bukankah kita terjebak dalam toxic parenting juga karena kita ingin membuat mereka bahagia? Kalau iya, mari ambil jalan yang lebih "sehat" agar kebahagiaan yang kita wujudkan bersama anak kita bukan sekadar kebahagiaan semu yang dihiasi dengan berbagai trauma kehidupan.
Yuk, bisa, yuk!
Video lain tentang Toxic Parenting dapat ditonton di sini: https://youtu.be/fcPPDbvGr7s
BalasHapusKunci untuk meredam Toxic Parenting yang saya bahas di atas ditegaskan dengan baik dalam video itu: "Parenting is not a role. It's a relationship."