Minggu lalu saya membuat tulisan singkat bahwa dalam parenting, orang tua juga perlu memperhatikan perasaan dan kebutuhannya sendiri. Hal itu bisa dilakukan. Jadi, perasaan dan kebutuhan anak dan orang tua diusahakan agar berjalan beriringan.
Hari ini, saya mendapat kesempatan untuk mempraktikkan (lagi) apa yang saya tulis pekan lalu. Hari ini, setelah sekian banyak isu dengan anak-anak, saya meminta waktu mereka untuk mendengarkan uneg-uneg saya. Ya, saya curhat tentang anak-anak saya langsung ke anak-anak saya.
Saya mulai dengan menjelaskan kepada anak-anak saya bahwa setiap isu di dalam keluarga juga memiliki dampak buruk untuk saya sendiri. Saat saya menegur mereka, bukan hanya mereka yang merasa tidak nyaman, saya juga sama. Bukan hanya mereka yang sakit hati, saya juga.
Dari situ saya tegaskan bahwa kalaupun sudah disepakati ada konsekuensi dari setiap masalah, mereka memang dirugikan, tapi bukan berarti saya tidak kecewa. Kekecewaan, sekecil apa pun itu, kalau terjadi berulang-ulang, akan menumpuk juga. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Mereka memang konsekuen. Apa yang menjadi konsekuensi, mereka jalani. Contohnya kalau disepakati bahwa konsekuensinya adalah tidak main gim, mereka tidak main gim. Masalahnya adalah konsekuen menjalani konsekuensi tidak otomatis menyembuhkan rasa kesal yang terlanjur menumpuk.
"Kalian terus-menerus menyakiti hati Abi," kata saya, "Rasanya ingin pergi." Saya tegaskan juga soal rasa jenuh saya menghadapi berbagai masalah yang muncul, khususnya yang berulang. Saya ceritakan dampak buruknya secara utuh terhadap semangat saya mendidik mereka.
Curhatnya cukup panjang, tapi setelah curhat, hati ini terasa plong. Rasa kesal yang saya tahan akhirnya lepas dengan cara yang baik. Saya merasa puas karena didengarkan. Rasa "ingin pergi" menghilang begitu saja dan saya bersemangat kembali untuk tetap terlibat mendidik mereka.