Google Chrome Blog: A Speedier Google Chrome for all users
I've been using Chrome for quite some time. It's nice to have another browser alternative other than Firefox. Although my primary browsing option is still Firefox, I also used Chrome from time to time. It is fortunate that the Chrome I installed never crashed when I'm using it.
The good news is, the Google Chrome team, has fixed 300 bugs in their latest update. 300 is quite a number. I guess the previous Chrome was more like a lair of bugs disguising as a browser.
Chrome now has more features, faster, and stable. You can read more about it in Google Chrome Blog or in The Official Google Blog. However, the only thing I liked about chrome was their idea to put the tab bar in the title bar. It's small but it's a great idea. I don't see any browser doing this. That's why Chrome had more space compared to other browser.
With the tab bar goes in the title bar, Chrome only needs to show the navigation bar. It has a bookmark bar but that's hidden by default. Status bar are there only when there's a status to be shown. I guess it's not exaggerating to claim that Chrome is "clean".
If you're interested in Chrome, check out these 11 short films about a browser, i.e. Chrome. They are unique, funny, and absolutely worth your time. One of the film which idea made an impression on me was the one that defines a browser as something that made the user super-duper happy. See for yourself.
Senin, 25 Mei 2009
Jumat, 22 Mei 2009
20:00 di Islamic Village
Sejak pindah lokasi penempatan sementara ke Direktorat TPB (Transformasi Proses Bisnis), aku lebih sering pulang melewati Islamic Village di Karawaci, Tangerang. Hal itu terpaksa aku lakukan karena kuantitas kendaraan umum menuju Kebon Nanas (Tangerang) sangat memprihatinkan. Walaupun jalan pulang ke rumah (di daerah Serpong, Tangerang) dari kantor (di daerah Pancoran, Jakarta) lebih cepat lewat Kebon Nanas, tapi menunggu kendaraan umum menuju Kebon Nanas itu jauh lebih lama dan tak pasti.
Tapi untungnya cerita kali ini bukan tentang betapa melelahkannya perjalanan pulang kantor harianku. Cerita kali ini tentang persaingan antara tukang ojek dan supir angkot (angkutan umum) yang daerah buruannya di sekitar Islamic Village.
Ceritanya bermula saat aku dengan cerobohnya sampai terlalu malam di Islamic Village. Aku tiba di tempat itu sekitar pukul 20:00; waktu yang sangat memungkinkan untuk tidak lagi mendapat angkot. Tukang ojek yang mangkal di sekitar itu pun tahu benar fakta tersebut. Mereka benar-benar blak-blakan menawarkan jasa ojeknya dengan mengatakan bahwa tidak ada angkot lagi yang akan lewat dan mengambil penumpang.
Berhubung pada saat itu aku belum sadar betul akan kondisi di atas, aku tetap konsisten menunggu angkot. Paling tidak aku sadar betul bahwa ojek itu akan menerapkan tarif mahal sekali. Jadi apa pun yang diucapkan oleh para tukang ojek itu tetap aku acuhkan.
Alhamdulillah angkot yang aku tunggu pun datang. Aku bergegas menghampiri dan naik angkot itu. Saat aku naik aku dikejutkan oleh beberapa suara gebrakan keras. Tapi aku tidak peduli karena aku harus segera naik angkot itu. Setelah aku duduk di dalam itu, aku menengok ke arah belakang angkot. Aku melihat seseorang pergi menjauh dari angkot itu. Sepertinya orang itu adalah salah satu tukang ojek yang mangkal di situ. Sepertinya dia marah karena angkot itu mengambil peluang tambahan penghasilannya.
Aku geleng-geleng kepala. Sepertinya hukum rimba masih dipakai di situ. Siapa cepat dia dapat. Supir angkot itu bergerak cepat, dia yang dapat penumpang. Siapa kuat dia berani. Di daerah situ tukang ojek itu merasa kuat. Jadi sepertinya wajar bila salah seorang tukang ojek berani melampiaskan emosinya dengan menggebrak mobil angkot.
Sepanjang perjalanan supir angkot itu mengendarai angkotnya dengan tergesa-gesa. Sepertinya sepanjang jalan itu dia khawatir akan menarik perhatian tukang ojek lain. Bahkan penumpang yang turun pun diminta buru-buru. Yang membuat kesan tergesa-gesa itu jelas adalah saat ada 3 (tiga) orang calon penumpang menunggu untuk naik. Angkot itu jalan terus tak berani berhenti karena para calon penumpang itu menunggu tepat di pangkalan ojek.
Rupanya tidak sedikit orang yang masih berkutat dengan kebutuhan dasar mereka sehingga mereka tidak segan-segan bermain dengan hukum rimba. Kalau kondisi di atas terus-menerus terjadi, perseteruan akbar antara tukang ojek dan supir angkot bisa jadi tak terhindarkan.
Baik tukang ojek maupun supir angkot memperebutkan makanan dari piring yang sama, yaitu ongkos penumpang. Supir angkot melakukan berbagai cara untuk mencari penumpang. Tukang ojek juga melakukan berbagai cara untuk mencari penumpang. Lalu siapa yang harus disalahkan? Tidak ada.
Tidak ada yang bisa disalahkan kecuali memang sudah ada perjanjian antara para tukang ojek dan para supir angkot. Kalau sudah disepakati bahwa di atas pukul 20:00 angkot tidak boleh beroperasi, maka supir angkot yang aku ceritakan di atas patut disalahkan. Kalau tidak ada kesepakatan seperti itu, kita kembali ke kondisi rimba.
Sulit memang menyikapi orang-orang yang berusaha mempertahankan hidupnya dengan segala cara. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang tidak peduli tata krama. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang tidak bersikap santun. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang mendahulukan emosi dan kekerasan. Tapi orang-orang itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena hati dan pikiran mereka sudah terlalu letih memikirkan kebutuhan primer mereka.
Tapi untungnya cerita kali ini bukan tentang betapa melelahkannya perjalanan pulang kantor harianku. Cerita kali ini tentang persaingan antara tukang ojek dan supir angkot (angkutan umum) yang daerah buruannya di sekitar Islamic Village.
Ceritanya bermula saat aku dengan cerobohnya sampai terlalu malam di Islamic Village. Aku tiba di tempat itu sekitar pukul 20:00; waktu yang sangat memungkinkan untuk tidak lagi mendapat angkot. Tukang ojek yang mangkal di sekitar itu pun tahu benar fakta tersebut. Mereka benar-benar blak-blakan menawarkan jasa ojeknya dengan mengatakan bahwa tidak ada angkot lagi yang akan lewat dan mengambil penumpang.
Berhubung pada saat itu aku belum sadar betul akan kondisi di atas, aku tetap konsisten menunggu angkot. Paling tidak aku sadar betul bahwa ojek itu akan menerapkan tarif mahal sekali. Jadi apa pun yang diucapkan oleh para tukang ojek itu tetap aku acuhkan.
Alhamdulillah angkot yang aku tunggu pun datang. Aku bergegas menghampiri dan naik angkot itu. Saat aku naik aku dikejutkan oleh beberapa suara gebrakan keras. Tapi aku tidak peduli karena aku harus segera naik angkot itu. Setelah aku duduk di dalam itu, aku menengok ke arah belakang angkot. Aku melihat seseorang pergi menjauh dari angkot itu. Sepertinya orang itu adalah salah satu tukang ojek yang mangkal di situ. Sepertinya dia marah karena angkot itu mengambil peluang tambahan penghasilannya.
Aku geleng-geleng kepala. Sepertinya hukum rimba masih dipakai di situ. Siapa cepat dia dapat. Supir angkot itu bergerak cepat, dia yang dapat penumpang. Siapa kuat dia berani. Di daerah situ tukang ojek itu merasa kuat. Jadi sepertinya wajar bila salah seorang tukang ojek berani melampiaskan emosinya dengan menggebrak mobil angkot.
Sepanjang perjalanan supir angkot itu mengendarai angkotnya dengan tergesa-gesa. Sepertinya sepanjang jalan itu dia khawatir akan menarik perhatian tukang ojek lain. Bahkan penumpang yang turun pun diminta buru-buru. Yang membuat kesan tergesa-gesa itu jelas adalah saat ada 3 (tiga) orang calon penumpang menunggu untuk naik. Angkot itu jalan terus tak berani berhenti karena para calon penumpang itu menunggu tepat di pangkalan ojek.
Rupanya tidak sedikit orang yang masih berkutat dengan kebutuhan dasar mereka sehingga mereka tidak segan-segan bermain dengan hukum rimba. Kalau kondisi di atas terus-menerus terjadi, perseteruan akbar antara tukang ojek dan supir angkot bisa jadi tak terhindarkan.
Baik tukang ojek maupun supir angkot memperebutkan makanan dari piring yang sama, yaitu ongkos penumpang. Supir angkot melakukan berbagai cara untuk mencari penumpang. Tukang ojek juga melakukan berbagai cara untuk mencari penumpang. Lalu siapa yang harus disalahkan? Tidak ada.
Tidak ada yang bisa disalahkan kecuali memang sudah ada perjanjian antara para tukang ojek dan para supir angkot. Kalau sudah disepakati bahwa di atas pukul 20:00 angkot tidak boleh beroperasi, maka supir angkot yang aku ceritakan di atas patut disalahkan. Kalau tidak ada kesepakatan seperti itu, kita kembali ke kondisi rimba.
Sulit memang menyikapi orang-orang yang berusaha mempertahankan hidupnya dengan segala cara. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang tidak peduli tata krama. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang tidak bersikap santun. Mungkin kita kesal melihat orang-orang yang mendahulukan emosi dan kekerasan. Tapi orang-orang itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena hati dan pikiran mereka sudah terlalu letih memikirkan kebutuhan primer mereka.
Sabtu, 16 Mei 2009
Dari KPP ke TPB
Bekerja pada sebuah instansi yang cabangnya tersebar di seluruh pelosok Indonesia, seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memberikan "ancaman" tersendiri terhadap ketentraman para pegawainya; lebih khusus lagi terhadap para CALON pegawainya. Hal ini terutama bagi mereka yang kurang siap untuk ditempatkan di mana saja di wilayah Republik Indonesia.
Pernah mendengar kota bernama Bau-Bau atau Tual? Pernah terbayang bekerja di daerah yang masih menggunakan kuda atau sampan sebagai alat transportasi? Pernah terbayang bekerja di daerah yang masih hijau (belum tersentuh oleh pembangunan)? Kalau Anda bisa membayangkannya atau justru pernah merasakannya atau bahkan pernah merasakan kondisi yang lebih tak terbayangkan lagi, itu artinya Anda bisa mengukur seberapa besarnya "ancaman" yang saya maksud di atas.
Jadi sebenarnya lumrah bila tidak sedikit calon pegawai DJP yang berharap -dengan harapan yang sangaaat besar- untuk ditempatkan di Kantor Pusat. Sepertinya ada sebuah persepsi umum bahwa pegawai-pegawai yang ditempatkan di Kantor Pusat memiliki lebih sedikit resiko untuk dipindahkan ke tempat lain.
Saya sebagai calon pegawai DJP menghadapi resiko tersebut. Kondisi saya rentan untuk ditempatkan di luar Jakarta, di luar Jawa, atau bahkan di luar coverage area jasa telekomunikasi. Tapi saya tidak pernah melihatnya sebagai ancaman. Saya tidak pernah berharap untuk ditempatkan di kantor pusat. Yang paling penting bagi saya adalah saya ditempatkan di daerah yang memungkinkan saya untuk berkumpul dengan istri dan anak-anak saya.
Walaupun begitu, kondisi keluarga saya saat ini memang agak sulit untuk berpindah-pindah. Istri saya bekerja sebagai pegawai Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Mengharapkan istri saya pindah mengikuti kepindahan saya bukan perkara mudah. Dua anak kembar saya masih belum genap 1 (satu) tahun. Apa saya harus memboyong dua orang penjaga anak ke mana pun saya pergi? Saat ini sulit bagi saya untuk pindah-pindah lokasi kerja kecuali lokasinya masih bisa saya tempuh dalam waktu yang wajar.
Akhirnya saya berharap untuk ditempatkan di lokasi yang mudah dijangkau dari tempat tinggal. Saya tetap tidak berharap ditempatkan di Kantor Pusat, tapi saya berharap ditempatkan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) yang mudah dijangkau dari Serpong. Contohnya adalah KPP di wilayah Banten atau Jakarta Barat. Berdasarkan alasan-alasan itulah akhirnya aku puas saat ditempatkan di KPP Pratama Jakarta Cengkareng (dalam wilayah Jakarta Barat).
Akan tetapi Allah memang Maha Kuasa. Rabu, 13 Mei 2009, saya dipanggil untuk bekerja di Direktorat TPB (Transformasi Proses Bisnis) DJP. Sebuah kabar yang mengejutkan, namun saya tidak sepenuhnya menerima kabar itu sebagai kabar baik. Saya bahkan terdiam saat beberapa teman memberi selamat seolah-olah itu adalah sebuah kesempatan besar.
Kamis, 14 Mei 2009, saya mulai aktif bekerja di Direktorat TPB. Terlepas dari perasaan saya saat menerima kabar itu, saya bisa sepenuhnya menerima tanggung jawab baru di Direktorat TPB. Tapi saya tetap pada keputusan saya bahwa bekerja di Kantor Pusat bukanlah bagian dari harapan saya. Saya hanya percaya bahwa segala hal yang Allah berikan kepada saya -entah terlihat baik atau terlihat buruk- adalah sesuatu yang baik.
Pernah mendengar kota bernama Bau-Bau atau Tual? Pernah terbayang bekerja di daerah yang masih menggunakan kuda atau sampan sebagai alat transportasi? Pernah terbayang bekerja di daerah yang masih hijau (belum tersentuh oleh pembangunan)? Kalau Anda bisa membayangkannya atau justru pernah merasakannya atau bahkan pernah merasakan kondisi yang lebih tak terbayangkan lagi, itu artinya Anda bisa mengukur seberapa besarnya "ancaman" yang saya maksud di atas.
Jadi sebenarnya lumrah bila tidak sedikit calon pegawai DJP yang berharap -dengan harapan yang sangaaat besar- untuk ditempatkan di Kantor Pusat. Sepertinya ada sebuah persepsi umum bahwa pegawai-pegawai yang ditempatkan di Kantor Pusat memiliki lebih sedikit resiko untuk dipindahkan ke tempat lain.
Saya sebagai calon pegawai DJP menghadapi resiko tersebut. Kondisi saya rentan untuk ditempatkan di luar Jakarta, di luar Jawa, atau bahkan di luar coverage area jasa telekomunikasi. Tapi saya tidak pernah melihatnya sebagai ancaman. Saya tidak pernah berharap untuk ditempatkan di kantor pusat. Yang paling penting bagi saya adalah saya ditempatkan di daerah yang memungkinkan saya untuk berkumpul dengan istri dan anak-anak saya.
Walaupun begitu, kondisi keluarga saya saat ini memang agak sulit untuk berpindah-pindah. Istri saya bekerja sebagai pegawai Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Mengharapkan istri saya pindah mengikuti kepindahan saya bukan perkara mudah. Dua anak kembar saya masih belum genap 1 (satu) tahun. Apa saya harus memboyong dua orang penjaga anak ke mana pun saya pergi? Saat ini sulit bagi saya untuk pindah-pindah lokasi kerja kecuali lokasinya masih bisa saya tempuh dalam waktu yang wajar.
Akhirnya saya berharap untuk ditempatkan di lokasi yang mudah dijangkau dari tempat tinggal. Saya tetap tidak berharap ditempatkan di Kantor Pusat, tapi saya berharap ditempatkan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) yang mudah dijangkau dari Serpong. Contohnya adalah KPP di wilayah Banten atau Jakarta Barat. Berdasarkan alasan-alasan itulah akhirnya aku puas saat ditempatkan di KPP Pratama Jakarta Cengkareng (dalam wilayah Jakarta Barat).
Akan tetapi Allah memang Maha Kuasa. Rabu, 13 Mei 2009, saya dipanggil untuk bekerja di Direktorat TPB (Transformasi Proses Bisnis) DJP. Sebuah kabar yang mengejutkan, namun saya tidak sepenuhnya menerima kabar itu sebagai kabar baik. Saya bahkan terdiam saat beberapa teman memberi selamat seolah-olah itu adalah sebuah kesempatan besar.
Kamis, 14 Mei 2009, saya mulai aktif bekerja di Direktorat TPB. Terlepas dari perasaan saya saat menerima kabar itu, saya bisa sepenuhnya menerima tanggung jawab baru di Direktorat TPB. Tapi saya tetap pada keputusan saya bahwa bekerja di Kantor Pusat bukanlah bagian dari harapan saya. Saya hanya percaya bahwa segala hal yang Allah berikan kepada saya -entah terlihat baik atau terlihat buruk- adalah sesuatu yang baik.
Minggu, 10 Mei 2009
Superpower in Google Profile
Official Gmail Blog: Create your Google Profile
Google launched their own version of public profile. As far as I know, it's been there for years. Just now they decided to boost it a little by allowing Google Users to add more information to their profile.
It's not rich; not when compared to other social networking sites such as Facebook or Friendster. Actually I find it quite simple, except for the part where you can actually put up your "Superpower" in your profile. I guess the Google team always have time for jokes.
Nevertheless, I took the liberty of having another profile to attend to. The main reason behind it was because I'm curious of what Google has to offer in the future. Why? Because looking at the progress in Gmail (the all time beta-status email service), it seems the Google team likes to lay it piece by piece. So maybe Google profile could have more to offer than just showing my profile at the bottom of U.S. name-query search pages; this is most unlikely looking at the fact that my name is Amir Syafrudin.
In any case, enjoy a Google Profile if you will. You might (or might not) find something interesting in it. While you're at it, why not spare your time and have a look at my profile.
Google launched their own version of public profile. As far as I know, it's been there for years. Just now they decided to boost it a little by allowing Google Users to add more information to their profile.
It's not rich; not when compared to other social networking sites such as Facebook or Friendster. Actually I find it quite simple, except for the part where you can actually put up your "Superpower" in your profile. I guess the Google team always have time for jokes.
Nevertheless, I took the liberty of having another profile to attend to. The main reason behind it was because I'm curious of what Google has to offer in the future. Why? Because looking at the progress in Gmail (the all time beta-status email service), it seems the Google team likes to lay it piece by piece. So maybe Google profile could have more to offer than just showing my profile at the bottom of U.S. name-query search pages; this is most unlikely looking at the fact that my name is Amir Syafrudin.
In any case, enjoy a Google Profile if you will. You might (or might not) find something interesting in it. While you're at it, why not spare your time and have a look at my profile.
Selasa, 05 Mei 2009
Gali Lubang Tutup Lubang
1 Mei 2009 akhirnya aku menerima penghasilan pertamaku sebagai Pegawai Negeri Sipil. Penghasilan pertama ini bukan gaji atau tunjangan. DJP (Direktorat Jenderal Pajak) lebih suka menyebutnya Uang Tunggu, karena uang itu memang hadir untuk ditunggu, ditunggu, dan terus ditunggu.
Uang Tunggu itu berfungsi sebagai bantalan untuk meringankan beban para calon CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Kalau tidak begitu, para calon CPNS itu harus menunggu berbulan-bulan sebelum resmi diangkat sebagai CPNS dan berhak menerima 80% dari gaji + tunjangan. Dalam konteks "Besar pasak daripada tiang", keberadaan Uang Tunggu membantu memperkecil pasak tersebut.
Banyak rekan-rekan saya yang mungkin menyegerakan menutup lubang-lubang yang sudah digali selama beberapa bulan terakhir ini. Sementara saya lebih mengutamakan mencegah galian-galian baru untuk beberapa bulan ke depan. Saya dan istri mungkin bisa berhemat, tapi Raito dan Aidan tidak tahu-menahu tebal-tipisnya keuangan keluarga saya. Alhamdulillah tambahan pemasukan dari Uang Tunggu itu bisa membantu saya membeli cadangan bubur, susu, bahkan pakaian baru untuk kedua anak saya.
Seharusnya mulai bulan depan Uang Tunggu itu akan keluar secara rutin. Semoga saja kondisi itu benar adanya sehingga saya (atau rekan-rekan saya yang lain) tidak perlu lagi menunggu berbulan-bulan seperti kondisi sebelumnya. Khusus buat saya, kondisi pas-pasan seperti itu membuat saya bertambah sensitif terhadap pengeluaran. Setiap pengeluaran ekstra selalu membuat saya menghela nafas. Semakin banyak pengeluaran ekstra membuat saya semakin bingung. Alhamdulillah saya tidak mengalami stres berkepanjangan.
Saya sempat teringat seorang rekan pernah nyeletuk, "DJP sebagai instansi yang memungut pajak sebagai penghasilan negara kok sulit sekali membayar pegawai-pegawai barunya?" Sindiran itu mungkin tidak relevan karena ada instansi lain yang terlibat dalam masalah pembayaran tersebut. Namun hal itu dapat menjadi cerminan betapa besarnya seseorang menunggu pembayaran yang tak kunjung datang.
Sepertinya untuk menjadi PNS itu butuh modal finansial. Bukan modal finansial untuk otomatis diterima dengan merekayasa hasil seleksi. Bukan juga modal finansial untuk menentukan lokasi penempatan. Calon CPNS perlu modal finansial untuk menjaga diri mereka dari menggali lubang-lubang yang tidak diperlukan.
Uang Tunggu itu berfungsi sebagai bantalan untuk meringankan beban para calon CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Kalau tidak begitu, para calon CPNS itu harus menunggu berbulan-bulan sebelum resmi diangkat sebagai CPNS dan berhak menerima 80% dari gaji + tunjangan. Dalam konteks "Besar pasak daripada tiang", keberadaan Uang Tunggu membantu memperkecil pasak tersebut.
Banyak rekan-rekan saya yang mungkin menyegerakan menutup lubang-lubang yang sudah digali selama beberapa bulan terakhir ini. Sementara saya lebih mengutamakan mencegah galian-galian baru untuk beberapa bulan ke depan. Saya dan istri mungkin bisa berhemat, tapi Raito dan Aidan tidak tahu-menahu tebal-tipisnya keuangan keluarga saya. Alhamdulillah tambahan pemasukan dari Uang Tunggu itu bisa membantu saya membeli cadangan bubur, susu, bahkan pakaian baru untuk kedua anak saya.
Seharusnya mulai bulan depan Uang Tunggu itu akan keluar secara rutin. Semoga saja kondisi itu benar adanya sehingga saya (atau rekan-rekan saya yang lain) tidak perlu lagi menunggu berbulan-bulan seperti kondisi sebelumnya. Khusus buat saya, kondisi pas-pasan seperti itu membuat saya bertambah sensitif terhadap pengeluaran. Setiap pengeluaran ekstra selalu membuat saya menghela nafas. Semakin banyak pengeluaran ekstra membuat saya semakin bingung. Alhamdulillah saya tidak mengalami stres berkepanjangan.
Saya sempat teringat seorang rekan pernah nyeletuk, "DJP sebagai instansi yang memungut pajak sebagai penghasilan negara kok sulit sekali membayar pegawai-pegawai barunya?" Sindiran itu mungkin tidak relevan karena ada instansi lain yang terlibat dalam masalah pembayaran tersebut. Namun hal itu dapat menjadi cerminan betapa besarnya seseorang menunggu pembayaran yang tak kunjung datang.
Sepertinya untuk menjadi PNS itu butuh modal finansial. Bukan modal finansial untuk otomatis diterima dengan merekayasa hasil seleksi. Bukan juga modal finansial untuk menentukan lokasi penempatan. Calon CPNS perlu modal finansial untuk menjaga diri mereka dari menggali lubang-lubang yang tidak diperlukan.
Langganan:
Postingan (Atom)