Keluarga (Gambar oleh www.freepik.com) |
Kesannya luar biasa, ya, "Self-Organizing Family", padahal intinya hanya sebuah keluarga yang mandiri. Keluarga yang mandiri itu adalah keluarga yang mampu mengelola masalah dan mencari jalan keluarnya sendiri. Keluarga itu juga merupakan keluarga yang mampu mengurus dirinya sendiri tanpa mengandalkan pihak eksternal seperti pembantu rumah tangga (PRT), kakek-nenek, atau anggota keluarga besar lain. Keluarga yang mandiri itu yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini.
Hal yang memicu saya untuk menulis tentang self-organizing family adalah kenyataan bahwa hampir genap 1 tahun keluarga saya hidup tanpa PRT. Urusan bersih-bersih dibagi secara proporsional antara saya, istri saya, dan ketiga anak saya. Urusan makan, saat istri tidak sempat masak, kami serahkan ke GoFood atau GrabFood. Saya biasanya menggunakan GrabFood karena diskonnya lebih banyak daripada GoFood.
Saya cukup sering memesan GrabFood sampai-sampai akun saya terus bertahan di tingkat Platinum. Manfaatnya juga ... Eh, kenapa malah membahas GrabFood, ya? Kembali ke keluarga.
Kondisi semua serba dari rumah, yaitu kerja dan sekolah, juga memiliki andil membentuk lingkungan yang kondusif untuk keluarga yang mandiri. Urusan bersih-bersih sepertinya tidak mungkin kami tangani sendiri kalau saya dan istri harus ke kantor, sementara anak-anak juga harus ke sekolah. Selain itu, pengawasan terhadap anak-anak juga lebih mudah dilakukan saat saya atau istri saya ada di rumah.
Awalnya memang sulit, terutama saat PRT kami izin pulang dan tidak kembali lagi tanpa kabar bulan Desember lalu. Untungnya anak-anak saya tidak keberatan hidup tanpa PRT. Kami menyepakati beberapa penyesuaian untuk hidup lebih mandiri dan menurunkan beberapa standar, misalnya standar kebersihan rumah atau kerapian pakaian, agar urusan rumah tangga dapat kami tangani tanpa menjadi beban yang berlebihan. Saya bahkan membeli vacuum cleaner (2 kali) untuk memastikan rumah tetap bersih, terutama saat anak-anak saya yang bertugas bersih-bersih rumah.
Kalau saya ceritakan satu per satu penyesuaian yang kami lakukan, sepertinya akan terlalu panjang untuk dituangkan di sini. Pada intinya, kepergian PRT itu menjadi pemicu utama kemandirian kami sebagai sebuah keluarga, sementara kondisi kerja dan sekolah dari rumah membuat upaya membentuk kemandirian itu menjadi lebih kondusif. Sayangnya kemandirian itu belum benar-benar teruji karena saya dan istri saya masih ada di rumah untuk membantu dan mengawasi anak-anak.
Menguji Kemandirian
Sampai tiba waktunya saya dan istri saya harus pergi berdua saja. Saat itu bulan Oktober, 10 bulan sejak kami dan anak-anak kami mengurus kebutuhan kami sendiri. Kami diskusikan kepergian itu bersama anak-anak kami karena kami ingin mendengar pendapat mereka. Singkatnya, mereka lebih memilih bertahan di rumah bertiga saja daripada harus menginap di rumah kakek-nenek mereka. Mereka cukup percaya diri untuk menjalankan rutinitas harian tanpa kehadiran bapak-ibu mereka selama beberapa hari. Soal makan, bagaimana? Nasi bisa dimasak sendiri. Sisanya, ya, pesan-antar.
Antara optimis dan nekat karena kepepet, saya dan istri saya berangkat sesuai rencana. Anak-anak kami tetap di rumah sesuai pilihan mereka. Komunikasi kami jaga secara berkala. Pengawasan kami lakukan secara jarak jauh semampu kami. Bagaimana hasilnya? Rumah masih utuh, isinya juga tidak kurang satu apa pun, anak-anak tetap sehat, masalah (yang besar atau signifikan) juga tidak ada. Komunikasi saja yang kadang tidak berjalan lancar sehingga muncul kekhawatiran sesekali waktu. Secara garis besar, mereka sukses hidup tanpa pengawasan yang konstan dari kami.
Bagian yang "seru" adalah saat kakek-nenek mereka tahu kalau saya dan istri saya pergi begitu saja meninggalkan anak-anak kami tanpa memberi tahu mereka. Alasannya sederhana, kalau kami beri tahu mereka, kemandirian itu tidak akan terlihat, kan? Sayangnya logika itu tidak mudah diterima oleh kakek-nenek mereka dan ... Intinya, masalah sempat muncul, tapi reda dengan sendirinya. Mungkin kakek-nenek mereka sudah lelah berurusan dengan orang tua yang tidak konvensional seperti kami.
Beberapa hari yang lalu, hal itu terjadi lagi. Bedanya kali ini si Kecil Lucu ikut pergi bersama kami. Kedua anak remaja kami lagi-lagi memilih untuk tetap di rumah. Salah satu alasannya karena masa ujian masih berlangsung. Kalau harus bepergian, walaupun tujuannya dekat, waktu untuk belajar akan berkurang dan ada risiko kelelahan sehingga tidak bersemangat untuk belajar. Tapi, mereka mengakui bahwa sebenarnya mereka sedang malas bepergian. Jadi, keputusan untuk pergi bertiga saja tidak sulit dicapai. Hasilnya, bagaimana? Tidak jauh berbeda dengan cerita sebelumnya, bahkan lebih baik lagi karena mereka berhasil meluangkan waktu belajar sendiri tanpa diawasi orang tua mereka.
Oya, bagi yang penasaran, kami pergi bukan tanpa pertimbangan. Rumah kami ada di dalam sebuah cluster yang aman dari masalah seperti maling atau sejenisnya. Petugas keamanan di cluster juga tidak asing lagi dengan keluarga kami dan mudah dihubungi saat dibutuhkan. Rukun tetangga kami juga cukup akrab. Kami terbiasa untuk saling menjaga dan membantu saat yang lain ada masalah. Jadi, risiko ancaman eksternal cukup rendah di lingkungan sekitar rumah kami.
Menjaga Kemandirian
Saat tulisan ini dibuat, kami sudah kembali menggunakan PRT, tapi tidak menginap. Tempat kerja saya dan istri saya sudah mulai kembali ke rutinitas bekerja dari kantor. Anak-anak kami juga sudah mulai masuk sekolah walaupun hanya 1-2 kali per minggu. Untungnya jadwal masuk sekolah mereka berbeda-beda sehingga rumah kami tidak pernah kosong melompong. PRT bertugas menyapu, mengepel, menyetrika, dan bersih-bersih secara umum, tapi hanya dari hari Senin s.d. Jumat. Sabtu dan Minggu, urusan rumah tangga tetap kami tangani sendiri.
Di masa depan nanti, apalagi saat pandemi Covid-19 dianggap selesai dan semua kembali normal, rutinitas kami sekeluarga juga akan kembali normal seperti sebelum pandemi. Kami mungkin akan kembali mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan urusan rumah tangga kami. Walaupun begitu, saya tetap optimis kemandirian yang sudah kami bentuk tidak akan hilang begitu saja, khususnya kemampuan anak-anak kami untuk mengambil keputusan sendiri dan menjalaninya secara bertanggung jawab.