Keberuntungan saya dalam esai untuk Seleksi Beasiswa LPDP belum tentu dirasakan banyak orang. Tidak semua orang "kebetulan" memiliki tulisan yang siap untuk dijadikan esai, kan? Bukan tidak mungkin banyak orang di luar sana yang mengalami kesulitan ekstra dalam penyusunan esai.
Beberapa orang yang lulus Seleksi Beasiswa LPDP mengakui urusan esai itu menantang. Setiap orang, sesuai cerita mereka, memiliki tantangan masing-masing saat menyusun komitmen dan rencana pasca studi mereka. Namun, semuanya terlihat memiliki keaslian dan kematangan yang sama.
Keaslian dan kematangan itu akan digali saat wawancara, tapi esai menjadi titik awal yang penting. Esai itu membentuk cerita yang akan disajikan kepada para pewawancara. Esai itu tentunya berisi perjalanan yang telah dilakukan dan "itinerary" untuk perjalanan di masa depan.
Ceritanya juga harus diarahkan ke hal-hal yang berdampak positif bagi banyak pihak. Saya, misalnya, bercerita mengenai workshop Agile untuk rekan-rekan ASN dan menulis buku ASN Juga Bisa Agile. Walaupun sifatnya terbatas, banyak pihak yang ikut merasakan manfaatnya.
Kalau esai bisa diarahkan seperti itu, penyusunannya akan lebih mudah. Bagian "komitmen" dapat diisi dengan komitmen untuk meneruskan apa yang sudah dibangun lewat kontribusi yang lampau. Di situ, rencana pasca studi atau kontribusi seharusnya akan keluar dengan sendirinya.
Peran studi kita kelak juga akan lebih mudah untuk dijelaskan. Saya, misalnya, berkomitmen untuk terus menjaga agar Rinkas tetap hidup. Topik riset yang saya pilih adalah Agile. Riset itu berperan besar untuk memperkuat kompetensi saya sebagai praktisi Agile dalam Rinkas.
Benang merahnya terlihat, kan?
Pada intinya, esai itu dimulai dari diri penulisnya. Jelaskan siapa dirinya, kompetensinya, lalu kontribusinya. Selanjutnya jelaskan visinya yang selaras dengan kontribusinya. Di tengah-tengah, sisipkan peran studi yang ingin diambil dalam rencananya di masa depan. Itu saja.
Sederhana, tapi tidak mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar