Ternyata menjadi suami yang egois itu sulit. Siapa pun boleh berkata bahwa menjadi egois adalah mudah, tapi untuk menjadi seorang suami yang egois itu bukanlah hal yang mudah. Menjadi suami yang egois itu membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari sisi materi maupun hati. Hanya saja tidak semua suami menyadari hal ini.
Kali ini saya ingin mengambil contoh dari sebuah film berjudul “Up”. Film dengan durasi sekitar 90 menit, dengan diawali 11 menit yang mengharukan, itu bercerita tentang keegoisan seorang suami bernama Carl. Setelah Ellie, istrinya, meninggal dunia, sifat Carl berubah menjadi egois. Dengan keegoisannya dia mempertahankan rumah tuanya walaupun rumah-rumah di sekitarnya sudah digusur untuk pembangunan. Dengan egoisnya dia melarikan diri dari kemungkinan masuk rumah jompo demi memastikan janjinya untuk memenuhi impian istrinya; memiliki rumah di Paradise Falls. Sepanjang film itu menceritakan besarnya pengorbanan Carl demi keegoisannya ini.
Film Up itu sebenarnya hanya menegaskan pengalaman saya sendiri untuk menjadi suami yang egois. Keinginan saya hanya satu: pernikahan yang bahagia. Untuk mencapai hal itu, banyak hal yang saya turunkan prioritasnya di bawah pernikahan. Contohnya antara lain pekerjaan, hubungan dengan teman, dan banyak hal lainnya. Keegoisan saya ini memaksa diri saya untuk senantiasa menjadikan pernikahan (baca: istri) sebagai prioritas.
Untuk mencapai pernikahan yang bahagia itu dibutuhkan pengertian dan pengorbanan. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengertian. Pengorbanan itu sendiri adalah bentuk nyata dari pengertian. Untuk mencapai derajat pengertian yang cukup, seorang suami tidak bisa hidup seenak dengkulnya. Aturan main di dalam rumah tangga pun tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh suami (sebagai kepala keluarga) melainkan melalui kesepakatan dengan istri.
Ada banyak hal yang perlu direlakan demi kebahagiaan dalam pernikahan. Salah satu yang paling krusial adalah waktu, karena waktu itu lebih berharga dari emas. Emas yang hilang dapat dibeli, sementara waktu yang hilang tak akan mungkin kembali. Mengorbankan waktu yang kita miliki demi kepentingan istri atau demi kepentingan pernikahan itu jauh lebih sulit ketimbang uang dalam jumlah berapa pun. Waktu untuk bekerja (atau mengejar karir), waktu untuk menghibur diri, waktu untuk bertemu dengan teman-teman lama, waktu untuk tidur dan istirahat, dan waktu-waktu untuk melakukan hal lain dalam hidup seorang suami harus siap dikorbankan. Semua harus dilakukan semata-mata karena keegoisan suami untuk mendapatkan keinginannya, yaitu pernikahan yang penuh kebahagiaan.
Terlepas dari semua kesulitan itu, ada satu faktor yang akan membuat semua pengorbanan suami itu menjadi mudah. Satu faktor ini adalah istri egois dengan keinginan yang sama. Saya tidak menemukan faktor lain yang secara signifikan dapat mempermudah mencapai kebahagiaan dalam pernikahan selain istri yang juga memberi pengertian dan pengorbanan yang sama besarnya terhadap suami. Kalau saja ada seorang suami yang mengaku pernikahannya bahagia tanpa ada faktor istri yang mendukungnya maka kebahagiaan yang diakui suami itu adalah kebahagiaan semu (atau mungkin sekedar topeng).
Setiap pengorbanan yang dilakukan suami akan menjadi hampa bila tidak disambut oleh istri yang juga memberikan pengorbanan yang sama. Hal ini disebabkan karena istri itu akan mengerti betapa besarnya pengorbanan suami karena dia pun melakukan hal yang sama. Dengan adanya rasa saling mengerti di antara suami dan istri inilah sikap saling menghargai akan tumbuh. Dengan adanya sikap saling menghargai ini, suami dan istri bisa menjaga rasa hormat dan rasa sayang di antara satu sama lain. Ini merupakan salah satu rumus sebab-akibat untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahan.
Menggambarkan peran istri lebih jauh lagi tentu akan berlebihan. Dengan ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa peran istri memang sangat signifikan dalam mencapai pernikahan yang bahagia. Sama signifikannya dengan peran suami untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahannya. Saya katakan “sama” tapi bukan berarti sama persis karena baik suami maupun istri memiliki perannya masing-masing. Selama suami dan istri menjalankan perannya secara proporsional (dengan porsi yang sama), maka jalan menuju pernikahan yang bahagia adalah jalan yang mudah.
Menjadi suami yang egois, suami yang hanya mementingkan pernikahannya saja, bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjadi suami yang egois seperti ini dibutuhkan kematangan berpikir dan kemauan untuk mengalah. Bila gayung bersambut, yaitu bila istri yang bersangkutan pun memiliki keegoisan yang sama, maka jalan untuk mencapai pernikahan yang bahagia akan menjadi sangat mudah.
Tulisan terkait:
Karir dalam Keluarga
Menjadi Dewasa dengan Menikah (bahasa Inggris)
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/nmvchl2T/SulitnyaMenjadiSuamiYangEgois.html
ihiyyyyy... cuit cuit...
BalasHapus~udah egois :))
kayaknya judulnya salah deh. harusnya ada kata "tidak" tuh sebelum kata "EgoiS"
BalasHapus@ad:
BalasHapusMemang sengaja seperti itu. Tulisan ini bermaksud menceritakan suami egois yang hanya mementingkan pernikahannya. Kenyataannya untuk menjadi suami egois seperti ini memang sulit.
oooh gitu, jadi maksudnya suami yg seringkali lebih mementingkan pekerjaan, hubungan dengan teman, dan banyak hal lainnya bukanlah suami yg egois? jadi bingung nih kl orang yg ga ngerti
BalasHapusJudulnya memang sengaja dibuat kontradiktif. Menjadi egois seharusnya mudah, tapi di sini saya malah menegaskan kalau menjadi suami yang egois itu sulit. Kenapa sulit? Karena egois yang dimaksud adalah egois dalam hal mementingkan pernikahan. Ini merupakan ironi karena apa yang tersurat di judul justru bermakna sebaliknya. Kenyataannya menjadi suami yang mementingkan pernikahan itu sebenarnya tidak egois.
BalasHapusTulisan di atas tidak menyinggung sisi egois secara umum, tapi spesifik kepada keegoisan dalam konteks mengutamakan pernikahan; sebuah keegoisan yang baik. Hal ini bahkan saya tegaskan berulang-ulang.
Bagi saya suami yang mementingkan pekerjaan, hubungan dengan teman, atau hal lainnya tanpa peduli perasaan istri adalah suami egois dalam arti sebenarnya. Berbeda dengan maksud tulisan di atas yang menjelaskan egois dalam arti sebaliknya.