Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/how-to-train-your-viking-son.html
Walaupun semakin ditentang oleh ayahnya, sikap positif Hiccup tidak berhenti. Hiccup justru semakin bertekad untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia bisa menjadi seorang Viking dengan caranya sendiri; tidak dengan cara dan budaya orang Viking pada umumnya. Perjuangannya membuahkan hasil karena akhirnya ayah Hiccup mau menerima Hiccup apa adanya; lebih tepatnya menerima dengan penuh kebanggaan.
Saya yakin banyak orang pernah mengalami hal yang serupa, baik sebagai Hiccup maupun sebagai Stoick. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami hal ini juga menemukan akhir yang bahagia seperti cerita Stoick dan Hiccup. Kadang perselisihan -atau lebih tepatnya kurangnya sikap saling mengerti- antara ayah dan anak itu berujung pada hubungan yang tidak harmonis.
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari film tersebut dan bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menjaga keharmonisan hubungan ayah-anak. Dalam hal ini, masing-masing ayah dan anak memiliki peran yang vital. Keharmonisan hubungan ayah dan anak hanya bisa terbentuk dengan rasa pengertian dan kepedulian dari ayah terhadap anak dan dari anak terhadap ayah; dua arah.
Seorang ayah yang sukses tentu berharap anaknya pun mengikuti jejak kesuksesannya. Ini adalah kesalahan umum yang dilakukan seorang ayah. Seorang ayah hendaknya menyadari bahwa anaknya tidak sama dengan dirinya. Seorang anak memiliki jalan hidup yang berbeda dengan ayahnya. Seorang dokter yang sukses bisa jadi memiliki anak dengan bakat seni yang hebat. Seorang pegawai negeri yang sukses bisa jadi memiliki anak dengan bakat wiraswasta yang kuat. Setiap ayah harus bisa berhenti meletakan beban "menjadi seperti ayah" di pundak anaknya.
Seorang ayah berperan penting dalam membantu menemukan potensi yang dimiliki oleh anaknya. Setelah potensi itu ditemukan, ayah berperan untuk membantu anaknya mengasah potensi tersebut. Dengan begitu, kolaborasi ayah dan anak ini akan membentuk seorang pemuda dengan kemampuan yang hebat sesuai bakat dan minatnya sendiri; bukan sesuai bakat dan minat ayahnya sendiri.
Seorang ayah perlu membiarkan anaknya mencoba banyak hal yang menarik minatnya. Kalaupun pilihan anak itu salah, biarkan mereka mengambil pilihan itu. Salah memilih itu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk anak-anak. Yang perlu dijaga oleh para ayah adalah jangan sampai kesalahan yang dilakukan itu adalah kesalahan yang fatal.
Bersambung ...
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html
Senin, 31 Mei 2010
Minggu, 30 Mei 2010
How to Train Your (Viking) Son
Saya tidak pernah menyangka bahwa cerita dalam film How to Train Your Dragon banyak menyinggung hubungan antara ayah dan anak. Sebelumnya saya pikir cerita itu akan terpusat pada aksi tokoh protagonis dan tidak melibatkan ayah dan anak. Saya justru membayangkan sekumpulan tokoh protagonis (entah dalam usia remaja atau lebih tua) dalam misi untuk menemukan dan melatih naga-naga sehingga dapat digunakan untuk berperang.
Ternyata film How to Train Your Dragon ini bercerita banyak tentang tokoh utamanya, Hiccup, yang berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia bisa menjadi bagian dari klan Viking yang kuat. Kenyataannya hal ini sulit dilakukan karena Hiccup memiliki “keterbatasan tertentu” -sengaja saya tidak paparkan- yang membuat ayahnya tidak pernah bisa menerima dia untuk menjadi seorang Viking.
Ada banyak aspek hubungan ayah-anak yang dimunculkan dalam film ini. Kebanyakan aspek-aspek yang dimunculkan ini adalah aspek-aspek umum yang bisa kita temukan dalam interaksi sehari-hari antara seorang ayah dan anak laki-laki. Entah itu antara kita dengan ayah kita, antara kita dengan anak laki-laki kita, antara sepupu dengan paman kita, atau antara ayah dan anak laki-laki mana pun.
Di film tersebut, ayah Hiccup yang bernama Stoick adalah pemimpin bangsa Viking yang disegani. Kondisi ini kerap menjadi kendala dalam perkembangan anak karena tipe ayah yang sukses seperti Stoick ini seringkali memiliki harapan yang tinggi -bahkan terlalu tinggi- terhadap anaknya. Dalam film tersebut, Stoick benar-benar berharap Hiccup dapat tumbuh menjadi orang Viking yang dapat dia banggakan. Dan seperti yang sudah saya paparkan di atas, harapan ini bisa dikatakan sebuah mimpi belaka.
Sisi positifnya adalah Hiccup tidak serta-merta berontak. Hiccup masih berusaha memenuhi harapan ayahnya. Tapi kenyataannya semua hal yang dilakukan Hiccup itu sia-sia. Bukannya berpikir positif terhadap usaha yang dilakukan anaknya, Stoick justru semakin kehilangan kepercayaannya kepada Hiccup. Masalah ini menjadi semakin pelik dengan buruknya komunikasi di antara mereka berdua. Baik Hiccup maupun ayahnya seperti terhalang sebuah tembok besar saat mereka mencoba menyampaikan maksud mereka masing-masing.
Bersambung ...
*Gambar 1 diambil dari http://www.parentpreviews.com/legacy-pics/how-to-train-your-dragon.jpg
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html
Gambar 1 |
Ada banyak aspek hubungan ayah-anak yang dimunculkan dalam film ini. Kebanyakan aspek-aspek yang dimunculkan ini adalah aspek-aspek umum yang bisa kita temukan dalam interaksi sehari-hari antara seorang ayah dan anak laki-laki. Entah itu antara kita dengan ayah kita, antara kita dengan anak laki-laki kita, antara sepupu dengan paman kita, atau antara ayah dan anak laki-laki mana pun.
Di film tersebut, ayah Hiccup yang bernama Stoick adalah pemimpin bangsa Viking yang disegani. Kondisi ini kerap menjadi kendala dalam perkembangan anak karena tipe ayah yang sukses seperti Stoick ini seringkali memiliki harapan yang tinggi -bahkan terlalu tinggi- terhadap anaknya. Dalam film tersebut, Stoick benar-benar berharap Hiccup dapat tumbuh menjadi orang Viking yang dapat dia banggakan. Dan seperti yang sudah saya paparkan di atas, harapan ini bisa dikatakan sebuah mimpi belaka.
Sisi positifnya adalah Hiccup tidak serta-merta berontak. Hiccup masih berusaha memenuhi harapan ayahnya. Tapi kenyataannya semua hal yang dilakukan Hiccup itu sia-sia. Bukannya berpikir positif terhadap usaha yang dilakukan anaknya, Stoick justru semakin kehilangan kepercayaannya kepada Hiccup. Masalah ini menjadi semakin pelik dengan buruknya komunikasi di antara mereka berdua. Baik Hiccup maupun ayahnya seperti terhalang sebuah tembok besar saat mereka mencoba menyampaikan maksud mereka masing-masing.
Bersambung ...
*Gambar 1 diambil dari http://www.parentpreviews.com/legacy-pics/how-to-train-your-dragon.jpg
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html
Rabu, 26 Mei 2010
2000 Rupiah yang Tidak Halal
Pagi ini saya mendapat kesempatan untuk naik kendaraan umum (Bus 46) tanpa bayar. Bukan karena saya merupakan personil kepolisian atau militer, bukan juga karena Bus 46 itu sedang mengadakan promo. Penyebab utamanya adalah keteledoran sang Kondektur.
Bus 46 yang saya tumpangi itu memiliki 3 pintu masuk penumpang, yaitu depan, tengah, dan belakang. Saya masuk dari pintu belakang dan Alhamdulillah mendapat tempat duduk di bagian belakang bus. Setelah saya menyusul beberapa penumpang lain lewat pintu belakang bus itu.
Selama perjalanan dari Slipi sampai kantor, Kondektur tidak kunjung bergerak ke belakang. Saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Entah karena dia tidak melihat ada penumpang yang masuk dari belakang atau bagaimana. Yang pasti Kondektur bergerak tidak jauh dari bagian tengah bus.
Berhubung bus agak padat -maklum rush hour- saya memutuskan menyiapkan uang 2.000 rupiah untuk dibayarkan kepada Kondektur saat saya turun. Tapi harapan tidak bertemu dengan kenyataan. Saat saya turun di halte dekat kantor, Kondektur itu justru berada di dalam bus -tidak di pinggir pintu seperti kondektur pada umumnya. Alhasil uang 2.000 rupiah itu masih saya pegang.
Tanpa berpikir panjang, saya memasukan uang itu ke saku belakang celana untuk memisahkannya dengan uang saya yang lain. Saya langsung jalan ke kantor. Sesampainya di kantor, saya mampir ke masjid kantor dan mencari kotak amal. Uang 2.000 rupiah itu saya masukan ke dalam kotak amal dengan diniatkan atas nama siapa pun orang yang seharusnya mendapatkan uang itu -mungkin antara Kondektur, Supir, atau Pengelola bus.
Selepas dari masjid, saya kembali ke kantor dan meneruskan aktifitas seperti biasa tanpa lagi memikirkan masalah uang 2.000 rupiah itu -kecuali saat saya membuat tulisan ini. Saya tidak tahu apakah langkah yang saya lakukan itu benar atau tidak. Mungkin seharusnya saya kejar Kondektur itu ke bagian tengah bus untuk memberikan uang 2.000 rupiah itu. Tapi sayangnya pilihan yang terakhir itu agak sulit saya lakukan.
Terlepas dari itu, perasaan bersalah saya hilang saat uang itu masuk ke dalam kotak amal. Paling tidak saya tahu bahwa uang itu tidak akan saya gunakan untuk kepentingan saya dan keluarga saya. Walaupun jumlah 2.000 itu kecil, saya tetap menganggap uang itu bukan hak saya. Semoga saja apa yang saya lakukan sudah mengembalikan uang itu kepada yang berhak, walaupun saya melakukannya secara tidak langsung.
Setiap muslim memang selayaknya menjaga kebersihan nafkahnya. Dengan menjaga dari yang kecil, harapannya yang besar pun ikut terjaga. Kalau untuk uang 2.000 rupiah saja saya tidak mau mengambil yang kotor, maka untuk uang yang jumlahnya besar pun -misalnya 25 milyar- tidak akan saya ambil.
Bus 46 yang saya tumpangi itu memiliki 3 pintu masuk penumpang, yaitu depan, tengah, dan belakang. Saya masuk dari pintu belakang dan Alhamdulillah mendapat tempat duduk di bagian belakang bus. Setelah saya menyusul beberapa penumpang lain lewat pintu belakang bus itu.
Selama perjalanan dari Slipi sampai kantor, Kondektur tidak kunjung bergerak ke belakang. Saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Entah karena dia tidak melihat ada penumpang yang masuk dari belakang atau bagaimana. Yang pasti Kondektur bergerak tidak jauh dari bagian tengah bus.
Berhubung bus agak padat -maklum rush hour- saya memutuskan menyiapkan uang 2.000 rupiah untuk dibayarkan kepada Kondektur saat saya turun. Tapi harapan tidak bertemu dengan kenyataan. Saat saya turun di halte dekat kantor, Kondektur itu justru berada di dalam bus -tidak di pinggir pintu seperti kondektur pada umumnya. Alhasil uang 2.000 rupiah itu masih saya pegang.
Tanpa berpikir panjang, saya memasukan uang itu ke saku belakang celana untuk memisahkannya dengan uang saya yang lain. Saya langsung jalan ke kantor. Sesampainya di kantor, saya mampir ke masjid kantor dan mencari kotak amal. Uang 2.000 rupiah itu saya masukan ke dalam kotak amal dengan diniatkan atas nama siapa pun orang yang seharusnya mendapatkan uang itu -mungkin antara Kondektur, Supir, atau Pengelola bus.
Selepas dari masjid, saya kembali ke kantor dan meneruskan aktifitas seperti biasa tanpa lagi memikirkan masalah uang 2.000 rupiah itu -kecuali saat saya membuat tulisan ini. Saya tidak tahu apakah langkah yang saya lakukan itu benar atau tidak. Mungkin seharusnya saya kejar Kondektur itu ke bagian tengah bus untuk memberikan uang 2.000 rupiah itu. Tapi sayangnya pilihan yang terakhir itu agak sulit saya lakukan.
Terlepas dari itu, perasaan bersalah saya hilang saat uang itu masuk ke dalam kotak amal. Paling tidak saya tahu bahwa uang itu tidak akan saya gunakan untuk kepentingan saya dan keluarga saya. Walaupun jumlah 2.000 itu kecil, saya tetap menganggap uang itu bukan hak saya. Semoga saja apa yang saya lakukan sudah mengembalikan uang itu kepada yang berhak, walaupun saya melakukannya secara tidak langsung.
Setiap muslim memang selayaknya menjaga kebersihan nafkahnya. Dengan menjaga dari yang kecil, harapannya yang besar pun ikut terjaga. Kalau untuk uang 2.000 rupiah saja saya tidak mau mengambil yang kotor, maka untuk uang yang jumlahnya besar pun -misalnya 25 milyar- tidak akan saya ambil.
Jumat, 14 Mei 2010
Tiga Tahap Pertumbuhan Anak Laki-Laki (3)
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/tiga-tahap-pertumbuhan-anak-laki-laki-2.html
Tahap terakhir adalah usia tiga belas tahun sampai seterusnya. Pada tahap ini, anak laki-laki pada dasarnya masih dalam tahap belajar menjadi laki-laki. Perbedaan yang mencolok dengan tahap sebelumnya adalah pergeseran minat anak dari ayah ke pria dewasa pada umumnya. Pada tahap ini, perhatian anak laki-laki akan tertuju pada dunia yang lebih luas. Peran ayah dan ibu di tahap ini akan menurun, tapi jangan sampai anak laki-laki itu dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa pendamping. Yang paling penting di tahap pertumbuhan ini adalah menemukan pria dengan taraf pemikiran yang matang -selain anggota keluarga- untuk membantu anak laki-laki belajar menjadi pria yang bertanggung jawab dan mandiri di tengah-tengah masyarakat.
Di tahap pertumbuhan ketiga ini, seorang anak laki-laki mulai memiliki keinginan untuk mengambil peran dalam masyarakat. Yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membiarkan anak laki-lakinya mengambil peran sambil senantiasa memantau perkembangan anaknya dari jauh. Sekali lagi saya tegaskan bahwa hal yang penting dalam tahap ini adalah menemukan pendamping atau pembimbing yang tepat. Dengan begitu anak laki-laki tidak merasa dirinya dikekang tapi dalam waktu yang sama tetap dijaga agar tidak mengambil peran yang salah. Keberhasilan menemukan sosok pria dewasa yang mampu membimbing seorang anak laki-laki merupakan faktor utama dalam menentukan berhasil atau tidaknya anak laki-laki menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab dan mandiri.
Terlepas dari kita berhasil menemukan pembimbing atau tidak, anak laki-laki pun akan dengan sendirinya mencari. Jika seorang anak laki-laki merasa tidak berhasil menemukannya, mereka akan beralih kepada teman-teman mereka. Teman-teman mereka itu yang akan menjadi pembimbing anak laki-laki kita. Kalau itu sudah terjadi, kelompok yang terbentuk itu adalah sekelompok orang yang saling membimbing tanpa kualifikasi yang memadai untuk membimbing. Wajar saja akhirnya kalau sekelompok anak laki-laki itu suka memberontak, tidak peduli dengan lingkungannya, suka merusak, atau bahkan terjerumus pada hal-hal negatif seperti seks bebas atau obat-obatan terlarang.
Saya yakin banyak orang tua akan sependapat kalau anak laki-laki di usia tiga belas tahun ke atas cenderung tidak mau mendengarkan orang tuanya. Pada saat yang sama, anak laki-laki di usia ini justru lebih mendengarkan kata-kata orang lain. Kalau orang tua memaksakan pendapatnya, kemungkinan besar hasilnya adalah pertengkaran antara orang tua dan anak. Kalau saja anak laki-laki di usia ini memiliki pria dewasa yang mengawasinya, pertengkaran orang tua dan anak itu dapat dihindari dan anak itu pun tidak akan mendapat celaka.
Intinya pada tahap pertumbuhan yang ketiga ini, setiap anak laki-laki sedang berusaha menemukan jati dirinya. Mereka mungkin akan mencoba berbagai hal baru yang mereka temukan di dunia luar. Orang tua yang terlalu mengekang mereka pasti akan mendapat perlawanan. Kalau anak laki-laki tidak dapat melawan orang tuanya secara frontal, maka dapat dipastikan mereka akan main belakang.
Biarkan anak laki-laki itu menemukan sendiri jati diri mereka. Yang dapat dilakukan oleh orang tua pada hakikatnya adalah menjaga agar mereka tidak salah melangkah. Walaupun keberadaan pria dewasa lain sebagai pembimbing itu penting, peran orang tua masih tetap vital dalam menentukan langkah-langkah yang diambil anaknya untuk menemukan peran dan jati diri mereka dalam masyarakat.
Referensi:
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html
Tahap terakhir adalah usia tiga belas tahun sampai seterusnya. Pada tahap ini, anak laki-laki pada dasarnya masih dalam tahap belajar menjadi laki-laki. Perbedaan yang mencolok dengan tahap sebelumnya adalah pergeseran minat anak dari ayah ke pria dewasa pada umumnya. Pada tahap ini, perhatian anak laki-laki akan tertuju pada dunia yang lebih luas. Peran ayah dan ibu di tahap ini akan menurun, tapi jangan sampai anak laki-laki itu dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa pendamping. Yang paling penting di tahap pertumbuhan ini adalah menemukan pria dengan taraf pemikiran yang matang -selain anggota keluarga- untuk membantu anak laki-laki belajar menjadi pria yang bertanggung jawab dan mandiri di tengah-tengah masyarakat.
Di tahap pertumbuhan ketiga ini, seorang anak laki-laki mulai memiliki keinginan untuk mengambil peran dalam masyarakat. Yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membiarkan anak laki-lakinya mengambil peran sambil senantiasa memantau perkembangan anaknya dari jauh. Sekali lagi saya tegaskan bahwa hal yang penting dalam tahap ini adalah menemukan pendamping atau pembimbing yang tepat. Dengan begitu anak laki-laki tidak merasa dirinya dikekang tapi dalam waktu yang sama tetap dijaga agar tidak mengambil peran yang salah. Keberhasilan menemukan sosok pria dewasa yang mampu membimbing seorang anak laki-laki merupakan faktor utama dalam menentukan berhasil atau tidaknya anak laki-laki menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab dan mandiri.
Terlepas dari kita berhasil menemukan pembimbing atau tidak, anak laki-laki pun akan dengan sendirinya mencari. Jika seorang anak laki-laki merasa tidak berhasil menemukannya, mereka akan beralih kepada teman-teman mereka. Teman-teman mereka itu yang akan menjadi pembimbing anak laki-laki kita. Kalau itu sudah terjadi, kelompok yang terbentuk itu adalah sekelompok orang yang saling membimbing tanpa kualifikasi yang memadai untuk membimbing. Wajar saja akhirnya kalau sekelompok anak laki-laki itu suka memberontak, tidak peduli dengan lingkungannya, suka merusak, atau bahkan terjerumus pada hal-hal negatif seperti seks bebas atau obat-obatan terlarang.
Saya yakin banyak orang tua akan sependapat kalau anak laki-laki di usia tiga belas tahun ke atas cenderung tidak mau mendengarkan orang tuanya. Pada saat yang sama, anak laki-laki di usia ini justru lebih mendengarkan kata-kata orang lain. Kalau orang tua memaksakan pendapatnya, kemungkinan besar hasilnya adalah pertengkaran antara orang tua dan anak. Kalau saja anak laki-laki di usia ini memiliki pria dewasa yang mengawasinya, pertengkaran orang tua dan anak itu dapat dihindari dan anak itu pun tidak akan mendapat celaka.
Intinya pada tahap pertumbuhan yang ketiga ini, setiap anak laki-laki sedang berusaha menemukan jati dirinya. Mereka mungkin akan mencoba berbagai hal baru yang mereka temukan di dunia luar. Orang tua yang terlalu mengekang mereka pasti akan mendapat perlawanan. Kalau anak laki-laki tidak dapat melawan orang tuanya secara frontal, maka dapat dipastikan mereka akan main belakang.
Biarkan anak laki-laki itu menemukan sendiri jati diri mereka. Yang dapat dilakukan oleh orang tua pada hakikatnya adalah menjaga agar mereka tidak salah melangkah. Walaupun keberadaan pria dewasa lain sebagai pembimbing itu penting, peran orang tua masih tetap vital dalam menentukan langkah-langkah yang diambil anaknya untuk menemukan peran dan jati diri mereka dalam masyarakat.
Referensi:
- Bidduplh, Steve. 2005. Raising Boys, alih bahasa oleh Daniel Wirajaya, S.S. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html
Rabu, 12 Mei 2010
Tiga Tahap Pertumbuhan Anak Laki-Laki (2)
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/tiga-tahap-pertumbuhan-anak-laki-laki.html
Untuk tahap selanjutnya, dari usia enam tahun sampai tiga belas tahun, peran ayah menjadi signifikan. Steve Biddulph menyebutkan bahwa pada usia enam tahun itu seolah-olah “tombol” untuk menjadi laki-laki dalam diri anak laki-laki ini dihidupkan. Pada usia ini, anak laki-laki semakin mendekat kepada pria-pria yang ada di dekatnya. Entah itu ayahnya, pamannya, atau sosok pria lain di dekatnya, anak laki-laki itu akan mendekat karena mereka ingin “belajar menjadi laki-laki”.
Akan tetapi, menurut saya, tombol kelaki-lakian itu belum tentu selalu dihidupkan di usia enam tahun. Saya rasa waktu untuk menghidupkan tombol ini kembali kepada kedekatan seorang anak laki-laki dengan para pria di sekitarnya. Seorang anak bisa saja menghidupkan tombol kelaki-lakian ini sebelum usia enam tahun kalau dia cukup dekat dengan ayahnya. Sebaliknya seorang anak bisa jadi menghidupkan tombol kelaki-lakian ini setelah melewati usia enam tahun karena dia terlalu bergantung pada ibunya.
Intinya pada tahap kedua dalam hidup anak laki-laki ini, mereka sedang belajar untuk menjadi laki-laki. Seorang anak perlu mengunduh perangkat lunak -meminjam istilah Steve Biddulph- kelaki-lakian dari pria terdekat di sekitarnya. Peran ayah di sini tentunya sangat besar karena seharusnya sosok pria terdekat dengan seorang anak adalah ayahnya. Di tahap ini, seorang ayah HARUS berusaha menyediakan waktu (dan kadar pengertian yang memadai) bagi anak-anaknya sehingga anaknya pun tidak kebingungan menemukan sosok pria yang bisa dia tiru.
Peran ayah di tahap ini memang sangat besar, tapi bukan berarti peran ibu hilang sama sekali. Ibu dengan kelembutannya tetap diperlukan kehadirannya. Salah satu alasan penting kehadiran ibu adalah agar anak laki-laki ini tetap mempertahankan sikap lembut yang ada di dalam dirinya. Saat ayahnya menjadi terlalu tegas (atau bahkan kasar), sikap lembut dalam anak laki-laki akan timbul. Bila dia tidak menemukan tempat untuk menyalurkan kelembutannya, anak laki-laki ini akan menutup diri dari kelembutan dan akan tumbuh menjadi laki-laki yang tegang dan rapuh. Dengan adanya ibu, anak laki-laki tahu bahwa kelembutannya itu baik dan akan selalu disambut oleh ibu mereka.
Yang perlu dijaga dalam kaitannya dengan peran ibu adalah porsi. Seberapa sering anak laki-laki itu kembali kepada ibunya, seberapa banyak perhatian ibu yang mereka butuhkan, seberapa dekat mereka dengan ibunya. Pertanyaan-pertanyaan itu yang perlu diperhatikan. Jangan sampai niat baik untuk mempertahankan kelembutan yang dimiliki anak laki-laki malah menjadi bumerang yang membuat mereka malah berbalik tidak bisa lepas dari pelukan ibu. Kondisi ini malah bersifat kontraproduktif karena akan berlawanan dengan tujuan “belajar menjadi laki-laki” itu sendiri.
Bersambung ...
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html
Untuk tahap selanjutnya, dari usia enam tahun sampai tiga belas tahun, peran ayah menjadi signifikan. Steve Biddulph menyebutkan bahwa pada usia enam tahun itu seolah-olah “tombol” untuk menjadi laki-laki dalam diri anak laki-laki ini dihidupkan. Pada usia ini, anak laki-laki semakin mendekat kepada pria-pria yang ada di dekatnya. Entah itu ayahnya, pamannya, atau sosok pria lain di dekatnya, anak laki-laki itu akan mendekat karena mereka ingin “belajar menjadi laki-laki”.
Akan tetapi, menurut saya, tombol kelaki-lakian itu belum tentu selalu dihidupkan di usia enam tahun. Saya rasa waktu untuk menghidupkan tombol ini kembali kepada kedekatan seorang anak laki-laki dengan para pria di sekitarnya. Seorang anak bisa saja menghidupkan tombol kelaki-lakian ini sebelum usia enam tahun kalau dia cukup dekat dengan ayahnya. Sebaliknya seorang anak bisa jadi menghidupkan tombol kelaki-lakian ini setelah melewati usia enam tahun karena dia terlalu bergantung pada ibunya.
Intinya pada tahap kedua dalam hidup anak laki-laki ini, mereka sedang belajar untuk menjadi laki-laki. Seorang anak perlu mengunduh perangkat lunak -meminjam istilah Steve Biddulph- kelaki-lakian dari pria terdekat di sekitarnya. Peran ayah di sini tentunya sangat besar karena seharusnya sosok pria terdekat dengan seorang anak adalah ayahnya. Di tahap ini, seorang ayah HARUS berusaha menyediakan waktu (dan kadar pengertian yang memadai) bagi anak-anaknya sehingga anaknya pun tidak kebingungan menemukan sosok pria yang bisa dia tiru.
Peran ayah di tahap ini memang sangat besar, tapi bukan berarti peran ibu hilang sama sekali. Ibu dengan kelembutannya tetap diperlukan kehadirannya. Salah satu alasan penting kehadiran ibu adalah agar anak laki-laki ini tetap mempertahankan sikap lembut yang ada di dalam dirinya. Saat ayahnya menjadi terlalu tegas (atau bahkan kasar), sikap lembut dalam anak laki-laki akan timbul. Bila dia tidak menemukan tempat untuk menyalurkan kelembutannya, anak laki-laki ini akan menutup diri dari kelembutan dan akan tumbuh menjadi laki-laki yang tegang dan rapuh. Dengan adanya ibu, anak laki-laki tahu bahwa kelembutannya itu baik dan akan selalu disambut oleh ibu mereka.
Yang perlu dijaga dalam kaitannya dengan peran ibu adalah porsi. Seberapa sering anak laki-laki itu kembali kepada ibunya, seberapa banyak perhatian ibu yang mereka butuhkan, seberapa dekat mereka dengan ibunya. Pertanyaan-pertanyaan itu yang perlu diperhatikan. Jangan sampai niat baik untuk mempertahankan kelembutan yang dimiliki anak laki-laki malah menjadi bumerang yang membuat mereka malah berbalik tidak bisa lepas dari pelukan ibu. Kondisi ini malah bersifat kontraproduktif karena akan berlawanan dengan tujuan “belajar menjadi laki-laki” itu sendiri.
Bersambung ...
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html
Mengejar Lowongan Kementerian Keuangan
Update (12 Mei 2010 13:56)
Cara Membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK):http://bagaimana-cara.blogspot.com/2009/04/membuat-surat-keterangan-catatan.html
Cara Membuat Kartu Tanda Pencari Kerja (Kartu Kuning):
http://bagaimana-cara.blogspot.com/2009/01/membuat-kartu-tanda-pencari-kerja-kartu.html
---
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) -sebelumnya Departemen Keuangan (Depkeu)- kembali membuka lowongan untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tingkat sarjana di tahun 2010 ini. Pengumuman resminya ada di sini: http://ppcpns.depkeu.go.id/pengumuman_reg.asp. Persyaratan resminya ada di sini: http://ppcpns.depkeu.go.id/Persyaratan.asp.
Lewat post ini saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya saat mengejar lowongan yang sama tahun 2008 lalu. Seperti lowongan CPNS pada umumnya, seleksi lowongan CPNS Kemenkeu pun melewati beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain:
- Seleksi Administrasi.
Pada tahap ini setiap pelamar diharuskan menyerahkan berkas sesuai persyaratan yang diumumkan. Saat itu berkas pelamar diserahkan langsung, berbeda dengan lowongan tahun 2010 yang mengharuskan berkas dikirim lewat pos. Satu tips yang bisa saya berikan kepada sarjana Ilmu Komputer. Anda diharuskan memilih salah satu jurusan Teknik Komputer, Teknik Informatika, atau Sistem Informasi. Di berkas lamaran Anda, pilih salah satu jurusan dan siapkan surat pernyataan dari almamater Anda yang mendukung jurusan pilihan Anda. - Tes Potensi Akademik (TPA).
Persiapan yang saya lakukan adalah dengan berlatih soal-soal. Soal-soal seperti ini dapat dibeli di toko buku terdekat. Pentingnya berlatih soal-soal TPA ini adalah untuk menghidupkan kembali sel-sel otak kita yang sudah berkarat. Perlu diperhatikan bahwa TPA ini mungkin saja dibarengi tes bahasa Inggris. - Psikotes.
Satu-satunya tips yang bisa saya berikan adalah berlatih. - Tes Kesehatan dan Kebugaran.
Di tahun 2008, tes kesehatan meliputi berat badan, tinggi badan, rabun, dan buta warna (kemungkinan ada tes lain yang lupa saya sebutkan). Tes kebugaran meliputi lari keliling lapangan sepak bola selama 12 menit dan sprint (lari cepat) membentuk angka 8. - Wawancara.
Anda akan masuk ke dalam instansi yang sedang melakukan reformasi. Di tahap wawancara ini, saya rasa seleksi dilakukan untuk memilih orang-orang dengan moral yang baik. Untuk tahap ini, saya sarankan jadi diri sendiri saja. Hanya saja jadilah diri sendiri yang baik. - Laporan.
Tahap terakhir dalam rangkaian seleksi. Tahap ini hanya untuk memastikan bahwa Anda yang terpilih memang benar-benar berniat bergabung dengan Kemenkeu.
Selamat mengejar lowongan!
Selasa, 11 Mei 2010
Tiga Tahap Pertumbuhan Anak Laki-Laki
Steve Biddulph dalam bukunya Raising Boys membagi tahap pertumbuhan anak laki-laki menjadi 3 (tiga) yang dibagi berdasarkan usia. Ketiga tahap tersebut adalah:
Terlepas dari itu, tulisan saya ini justru lebih cenderung membahas peran orang tua (ayah dan ibu) dalam mendidik anak laki-laki menurut tahap-tahap yang dikemukakan oleh Steve Biddulph di atas. Tujuannya adalah untuk membandingkan paparan Steve Biddulph dalam bukunya itu dengan pengalaman pribadi saya mendidik 2 (dua) laki-laki luar biasa bersama istri saya.
Steve Biddulph menyebutkan bahwa sejak kelahiran sampai usia enam tahun, peran Ibu dalam mendidik anak laki-laki itu sangat besar. Pada enam tahun pertama hidup mereka, anak laki-laki belajar mengenai kelembutan dari ibunya. Hal ini harus saya akui kebenarannya karena selembut apa pun sikap saya, istri saya tetap terlihat lebih lembut dalam menyikapi anak-anaknya. Walaupun kenyataannya kedua anak laki-laki kami adalah orang-orang yang lumayan keras kepala.
Mengajarkan anak-anak mengenai kelembutan ini pada dasarnya bukan bermaksud untuk menjadikan anak laki-laki menjadi lembek. Justru sikap lembut itu menggambarkan apa arti kedekatan dan cinta bagi anak laki-laki. Seiring banyaknya interaksi antara ibu dan anak laki-laki, mereka semakin mengerti bagaimana cara mendekat dan mencintai. Hal ini merupakan dasar keterampilan sosial yang dibutuhkan anak laki-laki dalam berinteraksi dengan dunia luar saat mereka besar nanti.
Dalam hal kedekatan dan cinta, saya (sebagai ayah) mungkin tidak bisa berperan banyak. Selembut apa pun sikap saya, saya pribadi memilih untuk mengambil peran sebagai orang tua yang tegas. Saat anak-anak saya sudah mulai rewel dan tidak bisa lagi mendengarkan kata-kata ibunya, saya akan (dan harus) turun tangan. Walaupun begitu, sikap tegas saya sebagai ayah tetap harus dibatasi. Saya dan istri saya masih mengutamakan kelembutan dalam mendidik anak-anak saya. Dan saat ketegasan saya akan melewati batas toleransi itu, istri saya yang pasti mengingatkan saya agar saya mengendur.
Bersambung ...
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html
- Dari kelahiran sampai enam tahun.
- Dari enam sampai tiga belas tahun.
- Dari tiga belas tahun sampai seterusnya.
Terlepas dari itu, tulisan saya ini justru lebih cenderung membahas peran orang tua (ayah dan ibu) dalam mendidik anak laki-laki menurut tahap-tahap yang dikemukakan oleh Steve Biddulph di atas. Tujuannya adalah untuk membandingkan paparan Steve Biddulph dalam bukunya itu dengan pengalaman pribadi saya mendidik 2 (dua) laki-laki luar biasa bersama istri saya.
Steve Biddulph menyebutkan bahwa sejak kelahiran sampai usia enam tahun, peran Ibu dalam mendidik anak laki-laki itu sangat besar. Pada enam tahun pertama hidup mereka, anak laki-laki belajar mengenai kelembutan dari ibunya. Hal ini harus saya akui kebenarannya karena selembut apa pun sikap saya, istri saya tetap terlihat lebih lembut dalam menyikapi anak-anaknya. Walaupun kenyataannya kedua anak laki-laki kami adalah orang-orang yang lumayan keras kepala.
Mengajarkan anak-anak mengenai kelembutan ini pada dasarnya bukan bermaksud untuk menjadikan anak laki-laki menjadi lembek. Justru sikap lembut itu menggambarkan apa arti kedekatan dan cinta bagi anak laki-laki. Seiring banyaknya interaksi antara ibu dan anak laki-laki, mereka semakin mengerti bagaimana cara mendekat dan mencintai. Hal ini merupakan dasar keterampilan sosial yang dibutuhkan anak laki-laki dalam berinteraksi dengan dunia luar saat mereka besar nanti.
Dalam hal kedekatan dan cinta, saya (sebagai ayah) mungkin tidak bisa berperan banyak. Selembut apa pun sikap saya, saya pribadi memilih untuk mengambil peran sebagai orang tua yang tegas. Saat anak-anak saya sudah mulai rewel dan tidak bisa lagi mendengarkan kata-kata ibunya, saya akan (dan harus) turun tangan. Walaupun begitu, sikap tegas saya sebagai ayah tetap harus dibatasi. Saya dan istri saya masih mengutamakan kelembutan dalam mendidik anak-anak saya. Dan saat ketegasan saya akan melewati batas toleransi itu, istri saya yang pasti mengingatkan saya agar saya mengendur.
Bersambung ...
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html
Senin, 03 Mei 2010
Sulitnya Menjadi Suami yang Egois
Ternyata menjadi suami yang egois itu sulit. Siapa pun boleh berkata bahwa menjadi egois adalah mudah, tapi untuk menjadi seorang suami yang egois itu bukanlah hal yang mudah. Menjadi suami yang egois itu membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari sisi materi maupun hati. Hanya saja tidak semua suami menyadari hal ini.
Kali ini saya ingin mengambil contoh dari sebuah film berjudul “Up”. Film dengan durasi sekitar 90 menit, dengan diawali 11 menit yang mengharukan, itu bercerita tentang keegoisan seorang suami bernama Carl. Setelah Ellie, istrinya, meninggal dunia, sifat Carl berubah menjadi egois. Dengan keegoisannya dia mempertahankan rumah tuanya walaupun rumah-rumah di sekitarnya sudah digusur untuk pembangunan. Dengan egoisnya dia melarikan diri dari kemungkinan masuk rumah jompo demi memastikan janjinya untuk memenuhi impian istrinya; memiliki rumah di Paradise Falls. Sepanjang film itu menceritakan besarnya pengorbanan Carl demi keegoisannya ini.
Film Up itu sebenarnya hanya menegaskan pengalaman saya sendiri untuk menjadi suami yang egois. Keinginan saya hanya satu: pernikahan yang bahagia. Untuk mencapai hal itu, banyak hal yang saya turunkan prioritasnya di bawah pernikahan. Contohnya antara lain pekerjaan, hubungan dengan teman, dan banyak hal lainnya. Keegoisan saya ini memaksa diri saya untuk senantiasa menjadikan pernikahan (baca: istri) sebagai prioritas.
Untuk mencapai pernikahan yang bahagia itu dibutuhkan pengertian dan pengorbanan. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengertian. Pengorbanan itu sendiri adalah bentuk nyata dari pengertian. Untuk mencapai derajat pengertian yang cukup, seorang suami tidak bisa hidup seenak dengkulnya. Aturan main di dalam rumah tangga pun tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh suami (sebagai kepala keluarga) melainkan melalui kesepakatan dengan istri.
Ada banyak hal yang perlu direlakan demi kebahagiaan dalam pernikahan. Salah satu yang paling krusial adalah waktu, karena waktu itu lebih berharga dari emas. Emas yang hilang dapat dibeli, sementara waktu yang hilang tak akan mungkin kembali. Mengorbankan waktu yang kita miliki demi kepentingan istri atau demi kepentingan pernikahan itu jauh lebih sulit ketimbang uang dalam jumlah berapa pun. Waktu untuk bekerja (atau mengejar karir), waktu untuk menghibur diri, waktu untuk bertemu dengan teman-teman lama, waktu untuk tidur dan istirahat, dan waktu-waktu untuk melakukan hal lain dalam hidup seorang suami harus siap dikorbankan. Semua harus dilakukan semata-mata karena keegoisan suami untuk mendapatkan keinginannya, yaitu pernikahan yang penuh kebahagiaan.
Terlepas dari semua kesulitan itu, ada satu faktor yang akan membuat semua pengorbanan suami itu menjadi mudah. Satu faktor ini adalah istri egois dengan keinginan yang sama. Saya tidak menemukan faktor lain yang secara signifikan dapat mempermudah mencapai kebahagiaan dalam pernikahan selain istri yang juga memberi pengertian dan pengorbanan yang sama besarnya terhadap suami. Kalau saja ada seorang suami yang mengaku pernikahannya bahagia tanpa ada faktor istri yang mendukungnya maka kebahagiaan yang diakui suami itu adalah kebahagiaan semu (atau mungkin sekedar topeng).
Setiap pengorbanan yang dilakukan suami akan menjadi hampa bila tidak disambut oleh istri yang juga memberikan pengorbanan yang sama. Hal ini disebabkan karena istri itu akan mengerti betapa besarnya pengorbanan suami karena dia pun melakukan hal yang sama. Dengan adanya rasa saling mengerti di antara suami dan istri inilah sikap saling menghargai akan tumbuh. Dengan adanya sikap saling menghargai ini, suami dan istri bisa menjaga rasa hormat dan rasa sayang di antara satu sama lain. Ini merupakan salah satu rumus sebab-akibat untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahan.
Menggambarkan peran istri lebih jauh lagi tentu akan berlebihan. Dengan ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa peran istri memang sangat signifikan dalam mencapai pernikahan yang bahagia. Sama signifikannya dengan peran suami untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahannya. Saya katakan “sama” tapi bukan berarti sama persis karena baik suami maupun istri memiliki perannya masing-masing. Selama suami dan istri menjalankan perannya secara proporsional (dengan porsi yang sama), maka jalan menuju pernikahan yang bahagia adalah jalan yang mudah.
Menjadi suami yang egois, suami yang hanya mementingkan pernikahannya saja, bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjadi suami yang egois seperti ini dibutuhkan kematangan berpikir dan kemauan untuk mengalah. Bila gayung bersambut, yaitu bila istri yang bersangkutan pun memiliki keegoisan yang sama, maka jalan untuk mencapai pernikahan yang bahagia akan menjadi sangat mudah.
Tulisan terkait:
Karir dalam Keluarga
Menjadi Dewasa dengan Menikah (bahasa Inggris)
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/nmvchl2T/SulitnyaMenjadiSuamiYangEgois.html
Kali ini saya ingin mengambil contoh dari sebuah film berjudul “Up”. Film dengan durasi sekitar 90 menit, dengan diawali 11 menit yang mengharukan, itu bercerita tentang keegoisan seorang suami bernama Carl. Setelah Ellie, istrinya, meninggal dunia, sifat Carl berubah menjadi egois. Dengan keegoisannya dia mempertahankan rumah tuanya walaupun rumah-rumah di sekitarnya sudah digusur untuk pembangunan. Dengan egoisnya dia melarikan diri dari kemungkinan masuk rumah jompo demi memastikan janjinya untuk memenuhi impian istrinya; memiliki rumah di Paradise Falls. Sepanjang film itu menceritakan besarnya pengorbanan Carl demi keegoisannya ini.
Film Up itu sebenarnya hanya menegaskan pengalaman saya sendiri untuk menjadi suami yang egois. Keinginan saya hanya satu: pernikahan yang bahagia. Untuk mencapai hal itu, banyak hal yang saya turunkan prioritasnya di bawah pernikahan. Contohnya antara lain pekerjaan, hubungan dengan teman, dan banyak hal lainnya. Keegoisan saya ini memaksa diri saya untuk senantiasa menjadikan pernikahan (baca: istri) sebagai prioritas.
Untuk mencapai pernikahan yang bahagia itu dibutuhkan pengertian dan pengorbanan. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengertian. Pengorbanan itu sendiri adalah bentuk nyata dari pengertian. Untuk mencapai derajat pengertian yang cukup, seorang suami tidak bisa hidup seenak dengkulnya. Aturan main di dalam rumah tangga pun tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh suami (sebagai kepala keluarga) melainkan melalui kesepakatan dengan istri.
Ada banyak hal yang perlu direlakan demi kebahagiaan dalam pernikahan. Salah satu yang paling krusial adalah waktu, karena waktu itu lebih berharga dari emas. Emas yang hilang dapat dibeli, sementara waktu yang hilang tak akan mungkin kembali. Mengorbankan waktu yang kita miliki demi kepentingan istri atau demi kepentingan pernikahan itu jauh lebih sulit ketimbang uang dalam jumlah berapa pun. Waktu untuk bekerja (atau mengejar karir), waktu untuk menghibur diri, waktu untuk bertemu dengan teman-teman lama, waktu untuk tidur dan istirahat, dan waktu-waktu untuk melakukan hal lain dalam hidup seorang suami harus siap dikorbankan. Semua harus dilakukan semata-mata karena keegoisan suami untuk mendapatkan keinginannya, yaitu pernikahan yang penuh kebahagiaan.
Terlepas dari semua kesulitan itu, ada satu faktor yang akan membuat semua pengorbanan suami itu menjadi mudah. Satu faktor ini adalah istri egois dengan keinginan yang sama. Saya tidak menemukan faktor lain yang secara signifikan dapat mempermudah mencapai kebahagiaan dalam pernikahan selain istri yang juga memberi pengertian dan pengorbanan yang sama besarnya terhadap suami. Kalau saja ada seorang suami yang mengaku pernikahannya bahagia tanpa ada faktor istri yang mendukungnya maka kebahagiaan yang diakui suami itu adalah kebahagiaan semu (atau mungkin sekedar topeng).
Setiap pengorbanan yang dilakukan suami akan menjadi hampa bila tidak disambut oleh istri yang juga memberikan pengorbanan yang sama. Hal ini disebabkan karena istri itu akan mengerti betapa besarnya pengorbanan suami karena dia pun melakukan hal yang sama. Dengan adanya rasa saling mengerti di antara suami dan istri inilah sikap saling menghargai akan tumbuh. Dengan adanya sikap saling menghargai ini, suami dan istri bisa menjaga rasa hormat dan rasa sayang di antara satu sama lain. Ini merupakan salah satu rumus sebab-akibat untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahan.
Menggambarkan peran istri lebih jauh lagi tentu akan berlebihan. Dengan ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa peran istri memang sangat signifikan dalam mencapai pernikahan yang bahagia. Sama signifikannya dengan peran suami untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahannya. Saya katakan “sama” tapi bukan berarti sama persis karena baik suami maupun istri memiliki perannya masing-masing. Selama suami dan istri menjalankan perannya secara proporsional (dengan porsi yang sama), maka jalan menuju pernikahan yang bahagia adalah jalan yang mudah.
Menjadi suami yang egois, suami yang hanya mementingkan pernikahannya saja, bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjadi suami yang egois seperti ini dibutuhkan kematangan berpikir dan kemauan untuk mengalah. Bila gayung bersambut, yaitu bila istri yang bersangkutan pun memiliki keegoisan yang sama, maka jalan untuk mencapai pernikahan yang bahagia akan menjadi sangat mudah.
Tulisan terkait:
Karir dalam Keluarga
Menjadi Dewasa dengan Menikah (bahasa Inggris)
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/nmvchl2T/SulitnyaMenjadiSuamiYangEgois.html
Langganan:
Postingan (Atom)