Once upon a time, there was a boy who continued flying in search for another great adventure.
Tulisan ini adalah kelanjutan dari Tersambar Petir yang saya tulis 365 hari yang lalu. Sudah "terbang" ke mana saja diri saya ini sejak tanggal 31 Desember 2012? Apakah saya berhasil menemukan petualangan besar lainnya dalam hidup saya? Ada. Banyak pula.
Petualangan besar yang terjadi dalam hidup saya selama tahun 2013 adalah menempati rumah baru, menyambut kehadiran Yelena, dan pindah kantor ke Salemba. Ketiga peristiwa itu merupakan peristiwa-peristiwa besar yang sangat berbekas dan tidak mudah dilupakan. Peristiwa-peristiwa ini merupakan life-changing-event bagi diri saya (dan +Ratna Aditia).
Kenapa saya menyebutnya life-changing? Bagi kami (saya dan istri saya), menempati rumah baru itu ibarat melewati sebuah medan yang tidak kami kenal sama sekali. Apa yang harus kami persiapkan, apa saja yang harus kami lakukan, dan berbagai keputusan-keputusan lain yang harus kami ambil terkait dengan persiapan rumah baru itu benar-benar hal yang baru. Mulai dari mengebor sumur air, membongkar bagian rumah yang asli, menambah kamar-kamar, memasang filter air, memasang kanopi, dan berbagai embel-embel lainnya adalah petualangan baru bagi kami.
Pekerjaan-pekerjaan besar dalam mengurus rumah memang kami serahkan kepada ahlinya, tapi kami tetap terlibat dalam mengambil keputusan. Berhubung kami sedang melewati medan yang tidak kami kenal, tidak semua keputusan yang kami ambil itu memuaskan; beberapa di antaranya kami sesali. Sementara itu, kami juga belajar untuk menangani pekerjaan-pekerjaan kecil tanpa bantuan pihak lain. Banyak keterampilan baru yang saya pribadi temukan lewat pekerjaan-pekerjaan rumah yang kecil itu. Satu hal yang pasti, saya mulai gemar menyiapkan dan menggunakan perkakas di rumah.
Kehadiran Yelena memberikan tambahan petualangan untuk kami jajaki. Memang benar bahwa kami sudah terbiasa mengurus bayi, tapi bayi yang biasa kami urus adalah bayi laki-laki. Jadi kehadiran seorang bayi perempuan di tengah-tengah keluarga kami merupakan peristiwa yang luar biasa. Dengan Yelena, kami merasakan langsung bagaimana mudahnya mengurus seorang bayi perempuan. Kenapa mudah? Bila dibandingkan dengan mengurus bayi Raito dan bayi Aidan sekaligus, tentu saja mengurus bayi Yelena akan terasa mudah.
Ibaratnya orang yang biasa melompat 10 meter, diminta melompat 5 meter. Itulah perumpamaan sederhana antara mengurus bayi Raito dan bayi Aidan dengan mengurus bayi Yelena. Tidak hanya masalah jumlah, pandangan masyarakat juga mengatakan bahwa bayi perempuan itu lebih tenang dibandingkan bayi laki-laki. Hal ini kami rasakan sendiri. Yelena memang tidak serewel Raito dan Aidan saat mereka masih bayi. Lebih bawel, iya. Tapi itu cerita lain.
Petualangan besar kami yang terakhir di tahun 2013 ini adalah kuliah S2. Yang melanjutkan kuliah S2 memang saya sendiri (istri saya sudah lebih dulu menyelesaikan S2-nya), tapi tetap saja ini adalah petualangan kami. Kenapa "kami"? Karena dengan S2 ini, banyak hal yang harus berubah atau sebaliknya ada beberapa hal yang harus banyak berubah.
Contoh perubahan yang paling nyata adalah berubahnya take home pay (THP) saya secara signifikan karena tugas belajar mengharuskan tunjangan saya dipotong. Bisa dibayangkan betapa pusingnya kami saat menghadapi kenyataan bahwa THP saya harus berkurang sementara cicilan rumah baru masih berjalan ditambah lagi dengan adanya Yelena? Kalau Anda bisa membayangkannya, berarti Anda tahu persis betapa besarnya perubahan yang harus dilalui oleh keluarga kami.
Demikian cerita singkat petualangan saya. Gambarannya memang tidak menarik layaknya film-film petualangan yang masuk box office, tapi kita sama-sama tahu bahwa petualangan pribadi akan selalu menjadi box office untuk diri kita sendiri. Kita sendiri yang menjalaninya, maka kita sendiri yang tahu persis bagian serunya.
Tahun 2013 memang merupakan tahun yang menarik dalam hidup saya. Sebenarnya setiap tahun selalu saja ada peristiwa menarik, tapi sepertinya hattrick petualangan besar yang saya ceritakan di atas baru terjadi di tahun 2013 ini. Di sini saya berharap 2014 akan memberikan petualangan yang tidak kalah banyaknya, tapi saya tidak akan berharap terlalu banyak. Yang penting saya tetap "terbang" dan bersiap diri untuk kejutan-kejutan berikutnya di tahun-tahun yang akan datang.
Then the boy flies away to seek another great adventure.
--
*images found using Google Image Search
Selasa, 31 Desember 2013
Minggu, 15 September 2013
Gagal Mendidik Anak
Pernahkah Anda merasa gagal mendidik anak? Saya pernah. Perasaan ini muncul tidak hanya sekali atau dua kali; berkali-kali. Perasaan ini muncul saat saya melihat kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya kadang terdiam dan berpikir, "salah di mana ya gw?" Pada saat seperti ini, saya terus bertanya di mana letak kesalahan-kesalahan saya yang membentuk kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak saya itu.
Saat perasaan gagal mendidik anak ini muncul, saya mulai merasa pesimis melihat masa depan saya sebagai orang tua. Pesimisme ini dibarengi dengan perasaan minder yang mengakibatkan munculnya sifat cuek terhadap anak-anak saya. Saat cuekisme ini muncul, saya tidak lagi peduli dengan peran penting saya sebagai orang tua. Sampai akhirnya saya sadar kalau saja saya mau berpikir jernih, sebenarnya perasaan gagal mendidik anak ini menjadi salah satu sumber kegagalan saya.
Bayangkan saja. Kalau sampai kita tidak lagi optimis dengan kemampuan kita menjadi orang tua, kalau sampai kita tidak lagi percaya diri dengan status saya sebagai orang tua, kalau sampai kita tidak lagi peduli dengan peran penting kita sebagai orang tua, bukankah kita sudah menjerumuskan diri kita sendiri kepada kegagalan? Justru perasaan gagal mendidik anak ini yang membuat kita semakin terpuruk. Pada akhirnya kita pun akan kehilangan sentuhan kita sebagai orang tua.
Dengan menyadari hal ini, saya akhirnya memutuskan untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Sama seperti inti tulisan saya, Menghitung Nikmat, kita terlalu sering disibukkan dengan hal-hal yang negatif dan memberatkan sampai kita lupa melihat hal-hal yang positif dan meringankan. Begitu juga halnya dengan merawat anak-anak, saya pun memutuskan untuk melihat anak-anak saya seutuhnya; tidak hanya kebiasaan-kebiasaan buruk mereka saja.
Melalui sudut pandang yang lebih menyeluruh, saya menemukan lebih banyak hal-hal positif pada anak-anak saya dibandingkan dengan hal-hal negatif. Dengan melihat secara utuh, saya menemukan bahwa anak-anak saya ternyata memiliki lebih banyak kebiasaan-kebiasaan yang membanggakan dibandingkan kebiasaan-kebiasaan yang mengecewakan. Saya menyadari bahwa saya terlalu fokus pada memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya lupa menghargai kebiasaan-kebiasaan baik mereka.
Saat kebiasaan-kebiasaan baik itu mulai muncul ke permukaan, saat inilah saya menyadari bahwa posisi saya masih jauh dari gagal. Perasaan minder saya hilang dan saya tidak lagi cuek. Saya kembali merangkul peran saya sebagai orang tua dan berusaha untuk lebih menghargai anak-anak saya. Saya menyadari bahwa untuk bisa berhasil menjadi orang tua yang baik, saya tidak boleh merasa gagal mendidik anak-anak saya.
INTROSPEKSI
Langkah selanjutnya adalah introspeksi. Walaupun saya sudah berhasil mengalahkan hal-hal negatif dalam pikiran saya, momen ini dapat dimanfaatkan untuk introspeksi. Saya melakukan hal ini dengan menanyakan 2 (dua) hal kepada diri saya sendiri: (1) apa latar belakang munculnya perasaan gagal mendidik anak itu, dan (2) apa yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan kemampuan saya dalam mendidik anak.
Pertanyaan (1) lebih sering terkait dengan insiden-insiden yang melibatkan ketidakpatuhan anak-anak. Insiden-insiden ini umumnya begitu mengesalkan sampai ke titik yang membuat saya kesulitan mengendalikan emosi. Saya yakin setiap orang tua pernah mengalami masalah seperti ini. Insiden-insiden ini menjadi bahan introspeksi yang menarik bagi saya, terutama dalam konteks manajemen emosi.
Pertanyaan (2) saya tanyakan untuk mencari peluang-peluang yang bisa saya manfaatkan untuk memperbaiki kualitas metode mendidik anak yang sudah saya terapkan. Saya coba melihat kembali metode-metode dan nilai-nilai yang saya tanamkan dalam mendidik anak-anak saya. Yang saya nilai kurang tepat, saya tinggalkan. Yang sudah baik, saya pertahankan. Yang berpotensi baik, saya mulai terapkan juga.
Tulisan ini tentu akan menjadi panjang bila saya bicarakan satu per satu apa yang menjadi bahan introspeksi saya. Intinya ada pada memanfaatkan momen. Perasaan gagal mendidik anak itu muncul bukan tanpa alasan. Momen kemunculan perasaan negatif ini yang saya manfaatkan sebagai momen melakukan introspeksi bagi saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik di kemudian hari.
Di penghujung hari, saya berhasil memulihkan hati ini. Saya berbalik menyadari bahwa saya menemukan lebih banyak keberhasilan dibandingkan kegagalan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak saya. Saya tetap optimis bahwa saya akan menjadi orang tua yang baik dan terus belajar dari kesalahan-kesalahan saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak-anak saya.
Tidak hanya itu, saya juga belajar untuk menilai anak-anak saya secara utuh. Saya belajar untuk tidak hanya melihat kesalahan, kenakalan, atau ketidakpatuhan mereka, tapi juga melihat kebaikan, keistimewaan, dan kelebihan-kelebihan mereka. Saya belajar untuk bisa lebih menghargai apa yang berhasil mereka lakukan dan tidak melulu melihat kegagalan mereka. Semua itu menegaskan bahwa saya berhasil menjadi orang tua yang baik; BUKAN yang gagal.
Saat perasaan gagal mendidik anak ini muncul, saya mulai merasa pesimis melihat masa depan saya sebagai orang tua. Pesimisme ini dibarengi dengan perasaan minder yang mengakibatkan munculnya sifat cuek terhadap anak-anak saya. Saat cuekisme ini muncul, saya tidak lagi peduli dengan peran penting saya sebagai orang tua. Sampai akhirnya saya sadar kalau saja saya mau berpikir jernih, sebenarnya perasaan gagal mendidik anak ini menjadi salah satu sumber kegagalan saya.
Bayangkan saja. Kalau sampai kita tidak lagi optimis dengan kemampuan kita menjadi orang tua, kalau sampai kita tidak lagi percaya diri dengan status saya sebagai orang tua, kalau sampai kita tidak lagi peduli dengan peran penting kita sebagai orang tua, bukankah kita sudah menjerumuskan diri kita sendiri kepada kegagalan? Justru perasaan gagal mendidik anak ini yang membuat kita semakin terpuruk. Pada akhirnya kita pun akan kehilangan sentuhan kita sebagai orang tua.
Dengan menyadari hal ini, saya akhirnya memutuskan untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Sama seperti inti tulisan saya, Menghitung Nikmat, kita terlalu sering disibukkan dengan hal-hal yang negatif dan memberatkan sampai kita lupa melihat hal-hal yang positif dan meringankan. Begitu juga halnya dengan merawat anak-anak, saya pun memutuskan untuk melihat anak-anak saya seutuhnya; tidak hanya kebiasaan-kebiasaan buruk mereka saja.
Melalui sudut pandang yang lebih menyeluruh, saya menemukan lebih banyak hal-hal positif pada anak-anak saya dibandingkan dengan hal-hal negatif. Dengan melihat secara utuh, saya menemukan bahwa anak-anak saya ternyata memiliki lebih banyak kebiasaan-kebiasaan yang membanggakan dibandingkan kebiasaan-kebiasaan yang mengecewakan. Saya menyadari bahwa saya terlalu fokus pada memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya lupa menghargai kebiasaan-kebiasaan baik mereka.
Saat kebiasaan-kebiasaan baik itu mulai muncul ke permukaan, saat inilah saya menyadari bahwa posisi saya masih jauh dari gagal. Perasaan minder saya hilang dan saya tidak lagi cuek. Saya kembali merangkul peran saya sebagai orang tua dan berusaha untuk lebih menghargai anak-anak saya. Saya menyadari bahwa untuk bisa berhasil menjadi orang tua yang baik, saya tidak boleh merasa gagal mendidik anak-anak saya.
INTROSPEKSI
Langkah selanjutnya adalah introspeksi. Walaupun saya sudah berhasil mengalahkan hal-hal negatif dalam pikiran saya, momen ini dapat dimanfaatkan untuk introspeksi. Saya melakukan hal ini dengan menanyakan 2 (dua) hal kepada diri saya sendiri: (1) apa latar belakang munculnya perasaan gagal mendidik anak itu, dan (2) apa yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan kemampuan saya dalam mendidik anak.
Pertanyaan (1) lebih sering terkait dengan insiden-insiden yang melibatkan ketidakpatuhan anak-anak. Insiden-insiden ini umumnya begitu mengesalkan sampai ke titik yang membuat saya kesulitan mengendalikan emosi. Saya yakin setiap orang tua pernah mengalami masalah seperti ini. Insiden-insiden ini menjadi bahan introspeksi yang menarik bagi saya, terutama dalam konteks manajemen emosi.
Pertanyaan (2) saya tanyakan untuk mencari peluang-peluang yang bisa saya manfaatkan untuk memperbaiki kualitas metode mendidik anak yang sudah saya terapkan. Saya coba melihat kembali metode-metode dan nilai-nilai yang saya tanamkan dalam mendidik anak-anak saya. Yang saya nilai kurang tepat, saya tinggalkan. Yang sudah baik, saya pertahankan. Yang berpotensi baik, saya mulai terapkan juga.
Tulisan ini tentu akan menjadi panjang bila saya bicarakan satu per satu apa yang menjadi bahan introspeksi saya. Intinya ada pada memanfaatkan momen. Perasaan gagal mendidik anak itu muncul bukan tanpa alasan. Momen kemunculan perasaan negatif ini yang saya manfaatkan sebagai momen melakukan introspeksi bagi saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik di kemudian hari.
Di penghujung hari, saya berhasil memulihkan hati ini. Saya berbalik menyadari bahwa saya menemukan lebih banyak keberhasilan dibandingkan kegagalan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak saya. Saya tetap optimis bahwa saya akan menjadi orang tua yang baik dan terus belajar dari kesalahan-kesalahan saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak-anak saya.
Tidak hanya itu, saya juga belajar untuk menilai anak-anak saya secara utuh. Saya belajar untuk tidak hanya melihat kesalahan, kenakalan, atau ketidakpatuhan mereka, tapi juga melihat kebaikan, keistimewaan, dan kelebihan-kelebihan mereka. Saya belajar untuk bisa lebih menghargai apa yang berhasil mereka lakukan dan tidak melulu melihat kegagalan mereka. Semua itu menegaskan bahwa saya berhasil menjadi orang tua yang baik; BUKAN yang gagal.
Minggu, 01 September 2013
Menghitung Nikmat
7 (tujuh) hari terakhir ini adalah neraka. Sounds familiar? Saya yakin kita semua pernah kelelahan melewati hari-hari yang penuh cobaan. Saya pun yakin tidak hanya 1-2 kali rangkaian hari-hari melelahkan itu datang menghampiri kita. Kali ini, neraka yang saya lalui dimulai dari penyakit Mastitis yang diderita istri.
Istri saya divonis menderita penyakit Mastitis sejak hari Senin. Sejak hari Senin itu, istri saya terpaksa terus beristirahat di tempat tidur karena badannya terasa nyeri untuk melakukan berbagai aktivitas. Alhasil tenaga yang tersedia untuk mengurus dan merawat Yelena berkurang 1 (satu) orang. Yang tersisa hanya saya dan seorang pembantu yang belum terbiasa merawat bayi balimbul (bawah lima bulan). Untungnya saya tidak lagi canggung menggendong, mengganti popok, memandikan, dan menidurkan Yelena. Jadi, walaupun peran istri saya menjadi terbatas pada menyusui, life goes on.
Keberuntungan lain terkait masalah waktu. Berhubung saya sudah ada di penghujung masa kerja saya (Senin depan saya sudah mulai kuliah), maka tanggung jawab saya di kantor pun jauh berkurang. Atasan saya pun memperkenankan saya untuk tidak masuk kantor agar saya bisa meluangkan lebih banyak waktu di rumah. Walaupun saya harus bolak-balik rumah-kantor selama 5 (lima) hari berturut-turut, saya tetap bersyukur bahwa saya masih bisa membantu meringankan beban istri saya.
Seharusnya hari Jumat adalah hari terakhir masa-masa melelahkan tersebut karena itu adalah hari terakhir saya harus masuk kerja. Hari Jumat itu saya lewati dengan bahagia. Saya sudah sempat berpamitan ke atasan-atasan dan teman-teman di kantor. Barang-barang saya pun sudah saya benahi dan saya bawa pulang sehari sebelumnya. Saya sudah siap menempuh hidup baru --sebagai mahasiswa.
Rupanya "neraka" itu masih berlanjut. Sepulangnya saya dari acara orientasi mahasiswa baru pada Jumat malam, BRAAAK! Motor saya tergelincir. Saya terjatuh di sebuah persimpangan antara Harmoni dan Grogol. Untungnya masih ada pengendara motor yang berbaik hati untuk berhenti dan membantu saya berdiri dan berjalan ke pinggir jalan. Seorang pengendara motor lain ikut berhenti dan membantu membawa motor saya ke pinggir.
Untungnya kecepatan motor saya tidak terlalu tinggi. Badan masih kuat untuk meneruskan perjalanan pulang dan motor pun masih cukup prima untuk mengantarkan saya pulang. Berbagai luka di tangan dan kaki pun tidak menghambat saya untuk meneruskan perjalanan --walaupun saya harus menahan nyeri sepanjang perjalanan pulang itu. Untungnya hari sudah malam sehingga tidak ada macet sepanjang perjalanan. Rasa sakit di sekujur badan pun tidak terlalu mengganggu karena saya tidak perlu berhenti akibat macet.
Sesampainya di rumah, saya segera membersihkan luka-luka saya. Tangan kanan 2 (dua) tempat, tangan kiri 3 (tiga) tempat, kaki kanan 3 (tiga) tempat, kaki kiri bebas luka. Badan terasa sakit di beberapa bagian, tapi untungnya tidak ada yang serius. Alhamdulillah tidak ada satu pun tulang yang patah.
Celana panjang kesayangan terpaksa saya buang karena sobek akibat gesekan dengan aspal. Jaket yang saya gunakan agak sobek di bagian lengan kanan dan kiri, tapi untungnya jaket itu bisa dipakai bolak-balik. Smartphone saya yang terkena benturan saat saya jatuh ternyata tidak bermasalah. Barang-barang lainnya yang saya bawa pun masih utuh.
Secara sekilas kondisi motor saya masih baik-baik saja, tapi tetap terlihat ada yang perlu diperbaiki. Kerusakan yang bisa saya identifikasi sendiri adalah tuas rem tangan, pijakan kaki sebelah kanan, dan spion kanan. Kondisi motornya sendiri secara keseluruhan masih layak jalan --kalau saja stangnya tidak miring ke kanan. Sayangnya saya belum bisa memeriksa motor di bengkel langganan, tapi saya optimis kerusakannya tidak banyak.
Semua kemungkinan kerugian finansial itu pun tidak akan terasa terlalu berat karena Jumat siang saya masih sempat menerima honor dengan jumlah yang besar. Saya rasa sebesar apa pun kerugian finansial saya, cash flow bulanan saya tidak akan terganggu --walaupun untuk sementara saya perlu taksi untuk bepergian.
Yang menjadi beban pikiran adalah Yelena. Dengan kecelakaan yang saya alami, tenaga yang tersedia untuk mengurus Yelena pun semakin berkurang. Saat saya menulis di sini, kondisi istri memang sudah membaik, tapi tetap saja istri saya belum pulih 100%. Untungnya luka di tangan tidak terlalu parah sehingga saya masih bisa membantu mengurus Yelena --walaupun tidak dengan kapasitas 100%.
Masih ada keberuntungan-keberuntungan lain yang patut saya syukuri. Fakta bahwa saya terjatuh pada hari Jumat itu patut disyukuri karena saya memiliki waktu 2 (dua) hari untuk beristirahat sebelum mulai aktif kuliah. Yelena pun sudah bisa menggunakan pampers --sebelumnya kulitnya selalu mengalami iritasi-- sehingga saya atau istri saya untuk sementara tidak perlu repot mencuci clodi (cloth diapers). Dan masih banyak keberuntungan-keberuntungan lain yang agaknya akan terlalu banyak bila saya paparkan satu per satu di sini.
Sesungguhnya bersama kesulitan itu memang ada kemudahan. Yang menjadi masalah adalah kita lebih sering disibukkan oleh hal-hal yang sulit sehingga kita tidak bisa melihat kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan. Pikiran kita seringkali terlalu fokus pada musibah yang kita hadapi sehingga kita tidak menyadari berbagai nikmat yang kita terima di saat musibah itu terjadi. Alhasil musibah yang sudah berat akan terasa semakin berat karena pikiran kita hanya diisi oleh hal-hal yang memberatkan kita.
Menghitung nikmat adalah sebuah proses tak berujung karena kenikmatan yang kita terima itu juga sama-sama tak berujung --kecuali kita sudah mati. Proses tak berujung itu kita lakukan agar kita bisa senantiasa menghargai apa yang sudah kita miliki dan apa yang masih kita miliki saat kita sedang kehilangan berbagai hal. Dengan menghitung nikmat, pikiran kita akan terarah kepada hal-hal yang positif dan hidup kita akan terasa jauh lebih ringan. Jadi, sudah berapa nikmatkah yang Anda terima hari ini?
Istri saya divonis menderita penyakit Mastitis sejak hari Senin. Sejak hari Senin itu, istri saya terpaksa terus beristirahat di tempat tidur karena badannya terasa nyeri untuk melakukan berbagai aktivitas. Alhasil tenaga yang tersedia untuk mengurus dan merawat Yelena berkurang 1 (satu) orang. Yang tersisa hanya saya dan seorang pembantu yang belum terbiasa merawat bayi balimbul (bawah lima bulan). Untungnya saya tidak lagi canggung menggendong, mengganti popok, memandikan, dan menidurkan Yelena. Jadi, walaupun peran istri saya menjadi terbatas pada menyusui, life goes on.
Keberuntungan lain terkait masalah waktu. Berhubung saya sudah ada di penghujung masa kerja saya (Senin depan saya sudah mulai kuliah), maka tanggung jawab saya di kantor pun jauh berkurang. Atasan saya pun memperkenankan saya untuk tidak masuk kantor agar saya bisa meluangkan lebih banyak waktu di rumah. Walaupun saya harus bolak-balik rumah-kantor selama 5 (lima) hari berturut-turut, saya tetap bersyukur bahwa saya masih bisa membantu meringankan beban istri saya.
Seharusnya hari Jumat adalah hari terakhir masa-masa melelahkan tersebut karena itu adalah hari terakhir saya harus masuk kerja. Hari Jumat itu saya lewati dengan bahagia. Saya sudah sempat berpamitan ke atasan-atasan dan teman-teman di kantor. Barang-barang saya pun sudah saya benahi dan saya bawa pulang sehari sebelumnya. Saya sudah siap menempuh hidup baru --sebagai mahasiswa.
Rupanya "neraka" itu masih berlanjut. Sepulangnya saya dari acara orientasi mahasiswa baru pada Jumat malam, BRAAAK! Motor saya tergelincir. Saya terjatuh di sebuah persimpangan antara Harmoni dan Grogol. Untungnya masih ada pengendara motor yang berbaik hati untuk berhenti dan membantu saya berdiri dan berjalan ke pinggir jalan. Seorang pengendara motor lain ikut berhenti dan membantu membawa motor saya ke pinggir.
Untungnya kecepatan motor saya tidak terlalu tinggi. Badan masih kuat untuk meneruskan perjalanan pulang dan motor pun masih cukup prima untuk mengantarkan saya pulang. Berbagai luka di tangan dan kaki pun tidak menghambat saya untuk meneruskan perjalanan --walaupun saya harus menahan nyeri sepanjang perjalanan pulang itu. Untungnya hari sudah malam sehingga tidak ada macet sepanjang perjalanan. Rasa sakit di sekujur badan pun tidak terlalu mengganggu karena saya tidak perlu berhenti akibat macet.
Sesampainya di rumah, saya segera membersihkan luka-luka saya. Tangan kanan 2 (dua) tempat, tangan kiri 3 (tiga) tempat, kaki kanan 3 (tiga) tempat, kaki kiri bebas luka. Badan terasa sakit di beberapa bagian, tapi untungnya tidak ada yang serius. Alhamdulillah tidak ada satu pun tulang yang patah.
Celana panjang kesayangan terpaksa saya buang karena sobek akibat gesekan dengan aspal. Jaket yang saya gunakan agak sobek di bagian lengan kanan dan kiri, tapi untungnya jaket itu bisa dipakai bolak-balik. Smartphone saya yang terkena benturan saat saya jatuh ternyata tidak bermasalah. Barang-barang lainnya yang saya bawa pun masih utuh.
Secara sekilas kondisi motor saya masih baik-baik saja, tapi tetap terlihat ada yang perlu diperbaiki. Kerusakan yang bisa saya identifikasi sendiri adalah tuas rem tangan, pijakan kaki sebelah kanan, dan spion kanan. Kondisi motornya sendiri secara keseluruhan masih layak jalan --kalau saja stangnya tidak miring ke kanan. Sayangnya saya belum bisa memeriksa motor di bengkel langganan, tapi saya optimis kerusakannya tidak banyak.
Semua kemungkinan kerugian finansial itu pun tidak akan terasa terlalu berat karena Jumat siang saya masih sempat menerima honor dengan jumlah yang besar. Saya rasa sebesar apa pun kerugian finansial saya, cash flow bulanan saya tidak akan terganggu --walaupun untuk sementara saya perlu taksi untuk bepergian.
Yang menjadi beban pikiran adalah Yelena. Dengan kecelakaan yang saya alami, tenaga yang tersedia untuk mengurus Yelena pun semakin berkurang. Saat saya menulis di sini, kondisi istri memang sudah membaik, tapi tetap saja istri saya belum pulih 100%. Untungnya luka di tangan tidak terlalu parah sehingga saya masih bisa membantu mengurus Yelena --walaupun tidak dengan kapasitas 100%.
Masih ada keberuntungan-keberuntungan lain yang patut saya syukuri. Fakta bahwa saya terjatuh pada hari Jumat itu patut disyukuri karena saya memiliki waktu 2 (dua) hari untuk beristirahat sebelum mulai aktif kuliah. Yelena pun sudah bisa menggunakan pampers --sebelumnya kulitnya selalu mengalami iritasi-- sehingga saya atau istri saya untuk sementara tidak perlu repot mencuci clodi (cloth diapers). Dan masih banyak keberuntungan-keberuntungan lain yang agaknya akan terlalu banyak bila saya paparkan satu per satu di sini.
Sesungguhnya bersama kesulitan itu memang ada kemudahan. Yang menjadi masalah adalah kita lebih sering disibukkan oleh hal-hal yang sulit sehingga kita tidak bisa melihat kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan. Pikiran kita seringkali terlalu fokus pada musibah yang kita hadapi sehingga kita tidak menyadari berbagai nikmat yang kita terima di saat musibah itu terjadi. Alhasil musibah yang sudah berat akan terasa semakin berat karena pikiran kita hanya diisi oleh hal-hal yang memberatkan kita.
Menghitung nikmat adalah sebuah proses tak berujung karena kenikmatan yang kita terima itu juga sama-sama tak berujung --kecuali kita sudah mati. Proses tak berujung itu kita lakukan agar kita bisa senantiasa menghargai apa yang sudah kita miliki dan apa yang masih kita miliki saat kita sedang kehilangan berbagai hal. Dengan menghitung nikmat, pikiran kita akan terarah kepada hal-hal yang positif dan hidup kita akan terasa jauh lebih ringan. Jadi, sudah berapa nikmatkah yang Anda terima hari ini?
Senin, 26 Agustus 2013
Jarak 5 Tahun
Tak terasa sudah 1 (satu) bulan lebih saya tidak menulis di sini. Penyebabnya tentu saja antara tidak ada waktu atau memang tidak ada ide; mungkin juga tidak ada minat. Satu hal yang pasti, kehadiran Yelena telah menyita banyak waktu senggang saya. Apalagi saya kehilangan satu tenaga untuk membantu di rumah, tentu saja keterlibatan saya dalam mengurus Yelena menjadi lebih penting.
Yang patut saya syukuri adalah timing. Saat "berbagai tekanan eksternal" membuat saya dan istri saya berpikir untuk menambah anak, kami memutuskan bahwa waktu yang tepat adalah setelah Raito dan Aidan berusia 5 (lima) tahun. Alasan utamanya adalah karena kami berharap di usia 5 (lima) tahun itu Raito dan Aidan sudah cukup mandiri dan tidak lagi terlalu bergantung pada orang tuanya.
Alhamdulillah harapan kami menjadi kenyataan. Pola didikan kami yang mengarahkan Raito dan Aidan untuk terbiasa hidup mandiri pun membuahkan hasil. Saat ini, Raito dan Aidan sudah bisa makan sendiri, pakai baju sendiri, buang air kecil sendiri, bangun pagi sendiri, frekuensi mengompol saat tidur malam pun sampai ke level 0%, dan melakukan berbagai aktivitas sendiri. Mereka bisa melakukan hampir semua keterampilan mendasar tanpa perlu bantuan dari orang dewasa, baik dari pembantu maupun orang tua mereka.
Mereka tidak lagi butuh perhatian dan pengawasan ekstra sebagaimana saat mereka berumur 3 (tiga) tahun. Mereka tidak lagi harus ditemani orang dewasa saat mereka bermain. Mereka tetap senang bila saya atau istri saya menemani mereka main, tapi kehadiran kami sudah tidak lagi mandatory. Selain itu, salah satu keuntungan mereka terlahir kembar dengan jenis kelamin yang sama adalah mereka tidak pernah kesulitan menemukan teman bermain.
Jarak 5 (lima) tahun adalah keputusan yang tepat. Saya bersyukur perihal timing karena walaupun kehadiran Yelena terbilang mendadak, waktunya masih sesuai dengan harapan. Raito dan Aidan tidak menganggap Yelena sebagai saingan baru dalam kompetisi mencari perhatian ayah dan ibu. Sebaliknya, Raito dan Aidan dengan mudah menerima Yelena sebagai adik yang perlu dirawat dan dilindungi oleh mereka; tidak terdeteksi adanya kecemburuan internal yang dipancarkan oleh Raito atau Aidan.
Kemandirian Raito dan Aidan di usia 5 (lima) tahun ini bukan hanya masalah "perhatian", tapi juga mengurangi beban rumah tangga dengan signifikan. Dampak positif yang paling terasa adalah pada jumlah pembantu rumah tangga. Sebelumnya kami membutuhkan 2 (dua) orang pembantu rumah tangga untuk "mengendalikan" masing-masing anak. Saat ini, 1 (satu) orang pembantu pun sudah mencukupi untuk membantu mengurus Raito dan Aidan. Contoh yang paling nyata adalah urusan makan. Saat ini, Raito dan Aidan tidak perlu lagi disuapi saat makan. Jadi waktu dan tenaga yang biasanya digunakan untuk menyuapi Raito dan Aidan dapat dialihkan ke urusan lain.
Intinya ada pada dua kata, yaitu "perhatian" dan "kemandirian". Di usia 5 tahun, Raito dan Aidan membutuhkan lebih sedikit perhatian dari orang tuanya dan sudah memiliki keterampilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka memang tidak sepenuhnya berdiri sendiri, tapi setidaknya mereka cukup mandiri untuk membiarkan saya dan istri saya meluangkan lebih banyak waktu untuk mengurus Yelena.
Satu-satunya kendala yang saya rasakan adalah saya harus membiasakan kembali semua proses mengurus anak. Popoknya, ompolnya, begadangnya, rewelnya, lelahnya, dan berbagai perintilan lain yang saya hadapi bersama Raito dan Aidan akhirnya terulang kembali bersama Yelena; perbedaannya adalah kuantitas dan frekuensinya menurun 50%. Dengan mengambil jarak 5 (lima) tahun ini, repotnya mengurus anak kadang terasa bertele-tele.
Kenapa tidak sekalian repot saja? Kenapa tidak sekalian menambah anak saat Raito dan Aidan berusia 2 (dua) tahun? Ini hanya masalah pilihan. Saya dan istri saya memilih untuk memaksimalkan perhatian yang bisa kami berikan kepada Raito dan Aidan sebelum kami mengalihkannya kepada anak lain. Walau bagaimana pun, perhatian kami pasti akan diarahkan kepada anak yang lebih membutuhkan kami. Dengan begitu, waktu dan tenaga yang biasa kami curahkan untuk Raito dan Aidan akan berkurang secara signifikan. Hal ini yang kami hindari. Kami tidak ingin Raito dan Aidan membuat "pengorbanan" sebesar itu demi kehadiran seorang adik.
Pada kenyataannya, Yelena hadir saat Raito dan Aidan berusia 5 (lima) tahun. Yelena hadir saat Raito dan Aidan sudah terbiasa melakukan banyak hal tanpa bantuan orang dewasa. Yelena hadir saat perhatian yang dibutuhkan oleh Raito dan Aidan dari kami sudah jauh berkurang. Kondisi ini yang ingin saya syukuri karena meladeni Yelena pun menjadi jauh lebih mudah.
Yang patut saya syukuri adalah timing. Saat "berbagai tekanan eksternal" membuat saya dan istri saya berpikir untuk menambah anak, kami memutuskan bahwa waktu yang tepat adalah setelah Raito dan Aidan berusia 5 (lima) tahun. Alasan utamanya adalah karena kami berharap di usia 5 (lima) tahun itu Raito dan Aidan sudah cukup mandiri dan tidak lagi terlalu bergantung pada orang tuanya.
Alhamdulillah harapan kami menjadi kenyataan. Pola didikan kami yang mengarahkan Raito dan Aidan untuk terbiasa hidup mandiri pun membuahkan hasil. Saat ini, Raito dan Aidan sudah bisa makan sendiri, pakai baju sendiri, buang air kecil sendiri, bangun pagi sendiri, frekuensi mengompol saat tidur malam pun sampai ke level 0%, dan melakukan berbagai aktivitas sendiri. Mereka bisa melakukan hampir semua keterampilan mendasar tanpa perlu bantuan dari orang dewasa, baik dari pembantu maupun orang tua mereka.
Mereka tidak lagi butuh perhatian dan pengawasan ekstra sebagaimana saat mereka berumur 3 (tiga) tahun. Mereka tidak lagi harus ditemani orang dewasa saat mereka bermain. Mereka tetap senang bila saya atau istri saya menemani mereka main, tapi kehadiran kami sudah tidak lagi mandatory. Selain itu, salah satu keuntungan mereka terlahir kembar dengan jenis kelamin yang sama adalah mereka tidak pernah kesulitan menemukan teman bermain.
Jarak 5 (lima) tahun adalah keputusan yang tepat. Saya bersyukur perihal timing karena walaupun kehadiran Yelena terbilang mendadak, waktunya masih sesuai dengan harapan. Raito dan Aidan tidak menganggap Yelena sebagai saingan baru dalam kompetisi mencari perhatian ayah dan ibu. Sebaliknya, Raito dan Aidan dengan mudah menerima Yelena sebagai adik yang perlu dirawat dan dilindungi oleh mereka; tidak terdeteksi adanya kecemburuan internal yang dipancarkan oleh Raito atau Aidan.
Kemandirian Raito dan Aidan di usia 5 (lima) tahun ini bukan hanya masalah "perhatian", tapi juga mengurangi beban rumah tangga dengan signifikan. Dampak positif yang paling terasa adalah pada jumlah pembantu rumah tangga. Sebelumnya kami membutuhkan 2 (dua) orang pembantu rumah tangga untuk "mengendalikan" masing-masing anak. Saat ini, 1 (satu) orang pembantu pun sudah mencukupi untuk membantu mengurus Raito dan Aidan. Contoh yang paling nyata adalah urusan makan. Saat ini, Raito dan Aidan tidak perlu lagi disuapi saat makan. Jadi waktu dan tenaga yang biasanya digunakan untuk menyuapi Raito dan Aidan dapat dialihkan ke urusan lain.
Intinya ada pada dua kata, yaitu "perhatian" dan "kemandirian". Di usia 5 tahun, Raito dan Aidan membutuhkan lebih sedikit perhatian dari orang tuanya dan sudah memiliki keterampilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka memang tidak sepenuhnya berdiri sendiri, tapi setidaknya mereka cukup mandiri untuk membiarkan saya dan istri saya meluangkan lebih banyak waktu untuk mengurus Yelena.
Satu-satunya kendala yang saya rasakan adalah saya harus membiasakan kembali semua proses mengurus anak. Popoknya, ompolnya, begadangnya, rewelnya, lelahnya, dan berbagai perintilan lain yang saya hadapi bersama Raito dan Aidan akhirnya terulang kembali bersama Yelena; perbedaannya adalah kuantitas dan frekuensinya menurun 50%. Dengan mengambil jarak 5 (lima) tahun ini, repotnya mengurus anak kadang terasa bertele-tele.
Kenapa tidak sekalian repot saja? Kenapa tidak sekalian menambah anak saat Raito dan Aidan berusia 2 (dua) tahun? Ini hanya masalah pilihan. Saya dan istri saya memilih untuk memaksimalkan perhatian yang bisa kami berikan kepada Raito dan Aidan sebelum kami mengalihkannya kepada anak lain. Walau bagaimana pun, perhatian kami pasti akan diarahkan kepada anak yang lebih membutuhkan kami. Dengan begitu, waktu dan tenaga yang biasa kami curahkan untuk Raito dan Aidan akan berkurang secara signifikan. Hal ini yang kami hindari. Kami tidak ingin Raito dan Aidan membuat "pengorbanan" sebesar itu demi kehadiran seorang adik.
Pada kenyataannya, Yelena hadir saat Raito dan Aidan berusia 5 (lima) tahun. Yelena hadir saat Raito dan Aidan sudah terbiasa melakukan banyak hal tanpa bantuan orang dewasa. Yelena hadir saat perhatian yang dibutuhkan oleh Raito dan Aidan dari kami sudah jauh berkurang. Kondisi ini yang ingin saya syukuri karena meladeni Yelena pun menjadi jauh lebih mudah.
Selasa, 23 Juli 2013
19 Hari Kemudian
Mengurus Yelena memang melelahkan karena dia adalah anak kecil egois yang butuh perhatian ekstra tanpa peluang untuk negosiasi. Kalau Yelena sudah mulai menjerit, semua urusan lain harus ditinggalkan untuk menjawab panggilannya. Kadang kebutuhan-kebutuhan pribadi (seperti tidur yang cukup) pun harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan Yelena. Tentu sulit bagi istri saya bila harus mengurus Yelena sendirian.
Itulah alasannya sejak Yelena lahir, saya bertekad untuk membantu istri saya merawat Yelena semaksimal mungkin. Alhamdulillah saya sudah terbiasa merawat bayi sejak kehadiran Raito dan Aidan 5 tahun yang lalu. Jadi saya tidak butuh banyak waktu untuk kembali membiasakan diri mengurus 1 (satu) orang bayi mungil. Sama seperti saat merawat Raito dan Aidan, satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan untuk membantu istri saya adalah menyusui Yelena.
Actually, that's the least I can do karena saya sadar justru "menyusui" itulah yang menjadi pekerjaan besar dalam merawat anak. Siapa pun (baca: pembantu/pengasuh/anggota keluarga lain) bisa menggendong, mengganti popok, memandikan, atau melakukan hal lain dalam merawat Yelena, tapi tugas untuk "menyusui" itu tidak tergantikan. Selain tidak tergantikan, proses menyusui juga menguras tenaga dan beresiko luka di bagian yang sebaiknya tidak saya sebutkan dalam tulisan ini. It's not easy.
Kembali ke membantu mengurus Yelena. Alasan saya membantu istri saya mengurus Yelena tentu saja erat kaitannya dengan baby blues syndrome. Perasaan stres saat merawat anak yang baru lahir bukanlah hal yang dibesar-besarkan karena saya sendiri ikut merasakannya. Rasa lelah mengurus anak kecil mungil yang kerjanya hanya tidur, menangis, dan buang air itu tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi rasa lelah ini akan terus bertumpuk karena harus berurusan dengan si Bayi selama 24 jam 7 hari seminggu.
Pada dasarnya saya hanya menggunakan prinsip "berat sama dipikul, ringan biar saya yang bawa." Urusan merawat Yelena tentu akan menjadi lebih ringan bila kami (saya dan istri saya) mengurusnya bersama-sama atau bergantian. Tidak hanya dalam urusan mengganti popok, kami pun saling membantu dengan menasihati satu sama lain. Untuk mencapai kondisi ini tentu saja kami harus terbuka dengan keluh-kesah masing-masing. Urusannya memang menjadi lebih ringan dengan dipikul bersama, tapi tidak serta-merta menjadi tanpa kendala. Masalah masih tetap ada, tapi rasa stres mengurus Yelena menjadi lebih mudah diatasi.
Hari demi hari saya lewati dengan menegaskan kepada diri saya bahwa saya memiliki peran penting dalam mendampingi istri saya merawat bayi kecilnya. Hari demi hari kami lewati dengan mengurus Yelena bersam-sama. 19 hari penuh suka (dan duka) pun telah kami lewati. Ada kalanya rasa penat itu muncul, terutama saat Yelena menuntut kami berkali-kali bangun malam untuk menjawab jeritan dia, tapi secara garis besar kami masih bisa menjalaninya dengan senyuman.
On a side note, mengurus bayi bersama-sama juga membantu mempererat hubungan suami dan istri. Suami dan istri yang sebelumnya mulai terbiasa untuk hidup dengan rutinitas harian masing-masing akan kembali berjalan beriringan saat mengurus bayi. Mereka kembali berbagi tujuan hidup yang sama dan mengemban beban hidup bersama-sama. Mereka akan lebih sering berinteraksi dan berkomunikasi. Di balik interaksi dan komunikasi itu pun rasa saling menghargai satu sama lain pun akan ikut tumbuh. Semua ini berujung pada tumbuhnya rasa kasih dan sayang di antara suami dan istri. Hopefully, ini juga yang saya rasakan bersama istri saya.
Mengurus sesuatu bersama-sama memang membuat pekerjaan menjadi lebih praktis. Pekerjaan tidak hanya menjadi lebih mudah, tapi mengerjakannya pun menjadi lebih menyenangkan. Hal ini yang saya rasakan saat saya membantu istri saya mengurus Yelena. Hal yang sama saya rasakan juga saat saya memberdayakan Raito dan Aidan di waktu mencuci mobil/motor, but that's another thing. Semoga saja pengalaman menyenangkan ini juga dirasakan oleh para orang tua baru yang lain di luar sana.
Itulah alasannya sejak Yelena lahir, saya bertekad untuk membantu istri saya merawat Yelena semaksimal mungkin. Alhamdulillah saya sudah terbiasa merawat bayi sejak kehadiran Raito dan Aidan 5 tahun yang lalu. Jadi saya tidak butuh banyak waktu untuk kembali membiasakan diri mengurus 1 (satu) orang bayi mungil. Sama seperti saat merawat Raito dan Aidan, satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan untuk membantu istri saya adalah menyusui Yelena.
Actually, that's the least I can do karena saya sadar justru "menyusui" itulah yang menjadi pekerjaan besar dalam merawat anak. Siapa pun (baca: pembantu/pengasuh/anggota keluarga lain) bisa menggendong, mengganti popok, memandikan, atau melakukan hal lain dalam merawat Yelena, tapi tugas untuk "menyusui" itu tidak tergantikan. Selain tidak tergantikan, proses menyusui juga menguras tenaga dan beresiko luka di bagian yang sebaiknya tidak saya sebutkan dalam tulisan ini. It's not easy.
Kembali ke membantu mengurus Yelena. Alasan saya membantu istri saya mengurus Yelena tentu saja erat kaitannya dengan baby blues syndrome. Perasaan stres saat merawat anak yang baru lahir bukanlah hal yang dibesar-besarkan karena saya sendiri ikut merasakannya. Rasa lelah mengurus anak kecil mungil yang kerjanya hanya tidur, menangis, dan buang air itu tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi rasa lelah ini akan terus bertumpuk karena harus berurusan dengan si Bayi selama 24 jam 7 hari seminggu.
Pada dasarnya saya hanya menggunakan prinsip "berat sama dipikul, ringan biar saya yang bawa." Urusan merawat Yelena tentu akan menjadi lebih ringan bila kami (saya dan istri saya) mengurusnya bersama-sama atau bergantian. Tidak hanya dalam urusan mengganti popok, kami pun saling membantu dengan menasihati satu sama lain. Untuk mencapai kondisi ini tentu saja kami harus terbuka dengan keluh-kesah masing-masing. Urusannya memang menjadi lebih ringan dengan dipikul bersama, tapi tidak serta-merta menjadi tanpa kendala. Masalah masih tetap ada, tapi rasa stres mengurus Yelena menjadi lebih mudah diatasi.
Hari demi hari saya lewati dengan menegaskan kepada diri saya bahwa saya memiliki peran penting dalam mendampingi istri saya merawat bayi kecilnya. Hari demi hari kami lewati dengan mengurus Yelena bersam-sama. 19 hari penuh suka (dan duka) pun telah kami lewati. Ada kalanya rasa penat itu muncul, terutama saat Yelena menuntut kami berkali-kali bangun malam untuk menjawab jeritan dia, tapi secara garis besar kami masih bisa menjalaninya dengan senyuman.
On a side note, mengurus bayi bersama-sama juga membantu mempererat hubungan suami dan istri. Suami dan istri yang sebelumnya mulai terbiasa untuk hidup dengan rutinitas harian masing-masing akan kembali berjalan beriringan saat mengurus bayi. Mereka kembali berbagi tujuan hidup yang sama dan mengemban beban hidup bersama-sama. Mereka akan lebih sering berinteraksi dan berkomunikasi. Di balik interaksi dan komunikasi itu pun rasa saling menghargai satu sama lain pun akan ikut tumbuh. Semua ini berujung pada tumbuhnya rasa kasih dan sayang di antara suami dan istri. Hopefully, ini juga yang saya rasakan bersama istri saya.
Mengurus sesuatu bersama-sama memang membuat pekerjaan menjadi lebih praktis. Pekerjaan tidak hanya menjadi lebih mudah, tapi mengerjakannya pun menjadi lebih menyenangkan. Hal ini yang saya rasakan saat saya membantu istri saya mengurus Yelena. Hal yang sama saya rasakan juga saat saya memberdayakan Raito dan Aidan di waktu mencuci mobil/motor, but that's another thing. Semoga saja pengalaman menyenangkan ini juga dirasakan oleh para orang tua baru yang lain di luar sana.
Jumat, 12 Juli 2013
Yelena Pramudita Amira
Memberi nama untuk seorang anak adalah kegiatan yang menyenangkan. Googling demi googling saya lakukan demi menemukan nama dengan makna yang saya inginkan.. Nama demi nama saya cantumkan dalam daftar kandidat. Kandidat demi kandidat saya padukan untuk menemukan kombinasi yang tepat. Proses panjang ini saya ladeni demi menemukan nama yang pas dengan harapan saya. Proses ini yang saya rasakan saat memberi nama kedua anak pertama (kembar) saya, Raito dan Aidan.
Sensasi yang sama masih saya rasakan saat saya mencari nama untuk anak ketiga saya yang lahir tanggal 4 Juli 2013 lalu. Hasil perenungan berbulan-bulan dan googling berhari-hari membawa saya kepada nama Yelena Pramudita Amaris. Nama ini yang saya ajukan ke Dewan Pertimbangan Nama Anak yang dipimpin oleh istri saya untuk disetujui.
Sebelumnya ijinkan saya menceritakan latar belakang nama Yelena Pramudita Amaris. Berhubung saya bukan tipe orang yang kreatif, latar belakang nama ini mirip dengan Raito (Raito Prasatya Aldebaran) dan Aidan (Aidan Pramana Antares). Nama Yelena terdiri dari 3 (tiga) kata karena saya ingin anak-anak saya memiliki nama tengah. Hal ini pada akhirnya akan mempermudah mereka saat mereka mengurus paspor haji kelak. *uhuk*
Nama "Yelena" sendiri merupakan varian dari nama "Helen" yang dalam bahasa Yunani berarti "cahaya yang bersinar". Bila dibandingkan dengan "Raito" (pengucapan Jepang untuk "Light" yang berarti "cahaya") dan "Aidan" (varian dari nama "Aedan" yang dalam bahasa Irlandia berarti "api"), makna "Yelena" ini tidak jauh berbeda. Nama-nama ini pada dasarnya mencerminkan harapan saya dan istri saya (hopefully) agar anak-anak kami tumbuh menjadi individu-individu yang tidak akan tersesat dan bahkan mampu memberikan petunjuk di tengah kegelapan, atau kalau menggunakan istilah +Aresto Yudo, sebagai pencerah umat. Bagian yang "menarik" dari singkatan dari Raito-Aidan-Yelena adalah "RAY" yang berarti "sinar". Akhirnya terbentuklah pasukan sinar yang siap membela bumi dari serangan.... Maaf, sepertinya saya terlalu banyak menonton serial Super Sentai.
Nama "Pramudita" sendiri saya pilih sesuai usulan Pimpinan Dewan Pertimbangan Nama Anak. Ibu Pimpinan menginginkan nama anak yang mencerminkan kecerdasan sehingga pilihan saya jatuh pada "Pramudita" yang berarti "cerdas". Sifat-sifat yang mulia sengaja saya sisipkan dalam nama tengah seperti halnya "Prasatya" yang berarti "setia" dan "Pramana" yang berarti "bijaksana". Jadi keberadaan nama tengah ini memiliki makna yang lebih mendalam ketimbang sekedar menjadi alasan untuk mempermudah pembuatan paspor haji. *uhuk-uhuk*
Lalu bagaimana dengan nama "Amaris"? "Amaris" ini memiliki 2 (dua) makna yang saya temukan di Internet. Pertama, "Amaris" yang bermakna "given by God" atau "promised by God". Kedua, "Amaris" yang bermakna "child of the Moon". Saya sebenarnya memilih makna "child of the Moon" karena setali tiga uang dengan "Aldebaran" dan "Antares" yang berkaitan dengan kebintangan. Pemilihan nama yang terkait dengan kebintangan ini sebenarnya tidak memiliki makna spesial, tapi tetap mencerminkan salah satu harapan saya yaitu agar anak-anak saya memiliki pencapaian yang tidak mengenal batas dalam hidup mereka kelak.
Sayangnya nama "Amaris" ini terlalu identik dengan nama hotel dan Pimpinan Dewan Pertimbangan Nama Anak akhirnya memilih nama "Amira". Pada kenyataannya memang ada sebuah bintang yang diberi nama "Mira A", tapi Ibu Pimpinan memilih nama "Amira" karena dalam bahasa Arab berarti "putri". Selain itu juga cukup jelas bahwa "Amira" adalah akronim dari "AMIr" dan "RAtna". Pretty simple, right?
Alhasil nama Yelena Pramudita Amaris disetujui sebagian dan diputuskan bahwa nama anak ketiga saya adalah Yelena Pramudita Amira. Jadi saya secara resmi sudah memiliki 3 (tiga) pasukan cahaya yang akan tumbuh menjadi sarana perpanjangan amal saat saya dan istri saya meninggal dunia kelak. Yang tersisa adalah bagaimana mendidik Raito, Aidan, dan Yelena agar tumbuh ke arah sana.
Sensasi yang sama masih saya rasakan saat saya mencari nama untuk anak ketiga saya yang lahir tanggal 4 Juli 2013 lalu. Hasil perenungan berbulan-bulan dan googling berhari-hari membawa saya kepada nama Yelena Pramudita Amaris. Nama ini yang saya ajukan ke Dewan Pertimbangan Nama Anak yang dipimpin oleh istri saya untuk disetujui.
Sebelumnya ijinkan saya menceritakan latar belakang nama Yelena Pramudita Amaris. Berhubung saya bukan tipe orang yang kreatif, latar belakang nama ini mirip dengan Raito (Raito Prasatya Aldebaran) dan Aidan (Aidan Pramana Antares). Nama Yelena terdiri dari 3 (tiga) kata karena saya ingin anak-anak saya memiliki nama tengah. Hal ini pada akhirnya akan mempermudah mereka saat mereka mengurus paspor haji kelak. *uhuk*
Nama "Yelena" sendiri merupakan varian dari nama "Helen" yang dalam bahasa Yunani berarti "cahaya yang bersinar". Bila dibandingkan dengan "Raito" (pengucapan Jepang untuk "Light" yang berarti "cahaya") dan "Aidan" (varian dari nama "Aedan" yang dalam bahasa Irlandia berarti "api"), makna "Yelena" ini tidak jauh berbeda. Nama-nama ini pada dasarnya mencerminkan harapan saya dan istri saya (hopefully) agar anak-anak kami tumbuh menjadi individu-individu yang tidak akan tersesat dan bahkan mampu memberikan petunjuk di tengah kegelapan, atau kalau menggunakan istilah +Aresto Yudo, sebagai pencerah umat. Bagian yang "menarik" dari singkatan dari Raito-Aidan-Yelena adalah "RAY" yang berarti "sinar". Akhirnya terbentuklah pasukan sinar yang siap membela bumi dari serangan.... Maaf, sepertinya saya terlalu banyak menonton serial Super Sentai.
Nama "Pramudita" sendiri saya pilih sesuai usulan Pimpinan Dewan Pertimbangan Nama Anak. Ibu Pimpinan menginginkan nama anak yang mencerminkan kecerdasan sehingga pilihan saya jatuh pada "Pramudita" yang berarti "cerdas". Sifat-sifat yang mulia sengaja saya sisipkan dalam nama tengah seperti halnya "Prasatya" yang berarti "setia" dan "Pramana" yang berarti "bijaksana". Jadi keberadaan nama tengah ini memiliki makna yang lebih mendalam ketimbang sekedar menjadi alasan untuk mempermudah pembuatan paspor haji. *uhuk-uhuk*
Lalu bagaimana dengan nama "Amaris"? "Amaris" ini memiliki 2 (dua) makna yang saya temukan di Internet. Pertama, "Amaris" yang bermakna "given by God" atau "promised by God". Kedua, "Amaris" yang bermakna "child of the Moon". Saya sebenarnya memilih makna "child of the Moon" karena setali tiga uang dengan "Aldebaran" dan "Antares" yang berkaitan dengan kebintangan. Pemilihan nama yang terkait dengan kebintangan ini sebenarnya tidak memiliki makna spesial, tapi tetap mencerminkan salah satu harapan saya yaitu agar anak-anak saya memiliki pencapaian yang tidak mengenal batas dalam hidup mereka kelak.
Sayangnya nama "Amaris" ini terlalu identik dengan nama hotel dan Pimpinan Dewan Pertimbangan Nama Anak akhirnya memilih nama "Amira". Pada kenyataannya memang ada sebuah bintang yang diberi nama "Mira A", tapi Ibu Pimpinan memilih nama "Amira" karena dalam bahasa Arab berarti "putri". Selain itu juga cukup jelas bahwa "Amira" adalah akronim dari "AMIr" dan "RAtna". Pretty simple, right?
Alhasil nama Yelena Pramudita Amaris disetujui sebagian dan diputuskan bahwa nama anak ketiga saya adalah Yelena Pramudita Amira. Jadi saya secara resmi sudah memiliki 3 (tiga) pasukan cahaya yang akan tumbuh menjadi sarana perpanjangan amal saat saya dan istri saya meninggal dunia kelak. Yang tersisa adalah bagaimana mendidik Raito, Aidan, dan Yelena agar tumbuh ke arah sana.
Kamis, 23 Mei 2013
MTI GCIO, Saya Datang!
Alhamdulillaahirabbil'aalamiin.
Minggu, 19 Mei 2013, merupakan hari yang berbahagia bagi saya karena saya secara resmi diterima sebagai penerima beasiswa MTI GCIO. Apa itu program beasiswa MTI GCIO? MTI GCIO adalah singkatan dari Magister Teknologi Informasi Government Chief Information Officer. MTI GCIO merupakan program beasiswa yang dikelola oleh kementerian yang, saat tulisan ini dibuat, dipimpin oleh seorang pria yang gemar berpantun, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Program MTI GCIO ini bekerja sama dengan universitas-universitas dalam negeri, salah satunya adalah Universitas Indonesia (UI). Berhubung istri dan anak-anak saya ada di Jakarta, maka pilihan saya otomatis jatuh ke UI. Cerita lebih lengkap mengenai ujian masuk yang harus saya ikuti di UI dapat dibaca di tulisan saya sebelumnya, Pengalaman Mengikuti Ujian Masuk S2 UI. Singkat kata, uang pendaftaran yang harus keluar dari kantong sendiri pun tidak terbuang percuma. Alhamdulillaah.
Istri saya pun turut senang mendengar kabar gembira ini, walaupun harus menerima kenyataan pahit bahwa tunjangan bulanan saya akan dipotong selama saya menjalani tugas belajar. Jadi statusnya "tugas belajar"? Ya, betul. To my surprise, proses pengurusan ijin untuk meneruskan kuliah S2 di instansi saya ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Terus terang saja, tahun-tahun sebelumnya saya tetap setia menunggu tawaran beasiswa lewat Bagian Kepegawaian internal karena kabarnya pengurusan ijin kuliah S2 untuk beasiswa dari instansi eksternal akan sulit. Ternyata saat saya coba, pihak-pihak yang terkait justru terkesan suportif (tidak menghalang-halangi). Yeay!
Yang sempat membuat saya heran adalah ternyata tidak ada seleksi wawancara. Sebelumnya saya pikir saya harus mempersiapkan diri untuk menghadapi sesi wawancara oleh pihak Kemkominfo, ternyata hasil seleksi ujian masuk UI sudah cukup untuk mengijinkan saya (dan 12 orang lainnya) menerima beasiswa MTI GCIO ini. Jadi total penerima beasiswanya hanya 13 orang? Belum tentu, karena masih ada kesempatan untuk mengikuti program beasiswa ini melalui seleksi ujian masuk gelombang ke-2. Ada yang berminat?
Kalau proses selanjutnya lancar, mulai September 2013 saya akan kembali menjadi mahasiswa. Kalau melihat jadwal jam kuliah yang terbilang longgar, sepertinya saya akan memiliki banyak waktu untuk menjadi stay-at-home dad untuk membantu istri mengurus Yelena yang insya Allah akan lahir di akhir Juni/awal Juli nanti. Satu hal yang pasti, sepertinya saya pun perlu memikirkan cara untuk mendapatkan penghasilan sampingan demi menambal kebocoran finansial akibat potongan tunjangan tugas belajar ini.
Tentu saja semua itu masih sebatas rencana. Pada kenyataannya, saya masih harus mengurus dokumen-dokumen yang dipersyaratkan setelah pengumuman kelulusan ini. Saya berdoa semoga semuanya tetap berjalan lancar hingga saya lulus S2 nanti. Semoga saja setiap masalah yang muncul dapat saya selesaikan dengan baik hingga akhir kuliah S2 nanti. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin.
Minggu, 19 Mei 2013, merupakan hari yang berbahagia bagi saya karena saya secara resmi diterima sebagai penerima beasiswa MTI GCIO. Apa itu program beasiswa MTI GCIO? MTI GCIO adalah singkatan dari Magister Teknologi Informasi Government Chief Information Officer. MTI GCIO merupakan program beasiswa yang dikelola oleh kementerian yang, saat tulisan ini dibuat, dipimpin oleh seorang pria yang gemar berpantun, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Program MTI GCIO ini bekerja sama dengan universitas-universitas dalam negeri, salah satunya adalah Universitas Indonesia (UI). Berhubung istri dan anak-anak saya ada di Jakarta, maka pilihan saya otomatis jatuh ke UI. Cerita lebih lengkap mengenai ujian masuk yang harus saya ikuti di UI dapat dibaca di tulisan saya sebelumnya, Pengalaman Mengikuti Ujian Masuk S2 UI. Singkat kata, uang pendaftaran yang harus keluar dari kantong sendiri pun tidak terbuang percuma. Alhamdulillaah.
Istri saya pun turut senang mendengar kabar gembira ini, walaupun harus menerima kenyataan pahit bahwa tunjangan bulanan saya akan dipotong selama saya menjalani tugas belajar. Jadi statusnya "tugas belajar"? Ya, betul. To my surprise, proses pengurusan ijin untuk meneruskan kuliah S2 di instansi saya ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Terus terang saja, tahun-tahun sebelumnya saya tetap setia menunggu tawaran beasiswa lewat Bagian Kepegawaian internal karena kabarnya pengurusan ijin kuliah S2 untuk beasiswa dari instansi eksternal akan sulit. Ternyata saat saya coba, pihak-pihak yang terkait justru terkesan suportif (tidak menghalang-halangi). Yeay!
Yang sempat membuat saya heran adalah ternyata tidak ada seleksi wawancara. Sebelumnya saya pikir saya harus mempersiapkan diri untuk menghadapi sesi wawancara oleh pihak Kemkominfo, ternyata hasil seleksi ujian masuk UI sudah cukup untuk mengijinkan saya (dan 12 orang lainnya) menerima beasiswa MTI GCIO ini. Jadi total penerima beasiswanya hanya 13 orang? Belum tentu, karena masih ada kesempatan untuk mengikuti program beasiswa ini melalui seleksi ujian masuk gelombang ke-2. Ada yang berminat?
Kalau proses selanjutnya lancar, mulai September 2013 saya akan kembali menjadi mahasiswa. Kalau melihat jadwal jam kuliah yang terbilang longgar, sepertinya saya akan memiliki banyak waktu untuk menjadi stay-at-home dad untuk membantu istri mengurus Yelena yang insya Allah akan lahir di akhir Juni/awal Juli nanti. Satu hal yang pasti, sepertinya saya pun perlu memikirkan cara untuk mendapatkan penghasilan sampingan demi menambal kebocoran finansial akibat potongan tunjangan tugas belajar ini.
Tentu saja semua itu masih sebatas rencana. Pada kenyataannya, saya masih harus mengurus dokumen-dokumen yang dipersyaratkan setelah pengumuman kelulusan ini. Saya berdoa semoga semuanya tetap berjalan lancar hingga saya lulus S2 nanti. Semoga saja setiap masalah yang muncul dapat saya selesaikan dengan baik hingga akhir kuliah S2 nanti. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin.
Rabu, 17 April 2013
Pengalaman Mengikuti Ujian Masuk S2 UI
Menindaklanjuti tulisan saya Belajar Lagi, Belajar Terus, akhirnya tahap pertama seleksi di program beasiswa dalam negeri yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun saya lewati. Program beasiswa Government Chief Information Officer (GCIO) ini bekerja sama langsung dengan universitas-universitas terkait, salah satunya Universitas Indonesia, khususnya Program Magister Teknologi Informasi (MTI). Bentuk kerja samanya mengharuskan para pendaftar beasiswa untuk mendaftarkan diri melalui SIMAK UI dan mengikuti ujian masuk S2 UI sesuai jadwal registrasi umum.
Keuntungan seleksi beasiswa lewat SIMAK UI adalah prosedurnya lebih teratur. Jadwal ujiannya jelas dan jadwal pengumuman hasil ujiannya pun jelas. Dengan begitu, saya lebih bisa memprediksi tanggal-tanggal penting terkait seleksi beasiswa ini. Kerugiannya adalah biaya pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu harus saya tanggung sendiri; tanpa ada reimbursement.
Lalu bagaimana dengan pengalaman saya mengikuti ujian masuk S2 UI? Menyenangkan sekaligus menegangkan; tapi saya tidak akan banyak menulis tentang hal-hal subjektif penuh nostalgia ini. Saya hanya akan berbagi pengalaman saya saat mengikuti ujian yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 14 April 2013 lalu.
Ujian masuk itu merupakan ujian masuk yang bersifat umum. Jadi peserta ujian masuk di situ tentu saja tidak terbatas pada para pendaftar beasiswa program GCIO. Mulai dari wajah baru lulus S1 sampai wajah yang sudah lama lulus S1 pun terlihat mondar-mandir di sekitar ruang ujian. Jumlah pesertanya begitu banyak sampai antrian toilet pun mengular panjang sampai keluar toilet. Saya bersyukur tiba di lokasi ujian agak pagi karena antrian toilet saat saya datang belum begitu parah.
Kembali ke ujian masuk. Ujian masuk tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Tes Potensi Akademik dan Tes Bahasa Inggris. Tes Potensi Akademik terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Logika. Pembagian tersebut hanya istilah saya saja. Soal-soal di bagian Bahasa Indonesia mencakup mencari padanan kata dan membaca artikel. Soal-soal Matematika lebih fokus di permainan rumus; jarang sekali ada soal yang mengharuskan kita menghitung nilai. Soal-soal Logika lebih cenderung menguji kemampuan berpikir. Contohnya kita diberikan narasi tentang hasil kualifikasi pembaca berita di sebuah stasiun televisi, kemudian kita akan ditanya mengenai siapa yang berada di urutan keberapa.
Untuk menyelesaikan 3 (tiga) bagian dalam Tes Potensi Akademik itu kita diberikan total waktu 150 menit; masing-masing bagian diberi waktu 50 menit. 50 menit untuk menyelesaikan 50 soal Bahasa Indonesia, 50 menit untuk 30 soal Matematika, dan 50 menit untuk 25 soal Logika itu terasa lapang. Justru yang menegangkan adalah Tes Bahasa Inggris. Untuk menyelesaikan 100 soal di Tes Bahasa Inggris, peserta ujian hanya memiliki waktu 90 menit. Saya pribadi merasakan betapa ketatnya waktu untuk Tes Bahasa Inggris itu.
Tes Bahasa Inggris itu sendiri terbagi menjadi 40 soal tentang Structure dan 60 soal terkait Reading Comprehension. Saya yakin saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengerjakan soal Structure sehingga waktu yang tersisa untuk bagian Reading terasa kurang. 60 soal Reading Comprehension itu berarti 6 (enam) artikel yang harus saya baca; 10 soal untuk masing-masing artikel. Bagian membaca artikel itu yang benar-benar butuh konsentrasi dan waktu yang memadai.
Tidak seperti Tes Potensi Akademik yang terbilang santai, Tes Bahasa Inggris membuat saya harus berpikir pragmatis. Awalnya saya mencoba membaca masing-masing artikel dengan baik, tapi waktu yang terbatas membuat saya memilih untuk membaca sekilas dan langsung fokus pada soal-soalnya saja. Cara seperti ini sebenarnya cukup efektif, tapi memang pada akhirnya membuat kita harus berkali-kali membaca artikel saat menjawab soal.
Itu saja yang dapat saya ceritakan terkait tes-tes yang diujikan. Prosesi ujiannya pun terbilang tertib. Setiap peserta hanya diperbolehkan membawa pulpen, pensil, penghapus, rautan, kartu peserta ujian, dan kartu tanda pengenal; bahkan papan jalan pun tidak diperbolehkan. Alat komunikasi seperti handphone atau walkie-talkie harus dimatikan; bahkan jam tangan pun tidak diperbolehkan dipakai saat ujian. Jaket atau sejenisnya pun harus dilepas; kecuali yang hanya mengenakan singlet di balik jaketnya.
Secara keseluruhan pengalaman ujian masuk kali ini adalah pengalaman yang menyenangkan dan menegangkan. Menyenangkan karena memberi saya kesempatan untuk keluar dari rutinitas akhir pekan dan merasakan kembali suasana kampus. Menegangkan karena saya benar-benar berharap tidak kehilangan uang pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu.
Keuntungan seleksi beasiswa lewat SIMAK UI adalah prosedurnya lebih teratur. Jadwal ujiannya jelas dan jadwal pengumuman hasil ujiannya pun jelas. Dengan begitu, saya lebih bisa memprediksi tanggal-tanggal penting terkait seleksi beasiswa ini. Kerugiannya adalah biaya pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu harus saya tanggung sendiri; tanpa ada reimbursement.
Lalu bagaimana dengan pengalaman saya mengikuti ujian masuk S2 UI? Menyenangkan sekaligus menegangkan; tapi saya tidak akan banyak menulis tentang hal-hal subjektif penuh nostalgia ini. Saya hanya akan berbagi pengalaman saya saat mengikuti ujian yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 14 April 2013 lalu.
Ujian masuk itu merupakan ujian masuk yang bersifat umum. Jadi peserta ujian masuk di situ tentu saja tidak terbatas pada para pendaftar beasiswa program GCIO. Mulai dari wajah baru lulus S1 sampai wajah yang sudah lama lulus S1 pun terlihat mondar-mandir di sekitar ruang ujian. Jumlah pesertanya begitu banyak sampai antrian toilet pun mengular panjang sampai keluar toilet. Saya bersyukur tiba di lokasi ujian agak pagi karena antrian toilet saat saya datang belum begitu parah.
Kembali ke ujian masuk. Ujian masuk tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Tes Potensi Akademik dan Tes Bahasa Inggris. Tes Potensi Akademik terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Logika. Pembagian tersebut hanya istilah saya saja. Soal-soal di bagian Bahasa Indonesia mencakup mencari padanan kata dan membaca artikel. Soal-soal Matematika lebih fokus di permainan rumus; jarang sekali ada soal yang mengharuskan kita menghitung nilai. Soal-soal Logika lebih cenderung menguji kemampuan berpikir. Contohnya kita diberikan narasi tentang hasil kualifikasi pembaca berita di sebuah stasiun televisi, kemudian kita akan ditanya mengenai siapa yang berada di urutan keberapa.
Untuk menyelesaikan 3 (tiga) bagian dalam Tes Potensi Akademik itu kita diberikan total waktu 150 menit; masing-masing bagian diberi waktu 50 menit. 50 menit untuk menyelesaikan 50 soal Bahasa Indonesia, 50 menit untuk 30 soal Matematika, dan 50 menit untuk 25 soal Logika itu terasa lapang. Justru yang menegangkan adalah Tes Bahasa Inggris. Untuk menyelesaikan 100 soal di Tes Bahasa Inggris, peserta ujian hanya memiliki waktu 90 menit. Saya pribadi merasakan betapa ketatnya waktu untuk Tes Bahasa Inggris itu.
Tes Bahasa Inggris itu sendiri terbagi menjadi 40 soal tentang Structure dan 60 soal terkait Reading Comprehension. Saya yakin saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengerjakan soal Structure sehingga waktu yang tersisa untuk bagian Reading terasa kurang. 60 soal Reading Comprehension itu berarti 6 (enam) artikel yang harus saya baca; 10 soal untuk masing-masing artikel. Bagian membaca artikel itu yang benar-benar butuh konsentrasi dan waktu yang memadai.
Tidak seperti Tes Potensi Akademik yang terbilang santai, Tes Bahasa Inggris membuat saya harus berpikir pragmatis. Awalnya saya mencoba membaca masing-masing artikel dengan baik, tapi waktu yang terbatas membuat saya memilih untuk membaca sekilas dan langsung fokus pada soal-soalnya saja. Cara seperti ini sebenarnya cukup efektif, tapi memang pada akhirnya membuat kita harus berkali-kali membaca artikel saat menjawab soal.
Itu saja yang dapat saya ceritakan terkait tes-tes yang diujikan. Prosesi ujiannya pun terbilang tertib. Setiap peserta hanya diperbolehkan membawa pulpen, pensil, penghapus, rautan, kartu peserta ujian, dan kartu tanda pengenal; bahkan papan jalan pun tidak diperbolehkan. Alat komunikasi seperti handphone atau walkie-talkie harus dimatikan; bahkan jam tangan pun tidak diperbolehkan dipakai saat ujian. Jaket atau sejenisnya pun harus dilepas; kecuali yang hanya mengenakan singlet di balik jaketnya.
Secara keseluruhan pengalaman ujian masuk kali ini adalah pengalaman yang menyenangkan dan menegangkan. Menyenangkan karena memberi saya kesempatan untuk keluar dari rutinitas akhir pekan dan merasakan kembali suasana kampus. Menegangkan karena saya benar-benar berharap tidak kehilangan uang pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu.
Selasa, 12 Maret 2013
Belajar Lagi, Belajar Terus
Hidup adalah rangkaian proses belajar. Kita suka atau tidak, kita tidak pernah berhenti belajar di setiap hari yang kita lalui dalam hidup kita. Ada proses belajar yang kita sadari, seperti SD, SMP, SMA, dan perkuliahan. Ada juga proses belajar yang tidak kita sadari, misalnya memperhatikan waktu yang tepat untuk menerobos lampu merah tanpa mengganggu lalu-lintas dari arah yang lain. Suka atau tidak, kita memang tidak pernah berhenti belajar. Saat kita berhenti belajar, itu tandanya kita berhenti berpikir. Saat kita berhenti berpikir, itu tandanya kita mati.
Proses belajar dalam hidup itu tentu saja naik-turun. Turunnya intensitas proses belajar mulai terjadi saat kita sudah menyelesaikan pendidikan formal. Saya sendiri merasa bahwa pasca kehidupan kuliah jenjang S1, intensitas belajar dalam hidup saya mulai menurun. Ini terjadi karena pasca kuliah S1 itu saya langsung terjun ke dunia kerja yang menuntut saya untuk hidup pragmatis, yaitu belajar sesuai kebutuhan pekerjaan saja. Untuk pekerjaan-pekerjaan baru, saya memang perlu belajar lagi. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan baru pun seiring waktu akan berubah menjadi pekerjaan-pekerjaan rutin dan intensitas belajar pun menurun. Selain minimnya kebutuhan, turunnya intensitas belajar ini juga disebabkan karena waktu saya pun habis untuk memenuhi tuntutan pekerjaan-pekerjaan rutin tersebut.
Bagaimana dengan waktu luang di luar waktu kerja? No hope; apalagi bila kita sudah menikah dan memiliki anak. Jangankan untuk mengasah keterampilan tertentu, kadang waktu untuk membaca buku saja sudah tidak ada. Inilah alasannya mengapa kita perlu bersyukur bila tuntutan kerja kita tidak terlalu tinggi karena kita bisa memanfaatkan waktu kerjanya untuk terus mengasah ilmu mereka. Dengan begitu, kita tidak perlu mengorbankan waktu luang yang dapat kita manfaatkan untuk berhibur dan berinteraksi dengan keluarga kita.
Sayangnya kesempatan untuk memanfaatkan waktu kerja kita itu tidak banyak. Entitas tempat kita bekerja tentu mengharapkan kita bekerja dengan efektif. Ini artinya setiap waktu yang kita miliki di tempat kerja itu harus dimanfaatkan untuk bekerja; bukan "leha-leha" mengasah ilmu. Seolah-olah instansi atau perusahaan tempat kita bekerja itu mengharapkan kita untuk memanfaatkan waktu kerja kita semaksimal mungkin. Saat kita sudah selesai mengerjakan satu hal, maka lakukan pekerjaan yang lain. Bila tidak ada pekerjaan yang bisa kita lakukan, maka lakukan pekerjaan yang lain. Kita dituntut untuk selalu bekerja.
Untuk break away dari belenggu pekerjaan itu memang tidak mudah. Untungnya bagi pegawai negeri sipil seperti saya ini terbuka kesempatan untuk meneruskan pendidikan formal lewat berbagai program beasiswa. Program beasiswa ini adalah salah satu pilihan yang efektif untuk memanfaatkan waktu kerja demi mengasah ilmu dan keterampilan, apalagi kalau kita bisa memilih program beasiswa yang sesuai minat kita. Pertama kali saya mencoba untuk ikut program beasiswa ini adalah pada tahun 2011. Saat itu saya mendaftarkan diri untuk ikut program beasiswa S2 di Korea yang ditawarkan oleh lembaga KOICA. Singkat cerita, saya gagal. Di tahun 2013 ini, saya mencoba lagi peluang saya di program beasiswa dalam negeri yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Belajar lagi, belajar terus. Suka atau tidak, kita tidak akan pernah berhenti belajar sampai akhir hayat kita kelak. Hidup kita tidak akan pernah luput dari proses belajar, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pendidikan formal yang kita jalani. Tanpa belajar, keterampilan dan wawasan kita tidak akan bertambah. Bila keterampilan dan wawasan kita tidak bertambah, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Kalau memang kita sudah dipastikan akan belajar setiap hari, maka sudah selayaknya kita senantiasa memaksimalkan proses belajar kita ini. Beasiswa? Sikat!
*Gambar ditemukan lewat Google
Proses belajar dalam hidup itu tentu saja naik-turun. Turunnya intensitas proses belajar mulai terjadi saat kita sudah menyelesaikan pendidikan formal. Saya sendiri merasa bahwa pasca kehidupan kuliah jenjang S1, intensitas belajar dalam hidup saya mulai menurun. Ini terjadi karena pasca kuliah S1 itu saya langsung terjun ke dunia kerja yang menuntut saya untuk hidup pragmatis, yaitu belajar sesuai kebutuhan pekerjaan saja. Untuk pekerjaan-pekerjaan baru, saya memang perlu belajar lagi. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan baru pun seiring waktu akan berubah menjadi pekerjaan-pekerjaan rutin dan intensitas belajar pun menurun. Selain minimnya kebutuhan, turunnya intensitas belajar ini juga disebabkan karena waktu saya pun habis untuk memenuhi tuntutan pekerjaan-pekerjaan rutin tersebut.
Bagaimana dengan waktu luang di luar waktu kerja? No hope; apalagi bila kita sudah menikah dan memiliki anak. Jangankan untuk mengasah keterampilan tertentu, kadang waktu untuk membaca buku saja sudah tidak ada. Inilah alasannya mengapa kita perlu bersyukur bila tuntutan kerja kita tidak terlalu tinggi karena kita bisa memanfaatkan waktu kerjanya untuk terus mengasah ilmu mereka. Dengan begitu, kita tidak perlu mengorbankan waktu luang yang dapat kita manfaatkan untuk berhibur dan berinteraksi dengan keluarga kita.
Sayangnya kesempatan untuk memanfaatkan waktu kerja kita itu tidak banyak. Entitas tempat kita bekerja tentu mengharapkan kita bekerja dengan efektif. Ini artinya setiap waktu yang kita miliki di tempat kerja itu harus dimanfaatkan untuk bekerja; bukan "leha-leha" mengasah ilmu. Seolah-olah instansi atau perusahaan tempat kita bekerja itu mengharapkan kita untuk memanfaatkan waktu kerja kita semaksimal mungkin. Saat kita sudah selesai mengerjakan satu hal, maka lakukan pekerjaan yang lain. Bila tidak ada pekerjaan yang bisa kita lakukan, maka lakukan pekerjaan yang lain. Kita dituntut untuk selalu bekerja.
Untuk break away dari belenggu pekerjaan itu memang tidak mudah. Untungnya bagi pegawai negeri sipil seperti saya ini terbuka kesempatan untuk meneruskan pendidikan formal lewat berbagai program beasiswa. Program beasiswa ini adalah salah satu pilihan yang efektif untuk memanfaatkan waktu kerja demi mengasah ilmu dan keterampilan, apalagi kalau kita bisa memilih program beasiswa yang sesuai minat kita. Pertama kali saya mencoba untuk ikut program beasiswa ini adalah pada tahun 2011. Saat itu saya mendaftarkan diri untuk ikut program beasiswa S2 di Korea yang ditawarkan oleh lembaga KOICA. Singkat cerita, saya gagal. Di tahun 2013 ini, saya mencoba lagi peluang saya di program beasiswa dalam negeri yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 04 Maret 2013
Gw Bisa Bantu Apa?
Dalam proses perbaikan diri, di balik berbagai idealisme yang saya tanamkan dalam diri saya, saya selalu mencoba untuk menemukan hal-hal yang praktis dalam pelaksanaannya. Saya selalu ingatkan kepada diri saya bahwa semua perubahan-perubahan besar itu selalu dimulai dari langkah-langkah yang kecil. Langsung mengejar hal-hal yang besar tidak hanya melelahkan, tapi juga memiliki resiko kegagalan yang sama besarnya. Inilah alasannya kenapa dalam proses memperbaiki dan mengembangkan diri ini, saya berusaha untuk berpikir pragmatis; tanpa mengorbankan idealisme, tentunya.
Salah satu prinsip yang perlu ditanam dalam diri kita untuk menjadi the best of ourselves adalah dengan mengumbar sikap positif. Walaupun hidup ini kadang diterpa musibah yang bertubi-tubi, sikap positif yang konsisten akan membuat hidup kita tetap bahagia. Cara praktis yang paling mendasar yang saya terapkan untuk memiliki sikap positif yang konsisten adalah dengan senantiasa tersenyum. Bukan hanya senyuman di wajah, tapi senyuman yang datang dari hati. Agak lebay ya?
Setelah senyuman yang datang dari hati, cara praktis yang berikutnya adalah lewat slogan "gw bisa bantu apa?" Penerapan slogan ini tentu saja sesederhana kata-katanya. Yang saya lakukan adalah mencari peluang untuk membantu orang-orang di sekitar saya seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. It takes one simple line, "gw bisa bantu apa?" Bila kata-kata ini kita ucapkan dengan tulus, yang umumnya terpancar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh kita, maka tawaran bantuan kita akan segera diterima.
Saat saya meluangkan waktu dan energi saya untuk membantu orang lain, saya menemukan kepuasan tersendiri. Hidup saya terasa lebih bermanfaat saat saya membantu orang lain menyelesaikan masalahnya. Bahkan bantuan-bantuan yang terlihat kecil dan sepele pun terasa begitu besar dampaknya terhadap kepuasan batin saya. Dengan begitu, sikap positif yang saya miliki tidak hanya sikap yang pasif. Sikap positif yang ingin saya pancarkan pun berubah menjadi sikap yang aktif karena saya tidak hanya menunggu seseorang meminta bantuan saya, tapi juga mencari peluang untuk menawarkan bantuan.
Ada banyak dampak positif lainnya yang saya rasakan setelah saya perlahan-lahan menerapkan slogan "gw bisa bantu apa?" di dalam hidup saya. Salah satunya adalah munculnya sikap positif orang-orang di sekitar saya kepada diri saya. Seperti yang kita tahu, hubungan sosial itu pada umumnya berlaku timbal-balik. Bila kita berbuat jahat pada orang lain, orang lain akan berbuat jahat kepada kita. Sebaliknya bila kita berbuat baik pada orang lain, orang lain pun akan berbuat baik kepada kita. Walaupun niat saya memberikan bantuan bukanlah untuk mengharapkan bantuan yang sama, tetap saja orang-orang yang sudah saya bantu akan lebih tergerak untuk memberikan bantuannya kepada saya saat saya perlukan.
Terlepas dari berbagai kebaikan yang timbul lewat penerapan slogan "gw bisa bantu apa?" ini, tetap saja kita perlu berhati-hati. Pertama, don't get carried away. Kita perlu sadari bahwa waktu dan energi kita terbatas, apalagi kita sendiri memiliki tanggung jawab dan prioritas masing-masing. Jangan sampai kebiasaan membantu orang lain ini mengorbankan hal-hal yang penting dalam hidup kita. Kedua, jangan sampai diperdaya orang. Sebaik apa pun orang-orang di sekitar kita, jangan sampai niat baik kita justru dimanfaatkan untuk keuntungan orang lain. Membantu orang lain itu ibarat meminjamkan kail untuk memancing; bukan memberikan ikan. Yang kita lakukan adalah membantu orang yang sedang berusaha mencapai tujuannya; bukan sebaliknya menggotong orang itu untuk sampai ke tujuannya.
Demikian sekelumit kisah terkait cara praktis untuk menjadi yang terbaik dari diri kita sendiri. Sikap positif itu perlu ditunjukan, karena orang-orang di sekitar kita bukanlah pembaca pikiran. Untuk bisa tersenyum dan bersikap baik di hadapan berbagai sikap buruk itu baik, tapi akan lebih baik lagi kalau kita bisa aktif menawarkan bantuan bahkan kepada orang-orang yang bersikap buruk kepada kita. Tentu saja penerapannya kembali kepada diri kita sendiri; seberapa relakah kita memberikan waktu dan energi kita untuk orang lain?
*Gambar ditemukan lewat Google
Salah satu prinsip yang perlu ditanam dalam diri kita untuk menjadi the best of ourselves adalah dengan mengumbar sikap positif. Walaupun hidup ini kadang diterpa musibah yang bertubi-tubi, sikap positif yang konsisten akan membuat hidup kita tetap bahagia. Cara praktis yang paling mendasar yang saya terapkan untuk memiliki sikap positif yang konsisten adalah dengan senantiasa tersenyum. Bukan hanya senyuman di wajah, tapi senyuman yang datang dari hati. Agak lebay ya?
Setelah senyuman yang datang dari hati, cara praktis yang berikutnya adalah lewat slogan "gw bisa bantu apa?" Penerapan slogan ini tentu saja sesederhana kata-katanya. Yang saya lakukan adalah mencari peluang untuk membantu orang-orang di sekitar saya seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. It takes one simple line, "gw bisa bantu apa?" Bila kata-kata ini kita ucapkan dengan tulus, yang umumnya terpancar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh kita, maka tawaran bantuan kita akan segera diterima.
Saat saya meluangkan waktu dan energi saya untuk membantu orang lain, saya menemukan kepuasan tersendiri. Hidup saya terasa lebih bermanfaat saat saya membantu orang lain menyelesaikan masalahnya. Bahkan bantuan-bantuan yang terlihat kecil dan sepele pun terasa begitu besar dampaknya terhadap kepuasan batin saya. Dengan begitu, sikap positif yang saya miliki tidak hanya sikap yang pasif. Sikap positif yang ingin saya pancarkan pun berubah menjadi sikap yang aktif karena saya tidak hanya menunggu seseorang meminta bantuan saya, tapi juga mencari peluang untuk menawarkan bantuan.
Ada banyak dampak positif lainnya yang saya rasakan setelah saya perlahan-lahan menerapkan slogan "gw bisa bantu apa?" di dalam hidup saya. Salah satunya adalah munculnya sikap positif orang-orang di sekitar saya kepada diri saya. Seperti yang kita tahu, hubungan sosial itu pada umumnya berlaku timbal-balik. Bila kita berbuat jahat pada orang lain, orang lain akan berbuat jahat kepada kita. Sebaliknya bila kita berbuat baik pada orang lain, orang lain pun akan berbuat baik kepada kita. Walaupun niat saya memberikan bantuan bukanlah untuk mengharapkan bantuan yang sama, tetap saja orang-orang yang sudah saya bantu akan lebih tergerak untuk memberikan bantuannya kepada saya saat saya perlukan.
Terlepas dari berbagai kebaikan yang timbul lewat penerapan slogan "gw bisa bantu apa?" ini, tetap saja kita perlu berhati-hati. Pertama, don't get carried away. Kita perlu sadari bahwa waktu dan energi kita terbatas, apalagi kita sendiri memiliki tanggung jawab dan prioritas masing-masing. Jangan sampai kebiasaan membantu orang lain ini mengorbankan hal-hal yang penting dalam hidup kita. Kedua, jangan sampai diperdaya orang. Sebaik apa pun orang-orang di sekitar kita, jangan sampai niat baik kita justru dimanfaatkan untuk keuntungan orang lain. Membantu orang lain itu ibarat meminjamkan kail untuk memancing; bukan memberikan ikan. Yang kita lakukan adalah membantu orang yang sedang berusaha mencapai tujuannya; bukan sebaliknya menggotong orang itu untuk sampai ke tujuannya.
Demikian sekelumit kisah terkait cara praktis untuk menjadi yang terbaik dari diri kita sendiri. Sikap positif itu perlu ditunjukan, karena orang-orang di sekitar kita bukanlah pembaca pikiran. Untuk bisa tersenyum dan bersikap baik di hadapan berbagai sikap buruk itu baik, tapi akan lebih baik lagi kalau kita bisa aktif menawarkan bantuan bahkan kepada orang-orang yang bersikap buruk kepada kita. Tentu saja penerapannya kembali kepada diri kita sendiri; seberapa relakah kita memberikan waktu dan energi kita untuk orang lain?
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 25 Februari 2013
Didorong Dari Tepi Jurang
Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar 2 (dua) pihak memperdebatkan faktor yang menentukan perasaan kita saat mendengar perkataan orang lain. Pihak pertama mengatakan bahwa faktor yang menentukan itu adalah si Pembicara. Alasannya adalah satu kalimat yang sama dapat memiliki dampak yang berbeda saat diucapkan oleh orang yang berbeda pula. Pihak kedua mengatakan bahwa faktor yang menentukan itu justru si Pendengar. Positif dan negatifnya perkataan orang lain di benak kita itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Pada kenyataannya, baik si Pembicara maupun si Pendengar sama-sama memiliki peran yang signifikan untuk menentukan apakah hal yang disampaikan oleh si Pembicara itu bermakna positif atau negatif. Ekspresi wajah dan intonasi si Pembicara sangat menentukan makna yang terkandung dalam kata-katanya. Akan tetapi, makna yang diterima oleh si Pendengar pun sangat ditentukan oleh si Pendengar itu sendiri. Sesuatu yang bernada serius dari si Pembicara bisa jadi ditangkap sebagai sebuah candaan oleh si Pendengar, begitu juga sebaliknya.
Lalu apa hubungannya faktor-faktor komunikasi ini dengan didorong dari tepi jurang?
Komunikasi itu pada dasarnya adalah proses penyampaian pesan dari antara 2 (dua) pihak atau lebih. Proses penyampaian pesan ini tentu saja tidak hanya dilakukan secara verbal. Saat kita didorong dari tepi jurang oleh seseorang, kita sedang terlibat dalam proses komunikasi. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh orang yang mendorong kita dari tepi jurang ini? Apakah dia ingin menyampaikan perasan benci yang super-sangat-mendalam-sekali kepada kita atau sebaliknya dia justru ingin mengajarkan sesuatu yang begitu penting sampai dia rela membahayakan nyawa kita?
Sebagai pihak yang didorong dari tepi jurang, rasanya mudah saja bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa pihak yang mendorong kita itu ingin kita mati. Berhubung kita merasakan dampak negatif akibat didorong dari tepi jurang, mudah saja bagi kita untuk mengambil pesan yang negatif dari orang yang mendorong kita itu. Bahkan rasanya aneh bila ada orang yang masih bisa berpikir positif saat dia didorong dari tepi jurang.
Pada kenyataannya, hal yang aneh itu mungkin saja terjadi. Dalam contoh komunikasi di atas, si Pendengar punya kuasa untuk menentukan makna yang ada di balik sebuah pesan. Dalam kasus didorong dari tepi jurang pun orang yang didorong punya kuasa untuk menentukan positif atau negatifnya pesan di balik dorongan mematikan tersebut. Justru tantangan dalam kehidupan, yang juga membantu membentuk orang-orang hebat, adalah bagaimana seseorang bisa bersikap positif saat dia dilanda peristiwa-peristiwa yang negatif.
Kita semua pasti pernah punya orang tua, bukan? Kita semua pasti pernah merasa sebal atau bahkan marah dengan sikap orang tua kita, bukan? Kalau saja kita bisa bersikap positif, bukan tidak mungkin sebagian besar dari sikap menyebalkan orang tua kita itu tidak akan terasa menyebalkan. Kita yang sudah bekerja pasti pernah punya atasan, bukan? Kita pun pasti pernah dikecewakan atau dibuat kesal oleh perilaku atasan kita, bukan? Kalau saja kita bisa bersikap positif, sebagian besar dari hal-hal buruk yang kita rasakan dari atasan kita itu tidak akan terasa buruk.
Pengalaman saya sendiri mengatakan bahwa baik-buruknya perasaan kita ada di dalam genggaman tangan kita. Kalau kita mau untuk senantiasa bersikap positif, tidak ada satu hal buruk pun yang dapat merusak suasana hati kita. Sebaliknya kalau kita terus saja bersikap negatif, tidak ada satu hal baik pun yang dapat memperbaiki suasana hati kita. Dengan begitu, saat kita "didorong dari tepi jurang", kita bisa mencaci-maki orang yang mendorong kita atau kita bisa belajar banyak hal dari jatuhnya kita ke dalam jurang. Kita yang berkuasa memilih untuk bersedih dan melampiaskan emosi atau sebaliknya bersikap positif dan mengambil pelajaran di balik peristiwa itu. Tapi semua itu kembali ke diri kita sendiri; apakah kita mau bersikap positif?
*Gambar ditemukan lewat Google
Pada kenyataannya, baik si Pembicara maupun si Pendengar sama-sama memiliki peran yang signifikan untuk menentukan apakah hal yang disampaikan oleh si Pembicara itu bermakna positif atau negatif. Ekspresi wajah dan intonasi si Pembicara sangat menentukan makna yang terkandung dalam kata-katanya. Akan tetapi, makna yang diterima oleh si Pendengar pun sangat ditentukan oleh si Pendengar itu sendiri. Sesuatu yang bernada serius dari si Pembicara bisa jadi ditangkap sebagai sebuah candaan oleh si Pendengar, begitu juga sebaliknya.
Lalu apa hubungannya faktor-faktor komunikasi ini dengan didorong dari tepi jurang?
Komunikasi itu pada dasarnya adalah proses penyampaian pesan dari antara 2 (dua) pihak atau lebih. Proses penyampaian pesan ini tentu saja tidak hanya dilakukan secara verbal. Saat kita didorong dari tepi jurang oleh seseorang, kita sedang terlibat dalam proses komunikasi. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh orang yang mendorong kita dari tepi jurang ini? Apakah dia ingin menyampaikan perasan benci yang super-sangat-mendalam-sekali kepada kita atau sebaliknya dia justru ingin mengajarkan sesuatu yang begitu penting sampai dia rela membahayakan nyawa kita?
Sebagai pihak yang didorong dari tepi jurang, rasanya mudah saja bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa pihak yang mendorong kita itu ingin kita mati. Berhubung kita merasakan dampak negatif akibat didorong dari tepi jurang, mudah saja bagi kita untuk mengambil pesan yang negatif dari orang yang mendorong kita itu. Bahkan rasanya aneh bila ada orang yang masih bisa berpikir positif saat dia didorong dari tepi jurang.
Pada kenyataannya, hal yang aneh itu mungkin saja terjadi. Dalam contoh komunikasi di atas, si Pendengar punya kuasa untuk menentukan makna yang ada di balik sebuah pesan. Dalam kasus didorong dari tepi jurang pun orang yang didorong punya kuasa untuk menentukan positif atau negatifnya pesan di balik dorongan mematikan tersebut. Justru tantangan dalam kehidupan, yang juga membantu membentuk orang-orang hebat, adalah bagaimana seseorang bisa bersikap positif saat dia dilanda peristiwa-peristiwa yang negatif.
Kita semua pasti pernah punya orang tua, bukan? Kita semua pasti pernah merasa sebal atau bahkan marah dengan sikap orang tua kita, bukan? Kalau saja kita bisa bersikap positif, bukan tidak mungkin sebagian besar dari sikap menyebalkan orang tua kita itu tidak akan terasa menyebalkan. Kita yang sudah bekerja pasti pernah punya atasan, bukan? Kita pun pasti pernah dikecewakan atau dibuat kesal oleh perilaku atasan kita, bukan? Kalau saja kita bisa bersikap positif, sebagian besar dari hal-hal buruk yang kita rasakan dari atasan kita itu tidak akan terasa buruk.
Pengalaman saya sendiri mengatakan bahwa baik-buruknya perasaan kita ada di dalam genggaman tangan kita. Kalau kita mau untuk senantiasa bersikap positif, tidak ada satu hal buruk pun yang dapat merusak suasana hati kita. Sebaliknya kalau kita terus saja bersikap negatif, tidak ada satu hal baik pun yang dapat memperbaiki suasana hati kita. Dengan begitu, saat kita "didorong dari tepi jurang", kita bisa mencaci-maki orang yang mendorong kita atau kita bisa belajar banyak hal dari jatuhnya kita ke dalam jurang. Kita yang berkuasa memilih untuk bersedih dan melampiaskan emosi atau sebaliknya bersikap positif dan mengambil pelajaran di balik peristiwa itu. Tapi semua itu kembali ke diri kita sendiri; apakah kita mau bersikap positif?
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 18 Februari 2013
Duduk Manis di Comfort Zone
It's human nature, actually. Kita semua bergerak untuk mencapai zona nyaman. Saya yakin setiap orang punya kecenderungan yang alami untuk menggapai kepuasan dan kenyamanan bagi diri mereka masing-masing. Saya sendiri pun sadar bahwa diri saya memiliki kecenderungan untuk meraih kenyamanan. Jadi sebenarnya kita tidak perlu merasa malu atau sungkan saat kita duduk manis di dalam zona nyaman kita.
Walaupun begitu, kita tetap perlu menyadari bahwa zona nyaman adalah musuh utama pengembangan potensi yang kita miliki. Saat kita duduk manis di dalam zona nyaman kita, saat itu pula kita sedang "menikmati" resiko mandeg-nya perkembangan diri kita. Saat kita berhenti berkembang, kita akan tertinggal jauh dari mereka yang tidak berhenti mengasah potensi dan kemampuan mereka.
Dan yang saya maksud dengan "jauh" itu bisa berarti "sangat-sangat-sangat jauh sekali".
Liu Wei, seorang warga negara Cina, adalah seorang pianis yang terkenal dengan kemampuan memainkan piano menggunakan... jari kakinya. Ya, jari kaki. Liu Wei kehilangan kedua lengannya saat dia sedang bermain petak umpet saat dia berumur 10 tahun. Hidup tanpa lengan ternyata telah membawa dia menjadi pianis terkenal yang memberikan inspirasi bagi orang banyak.
Jessica Cox, seorang warga negara Amerika, justru hidup tanpa lengan sejak lahir. Walaupun begitu, dia bisa hidup normal layaknya wanita-wanita dengan lengan yang lengkap. Tidak hanya hidup normal, Jessica Cox justru menembus batas "normal" ini dengan mendapatkan izin untuk menerbangkan pesawat (sebagai pilot tentunya).
Yang lebih "mengenaskan" lagi adalah kondisi Nick Vujicic dan Hirotada Ototake. Mereka berdua justru lahir tanpa lengan dan kaki. Imagine that! Liu Wei dan Jessica Cox dapat dikatakan "lebih beruntung" karena masih memiliki sepasang kaki yang sempurna, tapi pada kenyataaannya Nick Vujicic dan Hirotada Ototake sama-sama dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup mereka dan bahkan menjadi inspirasi bagi banyak orang-orang dengan jumlah lengan dan kaki yang normal.
Comfort zone? Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka berempat memiliki zona nyaman. Saya justru bisa membayangkan berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka adalah contoh-contoh nyata bahwa hidup di luar zona nyaman itu justru berhasil membawa mereka meraih berbagai mimpi besar; mimpi yang mungkin hanya bisa dibayangkan oleh orang-orang normal seperti kita.
Untuk menggapai mimpi besar seperti itu pada dasarnya tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya lengan dan kaki kita, tapi hal itu ditentukan oleh ada atau tidaknya keinginan yang kuat di dalam hati kita. Liu Wei, Jessica Cox, Nick Vujicic dan Hirotada Ototake ini beruntung karena kondisi mereka (tanpa lengan atau kaki) ikut membantu membentuk keinginan yang kuat itu. Bagaimana dengan kita? "Kesempurnaan" kita justru membuat kita terlena dengan kondisi nyaman dalam hidup kita.
Untuk memiliki keinginan yang kuat seperti 4 (empat) orang hebat di atas, kita harus mau keluar dari comfort zone kita. Tinggalkan kenyamanan di balik pekerjaan yang ringan dan mulailah secara perlahan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Tinggalkan kenyamanan di balik waktu senggang yang kita pakai untuk berhibur dan mulailah secara perlahan mengisi waktu senggang itu dengan hal-hal baru yang memberikan manfaat lebih. Tinggalkan berbagai kenyamanan yang kita miliki dan mulailah secara perlahan mengembangkan potensi-potensi yang terpendam dalam diri kita. Lakukan secara perlahan; kalau kita tidak sanggup melakukannya dengan cepat.
Tapi semua itu kembali kepada diri kita sendiri. Maukah kita meninggalkan zona nyaman kita?
*Gambar ditemukan lewat Google
Walaupun begitu, kita tetap perlu menyadari bahwa zona nyaman adalah musuh utama pengembangan potensi yang kita miliki. Saat kita duduk manis di dalam zona nyaman kita, saat itu pula kita sedang "menikmati" resiko mandeg-nya perkembangan diri kita. Saat kita berhenti berkembang, kita akan tertinggal jauh dari mereka yang tidak berhenti mengasah potensi dan kemampuan mereka.
Dan yang saya maksud dengan "jauh" itu bisa berarti "sangat-sangat-sangat jauh sekali".
Liu Wei, seorang warga negara Cina, adalah seorang pianis yang terkenal dengan kemampuan memainkan piano menggunakan... jari kakinya. Ya, jari kaki. Liu Wei kehilangan kedua lengannya saat dia sedang bermain petak umpet saat dia berumur 10 tahun. Hidup tanpa lengan ternyata telah membawa dia menjadi pianis terkenal yang memberikan inspirasi bagi orang banyak.
Jessica Cox, seorang warga negara Amerika, justru hidup tanpa lengan sejak lahir. Walaupun begitu, dia bisa hidup normal layaknya wanita-wanita dengan lengan yang lengkap. Tidak hanya hidup normal, Jessica Cox justru menembus batas "normal" ini dengan mendapatkan izin untuk menerbangkan pesawat (sebagai pilot tentunya).
Yang lebih "mengenaskan" lagi adalah kondisi Nick Vujicic dan Hirotada Ototake. Mereka berdua justru lahir tanpa lengan dan kaki. Imagine that! Liu Wei dan Jessica Cox dapat dikatakan "lebih beruntung" karena masih memiliki sepasang kaki yang sempurna, tapi pada kenyataaannya Nick Vujicic dan Hirotada Ototake sama-sama dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup mereka dan bahkan menjadi inspirasi bagi banyak orang-orang dengan jumlah lengan dan kaki yang normal.
Comfort zone? Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka berempat memiliki zona nyaman. Saya justru bisa membayangkan berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka adalah contoh-contoh nyata bahwa hidup di luar zona nyaman itu justru berhasil membawa mereka meraih berbagai mimpi besar; mimpi yang mungkin hanya bisa dibayangkan oleh orang-orang normal seperti kita.
Untuk menggapai mimpi besar seperti itu pada dasarnya tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya lengan dan kaki kita, tapi hal itu ditentukan oleh ada atau tidaknya keinginan yang kuat di dalam hati kita. Liu Wei, Jessica Cox, Nick Vujicic dan Hirotada Ototake ini beruntung karena kondisi mereka (tanpa lengan atau kaki) ikut membantu membentuk keinginan yang kuat itu. Bagaimana dengan kita? "Kesempurnaan" kita justru membuat kita terlena dengan kondisi nyaman dalam hidup kita.
Untuk memiliki keinginan yang kuat seperti 4 (empat) orang hebat di atas, kita harus mau keluar dari comfort zone kita. Tinggalkan kenyamanan di balik pekerjaan yang ringan dan mulailah secara perlahan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Tinggalkan kenyamanan di balik waktu senggang yang kita pakai untuk berhibur dan mulailah secara perlahan mengisi waktu senggang itu dengan hal-hal baru yang memberikan manfaat lebih. Tinggalkan berbagai kenyamanan yang kita miliki dan mulailah secara perlahan mengembangkan potensi-potensi yang terpendam dalam diri kita. Lakukan secara perlahan; kalau kita tidak sanggup melakukannya dengan cepat.
Tapi semua itu kembali kepada diri kita sendiri. Maukah kita meninggalkan zona nyaman kita?
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 11 Februari 2013
My Series of Unfortunate Events
My series of unfortunate events starts last Tuesday; Tuesday afternoon, to be exact. Selasa sore itu saya mendapat pemberitahuan bahwa saya ditugaskan menjadi peserta Diklat Juggernaut. Diklat Juggernaut ini akan dimulai pada hari Rabu (keesokan harinya) dengan durasi lebih dari 1 (satu) bulan. "Wow!" Mungkin itu reaksi saya saat saya sadar akan terbebas dari rutinitas kantor selama sebulan lebih.
Sayangnya Diklat Juggernaut ini bentrok dengan penugasan yang lain. Satu hari sebelumnya (hari Senin), saya sudah ditunjuk untuk bertugas ke Kota Gotham pada hari Kamis dan Jumat. Berhubung tiket pesawat dan hotel sudah dibelikan atas nama saya, saya pun diminta untuk mengutamakan tugas ke Kota Gotham. Saya terpaksa bolos diklat selama 2 (dua) hari. Begitu keputusan yang diambil di akhir jam kantor pada hari Selasa lalu.
Rabu pagi saya berangkat menuju tempat diklat dengan sikap yang positif. Walaupun saya harus terjebak macet akibat ada truk mogok, tiba di tempat diklat dengan lelah dan penuh peluh (terlambat pula), saya tetap bersikap positif dan berharap diklat belum dimulai. Rupanya Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Persis di lantai ruang kelas tempat saya diklat, lift yang saya tumpangi mati. Waktunya tepok jidat?
Di dalam lift yang mati itu saya mencoba menekan tombol darurat, tombol buka, dan tombol tutup. Gagal. Saya pun lanjut mencoba membuka pintu lift dengan kekuatan bulan... maksud saya, kekuatan lengan saya sendiri. Gagal. Tak lama kemudian terdengar suara dari luar, "terjebak ya, Pak?" Sepertinya salah seorang staf di lantai itu akhirnya menyadari ada orang yang terjebak di dalam lift.
Di dalam lift itu ada 2 (dua) hal yang saya pikirkan. Pertama, bagaimana kalau lift itu jatuh? Pikir saya, 7 (tujuh) lantai sepertinya tidak masalah. Naif, bukan? Harap maklum. Ini pertama kalinya saya terjebak di dalam lift seumur hidup saya; sendirian pula. Kedua, berapa lama saya akan terjebak di dalam lift itu. Film-film tentang sekelompok orang yang terjebak di dalam lift pun mulai melintas di dalam benak saya. Saya pun mulai berpikir saya akan terjebak berjam-jam di dalam lift itu. Untungnya dalam hitungan menit pintu lift berhasil dibuka dan saya pun berhasil keluar. Salah seorang teman saya ada yang nasibnya lebih sial lagi. Dia baru datang setelah lift itu mati. Alhasil dia harus menggunakan tangga untuk naik ke lantai 7.
Lewat dengan insiden-insiden kecil, masalah sebenarnya pun akhirnya muncul. Berhubung saya sudah ditugaskan untuk ikut diklat dan tugas ke Kota Gotham belum resmi hitam di atas putih, tugas ke Kota Gotham tidak akan diakui. Konsekuensinya saya tidak akan mendapat penggantian biaya tiket pesawat dan hotel ke Kota Gotham. Akhirnya diputuskan bahwa saya akan digantikan orang lain ke Kota Gotham. Saya tegaskan kata "akhirnya" karena proses menuju "akhirnya" ini butuh waktu berjam-jam; sebuah proses yang melelahkan.
Tiket pesawat atas nama saya pun hangus, tapi untungnya saya hanya perlu menanggung 50% dari kerugian itu. Pemesanan hotel tentu saja dapat dioper ke pengganti saya dan penggantian biayanya tentu dapat diurus sesuai prosedur. Pikiran saya pun mulai terarah kembali kepada Diklat Juggernaut itu. Saya berasumsi masalah yang saya hadapi sudah reda karena pengganti saya ke Kota Gotham sudah ditentukan. Saya pun bisa fokus 100% menghadapi Diklat Juggernaut itu.
Sayang seribu sayang my series of unfortunate events belum berhenti. Kamis pagi saya diminta untuk menghadap ke atasannya atasan saya. Singkat cerita, beliau mengharapkan saya mengundurkan diri dari Diklat Juggernaut karena kehadiran saya di kantor lebih dibutuhkan. Apalagi Diklat Juggernaut ini rupanya tidak diperuntukan untuk seorang sarjana komputer seperti saya (hal ini saya ketahui belakangan), sehingga argumen atasannya atasan saya ini menjadi lebih kuat lagi.
Kamis pagi itu saya pun melapor ke pihak penyelenggara diklat dan bergegas mencari peserta pengganti. Pihak penyelenggara diklat ini memang tidak mengharuskan saya mencari pengganti, tapi konsekuensi yang harus mereka hadapi bila saya mengundurkan diri begitu saja terlihat agak berat. Daripada saya merasa bersalah di kemudian hari, saya putuskan untuk menunjukan iktikad baik saya dan mencarikan pengganti yang sesuai persyaratan mereka.
Untungnya saya berhasil menghubungi rekan kerja yang bersedia menggantikan saya dan bisa langsung berangkat ke tempat diklat. Kamis siang itu sudah dijadwalkan pelaksanaan ujian untuk mata diklat pertama. Oleh karena itu, pengganti saya harus bisa mengikuti ujian tersebut atau dia akan kehilangan 1 (satu) porsi nilai yang akan menentukan nilai akhir di diklat itu.
Demikian sekelumit peristiwa melelahkan yang saya alami dalam kurun waktu 2-3 hari itu. Kamis siang saya sudah duduk manis di kantor dan kembali beraktivitas seperti biasa. Masalahnya hanya 1 (satu): saya harus berjuang memerangi mood negatif saya yang terus memaksa untuk keluar.
Yang menarik dari rangkaian peristiwa ini adalah kejadiannya hanya 2 (dua) hari setelah saya menulis tentang Senyuman dan Sikap Positif. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang ingin menguji seberapa konsisten sikap dan kata-kata saya. Alhamdulillah saya masih bisa bersikap positif dan sama sekali tidak menyalahkan pihak lain.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikiran saya, tapi semua itu berhasil saya tepis. Saya meyakinkan diri bahwa setiap pihak yang terlibat mengambil keputusan terkait masalah saya sudah memilih yang terbaik menurut iktikad baik masing-masing. Saya pun bersyukur karena dengan sikap positif ini saya masih bisa menjaga diri saya dari sikap yang destruktif.
Tulisan ini pun dibuat bukan semata-mata untuk curhat. Saya hanya ingin melihat ke belakang dan belajar dari pengalaman saya agar saya tidak lagi terjebak dalam kondisi seperti ini. Di depan nanti, saya rasa saya perlu lebih tegas mengambil keputusan demi kebaikan saya sendiri. Dalam kasus di atas, rasanya lebih baik kalau saya langsung memutuskan untuk mencari pengganti diklat dan langsung mengundurkan diri pada hari Rabu itu.
Terlepas dari itu semua, berusaha untuk tetap bersikap positif dan tersenyum telah membantu saya untuk tetap berdiri dan bertahan melewati semua peristiwa yang melelahkan hati itu. Peran istri tercinta sangat penting di sini karena dialah yang terus memberikan dukungan emosinal untuk diri saya. Rekan kerja di kantor yang ikut membantu saya mencari jalan keluar masalah ini pun tidak kalah penting. Jadi, walaupun secara lahiriah saya seolah-olah dirugikan, my series of unfortunate events telah berhasil menunjukan bahwa yang sederhana itu memang tidak mudah.
*Gambar yang ada di tulisan ini adalah hasil karya masing-masing pembuatnya
Senin, 04 Februari 2013
Dimulai dengan Senyuman
Tulisan ke-201 yang dipublikasikan di blog ini pun dimulai dengan senyuman. Ada rasa bangga dalam hati kecil saya karena saya berhasil mempertahankan blog ini hingga jumlah publikasinya menembus angka 200. Kenapa pencapaian ini menjadi sesuatu yang istimewa? Karena biasanya saya sudah terlanjur bosan dan memutuskan untuk menghapus blog-blog yang pernah saya buat.
Di tahun 2013 ini, saya memutuskan untuk merubah orientasi tulisan-tulisan di blog ini ke arah motivasi. Ini alasannya kenapa sejak Tersambar Petir, tulisan-tulisan di sini selalu saya beri label Motivasi. Tema motivasi yang sangat luas pun saya coba kerucutkan ke tema yang lebih spesifik, yaitu Be the Best of Yourself. Kenapa saya memilih "Be the Best of Yourself"? Selain sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, saya menganggap slogan ini catchy dan bahasa Inggrisnya termasuk mudah dimengerti. Kalau saya bisa memulai perbaikan dari diri sendiri, saya berharap bisa menularkan hal-hal positif yang saya miliki kepada orang lain.
Kembali ke "Senyuman". Senyuman adalah cara praktis untuk menunjukan bahwa hati kita sedang bahagia. Senyuman adalah cara praktis untuk menyampaikan kepada orang lain bahwa kita menerima kehadiran mereka dengan sikap yang positif. Senyuman adalah cara praktis untuk menunjukan bahwa kita datang dengan aura yang positif. Dan masih banyak lagi efek positif dari mengumbar senyuman. Hanya saja kita perlu ingat bahwa terlalu banyak senyuman merupakan cara yang praktis untuk mengatakan kepada orang lain bahwa kita sudah gila.
"Cara praktis"; inilah kata kuncinya. Senyuman adalah cara yang praktis untuk menanamkan sikap positif ke dalam hati kita. Sikap positif ini akan membantu kita untuk senantiasa bersikap ramah kepada orang lain, baik orang lain itu bersikap ramah kepada kita atau sebaliknya. Dengan begitu akan memungkinkan bagi kita untuk membalas air tuba dengan air susu.
Senyuman ini menjadi instrumen ampuh untuk senantiasa bersikap positif dalam segala kondisi. Saat anak-anak sedang rewel tak menentu, saat lalu-lintas penuh pengendara berkepala batu, saat atasan request ini-itu, dan berbagai kondisi lain yang membuat saya "gerah", saya coba untuk tersenyum. Bila saya bisa tersenyum di hadapan berbagai kondisi menyebalkan, maka saya dapat menyikapi setiap kondisi menyebalkan itu dengan sikap yang menyenangkan.
Sederhana, bukan? Sederhana, tapi tidak mudah.
Senyuman yang saya maksud bukan sekedar senyuman di wajah saja. Untuk bisa menjadikan senyuman sebagai instrumen untuk bersikap positif, senyuman itu memang harus datang dari hati. Kesulitannya ada pada bagaimana membuat hati kita untuk tetap bersikap positif; di sinilah tantangannya. Saat anak-anak sedang rewel, kita bisa bersikap positif dengan menganggapnya sebagai hiburan. Saat ada pengendara egois, kita bisa mengatakan bahwa dia sedang kebelet pipis. Saat atasan penuh demands, kita bisa menganggapnya sebagai peluang untuk belajar dan berkarya.
Jadi yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah proses memunculkan senyuman itu; bukan pada senyumannya. Seperti yang saya ceritakan di atas, secara kasat mata memang senyuman itu yang membuat kita terlihat ramah dan senantiasa bersikap positif. Akan tetapi, justru suasana hati yang kita bentuk untuk memunculkan senyuman itu yang menjadi modal dasar untuk tetap ramah dan bersikap positif. Saat suasana hati kita tetap positif, kebiasaan untuk tetap tersenyum akan datang dengan mudah.
Saat kebiasaan untuk tetap tersenyum itu sudah terbentuk, kita akan melihat peningkatan kebahagiaan hidup dan kemampuan kita untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan kebiasaan untuk tetap tersenyum ini, kita bisa bersikap positif saat rekan kerja sedang bad mood, kita bisa bersikap positif saat atasan terus-menerus meminta kita memperbaiki hasil kerja kita, kita bisa bersikap positif mendengar nada suara ketus, kita bisa bersikap positif di tengah kemacetan, kita bisa bersikap positif anak-anak di rumah tidak mau membiarkan kita beristirahat sejenak, dan kita bisa bersikap positif untuk berbagai masalah yang kita hadapi.
*Gambar ditemukan lewat Google
Di tahun 2013 ini, saya memutuskan untuk merubah orientasi tulisan-tulisan di blog ini ke arah motivasi. Ini alasannya kenapa sejak Tersambar Petir, tulisan-tulisan di sini selalu saya beri label Motivasi. Tema motivasi yang sangat luas pun saya coba kerucutkan ke tema yang lebih spesifik, yaitu Be the Best of Yourself. Kenapa saya memilih "Be the Best of Yourself"? Selain sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, saya menganggap slogan ini catchy dan bahasa Inggrisnya termasuk mudah dimengerti. Kalau saya bisa memulai perbaikan dari diri sendiri, saya berharap bisa menularkan hal-hal positif yang saya miliki kepada orang lain.
Kembali ke "Senyuman". Senyuman adalah cara praktis untuk menunjukan bahwa hati kita sedang bahagia. Senyuman adalah cara praktis untuk menyampaikan kepada orang lain bahwa kita menerima kehadiran mereka dengan sikap yang positif. Senyuman adalah cara praktis untuk menunjukan bahwa kita datang dengan aura yang positif. Dan masih banyak lagi efek positif dari mengumbar senyuman. Hanya saja kita perlu ingat bahwa terlalu banyak senyuman merupakan cara yang praktis untuk mengatakan kepada orang lain bahwa kita sudah gila.
"Cara praktis"; inilah kata kuncinya. Senyuman adalah cara yang praktis untuk menanamkan sikap positif ke dalam hati kita. Sikap positif ini akan membantu kita untuk senantiasa bersikap ramah kepada orang lain, baik orang lain itu bersikap ramah kepada kita atau sebaliknya. Dengan begitu akan memungkinkan bagi kita untuk membalas air tuba dengan air susu.
Senyuman ini menjadi instrumen ampuh untuk senantiasa bersikap positif dalam segala kondisi. Saat anak-anak sedang rewel tak menentu, saat lalu-lintas penuh pengendara berkepala batu, saat atasan request ini-itu, dan berbagai kondisi lain yang membuat saya "gerah", saya coba untuk tersenyum. Bila saya bisa tersenyum di hadapan berbagai kondisi menyebalkan, maka saya dapat menyikapi setiap kondisi menyebalkan itu dengan sikap yang menyenangkan.
Sederhana, bukan? Sederhana, tapi tidak mudah.
Senyuman yang saya maksud bukan sekedar senyuman di wajah saja. Untuk bisa menjadikan senyuman sebagai instrumen untuk bersikap positif, senyuman itu memang harus datang dari hati. Kesulitannya ada pada bagaimana membuat hati kita untuk tetap bersikap positif; di sinilah tantangannya. Saat anak-anak sedang rewel, kita bisa bersikap positif dengan menganggapnya sebagai hiburan. Saat ada pengendara egois, kita bisa mengatakan bahwa dia sedang kebelet pipis. Saat atasan penuh demands, kita bisa menganggapnya sebagai peluang untuk belajar dan berkarya.
Jadi yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah proses memunculkan senyuman itu; bukan pada senyumannya. Seperti yang saya ceritakan di atas, secara kasat mata memang senyuman itu yang membuat kita terlihat ramah dan senantiasa bersikap positif. Akan tetapi, justru suasana hati yang kita bentuk untuk memunculkan senyuman itu yang menjadi modal dasar untuk tetap ramah dan bersikap positif. Saat suasana hati kita tetap positif, kebiasaan untuk tetap tersenyum akan datang dengan mudah.
Saat kebiasaan untuk tetap tersenyum itu sudah terbentuk, kita akan melihat peningkatan kebahagiaan hidup dan kemampuan kita untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan kebiasaan untuk tetap tersenyum ini, kita bisa bersikap positif saat rekan kerja sedang bad mood, kita bisa bersikap positif saat atasan terus-menerus meminta kita memperbaiki hasil kerja kita, kita bisa bersikap positif mendengar nada suara ketus, kita bisa bersikap positif di tengah kemacetan, kita bisa bersikap positif anak-anak di rumah tidak mau membiarkan kita beristirahat sejenak, dan kita bisa bersikap positif untuk berbagai masalah yang kita hadapi.
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 28 Januari 2013
Menemukan Motivasi dan Potensi
Being the best of ourselves itu adalah konsep yang sederhana. Post panjang yang saya tulis sebelum ini sebenarnya hanya terdiri dari 2 (dua) hal utama, yaitu:
- menemukan motivasi, dan
- memaksimalkan potensi (atau meminimalisir kelemahan).
Dua hal itu yang perlu kita lakukan secara berulang dan terus-menerus sehingga diri kita akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.
Motivasi bisa datang kapan saja dan dari arah mana saja, tapi saya pribadi lebih memilih untuk mencarinya ketimbang menunggu dia datang. Pilihan untuk mencari motivasi ini sendiri sudah menunjukan bahwa kita mau berperan aktif untuk membawa perubahan pada diri kita. Saat kita mencari, tangan kita akan lebih terbuka untuk menerima motivasi itu. Sebaliknya apabila kita menunggu, kemungkinannya sangat besar kita akan lebih selektif dan pada akhirnya motivasi itu seolah-olah tidak kunjung datang.
Ada banyak cara untuk menemukan motivasi ini. Hanya saja cara yang saya pilih adalah dengan berbuat. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perilaku alami manusia. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa diam tanpa melakukan apa pun, bukan? Saat orang sedang lelah melakukan sesuatu, dia berhenti dan melakukan hal yang lain. Saat orang sedang bosan, dia mencari hiburan. Saat orang sedang stres, dia mencari kegiatan yang menenangkan hati. Begitu juga dengan motivasi, saat saya sedang linglung dan kehilangan semangat untuk melakukan apa pun, saya temukan motivasi untuk berkarya dengan melakukan sesuatu; tentunya yang saya utamakan adalah sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kenapa harus "positif dan bermanfaat"? Alasannya adalah karena konteks yang kita bicarakan adalah menemukan motivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Jadi, saya tidak mau berhenti dengan "melakukan sesuatu" saja. Saya tetap berusaha untuk menemukan motivasi dengan melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat. Contoh yang saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain membaca buku (lebih tepatnya e-book) dan menulis (lebih tepatnya blogging). Satu hal yang saya jaga dari "hal-hal positif dan bermanfaat" ini adalah jangan sampai membosankan. Titik ini saya hindari agar "hal-hal positif dan bermanfaat" itu tidak berubah menjadi "hal-hal negatif dan membebani pikiran". Inilah alasannya saya masih menyambangi circle Interesting di akun Google+ saya, bagian Discover di Twitter, LinkedIn Today, dan Stack Overflow.
Demikian tentang menemukan motivasi. Lalu bagaimana dengan menemukan potensi?
Sama dengan menemukan motivasi, hal pertama yang perlu kita tanam dalam keseharian kita adalah berperan aktif. Kalau kita sudah mau aktif mencari motivasi, tidak ada alasan bagi kita untuk pasif dalam menggali potensi. Potensi yang kita cari itu milik kita sendiri. Jadi buat apa kita menunggu? Sudah sepantasnya yang kita lakukan adalah mencari (menggali). Lihat kembali kepribadian kita, minat kita, hobi kita, apa yang membuat kita terobsesi, apa yang bisa kita lakukan dengan baik, apa yang menjadi bakat alami kita, apa yang bisa kita kembangkan, dan berbagai peluang lain yang bisa kita eksploitasi. Semua itu perlu kita gali sendiri! Bukan menunggu potensi ini muncul secara tidak sengaja atau karena dipaksa muncul oleh lingkungan eksternal.
Bila kita sudah mau berperan aktif menggali potensi kita sendiri, maka prosesnya akan menjadi lebih mudah karena sudah ada banyak tools yang tersedia untuk membantu kita. Untuk memahami kepribadian, kita bisa memilah apakah kita termasuk koleris, melankolis, sanguinis, atau phlegmatis. Selain itu ada juga analisa kepribadian berdasarkan golongan darah kita. Hobi dan minat dapat kita gali lewat berbagai kegiatan di luar rutinitas sehari-hari. Cari waktu untuk melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat di luar siklus hidup kita sehari-hari. Perhatikan bagaimana kita beradaptasi dan berkembang saat kita melakukan sesuatu yang baru ini. Perhatikan pula bagaimana perkembangan minat kita terhadap hal baru ini; apakah terus naik, stabil, atau perlahan-lahan menurun. Di akhir perjalanan panjang mencari potensi ini, fokuslah pada hal yang positif, bermanfaat, sesuai dengan karakter/bakat kita, dan tetap menarik untuk dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.
Mudah, bukan? Sederhana, iya. Mudah, tidak.
Sebenarnya menemukan motivasi dan potensi itu tidak serumit tulisan saya di atas. Intinya adalah semangat kita untuk terus melakukan hal yang positif dan bermanfaat. Kalau kita bisa terus mempertahankan semangat ini, motivasi dan potensi itu akan datang dengan sendirinya. Satu-satunya hal yang perlu kita waspadai adalah diri kita sendiri; dan syaithan bila Anda percaya pada eksistensi syaithan. Kita adalah makhluk yang gemar menikmati hidup, apalagi bila waktu luang kita banyak dan badan dalam kondisi sehat. Peran syaithan hanya sebagai katalisator terhadap perilaku "santai" ini. Jadi tantangan terbesar untuk tetap hidup penuh hal-hal positif dan bermanfaat ini adalah dengan menaklukan kecenderungan kita sendiri sebagai manusia. Saat hal ini berhasil kita lakukan, voila! Kita sudah menjadi the best of ourselves.
*Gambar ditemukan lewat Google
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 21 Januari 2013
Be the Best of Yourself
Motivasi yang Hilang* |
Sebelum saya menulis lebih lanjut tentang
Satu hal yang saya rasa bisa kita sepakati bersama adalah bahwa motivasi itu kita perlukan untuk senantiasa bergerak ke depan. Umumnya hidup dengan motivasi itu berarti hidup dengan tujuan dan hidup dengan tujuan itu berarti hidup dengan harapan. Dengan kehidupan yang penuh harapan, akan semakin mudah bagi kita untuk melangkah ke depan demi menggapai harapan-harapan kita. Dalam proses ini, hidup kita akan lebih bermakna dan tidak hambar. Itulah kenapa kita butuh motivasi. Tanpa ada motivasi, kita bisa melihat sendiri diri kita terdiam dan pada akhirnya tertinggal oleh orang-orang yang hidupnya dipenuhi energi bernama motivasi itu.
Contohnya tidak usah muluk-muluk. Hal kecil seperti bermain game saja sudah bisa menggambarkan pentingnya motivasi. Saat kita memiliki motivasi untuk bermain sebuah game, saat itu juga kita memiliki tujuan di dalam game tersebut. Dapat dipastikan akan ada prestasi-prestasi yang ingin kita capai dalam bermain game. Dengan begitu, game yang kita mainkan akan terasa seru dan menarik. Simple, bukan? Bisa bayangkan bermain game tanpa motivasi dan tujuan. Cap-pek-deh!
Kalau kita bawa analogi game itu ke dalam kehidupan, maka semakin jelas bahwa motivasi itu penting (untuk memainkan game bernama kehidupan nyata). Selain penting, kita juga dapat melihat bahwa motivasi masing-masing orang akan berbeda. Seperti banyaknya pilihan genre dalam game, kehidupan pun memberikan banyak pilihan tujuan hidup. Masing-masing orang diperbolehkan memilih tujuan hidupnya sendiri sesuai dengan karakternya, pekerjaannya, hobinya, status perkawinannya, jumlah dan usia anak-anaknya, dan berbagai faktor lainnya.
Dengan demikian, salah satu prinsip utama saya dalam urusan motivasi adalah Be the Best of Yourself. Saat kita ingin menjadi lebih baik, pada dasarnya kita hanya meningkatkan potensi kita, mengambil peluang yang ada dalam jangkauan kita, dan meminimalisir kekurangan/kelemahan kita. Fokusnya ada pada diri kita; bukan pada orang lain. Dalam proses perbaikan diri ini tentu saja kita akan belajar dari orang lain, tapi kita tidak perlu menjadi "orang lain" itu. Yang perlu kita lakukan adalah memaksimalkan berbagai kelebihan kita sehingga kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri; bukan menjadi diri orang lain.
Jangan sampai kita berperilaku seperti ABG jaman sekarang yang seringkali ingin menjadi orang lain. Mereka ingin sekali terlihat seperti para artis idola mereka sampai ada yang mengikuti model pakaiannya, model rambutnya, gaya bicaranya, produk-produk pilihannya, dan lain-lain. Mereka rela melakukan apa saja untuk menjadi seperti orang terkenal. Mungkin mereka pikir dengan meniru orang terkenal itu mereka pun akan ikut tenar --minimal di lingkungan RT. Padahal yang mereka lakukan justru membuang-buang waktu berharga mereka yang seharusnya bisa mereka manfaatkan untuk menggali dan memaksimalkan minat dan bakat mereka sendiri. Pada akhirnya mereka tumbuh menjadi orang yang biasa saja. Mereka tidak berhasil menjadi orang terkenal dan potensi mereka pun terpendam begitu dalam sampai tidak lagi bisa dipancing keluar. Bukan tidak mungkin pada titik ini hidup mereka akan dipenuhi penyesalan dan mereka pun kehilangan suntikan energi berharga yang kita sebut MO-TI-VA-SI.
Dengan mencoba Menjadi yang Terbaik dari Diri Kita Sendiri, kita tidak akan memanggul beban yang berlebihan karena perbaikan yang kita lakukan memang sesuai dengan karakteristik dan kapasitas kita sendiri. Kalau kita terus mencoba menjadi diri orang lain, ada kemungkinan kita akan memaksakan diri kita sendiri melebihi kemampuan kita atau merasa gagal karena kita merasa tidak mampu menjadi lebih baik. Kalaupun akhirnya kita berhasil, ada kemungkinan kita tidak merasa puas karena kita sudah bukan diri kita lagi --kita merasa kehilangan identitas kita sendiri.
Yang menjadi masalah dengan prinsip ini adalah kita punya kecenderungan puas dengan keadaan kita. Ada kemungkinan kita sudah merasa maksimal dalam proses pengembangan diri kita, padahal kita justru stuck pada menerima diri kita apa adanya --tanpa ada perkembangan sama sekali. Oleh karena itu, kita tetap perlu membuka wawasan kita dan berkaca pada orang lain; orang lain yang hebat dan sukses tentunya. Kita tetap perlu melihat prestasi-prestasi yang dicapai orang lain. Kita harus terus bertanya kepada diri kita sendiri, "kalau dia bisa begitu, saya bisa atau tidak?" Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan terus memancing kita untuk melihat kembali potensi yang kita miliki dan mencoba untuk terus memaksimalkannya. Bila proses sederhana ini dilakukan secara berulang dan terus-menerus, Menjadi yang Terbaik dari Diri Kita Sendiri akan datang dengan sendirinya.
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 14 Januari 2013
Pentingnya Berbangga Diri
Menyambung dari Tersambar Petir, pada tulisan kali ini saya ingin lebih menekankan pada aspek kebanggaan diri dari the boy who flew. Kebanggaan diri yang saya maksud di sini, seperti yang saya paparkan di Tersambar Petir, merupakan kompilasi tentang berbagai hal yang sudah kita capai dalam hidup kita. Kebanggaan diri di sini merupakan sebuah kumpulan pencapaian hidup yang memungkinkan kita untuk secara gamblang menegaskan bahwa diri kita itu "bernilai".
"Seberapa pentingkah menemukan kebanggaan diri kita?" Let's start with a story.
Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang pria bernama Joni yang jatuh cinta pada seorang wanita bernama Isabela. Sayang seribu sayang, Isabela bukanlah wanita yang mudah didapatkan. Selain kompetisi yang ketat untuk mendapatkan hatinya, Isabela sendiri memang bukan tipe wanita yang mudah "takluk" pada pesona sembarang pria.
Walaupun begitu, Joni tidak patah semangat. Bersaing dengan pria-pria yang lebih tampan atau lebih kaya tidak lantas membuat dia mundur dari kompetisi. Joni pun mulai menyusun berbagai rencana untuk merayu Isabela. Tanpa modal harta yang melimpah atau paras seorang selebriti, Joni tetap mencoba mendekati Isabela. Beberapa hari kemudian, Joni datang ke rumah Isabela sambil membawa cake buatannya sendiri. Cake itu diterima oleh Isabela dengan ucapan terima kasih. Sayangnya Isabela sama sekali tidak terlihat terkesan.
Seminggu kemudian, Joni datang lagi ke rumah Isabela dengan membawa lukisan Isabela hasil karyanya sendiri. Isabela yang terus ada di dalam pikirannya telah memberikan inspirasi kepada Joni untuk menuangkannya di atas kanvas. Hasilnya adalah lukisan seorang wanita cantik dengan senyuman yang membuat menenangkan jiwa. Lukisan itu diterima Isabela dengan ucapan terima kasih. Sayangnya Isabela pun tetap saja tidak terkesan.
Hampir 2 (dua) minggu sejak memberikan lukisan kepada Isabela, Joni datang lagi dengan membawa sweater yang dirajutnya sendiri. Besar harapan Joni agar Isabela mau memakai sweater buatannya itu. Sayangnya Joni tidak melihat harapan itu terkabul saat Isabela menerima pemberiannya. Di balik ucapan terima kasihnya, Isabela tetap saja tidak terkesan.
Joni masih tetap melanjutkan perjuangannya untuk merebut hati Isabela saat dia tiba-tiba dikejutkan kabar bahwa Isabela sedang bersiap-siap pergi. Rupanya Isabela sudah bertunangan dengan seorang pria dari negara tetangga. Joni tidak lagi melihat harapan untuk memenangkan hati Isabela. "Bagaikan punuk merindukan bulan," itu pikir Joni.
Bagaimana kelanjutan kisah Joni? Kita sama-sama tahu bahwa Joni punya dua pilihan. Joni bisa terus meratapi kegagalannya mendapatkan cinta Isabela atau Joni bisa mulai menyadari betapa banyaknya hal yang dia capai dalam usahanya mendapatkan cinta Isabela. Joni berhasil membuat cake, melukis, dan merajut dalam "kegagalannya" mendapatkan cinta Isabela. Bisa dibayangkan bukan bahwa yang berhasil dicapai Joni itu lebih besar dari apa yang gagal dicapainya?
Kita pun kerap seperti itu. Kita seringkali disibukan dengan kegagalan kita saat belajar terbang sampai-sampai kita lupa bahwa di balik kegagalan itu tersembunyi sebuah fakta. Fakta itu menunjukan bahwa kita sudah terbang, walaupun hanya beberapa (puluh) meter. Kita seringkali terlalu sibuk menyesali kegagalan kita sehingga kita tidak sadar dengan hal-hal yang berhasil kita capai dalam proses yang kita jalani.
Lalu kembali ke pertanyaan kita, "seberapa pentingkah menemukan kebanggaan diri kita?" Sepenting kebahagiaan hidup kita. Saat kita bangga dengan berbagai hal yang kita capai, kita akan mendapatkan suntikan energi untuk terus maju menembus berbagai rintangan hidup. Kebanggaan diri ini menjadi motivasi kita untuk terus berkarya walaupun diterpa kegagalan karena kita tahu bahwa di balik kegagalan itu ada satu-dua keberhasilan.
Dengan suntikan energi ini, kita akan terbebas dari penyesalan dan ratapan yang membuat hidup terasa berat. Mood kita pun dapat dipastikan akan beranjak membaik sehingga kita mampu menatap hidup dengan pandangan positif. Kebanggaan terhadap diri sendiri ini pada akhirnya akan meningkatkan rasa percaya diri kita.
Satu hal yang perlu kita ingat dalam membanggakan diri sendiri adalah kebanggaan ini membuat kita besar kepala bin angkuh. Mengacu kepada pengalaman dan pengamatan saya sendiri, batas antara sikap membanggakan diri yang positif dan membanggakan diri yang negatif (sombong) itu tipis. Jangan sampai tujuan baik kita untuk memotivasi diri sendiri dan memberikan suntikan energi untuk terus berkarya ini berdampak negatif pada lingkungan sosial kita. Jangan sampai rasa bangga terhadap berbagai keberhasilan diri kita sendiri membuat kita dijauhi orang lain karena kita dianggap sombong.
Demikian.
Here's to our self-esteem!
*Gambar ditemukan lewat Google
"Seberapa pentingkah menemukan kebanggaan diri kita?" Let's start with a story.
Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang pria bernama Joni yang jatuh cinta pada seorang wanita bernama Isabela. Sayang seribu sayang, Isabela bukanlah wanita yang mudah didapatkan. Selain kompetisi yang ketat untuk mendapatkan hatinya, Isabela sendiri memang bukan tipe wanita yang mudah "takluk" pada pesona sembarang pria.
Walaupun begitu, Joni tidak patah semangat. Bersaing dengan pria-pria yang lebih tampan atau lebih kaya tidak lantas membuat dia mundur dari kompetisi. Joni pun mulai menyusun berbagai rencana untuk merayu Isabela. Tanpa modal harta yang melimpah atau paras seorang selebriti, Joni tetap mencoba mendekati Isabela. Beberapa hari kemudian, Joni datang ke rumah Isabela sambil membawa cake buatannya sendiri. Cake itu diterima oleh Isabela dengan ucapan terima kasih. Sayangnya Isabela sama sekali tidak terlihat terkesan.
Seminggu kemudian, Joni datang lagi ke rumah Isabela dengan membawa lukisan Isabela hasil karyanya sendiri. Isabela yang terus ada di dalam pikirannya telah memberikan inspirasi kepada Joni untuk menuangkannya di atas kanvas. Hasilnya adalah lukisan seorang wanita cantik dengan senyuman yang membuat menenangkan jiwa. Lukisan itu diterima Isabela dengan ucapan terima kasih. Sayangnya Isabela pun tetap saja tidak terkesan.
Hampir 2 (dua) minggu sejak memberikan lukisan kepada Isabela, Joni datang lagi dengan membawa sweater yang dirajutnya sendiri. Besar harapan Joni agar Isabela mau memakai sweater buatannya itu. Sayangnya Joni tidak melihat harapan itu terkabul saat Isabela menerima pemberiannya. Di balik ucapan terima kasihnya, Isabela tetap saja tidak terkesan.
Joni dan Isabela? Bukan! |
Bagaimana kelanjutan kisah Joni? Kita sama-sama tahu bahwa Joni punya dua pilihan. Joni bisa terus meratapi kegagalannya mendapatkan cinta Isabela atau Joni bisa mulai menyadari betapa banyaknya hal yang dia capai dalam usahanya mendapatkan cinta Isabela. Joni berhasil membuat cake, melukis, dan merajut dalam "kegagalannya" mendapatkan cinta Isabela. Bisa dibayangkan bukan bahwa yang berhasil dicapai Joni itu lebih besar dari apa yang gagal dicapainya?
Kita pun kerap seperti itu. Kita seringkali disibukan dengan kegagalan kita saat belajar terbang sampai-sampai kita lupa bahwa di balik kegagalan itu tersembunyi sebuah fakta. Fakta itu menunjukan bahwa kita sudah terbang, walaupun hanya beberapa (puluh) meter. Kita seringkali terlalu sibuk menyesali kegagalan kita sehingga kita tidak sadar dengan hal-hal yang berhasil kita capai dalam proses yang kita jalani.
Lalu kembali ke pertanyaan kita, "seberapa pentingkah menemukan kebanggaan diri kita?" Sepenting kebahagiaan hidup kita. Saat kita bangga dengan berbagai hal yang kita capai, kita akan mendapatkan suntikan energi untuk terus maju menembus berbagai rintangan hidup. Kebanggaan diri ini menjadi motivasi kita untuk terus berkarya walaupun diterpa kegagalan karena kita tahu bahwa di balik kegagalan itu ada satu-dua keberhasilan.
Dengan suntikan energi ini, kita akan terbebas dari penyesalan dan ratapan yang membuat hidup terasa berat. Mood kita pun dapat dipastikan akan beranjak membaik sehingga kita mampu menatap hidup dengan pandangan positif. Kebanggaan terhadap diri sendiri ini pada akhirnya akan meningkatkan rasa percaya diri kita.
Satu hal yang perlu kita ingat dalam membanggakan diri sendiri adalah kebanggaan ini membuat kita besar kepala bin angkuh. Mengacu kepada pengalaman dan pengamatan saya sendiri, batas antara sikap membanggakan diri yang positif dan membanggakan diri yang negatif (sombong) itu tipis. Jangan sampai tujuan baik kita untuk memotivasi diri sendiri dan memberikan suntikan energi untuk terus berkarya ini berdampak negatif pada lingkungan sosial kita. Jangan sampai rasa bangga terhadap berbagai keberhasilan diri kita sendiri membuat kita dijauhi orang lain karena kita dianggap sombong.
Demikian.
Here's to our self-esteem!
*Gambar ditemukan lewat Google
Senin, 07 Januari 2013
Kanibalisme dan Gosipisme
Saya yakin tidak ada satu orang berakal di dunia ini yang mau menjadi seorang kanibal. Menurut saya memang tidak masuk akal bila seorang manusia mau memakan manusia lain. Buat saya pribadi, bukan sekedar "tidak masuk akal". Bayangan seseorang memakan orang lain sudah berhasil membuat saya merasa mual.
Tulisan ini tentu saja bukan untuk membahas kanibalisme. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas salah satu kebiasaan kita yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kanibalisme, yaitu gosipisme. Gosipisme, yaitu kebiasaan kita untuk ngomongin orang lain, adalah sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan ini tidak mengenal batas. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, semua sudah terbiasa ngegosip. Bahkan tidak sedikit acara di televisi yang isinya hanya gosip.
Ngegosip tentu saja ditargetkan kepada orang lain. Pernah dengar seseorang ngegosip tentang dirinya sendiri? Tentu saja tidak ada. Ngegosip itu selalu tentang orang lain. "orang lain" di sini Kalau seseorang sedang membicarakan dirinya sendiri, kemungkinan besar orang itu sedang pamer; bukan ngegosip.
Keburukan adalah ciri lain dari ngegosip. Yang dibicarakan di dalam sebuah sesi gosip pada umumnya adalah keburukan orang lain. Keburukan-keburukan yang dibicarakan pun bervariasi mulai dari tingkah laku konyol seseorang sampai perkataan atau perbuatan buruk yang bersifat serius. Gosip tidak pernah membicarakan kebaikan orang lain. Kalau yang dibicarakan itu kebaikan, kemungkinan besar itu adalah sesi pengajian; bukan sesi gosip.
Dari dua karakteristik itu saja saya menganggap bahwa gosipisme pada hakikatnya sama dengan kanibalisme. Seperti para kanibal, para penggosip pun sama-sama menikmati "bangkai" orang lain. Keburukan-keburukan orang lain dijadikan bahan tertawaan oleh para penggosip sebagaimana potongan tubuh orang lain dijadikan bahan makanan oleh para kanibal. Perbedaannya adalah kanibalisme ini mudah sekali membuat kita merasa jijik, sementara gosipisme justru membuat kita merasakan kenikmatan.
Perbedaan lain dari kedua metode memangsa orang lain ini adalah dampaknya. Kalau kita menjadi mangsa para kanibal, kita pasti mati. Selesai. Tidak ada dampak negatif lain yang bisa kita rasakan. Kalaupun kita menjadi mangsa hidup-hidup, rasa sakit yang kita rasakan pun akan berhenti saat kita mati. Berbeda dengan kalau kita menjadi mangsa para penggosip. Dampak negatif dari gosip ini akan terus kita rasakan sampai gosip ini terbantahkan atau sampai gosip ini tidak lagi dijadikan tema pembicaraan orang-orang di sekitar kita. Bisa bayangkan rasanya hidup dengan prasangka negatif yang menumpuk di pundak? Rasanya lebih baik mati, bukan?
Saat kita menjadi korban gosip, bukan tidak mungkin kita akan dituduh yang bukan-bukan. Selain itu, orang-orang di sekitar kita mulai melihat kita secara negatif. Bukan tidak mungkin kita justru akan dijauhi oleh orang-orang yang biasanya dekat dengan kita. Semua ini lebih menyakitkan dari mati dan semua ini diawali oleh omongan-omongan orang yang tidak berdasar (baca: tidak punya otak).
Curcol? Bukan. :)
Saya sendiri beruntung bahwa saya tidak pernah merasakan kepedihan separah itu. Hanya saja saya pernah beberapa kali menjadi saksi bagaimana gosip itu bisa merusak hidup seseorang. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, hidup mereka bisa rusak begitu saja digerogoti oleh gosip. Tidak ada seorang pun di antara kita yang ingin hidupnya rusak oleh gosip, tapi entah kenapa kita ini tidak pernah mengalami kesulitan ngegosip.
Saya pribadi tidak pernah mau menjadi bahan gosip. Kalau ada hal buruk yang saya katakan atau lakukan, saya lebih suka ditegur langsung. Dengan ditegur langsung, mungkin saja saya sakit hati. Tapi sakit hati seperti ini sifatnya sementara dan akan hilang seiring perbaikan terhadap diri sendiri yang saya lakukan. Jauh lebih baik sakit hati yang frontal seperti ini dibandingkan terus-menerus menjadi bahan gunjingan.
Dan keinginan untuk tidak menjadi bahan gosip itulah yang membuat saya mulai bergerak untuk menjauhi gosip. Pokoknya kalau obrolan sudah mulai mengarah ke orang yang tidak hadir, saya mencoba untuk tidak terlibat. Melakukan hal ini pada dasarnya sulit; sesulit mengendalikan lidah kita untuk nyeletuk dan ikut ngegosip. Sepertinya analogi gosipisme dengan kanibalisme ini akan menjadi pegangan penting bagi saya untuk menjaga diri saya dari menikmati pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain.
**Semua gambar ditemukan lewat Google
Tulisan ini tentu saja bukan untuk membahas kanibalisme. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas salah satu kebiasaan kita yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kanibalisme, yaitu gosipisme. Gosipisme, yaitu kebiasaan kita untuk ngomongin orang lain, adalah sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan ini tidak mengenal batas. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, semua sudah terbiasa ngegosip. Bahkan tidak sedikit acara di televisi yang isinya hanya gosip.
Ngegosip tentu saja ditargetkan kepada orang lain. Pernah dengar seseorang ngegosip tentang dirinya sendiri? Tentu saja tidak ada. Ngegosip itu selalu tentang orang lain. "orang lain" di sini Kalau seseorang sedang membicarakan dirinya sendiri, kemungkinan besar orang itu sedang pamer; bukan ngegosip.
Keburukan adalah ciri lain dari ngegosip. Yang dibicarakan di dalam sebuah sesi gosip pada umumnya adalah keburukan orang lain. Keburukan-keburukan yang dibicarakan pun bervariasi mulai dari tingkah laku konyol seseorang sampai perkataan atau perbuatan buruk yang bersifat serius. Gosip tidak pernah membicarakan kebaikan orang lain. Kalau yang dibicarakan itu kebaikan, kemungkinan besar itu adalah sesi pengajian; bukan sesi gosip.
Dari dua karakteristik itu saja saya menganggap bahwa gosipisme pada hakikatnya sama dengan kanibalisme. Seperti para kanibal, para penggosip pun sama-sama menikmati "bangkai" orang lain. Keburukan-keburukan orang lain dijadikan bahan tertawaan oleh para penggosip sebagaimana potongan tubuh orang lain dijadikan bahan makanan oleh para kanibal. Perbedaannya adalah kanibalisme ini mudah sekali membuat kita merasa jijik, sementara gosipisme justru membuat kita merasakan kenikmatan.
Perbedaan lain dari kedua metode memangsa orang lain ini adalah dampaknya. Kalau kita menjadi mangsa para kanibal, kita pasti mati. Selesai. Tidak ada dampak negatif lain yang bisa kita rasakan. Kalaupun kita menjadi mangsa hidup-hidup, rasa sakit yang kita rasakan pun akan berhenti saat kita mati. Berbeda dengan kalau kita menjadi mangsa para penggosip. Dampak negatif dari gosip ini akan terus kita rasakan sampai gosip ini terbantahkan atau sampai gosip ini tidak lagi dijadikan tema pembicaraan orang-orang di sekitar kita. Bisa bayangkan rasanya hidup dengan prasangka negatif yang menumpuk di pundak? Rasanya lebih baik mati, bukan?
Saat kita menjadi korban gosip, bukan tidak mungkin kita akan dituduh yang bukan-bukan. Selain itu, orang-orang di sekitar kita mulai melihat kita secara negatif. Bukan tidak mungkin kita justru akan dijauhi oleh orang-orang yang biasanya dekat dengan kita. Semua ini lebih menyakitkan dari mati dan semua ini diawali oleh omongan-omongan orang yang tidak berdasar (baca: tidak punya otak).
Curcol? Bukan. :)
Saya sendiri beruntung bahwa saya tidak pernah merasakan kepedihan separah itu. Hanya saja saya pernah beberapa kali menjadi saksi bagaimana gosip itu bisa merusak hidup seseorang. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, hidup mereka bisa rusak begitu saja digerogoti oleh gosip. Tidak ada seorang pun di antara kita yang ingin hidupnya rusak oleh gosip, tapi entah kenapa kita ini tidak pernah mengalami kesulitan ngegosip.
Saya pribadi tidak pernah mau menjadi bahan gosip. Kalau ada hal buruk yang saya katakan atau lakukan, saya lebih suka ditegur langsung. Dengan ditegur langsung, mungkin saja saya sakit hati. Tapi sakit hati seperti ini sifatnya sementara dan akan hilang seiring perbaikan terhadap diri sendiri yang saya lakukan. Jauh lebih baik sakit hati yang frontal seperti ini dibandingkan terus-menerus menjadi bahan gunjingan.
Dan keinginan untuk tidak menjadi bahan gosip itulah yang membuat saya mulai bergerak untuk menjauhi gosip. Pokoknya kalau obrolan sudah mulai mengarah ke orang yang tidak hadir, saya mencoba untuk tidak terlibat. Melakukan hal ini pada dasarnya sulit; sesulit mengendalikan lidah kita untuk nyeletuk dan ikut ngegosip. Sepertinya analogi gosipisme dengan kanibalisme ini akan menjadi pegangan penting bagi saya untuk menjaga diri saya dari menikmati pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain.
**Semua gambar ditemukan lewat Google
Langganan:
Postingan (Atom)