Once upon a time, there was a boy.
Kalau saya melihat kembali ke masa lalu, saya bisa melihat bahwa hidup saya senantiasa mengikuti arus. Mulai dari kecil hingga saya lulus kuliah, saya tidak bisa pungkiri bahwa hidup saya cuma gitu-gitu doank. Contohnya dalam konteks pendidikan formal. Saya masuk SD agar bisa masuk SMP, saya masuk SMP agar bisa masuk SMA, dan saya masuk SMA agar bisa kuliah.
Padahal di beberapa kesempatan, saya merasa ada hal-hal yang seharusnya bisa merubah hidup saya. Saya sempat diterima di SMA 3 Bandung; sebuah SMA unggulan. Sayangnya saya tidak bisa mengoptimalkan motivasi belajar saya di sana. Saat kelas 3 SMA, saya pindah ke SMA 1 Ciputat karena alasan domisili. Di SMA ini, saya mendadak menonjol (dari sebelumnya biasa saja di SMA 3). Saya bahkan mendapatkan kesempatan untuk ikut seleksi Olimpiade Fisika. Kesempatan ini pun tidak saya maksimalkan.
Kuliah pun bagi saya tidak lebih dari rangkaian pendidikan formal yang perlu saya lewati untuk mendapatkan pekerjaan kelak. Saya kuliah di Fakultas Ilmu Komputer UI, tapi tempat kuliah ini tidak jauh berbeda dengan SMA. Kampus ini bagi saya hanya tempat untuk mendapatkan nilai yang bagus agar peluang kerja saya meningkat. Hidup saya seolah-olah diarahkan oleh apa yang umum saja; benar-benar seperti mengikuti arus. Nothing special.
Once upon a time, there was a boy who wanted to fly.
Hanya saja saya memang merasakan sebuah perbedaan yang signifikan dalam hidup saya di akhir kuliah saya. Pada saat itu saya yakin interaksi saya dengan Islam yang telah merubah sikap saya terhadap hidup. Saya tidak lagi sekedar mengikuti arus, tapi saya mulai berenang menentukan arah saya sendiri. Saya ingin kehadiran saya menjadi signifikan. I wanted to make a difference. Walaupun pada saat itu keinginan untuk make a difference ini agak rancu dengan keinginan untuk pamer.
Saya lulus kuliah dengan IPK di atas 3 (tiga). 2 (dua) semester terakhir menjadi medan tempur untuk memaksimalkan nilai-nilai di SKS yang tersisa. Saya ingin mengambil langkah pertama untuk membuat perbedaan di dunia ini dengan mendapatkan IPK yang "memuaskan". Saya ingin mendapatkan peluang kerja yang menantang dan menarik. Untuk melakukan itu, saya pikir IPK 3 (tiga) koma sekian adalah awal yang baik. Or is it?
Saya pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain; trying to make a difference. Di setiap pekerjaan, saya senantiasa ingin menjadi seseorang yang signifikan. Sayangnya saya tidak pernah merasa berhasil menggapai itu. Terus terang saya sendiri tidak merasa memiliki motivasi yang cukup untuk menjadi signifikan. Hampir di setiap pekerjaan yang saya geluti, saya selalu mengawali dengan semangat dan pada akhirnya kehilangan semangat itu seiring waktu.
Saya selalu ingin sukses, saya selalu ingin menjadi yang terbaik, saya selalu ingin menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki pengaruh yang signifikan. Lulus kuliah, menikah, mempunyai anak, dan bekerja di berbagai tempat sepertinya tidak membantu saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Have I really made a difference in my life to date?
Once upon a time, there was a boy who flew.
Pada kenyataannya, saya sudah membuat perbedaan untuk saya dan orang-orang di sekitar saya. Saya sudah berhasil menjadi pribadi yang kehadirannya signifikan. Saya sudah berhasil melakukan banyak hal walaupun tidak dapat dikatakan "luar biasa". Indeed, I made a difference.
Saat saya sadari, IPK 3 (tiga) yang saya dapatkan saat kuliah S1 berhasil membawa saya ke pekerjaan saya sekarang. Kemampuan teknis yang saya miliki serta pengalaman-pengalaman dari berbagai tempat kerja saya sebelumnya telah membawa saya ke posisi yang penting di tempat kerja saya sekarang. Saya berhasil menjadi pekerja yang diperhitungkan dan dipercaya. Semua itu pada akhirnya "terbukti" saat saya diberi kepercayaan untuk memikul beban sebagai salah satu pegawai terbaik. Pemikiran dan hasil kerja saya telah membawa pengaruh yang cukup signifikan untuk diperhitungkan oleh para atasan.
Menikah di usia menjelang 23 tahun juga sebuah pencapaian yang luar biasa bagi saya. Jelas bahwa saya berhasil melewati berbagai tantangan kehidupan pernikahan dan membentuk hubungan penuh kasih sayang dengan istri saya. Memiliki anak kembar di usia menjelang 26 tahun memperpanjang rangkaian pencapaian yang saya lakukan dalam kehidupan berumah-tangga. Saya berhasil menjadi ayah yang luar biasa. Saya bisa menandingi istri saya dalam berbagai urusan merawat dan mendidik anak. Satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan adalah memproduksi air susu untuk anak-anak saya.
Dalam dunia blogging pun "karir" saya memang tidak cemerlang. Saya bukan seorang "seleb blog", tapi kumpulan blog saya sudah berhasil mencapai ratusan ribu page views dengan Bagaimana Cara meraup lebih dari 200.000 page views. Yang lebih penting lagi adalah begitu banyaknya komentar (sebagian besar berupa pertanyaan) di blog Bagaimana Cara yang bisa saya jawab. Hal ini yang menjadi tolok ukur saya bahwa tulisan saya berhasil membantu orang lain.
Dan masih banyak lagi pencapaian dalam hidup saya yang bisa saya ceritakan, tapi tulisan berisi riwayat hidup saya ini sudah terlalu panjang. Satu hal yang ingin saya tegaskan adalah tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membangga-banggakan diri saya sendiri. Tulisan ini sebenarnya hanya sebatas self-proclamation bahwa saya sudah terbang; saya bukan lagi seseorang yang hanya ingin terbang. Saya sudah terbang, saya sudah membuat perbedaan, saya sudah menjadi pribadi yang signifikan.
Once upon a time, there was a boy who continued flying in search for another great adventure.
[Bersambung...]
*Tulisan ini terinspirasi oleh film Struck by Lightning
**Semua gambar ditemukan lewat Google
kalo sampeyan terinspirasi dari Struck by Lightning, saya malah terinspirasi dari tulisan sampeyan ini..
BalasHapuskeep posting masbro :D
Terima kasih atas apresiasinya, Mas Cahyo.
Hapus