Rabu, 15 Juni 2016

Puasa dan Tarawih di Canberra

0 opini
Tidak pernah terbayang dalam hidup saya bahwa saya akan berpuasa di negeri orang, khususnya di sebuah negara yang memiliki 4 musim. Rupanya Allah punya kehendak yang berbeda. Saya pun mendapatkan kesempatan untuk merasakan berpuasa selama musim dingin di Canberra.

Hari ini, Selasa, 14 Juni 2016, adalah hari ke-9 saya berpuasa di Canberra. Berhubung saat ini sedang musim dingin, siang hari menjadi pendek. Akibatnya waktu berpuasa pun terbilang pendek. Waktu sahur berakhir sekitar pukul 05.30 sementara waktu berbuka tiba sekitar pukul 17.00. Waktu berpuasa di Canberra saat ini tidak sampai 12 jam. Bahkan, kalau melihat waktu sahur dan berbukanya, puasa di Canberra ini ibarat makan pagi agak awal dan skip makan siang.

Di sisi lain, udara dingin kadang mengganggu konsentrasi berpuasa. Udaranya memang belum terlalu dingin, tapi udara dingin dan perut kosong seringkali tidak hidup harmonis di dalam tubuh saya. Walaupun dinginnya masih bisa dinikmati, saya tetap memilih untuk menggunakan jaket bulu angsa (baca: super tebal) sepanjang hari, bahkan saat saya berada di dalam kantor. Alternatif lain adalah dengan mengenakan baju beberapa lapis untuk menjaga kehangatan tubuh.

Ada kalanya udara dingin di sini bisa membuat badan sedikit menggigil. Contohnya Jumat lalu saat saya menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat Jumat di Masjid Gungahlin, angin kencang membuat udara begitu dingin sampai jari dan telapak tangan saya pun ingin bergegas masuk ke kantong celana. Untungnya bagian dalam tempat shalat Jumat itu masih hangat sehingga shalat pun bisa dilaksanakan dengan nyaman.

Masjid Gungahlin (belum selesai dibangun)
Tempat Shalat Alternatif di Area Masjid Gungahlin
Terlepas dari itu, rutinitas ibadah puasa berjalan seperti biasa. Siang puasa, malam tarawih. Tidak ada yang istimewa. Satu hal yang saya sayangkan adalah sulitnya menggapai masjid/musala dari apartemen yang saya huni untuk shalat tarawih berjamaah. Apartemen ini terletak di pusat kota Canberra, sementara Masjid Canberra, Musala Spence, tempat shalat tarawih pengganti Masjid Gungahlin, dan alternatif lainnya tidak mudah dicapai. Jalan kaki ke tempat-tempat tersebut bukan pilihan. Pilihan utama bagi saya adalah naik bus karena taksi atau Uber terlalu mahal. Masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa masih ada bus untuk pulang setelah shalat tarawih.

Untungnya salah satu rekan kerja di ATO menawarkan untuk mengantar pulang seandainya saya berminat untuk shalat tarawih berjamaah di Musala Spence. Akhirnya Jumat malam yang lalu, saya naik bus ke Musala Spence. Setelah buka puasa, melaksanakan shalat Maghrib, dan makan malam bersama keluarga, saya pamit berangkat ke musala tersebut. Walaupun tertinggal bus (padahal sudah lari secepat mungkin ke perhentian bus), bus berikutnya masih bisa dinaiki untuk tiba di Musala Spence sebelum tarawih dimulai. Sayangnya tertinggal bus sebelumnya itu membuat saya terlambat datang untuk ikut shalat Isya berjamaah.

Ceramah Pasca Tarawih di Musala Spence
Walaupun begitu, saya senang masih mendapat kesempatan merasakan shalat berjamaah di situ karena setiap kesempatan shalat berjamaah di Canberra ini memberi kesan tersendiri. Saya bisa bertemu dengan orang dari berbagai negara (dari berbagai benua) dengan berbagai cara shalat masing-masing. Melihat begitu banyaknya perbedaan dalam keharmonisan shalat berjamaah membuat saya semakin mencintai Islam karena Islam memang tidak mengenal warna kulit, warna rambut, tinggi badan, atau embel-embel lainnya.

Prosesi shalat tarawihnya tidak jauh berbeda dengan prosesi shalat tarawih yang pernah saya ikuti di Indonesia. Perbedaan yang benar-benar terasa adalah shalat tarawih di sini terasa lebih santai (baca: serasa shalat tarawih di rumah). Tidak ada ceramah antara shalat Isya dan shalat tarawih, tapi waktu yang disediakan masih cukup untuk istirahat. Ceramah dilakukan setelah shalat tarawih sehingga setiap orang bisa memilih untuk menghadiri ceramah atau tidak tanpa harus merasa janggal karena meninggalkan jamaah.


Shalat tarawihnya sendiri dilakukan per 2 rakaat dengan sedikit istirahat setiap selesai 4 rakaat. Tidak ada ucapan-ucapan di antara 2 rakaat shalat seperti yang biasa saya dengar dalam pelaksanaan shalat tarawih di Indonesia. Imam memulai shalat tanpa ada aba-aba tertentu seolah-olah sedang mengajak keluarganya sendiri untuk berdiri dan melaksanakan shalat. Seperti yang saya sebutkan di atas, "serasa shalat tarawih di rumah". Hadir di jamaah tersebut benar-benar sebuah kesempatan yang istimewa.

Bagaimana dengan ngabuburit? Berhubung waktu buka puasa sekitar pukul 17.00, ngabuburit tidak lagi relevan, khususnya di hari kerja. Sedikit berbeda dengan hari libur. Selain belanja, saya dan keluarga mengisi waktu siang hingga menjelang sore dengan rekreasi. Hari Minggu yang lalu, saya menyempatkan diri mengajak istri dan anak saya mengunjungi National Museum of Australia. Sesuai dugaan saya, anak saya senang bisa berlari ke sana kemari di bagian taman dalam museum tersebut. Istri saya senang bisa melihat sebagian dari Australia tempo dulu. Saya sendiri senang karena bisa menyenangkan anak dan istri saya. Gombal!

Bagian Taman di National Museum of Australia
Belenggu Narapidana Tempo Dulu
Miniatur Sydney Opera House
Demikian yang bisa saya ceritakan untuk saat ini. Terlihat dari cerita di atas bahwa sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan ini benar-benar menyenangkan bagi saya. Udara dingin memang menjadi kendala, tapi kendala itu tidak signifikan. Puasa lancar, tarawih lancar, rekreasi pun lancar. Semoga senantiasa seperti ini hingga akhir Ramadhan. Aamiin.

Selasa, 07 Juni 2016

Hujan-hujanan di Sydney

0 opini
Tulisan kali ini tidak menggunakan judul dengan format "Minggu ... di Canberra: ..." karena di akhir pekan ke-7, saya dan keluarga meluangkan waktu untuk berkunjung ke kota Sydney. Sebenarnya cuaca di kota Sydney sedang tidak kondusif bagi turis. Hujan turun seperti tiada hentinya sepanjang hari Sabtu dan Minggu. Untungnya kami masih bisa mengunjungi beberapa lokasi seperti Sydney Opera House dan Australia National Maritime Museum. Transportasi publik, termasuk kapal feri, pun beroperasi seperti biasa sehingga kami masih bisa berkeliling di daerah pelabuhan.

Sabtu
Kami berangkat dari Canberra jam 7 pagi menggunakan bus ekspres bernama Murrays. Kami memilih moda transportasi itu karena pul busnya (Jolimont Centre) waktu tempuhnya tidak lebih dari 10 menit dengan jalan kaki dari apartemen kami dan harganya murah meriah. Busnya berangkat on time dan kami tiba di Sydney Central Railway Station sekitar pukul 10.3. Perjalanan di bus itu lancar tanpa kendala yang signifikan. Alhamdulillah.

Perempatan Eddy Avenue dan Pitt Street (Depan Central Railway Station)
Hal pertama yang kami lakukan adalah membeli kartu Opal agar kami tidak perlu bolak-balik membeli tiket saat menggunakan transportasi publik. Kami hanya perlu membeli 2 kartu Opal untuk saya dan istri saya karena anak saya masih berusia di bawah 4 tahun. Masing-masing kartu kami isi dengan jumlah minimal, yaitu 10 Australian Dollar (AUD).

Adult Opal Card
Kenapa hanya 10 AUD? Ada ketentuan batas maksimal biaya yang dikenakan kepada pengguna kartu Opal. Untuk pengguna kartu Opal dewasa, batas maksimalnya adalah 15 AUD per hari dengan ketentuan khusus 2,5 AUD untuk hari Minggu. Kami hanya perlu memastikan bahwa hari Sabtu kami tidak menggunakan lebih dari 7,5 AUD (menyisakan saldo minimal 2,5 AUD) sehingga kami bisa puas menggunakan moda transportasi apa pun sesering mungkin di hari Minggu.

Dengan kartu Opal di tangan, kami bergegas menuju tujuan pertama kami, yaitu Darling Harbour, menggunakan Light Rail. Tarif Light Rail dari Central Railway Station ke Darling Harbour hanya 2,1 AUD. Lokasi berhentinya tepat di belakang Harbourside (sebuah mal di Darling Harbour). Setelah turun dari Light Rail, kami langsung masuk ke Harbourside dan menikmati makan siang di Oporto.

Darling Harbour
Gondola di Darling Harbour
Setelah bahan bakar terisi dengan jumlah yang memadai, kami pun berkeliling di Darling Harbour. Istri dan anak saya menyempatkan diri naik gondola, sementara saya sibuk mengambil foto suasana Darling Harbour saat hujan. Setelah 6 putaran gondola (dan sebuah sesi foto), kami jalan ke arah Australian National Maritime Museum.

Lokasi Tur Kapal Selam dan Kapal Perang
Tampak Dalam Australia National Maritime Museum
Tampak Luar Australia National Maritime Museum
Bagian yang paling menarik di museum tersebut sepertinya kapal perang dan kapal selam, tapi dengan anak berumur 3 tahun di sisi kami, kami memutuskan untuk melewati bagian itu. Akhirnya kami hanya berkeliling di dalam museum dan melihat-lihat ekshibisi maritim yang tersedia. Secara umum, ekshibisi maritim di museum itu tetap menarik, khususnya bagi orang yang belum pernah melihatnya secara langsung seperti saya.

Perahu yang Digunakan Pribumi Australia
Periskop (Bagian dari Simulasi Kapal Selam)
Dari museum tersebut, kami berjalan ke Darling Quarter melewati Pyrmont Bridge. Darling Quarter dipenuhi dengan berbagai tempat makan. Awalnya kami berencana untuk makan siang di sini, tapi rasa lapar memaksa terjadinya perubahan rencana. Tidak hanya tempat makan, Darling Quarter juga dilengkapi taman bermain untuk anak-anak. Di bawah gerimis, masih ada beberapa anak yang bermain di situ.

Pyrmont Bridge
Air Mancur di Darling Quarter
Taman Bermain di Darling Quarter
Dari Darling Quarter, kami melanjutkan perjalananan kami ke Sydney Opera House menggunakan bus. Tarif bus yang kami tumpangi saat itu hanya 2,1 AUD per orang dewasa. Itu artinya kami sudah menggunakan 4,2 AUD dari total saldo kartu Opal kami. Aman.

Opera House (menjelang Vivid Sydney)
Harbour Bridge (menjelang Vivid Sydney)
Opera House Lego
Di Opera House, kami sempat keliling-keliling di bagian luarnya dan mengunjungi gift shop di bagian dalamnya. Berhubung kami sampai di sana menjelang sore, kami sempat melihat beberapa pekerja sedang mempersiapkan Opera House untuk Vivid Sydney. Menimbang bahwa kami belum mengenal Sydney dengan baik, sementara kami bepergian bersama seorang balita, kami memutuskan untuk melewati Vivid Sydney yang baru dimulai jam 6 malam. Sekitar jam 5 sore, kami meninggalkan Opera House menuju Arts Hotel.

Satu hal yang nyesek adalah perhentian bus di sekitar Circular Quay ditutup karena Vivid Sydney. Akibatnya kami harus berjalan beberapa ratus meter lebih jauh menuju perhentian bus berikutnya demi menghemat ongkos transportasi. Seperti bus sebelumnya, tarif bus menuju Arts Hotel pun hanya 2,1 AUD. Itu artinya kami hanya menggunakan 6,3 AUD dari total saldo kartu Opal kami di hari Sabtu yang mendung ini. Dengan sisa saldo 3,7 AUD, kami bisa menggunakan moda transportasi apa saja ke mana saja sebebas mungkin di hari Minggu tanpa harus merogoh dompet terlalu dalam. Sekali lagi, aman.

Minggu
Kami meninggalkan hotel pukul 9 pagi. Sebenarnya saya bermaksud untuk pergi lebih pagi lagi (untuk memaksimalkan hujan-hujanan di Sydney), tapi apa daya balita mungil saya masih perlu tidur, sarapan, dan lain-lain. Jam 9 pagi pun kami berangkat dengan perut yang sudah diisi secukupnya. Hujan turun begitu deras sampai saya berpikir memanggil Uber, tapi kami memutuskan untuk tetap menggunakan transportasi publik.

Kami menaiki bus dari hotel menuju Central Railway Station karena istri saya ingin mencoba menaiki kereta bertingkat. Harapannya terkabul. Dari Central Railway Station, kami menaiki kereta bertingkat itu ke Circular Quay. Dari situ, kami menaiki kapal feri dari Circular Quay Wharf 5 menuju Pyrmont Bridge Wharf di Darling Harbour. Semua itu hanya dengan 2,5 AUD per orang.

Harbour Bridge (dari Kapal Feri)
Opera House (dari Kapal Feri)
Harbour Control Tower (dari Kapal Feri)
Perjalanan paling seru tentu saja perjalanan di atas kapal feri. Selain bisa melihat Sydney dari laut, hujan dan angin yang kencang menambah sedikit keseruan saat berada di atas kapal itu. Sayangnya perjalanan ke Pyrmont Bridge Wharf tidak lama; hanya butuh waktu sekitar setengah jam. Akan tetapi, durasi perjalanan itu cukup untuk membuat saya mual.

Setelah turun dari kapal feri, kami menyusuri Australia National Maritime Museum dan masuk ke dalam Harbourside. Seperti hari sebelumnya, waktu tiba di Harbourside bertepatan dengan waktu makan siang. Kami pun menikmati makan siang di KFC (satu area food court yang sama dengan Oporto). Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan dengan Light Rail menuju Paddy's Market, menghabiskan waktu 1-1,5 jam untuk belanja, kemudian jalan kaki menuju Central Railway Station untuk naik bus Murrays ke Canberra. Kami berangkat menuju Canberra jam 3 sore (sesuai jadwal) dan ... sisa ceritanya tidak lagi relevan dalam tulisan ini.

Secara umum, walaupun matahari tak kunjung muncul, perjalanan kami di Sydney tetap menyenangkan. Paling tidak kami masih bisa melihat salah satu ikon Australia, yaitu Sydney Opera House. Kami pun masih sempat menaiki kapal feri untuk melihat Sydney dari sudut pandang yang berbeda. Berkeliling ke berbagai tempat di Sydney pun dapat kami lakukan sehemat mungkin dengan modal kartu Opal. Di penghujung akhir pekan, kami pun tiba di Canberra dengan hati puas ... dan perut lapar.

--
Foto-foto lainnya selama kami hujan-hujanan di Sydney dapat dilihat di sini: https://goo.gl/photos/AB7nnRW6Fbkpeav98.