Tampilkan postingan dengan label Beasiswa S2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Beasiswa S2. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Februari 2015

Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (2)

2 opini
Sambungan dari Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (1)

Gladi Resik Wisuda UI
Berbeda dengan acara Wisuda Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom), acara Wisuda Universitas Indonesia (UI) terbagi menjadi dua hari, yaitu satu hari untuk gladi resik dan satu hari untuk acara wisuda terkait. Inti dari acara gladi resik adalah berfoto bersama dekan masing-masing fakultas dan rektor. Memang benar dalam gladi resik itu dijelaskan prosesi acara wisuda yang sebenarnya. Masing-masing wisudawan dan wisudawati pun ikut berpartisipasi dalam gladi resik itu; bukan hanya sebagai penonton. Walaupun begitu, saya pribadi merasa kalaupun saya tidak mengikuti gladi resik, saya tidak akan mengalami kesulitan sama sekali mengikuti acara wisuda.

Berdiri untuk Menyanyikan Lagu Indonesia Raya
Lain cerita bila saya adalah pemegang indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi. Pemegang IPK tertinggi untuk masing-masing fakultas (bukan masing-masing program studi) akan diminta naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan rektor dan dekan fakultas terkait. Jadi penting bagi pemegang IPK tertinggi ini untuk hadir dan memperhatikan prosesi gladi resik agar tidak sampai salah tingkah saat acara wisuda berlangsung.

Intinya tetap pada foto bersama rektor dan dekan. Sesi foto itu dilakukan setelah gladi resik selesai. Panggilan untuk foto dilakukan per fakultas. Setiap wisudawan dan wisudawati dari fakultas yang dipanggil akan berbaris untuk bergiliran mengambil foto bersama rektor dan dekan. Fasilkom mendapatkan giliran kedua dari akhir untuk pengambilan foto tersebut. Akibatnya saya dan teman-teman saya harus menunggu sekitar dua jam untuk berfoto bersama rektor dan dekan.

Berbaris untuk Foto Bersama Rektor dan Dekan
Bagian yang paling menyenangkan di gladi resik ini adalah adanya kesempatan untuk mengambil foto bersama teman-teman kuliah. Para wisudawan dan wisudawati yang belum dipanggil untuk foto bersama rektor dan dekan segera memanggil diri mereka dan teman-teman mereka untuk foto bersama. Bangku-bangku lipat yang sudah disusun sedemikian rupa oleh panitia acara wisuda pun berantakan akibat "kebrutalan" para wisudawan dan wisudawati yang hendak foto bersama.

Wisuda UI
Pasca gladi resik, pikiran saya langsung tertuju pada acara Wisuda UI. Seperti halnya saat Wisuda Fasilkom, saya pun berangkat sepagi mungkin untuk menghindari kemacetan. Lalu lintas memang tidak macet karena Wisuda UI digelar pada hari Sabtu. Kemacetan yang saya hindari adalah kemacetan di dalam lingkungan UI karena sudah pasti akan ada banyak orang yang membawa mobil untuk menghadiri acara wisuda tersebut.

Tidak Lupa Ambil Konsumsi
Saya dan keluarga tiba di UI cukup pagi. Lalu lintas di UI masih lancar dan area parkir pun masih lengang. Setelah foto-foto bersama anak istri, saya langsung meluncur ke tempat para wisudawan dan wisudawati menunggu untuk diarak masuk ke dalam Balairung Kampus UI Depok. Untungnya saya tidak lupa mengambil konsumsi yang sudah disediakan panitia. Roti dan teh botol kotak cukup membantu menahan lapar yang perlahan muncul akibat lupa sarapan.

Menunggu Diarak ke Dalam Balairung
Setelah diarak, para wisudawan dan wisudawati langsung duduk di bangku yang sudah disediakan oleh panitia per fakultas masing-masing. Saya dapat tempat duduk di bagian depan (kalau tidak salah, baris ke-5 dari depan). Barisan Fasilkom sendiri ada di tengah-tengah Balairung. Di bagian atas-kanan dan atas-kiri Balairung diperuntukan bagi para keluarga wisudawan dan wisudawati. Paduan suara mahasiswa berada di bagian atas-belakang Balairung. Podium untuk legenda UI (baca: Bapak Sudibyo) berada beberapa baris di belakang saya. Dari podium itu beliau mengatur dan memimpin paduan suara tersebut.

Tempat Duduk Rektor dan Para Dekan
Bagian Atas-Kiri Balairung
Bapak Sudibyo dan Pasukannya
Acara wisuda baru dimulai sekitar jam 9 yang ditandai dengan diaraknya rektor dan para dekan saat memasuki Balairung. Acara dibuka dengan sambutan dari Rektor UI. Saya sendiri tidak terlalu ingat urutan acaranya. Saya lebih cenderung pasif dan mengikuti instruksi saja karena rasa bosan sudah terlanjur hinggap akibat terlalu lama menunggu acaranya dimulai.

Rektor dan Para Dekan Meninggalkan Balairung
Untungnya acara wisuda tidak molor. Seluruh prosesi wisuda selesai sekitar pukul 11. Para wisudawan dan wisudawati (beserta keluarganya) diharapkan segera meninggalkan Balairung karena Balairung akan disiapkan untuk acara wisuda program sarjana. Acara wisuda program sarjana itu sendiri dijadwalkan untuk dimulai jam 1 siang.

Dari keseluruhan acara wisuda yang saya ikuti, Wisuda UI terasa lebih hambar bila dibandingkan dengan Wisuda Fasilkom. Nuansa keakraban yang dirasakan di Wisuda Fasilkom jelas kurang terasa di Wisuda UI. Apalagi selama mengikuti acara wisuda, saya lebih banyak duduk diam. Alhasil tidak ada kesan yang istimewa bagi saya saat mengikuti Wisuda UI.

Sedikit berbeda dengan teman saya yang bernama Anton (bukan nama panggilan sebenarnya). Anton sempat bercerita bahwa masuk ke Balairung sebagai wisudawan itu memberikan kebanggaan tersendiri baginya. Hal itu adalah sesuatu yang dia nantikan sejak dia kuliah dan pada akhirnya memiliki andil dalam memacu semangatnya untuk segera lulus kuliah. Saya bisa memahami rasa bangga yang dimaksud Anton, tapi saya sendiri tidak berpikir sejauh itu. Apa mungkin karena saya sudah terlalu sering melihat Balairung? Entahlah.

Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI
Kalau saya harus memilih, misalnya karena dana untuk wisuda terbatas, saya tentu akan memilih Wisuda Fasilkom. Hanya saja saya harus bisa mencari toga pinjaman karena Panitia Wisuda Fasilkom memang tidak menyediakan toga. Mencari toga pinjaman itu tidak mudah karena hanya sedikit alumni yang kita kenal dan ukuran toganya belum tentu sesuai dengan badan kita. Salah satu teman saya yang bernama Aryo berhasil mendapat toga pinjaman dengan ukuran yang sesuai, tapi warna tali di topi toganya ternyata berbeda. Sebegitu malasnya saya mencari toga pinjaman sampai saya sendiri memutuskan untuk ikut Wisuda UI justru karena Panitia Wisuda UI memang menyediakan toga. Dengan begitu, saya tidak perlu repot untuk mencari pinjaman toga untuk mengikuti Wisuda Fasilkom.

Selain urusan toga, alasan lain yang membuat saya ikut Wisuda UI adalah kesempatan untuk berfoto bersama rektor di Balairung. Kapan lagi saya mendapat kesempatan untuk berfoto bersama rektor? Untuk foto bersama dekan, saya bisa mendapatkannya di Wisuda Fasilkom, tapi foto bersama rektor bisa jadi merupakan kesempatan sekali seumur hidup. Bagi saya, kesempatan ini adalah kesempatan yang sebaiknya tidak saya lewatkan.

Pada akhirnya, Wisuda UI pun memiliki daya tariknya sendiri. Wisuda Fasilkom memang lebih akrab dan berkesan, tapi bukan berarti Wisuda UI tidak meninggalkan kesan sama sekali. Masing-masing acara wisuda memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Satu hal yang sama di antara kedua acara wisuda tersebut adalah keduanya sama-sama melelahkan dan berpotensi mendatangkan rasa bosan yang akut. Walaupun begitu, saya tetap bersyukur karena saya memiliki dana dan waktu yang cukup serta pasangan hidup yang bersedia merasakan lelah dan bosan untuk menemani saya di kedua acara wisuda tersebut.

Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (1)

0 opini
Akhirnya masa perkuliahan saya benar-benar berakhir. Dua acara wisuda pun sudah saya lewati, yaitu Wisuda Fakultas Ilmu Komputer (Wisuda Fasilkom) dan Wisuda Universitas Indonesia (UI). Rasa lelah, bosan, senang, dan bangga pun bercampur aduk selama menjalani dua acara wisuda tersebut.

Dua acara wisuda tersebut terbagi menjadi tiga hari berturut-turut, yaitu Kamis, Jumat, dan Sabtu. Kamis untuk acara Wisuda Fasilkom, Jumat untuk gladi resik Wisuda UI, dan Sabtu untuk acara Wisuda UI. Masing-masing acara wisuda tersebut memiliki kesan tersendiri. Saya akan berbagi kesan-kesan tersebut dalam tulisan ini.

Wisuda Fasilkom
Acara Wisuda Fasilkom berlangsung di Gedung Sabha Widya (Kampus Universitas Indonesia, Depok). Demi menghindari kemacetan di hari kerja, saya berangkat sepagi mungkin. Alhasil saya tiba di lokasi acara sekitar jam setengah tujuh, padahal acaranya sendiri baru dimulai sekitar jam delapan. Tentu saja pada saat itu belum banyak tamu undangan (wisudawan dan keluarganya) yang hadir. Untungnya sesi foto sudah dimulai sehingga saya pun memanfaatkan waktu yang tersedia untuk berfoto bersama istri dan anak-anak.

Panggung Acara Wisuda Fasilkom
Setelah sesi foto keluarga selesai, saya dan keluarga pun memasuki ruangan untuk acara wisuda. Ruangannya cukup luas dan nyaman (baca: tidak membuat gerah). Para tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan tidak lupa mengambil kesempatan untuk berfoto di panggung.

Suasana Menjelang Acara Wisuda Fasilkom
Format acara Wisuda Fasilkom sebenarnya cukup sederhana. Para wisudawan dan wisudawati akan diarak masuk ke dalam ruangan untuk menempati tempat duduk yang sudah ditentukan sebelumnya. Acara wisuda kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Dekan Fasilkom, perwakilan wisudawan, dan perwakilan orang tua wisudawan.

Persembahan Angkatan 2014
Acara dilanjutkan dengan penyerahan tabung ijazah kepada seluruh wisudawan dan wisudawati yang hadir, penyerahan medali untuk wisudawan dan wisudawati yang lulus dengan predikat cum laude, dan penyerahan plakat IPK tertinggi untuk masing-masing program studi. Keseluruhan proses penyerahan tabung ijazah, medali, dan plakat tersebut diselingi dengan hiburan-hiburan berupa persembahan dari mahasiswa Fasilkom dari berbagai angkatan.

Peraih Medali Cum Laude Program Studi S1 Ilmu Komputer
Menjelang akhir acara wisuda pun sempat dilakukan pemutaran film dokumenter. Saya sendiri tidak memperhatikan isi film dokumenter tersebut karena rasa lelah dan bosan sudah terlanjur hinggap di tubuh saya. Semangat mulai datang kembali saat pembacaan doa karena saya tahu acara akan segera berakhir.

Acara pun berakhir pasca pembacaan doa. Ruangan tempat berlangsungnya acara wisuda seketika gaduh karena setiap orang langsung bergerak untuk mengurus keluarga dan acara mereka masing-masing. Sebagian menyempatkan diri mengambil foto, sebagian langsung bergerak meninggalkan lokasi acara. Saya termasuk orang-orang yang segera meninggalkan lokasi acara karena saya, istri, dan anak-anak saya sudah terlalu lelah. Salah satu tamu undangan bahkan menyempatkan diri untuk tidur di karpet musala setempat akibat kelelahan.

Terkapar Di Karpet Musala
Terlepas dari rasa lelah dan bosan, Wisuda Fasilkom jelas terasa akrab karena hanya dihadiri oleh para wisudawan dan wisudawati dari Fasilkom. Setiap wisudawan dan wisudawati pun dipanggil namanya satu per satu untuk naik ke atas panggung. Selanjutnya mereka mendapat kesempatan untuk bersalaman dan berfoto dengan salah seorang dosen saat penyerahan tabung ijazah. Umumnya dosen yang menyerahkan tabung ijazah adalah dosen pembimbing skripsi/tesis, tapi beberapa yang beruntung, seperti teman saya yang bernama Yuni (bukan nama panggilan sebenarnya), bisa mendapatkan kesempatan untuk bersalaman dan berfoto dengan dosen favorit mereka.

Para peraih predikat cum laude bahkan mendapatkan kehormatan untuk naik ke atas panggung sebanyak dua kali. Pertama untuk menerima tabung ijazah. Kedua untuk menerima medali yang diserahkan langsung oleh Dekan Fasilkom. Bersalaman dan berfoto dengan seorang dekan tentu memberikan kesan tersendiri, tapi yang lebih membanggakan tentu saja saat IPK para penerima cum laude itu disebutkan satu per satu (dari yang cum laude hingga sangat cum laude) saat mereka dipanggil ke atas panggung untuk menerima medali dari Dekan Fasilkom.

Kesan-kesan di atas tentu saja bersifat subjektif. Masing-masing lulusan Fasilkom memiliki persepsi tersendiri terhadap penting-tidaknya acara wisuda. Masing-masing lulusan Fasilkom yang hadir di acara wisuda tersebut pun memiliki kesan tersendiri terhadap akrab-tidaknya, menyenangkan-tidaknya, atau membosankan-tidaknya acara wisuda tersebut. Saya sendiri merasa senang dan puas karena bisa berkumpul untuk terakhir kalinya dengan teman-teman kuliah dan juga merasa bangga karena melihat sendiri teman-teman saya yang berhasil meraih predikat cum laude naik ke atas panggung.

Bersambung ke Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (2)

Rabu, 28 Januari 2015

Tiga Semester Bersama MTI GCIO

0 opini
Satu semester, dua semester, dan akhirnya tiga semester kuliah S2 berhasil saya lampaui. Keberhasilan tersebut tentu saja tidak lepas dari berbagai dukungan dan bantuan, baik moril maupun materiil, dari banyak pihak, khususnya dari istri saya sendiri. Ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk membalas dukungan dan bantuan yang saya terima selama tiga semester. Saya hanya bisa berdoa semoga Allah SWT berkenan membalas kebaikan yang telah diberikan kepada saya dengan kebaikan yang lebih besar dan lebih banyak lagi.

Santai dengan Cara Fantastis*
Lalu ada cerita apa di balik semester ketiga perkuliahan saya? Di semester 3, beban kuliah akhirnya menurun. Beban berat yang saya rasakan karena harus mengambil lima mata kuliah di semester 1 dan 2 akhirnya terbayar. Di semester 3, saya hanya perlu mengambil dua mata kuliah dan satu mata kuliah spesial, yaitu karya akhir (tesis). Kalau dibandingkan dengan mahasiswa dari kelas reguler yang harus mengambil empat mata kuliah dan tesis (agar dapat lulus dalam tiga semester), beban kuliah saya jelas lebih ringan.

Di semester 3, frekuensi begadang saya terbilang rendah sehingga waktu tidur saya menjadi lebih teratur. Waktu di akhir pekan masih saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah atau mengulang materi-materi kuliah, tapi intensitasnya masih lebih rendah dibandingkan semester 1 dan 2. Saya pun tidak direpotkan dengan membuat proposal tesis karena proposal tesis yang sudah saya susun di semester 2 diterima oleh dosen pembimbing. Saya hanya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian kecil di beberapa bagian proposal saya. Intinya waktu yang saya miliki di semester 3 untuk diri sendiri, istri, dan anak-anak pun menjadi lebih banyak dibandingkan semester-semester sebelumnya.

Sayangnya kondisi "santai" itu hanya bertahan selama satu bulan. Setelah tiba waktunya untuk mulai mengerjakan tesis, yaitu saat proposal sudah disetujui secara resmi dan diterima oleh sekretariat, intensitas perkuliahan kembali meningkat. Peningkatan intensitas perkuliahan tersebut awalnya berjalan perlahan. Frekuensi begadang tidak mendadak melonjak tinggi, waktu akhir pekan tidak mendadak habis untuk urusan kuliah, dan waktu saya ke kantor (untuk mengerjakan tesis) pun masih teratur. Peningkatan intensitas perkuliahan di bulan kedua masih dapat saya kelola dengan baik.

Panik mulai menyerang saya di bulan ketiga karena perkembangan tesis saya di bulan sebelumnya meleset jauh dari target akibat munculnya kendala terkait perangkat lunak. Berhubung tesis (penelitian) saya terkait erat dengan perangkat lunak yang tersedia di kantor, perkembangan penelitian saya pun sangat bergantung pada ketersediaan perangkat lunak tersebut. Saya tidak pernah menduga bahwa pada saat yang sama dengan jalannya penelitian saya, proses pemeliharaan perangkat lunak tersebut juga dijadwalkan untuk berjalan. Saya pun harus mengalah karena proses pemeliharaan tersebut tidak dapat ditunda. Kepentingan kantor jelas lebih utama dibandingkan kepentingan satu orang mahasiswa. Singkat cerita, bulan kedua berubah menjadi bulan yang mengecewakan. Data yang saya butuhkan memang berhasil saya kumpulkan, tapi langkah penelitian selanjutnya setelah pengumpulan data itu belum berjalan sama sekali.

Hal positif di balik tersendatnya penelitian itu adalah saya bisa mencurahkan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas dari dua mata kuliah lainnya, khususnya dari mata kuliah MITI yang tugasnya justru menumpuk di awal hingga tengah semester. Hal positif lainnya adalah saya punya lebih banyak waktu untuk memperkaya hasil tinjauan pustaka yang menjadi dasar penelitian saya. Walaupun begitu, hal-hal positif itu tidak mengubah fakta bahwa penelitian saya berjalan di tempat.

Up, up, and away!*
Bulan ketiga pun menjadi bulan untuk melakukan akselerasi penelitian. Saya pun harus memaksakan diri untuk mengerjakan penelitian saya di sore dan malam hari. Ada kalanya saya harus datang saat semua orang pulang dan pulang saat tidak ada satu orang pun yang tersisa di kantor. Ada kalanya bahkan saya bingung membagi waktu karena terbentur dengan jadwal kuliah di malam hari. Untungnya rekan-rekan kerja di kantor cukup kooperatif sehingga bersama berbagai kesulitan yang saya hadapi itu hadir pula berbagai kemudahan.

Dampak dari vakumnya bulan kedua adalah waktu yang saya butuhkan untuk melakukan percobaan dalam penelitian saya pun semakin terbatas. Akselerasi yang saya lakukan di bulan ketiga masih belum memadai sehingga saya harus bisa memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk penelitian saya. Pada akhirnya setiap hari Sabtu dan Minggu pun saya memaksakan diri untuk bekerja di kantor. Awalnya saya mengajak anak-anak saya untuk menemani saya bekerja. Sayangnya kerja saya justru tidak optimal bila ditemani anak-anak. Akhirnya istri saya yang menawarkan diri untuk menemani saya menghabiskan akhir pekan saya di kantor. Walaupun saya merasa sungkan, tawaran itu tetap saya terima. Akhirnya di bulan keempat itu saya dan istri saya lebih banyak menghabiskan akhir pekan kami di kantor saya.

Pada akhirnya, intensitas perkuliahan di semester 3 tetap lebih tinggi daripada semester-semester sebelumnya. Waktu dan energi yang diperlukan untuk melampaui semester 3 jelas lebih banyak daripada semester-semester sebelumnya. Biaya perkuliahan pun meningkat secara signifikan di semester 3, khususnya biaya yang terkait dengan tesis. Saya hanya bisa bersyukur bahwa semuanya bisa saya lampaui dengan baik tanpa perlu menambah satu semester lagi.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Senin, 07 Juli 2014

Dua Semester Bersama MTI GCIO

6 opini
Semester 2 yang saya jalani di Program Beasiswa MTI (Magister Teknologi Informasi) GCIO (Government Chief Information Officer) sudah berakhir sejak pertengahan Juni lalu. Intensitas belajar langsung turun drastis. Waktu luang di akhir pekan tidak lagi saya habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah atau memperdalam materi-materi kuliah berikutnya. Waktu yang bisa saya curahkan untuk istri dan anak-anak saya pun langsung naik drastis. Jangankan akhir pekan, waktu di hari kerja pun bisa saya habiskan untuk bermain bersama anak-anak atau membantu istri dengan berbagai perintilan urusan rumah tangga.

Semester 2 di Program Beasiswa MTI GCIO memang edan! Intensitas perkuliahan dapat dikatakan jauh lebih tinggi daripada semester sebelumnya, padahal di semester sebelumnya saya pribadi sudah merasa kesulitan untuk mengimbangi derasnya arus perkuliahan. Mengapa begitu? Perbedaan mendasar yang membuat intensitas perkuliahan di semester 2 ini menjadi lebih tinggi daripada semester 1 adalah karena perkuliahan di semester 2 ini lebih mengarahkan mahasiswa pada isu-isu yang strategis. Hal ini, menurut saya, lebih sulit untuk dipahami dibandingkan isu-isu teknis yang harus dipahami di semester 1, apalagi banyak dari isu-isu teknis itu sudah saya hadapi dalam dunia kerja.

Tumpukan buku dan laptop*
Mata kuliah-mata kuliah di semester 2 seperti Manajemen Informasi Korporat (MIK), Perencanaan Strategis Sistem Informasi (PSSI), dan Perencanaan Infrastruktur Teknologi Informasi (PITI) mengarahkan mahasiswa untuk berpikir secara komprehensif. Mahasiswa tidak lagi dihadapkan dengan isu-isu pragmatis seperti perancangan sistem informasi, perancangan sistem basis data, atau perancangan jaringan komputer. Mata kuliah-mata kuliah di semester 2 ini justru "memaksa" para mahasiswa untuk melihat dan memahami berbagai isu teknologi informasi dari sudut pandang sebuah organisasi/perusahaan. Semua isu-isu teknis memang tidak serta-merta diabaikan, tapi penekanannya sangat kuat di isu-isu strategis.

Tidak kalah menantangnya adalah mata kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Ilmiah (MPPI). Walaupun sifat dasar dari mata kuliah ini agak berbeda dengan mata kuliah-mata kuliah yang saya sebutkan di atas, orientasinya tetap saja sama. MPPI ini memang lebih diarahkan untuk mempersiapkan mahasiswa untuk melakukan penelitian di karya akhirnya nanti, tapi berhubung karya akhir mahasiswa Program MTI, baik Program MTI Reguler maupun Program Beasiswa MTI GCIO, bersifat terapan, studi kasus yang diangkat di karya akhir masing-masing mahasiswa pun umumnya sebuah organisasi/perusahaan (umumnya tempat bekerja dari mahasiswa terkait). Alhasil mata kuliah MPPI ini tidak hanya mengarahkan mahasiswa untuk berpikir logis dan sistematis, tapi juga untuk berpikir strategis.

Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, apa susahnya berpikir strategis? Kesulitan pertama adalah bagaimana merubah pola pikir dari yang awalnya hanya berpikir tentang masalah-masalah teknis di depan mata menjadi berpikir tentang masalah-masalah perusahaan mulai dari tingkat pimpinan sampai tingkat staf. Kesulitan kedua adalah bagaimana agar pola pikir yang sudah berubah itu dapat diterapkan dalam dunia nyata. Kesulitan ketiga adalah bagaimana agar perubahan pola pikir dan penerapannya itu dapat diterapkan dalam kurun waktu yang terbilang singkat. Intinya adalah bagaimana memahami berbagai materi perkuliahan yang terbilang asing, menuangkannya dalam berbagai tugas individu dan tugas kelompok yang menguras waktu dan tenaga, seraya mengatur waktu yang dimiliki agar semua materi dan tugas dari keempat mata kuliah tersebut bisa dipahami dan dikerjakan dengan baik (baca: tidak asal selesai).

Masih ada 1 tantangan lain, yaitu mata kuliah ke-5. 4 mata kuliah yang sudah saya ceritakan di atas adalah mata kuliah wajib sehingga wajib juga diambil oleh mahasiswa Program MTI Reguler. Khusus untuk mahasiswa Program Beasiswa MTI GCIO diwajibkan mengambil 5 mata kuliah. 4 mata kuliah wajib tersebut ditambah 1 mata kuliah pilihan. Saya sendiri memilih mengambil Data Mining & Business Intelligence (DMBI) karena selaras dengan minat saya. Terlepas dari itu, juggling 5 mata kuliah tentu saja bukan hal yang mudah. 4 mata kuliah wajib itu saja sudah menguras begitu banyak waktu. Tambahan 1 mata kuliah pilihan itu tentu saja akan memberikan beban tambahan kepada beban kuliah yang sudah terlampau berat.

Sebegitu beratnya kuliah di semester 2 itu?

Ya, memang berat. Tapi "berat" di sini bukan berarti tidak bisa dilampaui dengan baik. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meringankan beban kuliah di semester 2 itu. Pertama, untuk mata kuliah MIK, fokusnya ada pada pemahaman materi. Metode belajar yang terpusat pada mahasiswa membuat mata kuliah ini penuh dengan diskusi (dan pada akhirnya interpretasi). Yang paling penting untuk dilakukan adalah mengupas buku teksnya secara tuntas; bukan hanya materinya, tapi juga studi kasus yang ada di dalam buku itu. Sayangnya liburan semester lalu tidak saya manfaatkan untuk melakukan ini.

Kedua, untuk mata kuliah PSSI, fokus utamanya adalah pada tugas kelompok, yaitu membuat dokumen perencanaan strategis sistem informasi untuk sebuah organisasi/perusahaan. Di sini pemahaman materi pun tidak kalah penting dengan mata kuliah MIK karena tugas kelompok itu tidak akan selesai dengan baik tanpa memahami keterkaitan antara elemen-elemen dalam proses perencanaan strategis terkait. Lalu kenapa fokus utamanya justru pada tugas dan bukan pada pemahaman materi? Karena porsi waktu yang diperlukan untuk menggali informasi dalam studi kasus itu kemungkinan akan lebih banyak. Kita perlu menuangkan proses bisnis, data, sistem informasi, infrastruktur, dan struktur organisasi pengelola teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang ada di dalam organisasi/perusahaan yang menjadi objek studi kasus kita. Ini bukan tugas mudah, apalagi kalau yang mahasiswa-mahasiswa yang bersangkutan tidak memiliki posisi strategis (hanya staf) di dalam organisasi/perusahaan tersebut. Lagi-lagi saya menyayangkan karena tidak memanfaatkan liburan semester yang lalu untuk menggali informasi-informasi ini.

Ketiga, untuk mata kuliah MPPI, fokus utamanya adalah bagaimana berpikir logis dan sistematis dalam membuat proposal karya akhir. Saya dan banyak teman-teman kuliah saya senantiasa tersandung di sini. Tugas sudah selesai dikerjakan; sebagian bahkan berhasil menulis dengan tingkat ketebalan proposal yang membuat saya tercengang. Akan tetapi, tetap saja hasilnya tidak memuaskan. Penyebabnya adalah kesalahan cara berpikir yang mengakibatkan proposal karya akhir yang dibuat menjadi tidak logis dan tidak sistematis. Masalah yang dikemukakan harus jelas dan didukung dengan fakta yang kuat dan objektif. Pertanyaan yang perlu dijawab melalui penelitian, tujuan penelitian, judul karya akhir, dan teori-teori yang dituangkan di dalam proposal harus nyambung dengan masalah yang sudah dirumuskan. Metodologi penelitian yang diusulkan pun tidak bisa sembarangan; pemilihan metodenya harus memiliki landasan teori dan alasan pemilihan yang logis. Percaya bila saya katakan semua hal itu tidak mudah, kecuali kita memang sudah berpengalaman dalam membuat proposal penelitian. Dosen pengajarnya bahkan menegaskan bahwa orang-orang yang sudah terbiasa membuat proposal (baca: proposal proyek) pun belum tentu akan lancar menulis proposal karya akhir dalam kuliah MPPI ini. Sayangnya saya tidak memanfaatkan liburan semester yang lalu untuk memperdalam pola pikir logis dan sistematis ini.

Keempat dan kelima, untuk mata kuliah PITI dan DMBI, santai! Kuliah PITI ini seperti dirancang untuk mengimbangi beban berat dari MIK + PSSI + MPPI. Kuis dan tugas individu tidak ada. Tugas kelompok memang ada, tapi isinya merupakan bagian dari isi tugas PSSI. Kalau kita bisa menemukan objek studi kasus yang "tepat", mengerjakan tugas PSSI sudah terhitung mengerjakan sebagian besar tugas PITI. Memang masih ada yang perlu disiapkan untuk tugas PITI ini, tapi tetap terbilang santai. Kuliah DMBI pun tidak jauh berbeda dengan PITI, tapi berhubung dosen pengajar mata kuliah DMBI ini tidak selalu sama setiap semester, ada kemungkinan santainya kuliah DMBI ini sangat dipengaruhi oleh faktor dosen pengajar tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti saya meremehkan 2 mata kuliah tersebut. PITI dan DMBI memiliki bobotnya sendiri, tapi bila disandingkan dengan MIK, PSSI, dan MPPI, beban di 2 mata kuliah tersebut justru terasa ringan.

Menarik, bukan?

Satu hal yang pasti, semua mata kuliah di semester 2 itu, termasuk DMBI yang terkesan bersifat teknis, memberi dampak yang sangat besar terhadap cara berpikir saya, khususnya dalam mengarahkan saya untuk berpikir strategis, logis, dan sistematis (3-is). Dapat saya katakan bahwa perubahan besar dalam diri saya yang saya dapatkan di semester 2 itu jauh lebih besar dibandingkan yang saya dapatkan di semester 1. Perubahan yang saya rasakan bukan hanya dalam konteks bekerja, tapi dalam kehidupan secara umum. Luar biasa, bukan? Silakan dicoba sendiri.

Demikian "ulasan" kuliah semester 2 dalam Program Beasiswa MTI GCIO. Harapan saya adalah tulisan ini menjadi pengingat agar para mahasiswa Program MTI yang akan menghadapi semester 2 lebih siap dalam menghadapi terpaan materi dan tugas yang siap menghempaskan mereka. Semoga saja harapan ini menjadi kenyataan. Aamiin.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Jumat, 24 Januari 2014

Satu Semester Bersama MTI GCIO

25 opini
Tidak lama lagi, semester kedua kuliah akan segera dimulai. Waktu untuk bersantai menikmati cuaca dingin akibat hujan berkepanjangan pun akan segera berakhir. Bersamaan dengan itu, rutinitas perkuliahan seperti pulang malam akibat kuliah malam, begadang dan menghabiskan akhir pekan untuk membaca materi-materi kuliah dan mengerjakan tugas, dan berbagai rutinitas melelahkan (dan kadang menjemukan) lainnya akan segera dimulai. Untuk menyambut kedatangan semester kedua ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya di semester pertama.

Cerita yang akan saya sampaikan di sini pada dasarnya adalah kelanjutan dari tulisan saya "MTI GCIO, Saya Datang!". Saya resmi diterima sebagai penerima beasiswa GCIO dari Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) pada tanggal 19 Mei 2013, tapi saya baru mulai kuliah di awal September 2013. Jadwal perkuliahan tentu saja mengikuti jadwal perkuliahan program S2 yang saya pilih, yaitu Magister Teknologi Informasi (MTI) di Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom), Universitas Indonesia (UI).

Total penerima beasiswa GCIO di MTI Fasilkom UI, termasuk diri saya, ada 34 orang. Apakah angka "34" ini mencerminkan kuota penerima beasiswa? Entahlah. Intinya kelas menjadi ramai karena 34 orang itu dikumpulkan menjadi 1 (satu) kelas. Tidak hanya ramai, tapi juga bervariasi karena mereka datang dari berbagai instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Selain banyaknya teman kuliah, kabar baik lainnya adalah insentif dalam bentuk "biaya operasional" yang diberikan setiap bulannya kepada penerima beasiswa itu benar adanya. Setelah berbulan-bulan bergalau ria karena insentif itu tak kunjung cair, ditambah lagi informasi yang simpang siur tentang ada atau tidaknya insentif tersebut, akhirnya kegalauan itu sirna setelah rapelan insentif cair di bulan November.

Satu-satunya hal yang membuat saya kecewa adalah jumlah mata kuliah per semester. Program beasiswa GCIO ini hanya menanggung biaya kuliah untuk 3 (tiga) semester. Bila seorang penerima beasiswa harus kuliah lebih dari 3 (tiga) semester, maka dia harus menanggung biaya kuliahnya sendiri. Sungguh mengenaskan bila hal ini terjadi; kecuali yang bersangkutan memiliki alasan dan dukungan dana yang kuat. Dengan jumlah semester yang lebih sedikit dari jumlah semester kuliah S2 pada umumnya, saya berasumsi jumlah kredit yang harus diambil pun lebih sedikit dari biasanya. Ternyata asumsi saya salah.
Jumlah kredit yang harus diambil selama 3 (tiga) semester itu sama dengan jumlah kredit yang harus diambil selama 4 (empat) semester seperti halnya mahasiswa umum. Ini berarti jumlah kredit per semester harus lebih banyak dari biasanya. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar jumlah mata kuliah di semester ketiga yang diambil bersamaan dengan pembuatan tesis tidak terlalu banyak. Pengaturan yang dilakukan berujung pada 5 (lima) mata kuliah di semester pertama, 5 (lima) mata kuliah di semester kedua, dan 2 (dua) mata kuliah di semester ketiga; belum termasuk tesis. Angka "5" mungkin terbilang kecil, tapi saya pribadi sebenarnya berharap tidak mengambil lebih dari 4 (empat) mata kuliah per semester.

Bagi saya, dampak dari 1 (satu) mata kuliah ini terasa signifikan. Ada momen-momen saat saya berpikir betapa tidak nyamannya mengambil 5 (lima) mata kuliah sekaligus di semester pertama lalu. Momen-momen seperti ini membuat saya berpikir "seandainya hanya 4 (empat mata kuliah)...". Rutinitas perkuliahan yang melelahkan di awal tulisan ini memang benar adanya. Saya tidak membesar-besarkan saat saya menyebutkan bahwa akhir pekan saya habis untuk mengerjakan tugas atau membaca kembali materi-materi kuliah.

Walaupun begitu, semester pertama dapat saya lewati dengan baik. Determinasi saya untuk serius belajar didukung penuh oleh istri saya. Istri saya menerima dengan baik kenyataan bahwa saya tidak bisa terlalu banyak terlibat dalam mengurus anak-anak dan bahwa niat saya untuk mencari penghasilan tambahan (karena sebagian besar gaji saya dipotong saat kuliah) harus dibatalkan. Istri saya sendiri yang melarang saya untuk memaksakan diri mencari penghasilan tambahan. Dia bahkan mengatakan sebaiknya waktu di luar urusan kuliah itu saya manfaatkan untuk keluarga atau untuk beristirahat. Istri yang superrr, bukan?

Masih banyak lagi pengalaman yang bisa saya ceritakan selama semester pertama, mulai dari dosen-dosennya, materi-materi kuliahnya, tugas-tugas kelompoknya, ujian-ujiannya, makan sore dan makan malamnya, dan berbagai hal lainnya. Sebagian di antaranya lucu, menarik, menantang, dan menyenangkan. Sebagian lainnya melelahkan, membosankan, dan menyebalkan. Sayangnya tulisan ini sudah mencapai paragraf kesembilan (baca: sudah cukup panjang). Jadi cerita lainnya akan saya tuangkan dalam tulisan lain; insya Allah.

Kamis, 23 Mei 2013

MTI GCIO, Saya Datang!

17 opini
Alhamdulillaahirabbil'aalamiin.

Minggu, 19 Mei 2013, merupakan hari yang berbahagia bagi saya karena saya secara resmi diterima sebagai penerima beasiswa MTI GCIO. Apa itu program beasiswa MTI GCIO? MTI GCIO adalah singkatan dari Magister Teknologi Informasi Government Chief Information Officer. MTI GCIO merupakan program beasiswa yang dikelola oleh kementerian yang, saat tulisan ini dibuat, dipimpin oleh seorang pria yang gemar berpantun, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Program MTI GCIO ini bekerja sama dengan universitas-universitas dalam negeri, salah satunya adalah Universitas Indonesia (UI). Berhubung istri dan anak-anak saya ada di Jakarta, maka pilihan saya otomatis jatuh ke UI. Cerita lebih lengkap mengenai ujian masuk yang harus saya ikuti di UI dapat dibaca di tulisan saya sebelumnya, Pengalaman Mengikuti Ujian Masuk S2 UI. Singkat kata, uang pendaftaran yang harus keluar dari kantong sendiri pun tidak terbuang percuma. Alhamdulillaah.

Istri saya pun turut senang mendengar kabar gembira ini, walaupun harus menerima kenyataan pahit bahwa tunjangan bulanan saya akan dipotong selama saya menjalani tugas belajar. Jadi statusnya "tugas belajar"? Ya, betul. To my surprise, proses pengurusan ijin untuk meneruskan kuliah S2 di instansi saya ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Terus terang saja, tahun-tahun sebelumnya saya tetap setia menunggu tawaran beasiswa lewat Bagian Kepegawaian internal karena kabarnya pengurusan ijin kuliah S2 untuk beasiswa dari instansi eksternal akan sulit. Ternyata saat saya coba, pihak-pihak yang terkait justru terkesan suportif (tidak menghalang-halangi). Yeay!

Yang sempat membuat saya heran adalah ternyata tidak ada seleksi wawancara. Sebelumnya saya pikir saya harus mempersiapkan diri untuk menghadapi sesi wawancara oleh pihak Kemkominfo, ternyata hasil seleksi ujian masuk UI sudah cukup untuk mengijinkan saya (dan 12 orang lainnya) menerima beasiswa MTI GCIO ini. Jadi total penerima beasiswanya hanya 13 orang? Belum tentu, karena masih ada kesempatan untuk mengikuti program beasiswa ini melalui seleksi ujian masuk gelombang ke-2. Ada yang berminat?

Kalau proses selanjutnya lancar, mulai September 2013 saya akan kembali menjadi mahasiswa. Kalau melihat jadwal jam kuliah yang terbilang longgar, sepertinya saya akan memiliki banyak waktu untuk menjadi stay-at-home dad untuk membantu istri mengurus Yelena yang insya Allah akan lahir di akhir Juni/awal Juli nanti. Satu hal yang pasti, sepertinya saya pun perlu memikirkan cara untuk mendapatkan penghasilan sampingan demi menambal kebocoran finansial akibat potongan tunjangan tugas belajar ini.

Tentu saja semua itu masih sebatas rencana. Pada kenyataannya, saya masih harus mengurus dokumen-dokumen yang dipersyaratkan setelah pengumuman kelulusan ini. Saya berdoa semoga semuanya tetap berjalan lancar hingga saya lulus S2 nanti. Semoga saja setiap masalah yang muncul dapat saya selesaikan dengan baik hingga akhir kuliah S2 nanti. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin.

Rabu, 17 April 2013

Pengalaman Mengikuti Ujian Masuk S2 UI

53 opini
Menindaklanjuti tulisan saya Belajar Lagi, Belajar Terus, akhirnya tahap pertama seleksi di program beasiswa dalam negeri yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun saya lewati. Program beasiswa Government Chief Information Officer (GCIO) ini bekerja sama langsung dengan universitas-universitas terkait, salah satunya Universitas Indonesia, khususnya Program Magister Teknologi Informasi (MTI). Bentuk kerja samanya mengharuskan para pendaftar beasiswa untuk mendaftarkan diri melalui SIMAK UI dan mengikuti ujian masuk S2 UI sesuai jadwal registrasi umum.

Keuntungan seleksi beasiswa lewat SIMAK UI adalah prosedurnya lebih teratur. Jadwal ujiannya jelas dan jadwal pengumuman hasil ujiannya pun jelas. Dengan begitu, saya lebih bisa memprediksi tanggal-tanggal penting terkait seleksi beasiswa ini. Kerugiannya adalah biaya pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu harus saya tanggung sendiri; tanpa ada reimbursement.

Lalu bagaimana dengan pengalaman saya mengikuti ujian masuk S2 UI? Menyenangkan sekaligus menegangkan; tapi saya tidak akan banyak menulis tentang hal-hal subjektif penuh nostalgia ini. Saya hanya akan berbagi pengalaman saya saat mengikuti ujian yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 14 April 2013 lalu.

Ujian masuk itu merupakan ujian masuk yang bersifat umum. Jadi peserta ujian masuk di situ tentu saja tidak terbatas pada para pendaftar beasiswa program GCIO. Mulai dari wajah baru lulus S1 sampai wajah yang sudah lama lulus S1 pun terlihat mondar-mandir di sekitar ruang ujian. Jumlah pesertanya begitu banyak sampai antrian toilet pun mengular panjang sampai keluar toilet. Saya bersyukur tiba di lokasi ujian agak pagi karena antrian toilet saat saya datang belum begitu parah.

Kembali ke ujian masuk. Ujian masuk tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Tes Potensi Akademik dan Tes Bahasa Inggris. Tes Potensi Akademik terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Logika. Pembagian tersebut hanya istilah saya saja. Soal-soal di bagian Bahasa Indonesia mencakup mencari padanan kata dan membaca artikel. Soal-soal Matematika lebih fokus di permainan rumus; jarang sekali ada soal yang mengharuskan kita menghitung nilai. Soal-soal Logika lebih cenderung menguji kemampuan berpikir. Contohnya kita diberikan narasi tentang hasil kualifikasi pembaca berita di sebuah stasiun televisi, kemudian kita akan ditanya mengenai siapa yang berada di urutan keberapa.

Untuk menyelesaikan 3 (tiga) bagian dalam Tes Potensi Akademik itu kita diberikan total waktu 150 menit; masing-masing bagian diberi waktu 50 menit. 50 menit untuk menyelesaikan 50 soal Bahasa Indonesia, 50 menit untuk 30 soal Matematika, dan 50 menit untuk 25 soal Logika itu terasa lapang. Justru yang menegangkan adalah Tes Bahasa Inggris. Untuk menyelesaikan 100 soal di Tes Bahasa Inggris, peserta ujian hanya memiliki waktu 90 menit. Saya pribadi merasakan betapa ketatnya waktu untuk Tes Bahasa Inggris itu.

Tes Bahasa Inggris itu sendiri terbagi menjadi 40 soal tentang Structure dan 60 soal terkait Reading Comprehension. Saya yakin saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengerjakan soal Structure sehingga waktu yang tersisa untuk bagian Reading terasa kurang. 60 soal Reading Comprehension itu berarti 6 (enam) artikel yang harus saya baca; 10 soal untuk masing-masing artikel. Bagian membaca artikel itu yang benar-benar butuh konsentrasi dan waktu yang memadai.

Tidak seperti Tes Potensi Akademik yang terbilang santai, Tes Bahasa Inggris membuat saya harus berpikir pragmatis. Awalnya saya mencoba membaca masing-masing artikel dengan baik, tapi waktu yang terbatas membuat saya memilih untuk membaca sekilas dan langsung fokus pada soal-soalnya saja. Cara seperti ini sebenarnya cukup efektif, tapi memang pada akhirnya membuat kita harus berkali-kali membaca artikel saat menjawab soal.

Itu saja yang dapat saya ceritakan terkait tes-tes yang diujikan. Prosesi ujiannya pun terbilang tertib. Setiap peserta hanya diperbolehkan membawa pulpen, pensil, penghapus, rautan, kartu peserta ujian, dan kartu tanda pengenal; bahkan papan jalan pun tidak diperbolehkan. Alat komunikasi seperti handphone atau walkie-talkie harus dimatikan; bahkan jam tangan pun tidak diperbolehkan dipakai saat ujian. Jaket atau sejenisnya pun harus dilepas; kecuali yang hanya mengenakan singlet di balik jaketnya.

Secara keseluruhan pengalaman ujian masuk kali ini adalah pengalaman yang menyenangkan dan menegangkan. Menyenangkan karena memberi saya kesempatan untuk keluar dari rutinitas akhir pekan dan merasakan kembali suasana kampus. Menegangkan karena saya benar-benar berharap tidak kehilangan uang pendaftaran sebesar Rp. 750.000 itu.

Selasa, 12 Maret 2013

Belajar Lagi, Belajar Terus

2 opini
Hidup adalah rangkaian proses belajar. Kita suka atau tidak, kita tidak pernah berhenti belajar di setiap hari yang kita lalui dalam hidup kita. Ada proses belajar yang kita sadari, seperti SD, SMP, SMA, dan perkuliahan. Ada juga proses belajar yang tidak kita sadari, misalnya memperhatikan waktu yang tepat untuk menerobos lampu merah tanpa mengganggu lalu-lintas dari arah yang lain. Suka atau tidak, kita memang tidak pernah berhenti belajar. Saat kita berhenti belajar, itu tandanya kita berhenti berpikir. Saat kita berhenti berpikir, itu tandanya kita mati.

Proses belajar dalam hidup itu tentu saja naik-turun. Turunnya intensitas proses belajar mulai terjadi saat kita sudah menyelesaikan pendidikan formal. Saya sendiri merasa bahwa pasca kehidupan kuliah jenjang S1, intensitas belajar dalam hidup saya mulai menurun. Ini terjadi karena pasca kuliah S1 itu saya langsung terjun ke dunia kerja yang menuntut saya untuk hidup pragmatis, yaitu belajar sesuai kebutuhan pekerjaan saja. Untuk pekerjaan-pekerjaan baru, saya memang perlu belajar lagi. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan baru pun seiring waktu akan berubah menjadi pekerjaan-pekerjaan rutin dan intensitas belajar pun menurun. Selain minimnya kebutuhan, turunnya intensitas belajar ini juga disebabkan karena waktu saya pun habis untuk memenuhi tuntutan pekerjaan-pekerjaan rutin tersebut.

Bagaimana dengan waktu luang di luar waktu kerja? No hope; apalagi bila kita sudah menikah dan memiliki anak. Jangankan untuk mengasah keterampilan tertentu, kadang waktu untuk membaca buku saja sudah tidak ada. Inilah alasannya mengapa kita perlu bersyukur bila tuntutan kerja kita tidak terlalu tinggi karena kita bisa memanfaatkan waktu kerjanya untuk terus mengasah ilmu mereka. Dengan begitu, kita tidak perlu mengorbankan waktu luang yang dapat kita manfaatkan untuk berhibur dan berinteraksi dengan keluarga kita.

Sayangnya kesempatan untuk memanfaatkan waktu kerja kita itu tidak banyak. Entitas tempat kita bekerja tentu mengharapkan kita bekerja dengan efektif. Ini artinya setiap waktu yang kita miliki di tempat kerja itu harus dimanfaatkan untuk bekerja; bukan "leha-leha" mengasah ilmu. Seolah-olah instansi atau perusahaan tempat kita bekerja itu mengharapkan kita untuk memanfaatkan waktu kerja kita semaksimal mungkin. Saat kita sudah selesai mengerjakan satu hal, maka lakukan pekerjaan yang lain. Bila tidak ada pekerjaan yang bisa kita lakukan, maka lakukan pekerjaan yang lain. Kita dituntut untuk selalu bekerja.

Untuk break away dari belenggu pekerjaan itu memang tidak mudah. Untungnya bagi pegawai negeri sipil seperti saya ini terbuka kesempatan untuk meneruskan pendidikan formal lewat berbagai program beasiswa. Program beasiswa ini adalah salah satu pilihan yang efektif untuk memanfaatkan waktu kerja demi mengasah ilmu dan keterampilan, apalagi kalau kita bisa memilih program beasiswa yang sesuai minat kita. Pertama kali saya mencoba untuk ikut program beasiswa ini adalah pada tahun 2011. Saat itu saya mendaftarkan diri untuk ikut program beasiswa S2 di Korea yang ditawarkan oleh lembaga KOICA. Singkat cerita, saya gagal. Di tahun 2013 ini, saya mencoba lagi peluang saya di program beasiswa dalam negeri yang ditawarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Belajar lagi, belajar terus. Suka atau tidak, kita tidak akan pernah berhenti belajar sampai akhir hayat kita kelak. Hidup kita tidak akan pernah luput dari proses belajar, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pendidikan formal yang kita jalani. Tanpa belajar, keterampilan dan wawasan kita tidak akan bertambah. Bila keterampilan dan wawasan kita tidak bertambah, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Kalau memang kita sudah dipastikan akan belajar setiap hari, maka sudah selayaknya kita senantiasa memaksimalkan proses belajar kita ini. Beasiswa? Sikat!

*Gambar ditemukan lewat Google

Minggu, 10 Juli 2011

Menunggu Tawaran Beasiswa Berikutnya

0 opini
Tahun ini adalah tahun pertama saya mulai mencari beasiswa untuk S2. Sebelumnya saya hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan pekerjaan dengan gaji paling tinggi. Sama sekali tidak terbersit pikiran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Ada beberapa alasan yang membuat pikiran untuk S2 itu muncul dan semua itu berakar pada kenyataan bahwa saya sudah bekerja menjadi PNS (Pegawai Nyari Sampingan). Dengan menjadi PNS, pikiran untuk pindah kerja semakin berkurang. Saya sendiri sudah lelah menjadi kutu loncat; pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Saya ingin meniti karir sehingga saya tidak melulu menjadi kuli; walaupun dengan bayaran tinggi.

Tanpa perlu menjadi kutu loncat, saya mulai berpikir mengembangkan keahlian saya ke arah yang strategis. Yang dimaksud dengan keahlian strategis itu salah satunya adalah dengan pendidikan S2. Selain itu, S2 ini pun memperbesar kemungkinan saya naik tingkat dalam hirarki jabatan. Tingkat pendidikan seorang PNS menjadi hal yang penting dalam menentukan jabatan; suka atau tidak.

Yang agak njelimet adalah saya tidak bisa sembarangan memilih tawaran beasiswa S2. Setelah konsultasi dengan berbagai pihak, saya akhirnya memilih menunggu tawaran beasiswa S2 yang datang lewat Bagian Kepegawaian instansi tempat saya bekerja. Kalau saya memaksa ikut serta seleksi beasiswa S2 dari luar instansi, saya akan kesulitan mengurus ijin tugas belajar dan mengurus pengakuan gelar yang saya raih kelak. Saya sendiri tidak bisa membayangkan besarnya "kesulitan" ini, tapi saya memilih jalur aman saja.

Tahun ini, ada beberapa tawaran beasiswa yang datang, yaitu dari KOICA, JICA, ADS, dan World Bank. Saya yakin para pemburu beasiswa sudah familiar dengan lembaga-lembaga tersebut. Yang saya pilih adalah yang pertama datang, yaitu dari KOICA. Program yang ditawarkan pun ada yang, menurut saya, beririsan dengan kompetensi saya sebagai tenaga IT, yaitu Global e-Policy and e-Government.

Pilihan ini membawa beberapa konsekuensi. Saya harus pontang-panting mengurus berkas dalam waktu singkat. Ijazah dan transkrip bahasa Inggris harus segera saya urus ke kampus. Saya pun harus segera mendapatkan skor TOEFL ITP. Setiap kendala, yang (untungnya) tidak akan saya paparkan di sini, akhirnya dapat saya lewati dan berkas persyaratan beasiswa pun dapat saya serahkan pada waktunya.

Rupanya KOICA ini termasuk tawaran beasiswa dengan resiko tinggi. Resiko yang saya maksud adalah resiko gagal. Kuota program yang saya ikuti hanya 20 orang; dari seluruh dunia. Dari 20 orang tersebut, hanya 1-2 orang saja yang dipilih dari setiap negara. Resiko gagalnya sangat tinggi. Saya harus bersaing dengan pentolan-pentolan internasional untuk menjadi bagian dari 20 orang tersebut.

Saya berhasil terpilih sampai tahap wawancara. Tahap wawancara itu sendiri hanya menyisakan dua kandidat termasuk saya. Pada akhirnya, saya gagal. The not-so-painful side of the story adalah saya masuk waiting list. Rupanya Allah belum berkenan mengijinkan melanjutkan pendidikan di Korea untuk alasan yang saya sendiri tidak mengerti sepenuhnya.

Harapan saya untuk diterima itu sebenarnya sangat tinggi. Ada tiga alasan mendasar mengapa saya begitu berharap dapat lolos di beasiswa KOICA kali ini. Pertama, saya dapat berangkat tahun ini. Kalau saya lolos, saya akan berangkat ke Korea akhir Juli ini. Saya pun lebih tenang meninggalkan keluarga saya saat anak-anak saya masih berusia 3 tahun. Mereka belum perlu sekolah sehingga saya berharap istri saya tidak terlalu repot mengurus mereka berdua.

Kedua, program S2 yang ditawarkan hanya satu tahun. Saya memang tidak ingin berlama-lama belajar. Saya termasuk tipe orang yang lebih memilih belajar sebentar untuk segera dilanjutkan dengan implementasi. Dengan begitu, ilmu yang saya peroleh lebih membekas. Saya pun tidak perlu meninggalkan keluarga saya terlalu lama. Istri saya pun merasa tidak perlu nyusul ke Korea kalau hanya ditinggal selama 1 tahun. Ketiga, saya dapat mewujudkan cita-cita saya untuk menambah katalog bahasa asing yang saya kuasai. Alasan terakhir ini memang tidak terlalu penting.

Dengan harapan yang tinggi, maka kekecewaan yang hadir akibat kegagalan pun sama tingginya. Hidup saya memang jalan terus, tapi rasa kecewa ini agak sulit pergi. Saya jadi teringat saat saya mengikuti proses seleksi penerimaan pegawai Bank Indonesia. Saat itu, saya mengikuti seleksi penerimaan pegawai untuk MLE (bukan PCPM). Seperti dengan beasiswa KOICA ini, saya pun gagal di tahap wawancara. Gagal di tahap wawancara penerimaan pegawai MLE ini pun dapat dikatakan sama sakitnya.

Saat ini saya menunggu tawaran beasiswa berikutnya dari Bagian Kepegawaian. Tawaran beasiswa dari ADS, JICA, dan World Bank untuk tahun ini terpaksa saya lewati karena saya tidak diperbolehkan mengikuti lebih dari 1 seleksi beasiswa pada saat yang sama. Kelihatannya tawaran beasiswa berikutnya yang dapat saya ikuti akan datang tahun depan.

Selasa, 19 April 2011

Pengalaman mengikuti TOEFL ITP

66 opini
Sebenarnya saya sudah beberapa kali mengikuti TOEFL ITP. Yang saya ingat betul adalah TOEFL ITP saat masuk kuliah untuk menentukan keikutsertaan dalam mata kuliah Bahasa Inggris. Mahasiswa dengan skor TOEFL ITP otomatis mendapat nilai A untuk kuliah Bahasa Inggris dan diperbolehkan tidak menghadiri sesi kuliahnya.

TOEFL ITP kedua yang saya ikuti adalah TOEFL ITP dalam rangka seleksi penerimaan calon pegawai Bank Indonesia (BI). Tes yang ini peruntukannya jelas. Peserta dengan skor TOEFL ITP yang bagus (saya agak lupa batas bawah skornya) akan diperbolehkan mengikuti seleksi tahap selanjutnya.

Selain dua tes tersebut, ada beberapa tes Bahasa Inggris lainnya yang pernah saya ikuti. Tes-tes Bahasa Inggris ini saya ikuti saat melamar pekerjaan. Tes-tes tersebut merupakan bagian dari rangkaian seleksi pelamar pekerjaan seperti halnya di seleksi penerimaan calon pegawai BI di atas. Hanya saja tes-tes Bahasa Inggris ini berbeda dengan TOEFL ITP.

TOEFL ITP itu khas. Lewat TOEFL ITP itu kemampuan Bahasa Inggris kita diuji dari sisi kemampuan mendengar dan mencerna percakapan dalam Bahasa Inggris (Listening Comprehension), pengetahuan akan struktur tulisan dalam Bahasa Inggris (Structure and Written Expression), dan kemampuan membaca dan mencerna artikel singkat dalam Bahasa Inggris (Reading Comprehension). Tes-tes bahasa Inggris lain umumnya hanya menguji pengetahuan vocabulary, grammar, dan kemampuan mencerna artikel dalam Bahasa Inggris.

TOEFL ITP kali ini saya ikuti dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengajukan beasiswa. Program beasiswa tersebut mengharuskan saya menyertakan bukti skor TOEFL ITP di atas 500. Alhamdulillah saya menemukan tempat pelaksanaan tes TOEFL ITP, yaitu di ILP Pancoran. Biaya untuk mengikuti TOEFL ITP di ILP Pancoran adalah Rp. 285.000. Kenapa harus di Pancoran? Menurut informasi dari ILP, ILP Pancoran (kantor pusat) adalah satu-satunya ILP yang menyelenggarakan TOEFL ITP.

Pelaksanaan tes TOEFL ITP di ILP Pancoran dilaksanakan bila memenuhi kuota peserta. Alhamdulillah kuota itu terpenuhi untuk pelaksanaan tes pada tanggal 2 April 2011 (Sabtu). Waktu pelaksanaan tes itu adalah waktu yang tepat bagi saya karena masih ada waktu 2 minggu sampai batas waktu penyerahan berkas persyaratan beasiswa. Kenapa 2 minggu? Karena skor TOEFL ITP hanya bisa diambil paling cepat 1 minggu (sepertinya 5 hari kerja) dari tanggal pelaksanaan tes. Jadi 2 minggu adalah waktu yang relatif aman bagi saya.

Pada kenyataannya, 2 minggu adalah pilihan yang tepat. Pertama, hasil tesnya tertunda. Saya baru bisa mengambil hasil tesnya pada hari Senin, 11 April 2011, padahal saya mengharapkan hasilnya bisa saya ambil pada hari Jumat, 8 April 2011. Kedua, proses "legalisir"-nya lebih lama dari yang saya bayangkan. Rupanya TOEFL ITP tidak mengenal istilah "legalisir". Kalau kita butuh tambahan laporan skor TOEFL ITP yang legal, maka kita harus mengajukan permohonan Additional Score Report. Setelah mengajukan permohonan ini, kita harus menunggu 2-3 hari sebelum hasilnya dapat kita ambil. Biayanya adalah Rp. 100.000.

Additional Score Report adalah laporan skor tes TOEFL ITP yang sama persis dengan laporan skor tes TOEFL ITP yang saya terima dari ILP Pancoran. Jadi istilah "legalisir" itu tidak ada untuk laporan skor TOEFL ITP. Kalau kita butuh tambahan laporan skor yang legal, Additional Score Report ini yang diakui; bukan fotokopi legalisir. Alhamdulillah tidak ada keterlambatan dalam mengurus Additional Score Report. Jadi saya masih sempat mengurus dan menyerahkan berkas persyaratan beasiswa dengan lengkap.

Versi ringkas dari bacaan melelahkan di atas adalah sebagai berikut:
  1. ILP Pancoran melaksanakan TOEFL ITP. Hubungi instansi terkait untuk waktu pelaksanaan.
  2. Biaya untuk mengikuti TOEFL ITP di ILP Pancoran adalah Rp. 285.000.
  3. Laporan skor TOEFL ITP dapat diambil paling cepat 1 minggu (atau mungkin 5 hari kerja) setelah pelaksanaan tes.
  4. Tambahan laporan skor TOEFL ITP dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan Additional Score Report. Permohonan dapat diajukan ke instansi pelaksana tes atau IIEF (www.iief.or.id).
  5. Biaya untuk mendapatkan Additional Score Report adalah Rp. 100.000.
  6. Additional Score Report dapat diambil paling cepat 2 hari kerja setelah mengajukan permohonan.