Minggu, 05 Desember 2021

Self-Organizing Family

0 opini

Keluarga (Gambar oleh www.freepik.com)

Kesannya luar biasa, ya, "Self-Organizing Family", padahal intinya hanya sebuah keluarga yang mandiri. Keluarga yang mandiri itu adalah keluarga yang mampu mengelola masalah dan mencari jalan keluarnya sendiri. Keluarga itu juga merupakan keluarga yang mampu mengurus dirinya sendiri tanpa mengandalkan pihak eksternal seperti pembantu rumah tangga (PRT), kakek-nenek, atau anggota keluarga besar lain. Keluarga yang mandiri itu yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini.

Hal yang memicu saya untuk menulis tentang self-organizing family adalah kenyataan bahwa hampir genap 1 tahun keluarga saya hidup tanpa PRT. Urusan bersih-bersih dibagi secara proporsional antara saya, istri saya, dan ketiga anak saya. Urusan makan, saat istri tidak sempat masak, kami serahkan ke GoFood atau GrabFood. Saya biasanya menggunakan GrabFood karena diskonnya lebih banyak daripada GoFood.

Saya cukup sering memesan GrabFood sampai-sampai akun saya terus bertahan di tingkat Platinum. Manfaatnya juga ... Eh, kenapa malah membahas GrabFood, ya? Kembali ke keluarga.

Kondisi semua serba dari rumah, yaitu kerja dan sekolah, juga memiliki andil membentuk lingkungan yang kondusif untuk keluarga yang mandiri. Urusan bersih-bersih sepertinya tidak mungkin kami tangani sendiri kalau saya dan istri harus ke kantor, sementara anak-anak juga harus ke sekolah. Selain itu, pengawasan terhadap anak-anak juga lebih mudah dilakukan saat saya atau istri saya ada di rumah.

Awalnya memang sulit, terutama saat PRT kami izin pulang dan tidak kembali lagi tanpa kabar bulan Desember lalu. Untungnya anak-anak saya tidak keberatan hidup tanpa PRT. Kami menyepakati beberapa penyesuaian untuk hidup lebih mandiri dan menurunkan beberapa standar, misalnya standar kebersihan rumah atau kerapian pakaian, agar urusan rumah tangga dapat kami tangani tanpa menjadi beban yang berlebihan. Saya bahkan membeli vacuum cleaner (2 kali) untuk memastikan rumah tetap bersih, terutama saat anak-anak saya yang bertugas bersih-bersih rumah.

Kalau saya ceritakan satu per satu penyesuaian yang kami lakukan, sepertinya akan terlalu panjang untuk dituangkan di sini. Pada intinya, kepergian PRT itu menjadi pemicu utama kemandirian kami sebagai sebuah keluarga, sementara kondisi kerja dan sekolah dari rumah membuat upaya membentuk kemandirian itu menjadi lebih kondusif. Sayangnya kemandirian itu belum benar-benar teruji karena saya dan istri saya masih ada di rumah untuk membantu dan mengawasi anak-anak.

Menguji Kemandirian

Sampai tiba waktunya saya dan istri saya harus pergi berdua saja. Saat itu bulan Oktober, 10 bulan sejak kami dan anak-anak kami mengurus kebutuhan kami sendiri. Kami diskusikan kepergian itu bersama anak-anak kami karena kami ingin mendengar pendapat mereka. Singkatnya, mereka lebih memilih bertahan di rumah bertiga saja daripada harus menginap di rumah kakek-nenek mereka. Mereka cukup percaya diri untuk menjalankan rutinitas harian tanpa kehadiran bapak-ibu mereka selama beberapa hari. Soal makan, bagaimana? Nasi bisa dimasak sendiri. Sisanya, ya, pesan-antar.

Antara optimis dan nekat karena kepepet, saya dan istri saya berangkat sesuai rencana. Anak-anak kami tetap di rumah sesuai pilihan mereka. Komunikasi kami jaga secara berkala. Pengawasan kami lakukan secara jarak jauh semampu kami. Bagaimana hasilnya? Rumah masih utuh, isinya juga tidak kurang satu apa pun, anak-anak tetap sehat, masalah (yang besar atau signifikan) juga tidak ada. Komunikasi saja yang kadang tidak berjalan lancar sehingga muncul kekhawatiran sesekali waktu. Secara garis besar, mereka sukses hidup tanpa pengawasan yang konstan dari kami.

Bagian yang "seru" adalah saat kakek-nenek mereka tahu kalau saya dan istri saya pergi begitu saja meninggalkan anak-anak kami tanpa memberi tahu mereka. Alasannya sederhana, kalau kami beri tahu mereka, kemandirian itu tidak akan terlihat, kan? Sayangnya logika itu tidak mudah diterima oleh kakek-nenek mereka dan ... Intinya, masalah sempat muncul, tapi reda dengan sendirinya. Mungkin kakek-nenek mereka sudah lelah berurusan dengan orang tua yang tidak konvensional seperti kami.

Beberapa hari yang lalu, hal itu terjadi lagi. Bedanya kali ini si Kecil Lucu ikut pergi bersama kami. Kedua anak remaja kami lagi-lagi memilih untuk tetap di rumah. Salah satu alasannya karena masa ujian masih berlangsung. Kalau harus bepergian, walaupun tujuannya dekat, waktu untuk belajar akan berkurang dan ada risiko kelelahan sehingga tidak bersemangat untuk belajar. Tapi, mereka mengakui bahwa sebenarnya mereka sedang malas bepergian. Jadi, keputusan untuk pergi bertiga saja tidak sulit dicapai. Hasilnya, bagaimana? Tidak jauh berbeda dengan cerita sebelumnya, bahkan lebih baik lagi karena mereka berhasil meluangkan waktu belajar sendiri tanpa diawasi orang tua mereka.

Oya, bagi yang penasaran, kami pergi bukan tanpa pertimbangan. Rumah kami ada di dalam sebuah cluster yang aman dari masalah seperti maling atau sejenisnya. Petugas keamanan di cluster juga tidak asing lagi dengan keluarga kami dan mudah dihubungi saat dibutuhkan. Rukun tetangga kami juga cukup akrab. Kami terbiasa untuk saling menjaga dan membantu saat yang lain ada masalah. Jadi, risiko ancaman eksternal cukup rendah di lingkungan sekitar rumah kami.

Menjaga Kemandirian

Saat tulisan ini dibuat, kami sudah kembali menggunakan PRT, tapi tidak menginap. Tempat kerja saya dan istri saya sudah mulai kembali ke rutinitas bekerja dari kantor. Anak-anak kami juga sudah mulai masuk sekolah walaupun hanya 1-2 kali per minggu. Untungnya jadwal masuk sekolah mereka berbeda-beda sehingga rumah kami tidak pernah kosong melompong. PRT bertugas menyapu, mengepel, menyetrika, dan bersih-bersih secara umum, tapi hanya dari hari Senin s.d. Jumat. Sabtu dan Minggu, urusan rumah tangga tetap kami tangani sendiri.

Di masa depan nanti, apalagi saat pandemi Covid-19 dianggap selesai dan semua kembali normal, rutinitas kami sekeluarga juga akan kembali normal seperti sebelum pandemi. Kami mungkin akan kembali mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan urusan rumah tangga kami. Walaupun begitu, saya tetap optimis kemandirian yang sudah kami bentuk tidak akan hilang begitu saja, khususnya kemampuan anak-anak kami untuk mengambil keputusan sendiri dan menjalaninya secara bertanggung jawab.

Minggu, 04 Juli 2021

Koin untuk Rinkas

0 opini

Tumbler Rinkas
Setiap gagasan tidak akan memiliki dampak apa pun kalau tidak ditindaklanjuti dengan tindakan yang nyata. Setiap inisiatif tidak akan berjalan ke mana-mana kalau tidak diikuti dengan tindakan-tindakan yang berkelanjutan. Masalahnya adalah setiap tindakan yang nyata, apalagi yang berkelanjutan, butuh modal. Modal yang saya bicarakan bukan hanya semangat dan koneksi, tapi modal yang lebih kongkrit berupa uang. Hal itu yang saya rasakan selama saya menyebarluaskan Pemerintah Tangkas.

Awalnya kebutuhan itu tidak terlalu membebani karena saya memperoleh dukungan finansial itu dari tempat saya bekerja, Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Saat itu, yaitu pada tahun 2018-2019, Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) DJP berhasil mengadakan beberapa lokakarya penerapan Agile di pemerintah. Dalam lokakarya-lokakarya itu, peran saya hanya sebatas menjadi narasumber dan mengatur pelaksanaan kegiatan bersama beberapa rekan saya. Satu hal yang pasti, urusan finansial sama sekali tidak menjadi beban karena lokasi, perlengkapan, dan konsumsi ditanggung oleh DJP.

Ada satu hal yang biayanya keluar dari kantung saya sendiri, yaitu suvenir. Di salah satu lokakarya itu, saya memutuskan untuk membuat suvenir yang spesial. Saat itu, tepatnya tanggal 23 Agustus 2019, saya dan rekan saya, Nafis, sepakat menggunakan brand Rinkas (singkatan dari Pemerintah Tangkas). Akhirnya tumbler sederhana bertuliskan Rinkas menjadi kenang-kenangan bagi peserta lokakarya. Di kegiatan-kegiatan lain, selama persediaan masih ada, tumbler itu tetap berpindah tangan dari saya ke salah satu atau beberapa peserta.

Masuk ke tahun 2020, seiring bergesernya prioritas organisasi dan munculnya pandemi, Direktorat TIK DJP tidak lagi mengadakan lokakarya Agile seperti yang saya ceritakan di atas. Rinkas tetap hidup, tapi kegiatan offline sama sekali tidak berjalan karena modal untuk menjalankan kegiatan offline itu tidak terpenuhi. Akhirnya demi menjaga agar Rinkas tetap hidup, saya berinisiatif untuk membuat publikasi Pemerintah Tangkas di Medium.

Kondisi Rinkas tetap seperti itu sampai akhirnya saya bersama Pustaka Saga menerbitkan buku Aparatur Sipil Negara (ASN) Juga Bisa Agile. Buku itu menimbulkan riak yang cukup besar bagi Rinkas. Penyebarannya jauh lebih luas daripada area yang biasa dijangkau oleh publikasi di Medium. Pihak-pihak yang merespons juga di luar bayangan saya. Mereka datang dari luar jaringan akun media sosial saya dari tempat-tempat yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Saya bahkan mendapat undangan untuk menjadi narasumber di beberapa webinar, baik yang bersifat umum maupun terbatas.

Walaupun begitu, sesuai konteks tulisan ini, riak itu tidak cukup besar untuk mengumpulkan modal yang saya maksud di atas, yaitu untuk kegiatan lokakarya yang berkelanjutan. Saya sudah menyisihkan sebagian hasil penjualan buku dan honor sebagai narasumber, tapi karena nominal yang dapat saya sisihkan tidak pasti, jumlah uang yang terkumpul belum cukup untuk menjadi modal kegiatan lokakarya itu. Untungnya untuk pengeluaran-pengeluaran kecil seperti promosi di Facebook, membeli elemen untuk poster Rinkas, menyewa situs dan domain, dan pengeluaran kecil lainnya masih tercukupi.

Menerapkan Agile Di Mana Saja
Saya sempat memikirkan beberapa alternatif untuk mendapatkan modal seperti lewat monetisasi publikasi di Medium, mulai membuat konten di YouTube, atau menjalankan lokakarya berbayar, tapi ide-ide itu terhalang rasa enggan saya sendiri. Saya memulai Rinkas untuk menyebarluaskan ide tentang Agile di pemerintahan seluas mungkin. Ide-ide untuk monetisasi terasa menjadi penghalang proses penyebarluasan itu. Hal itu yang membuat saya enggan sampai akhirnya pilihan saya masih terbatas pada menyisihkan sebagian penghasilan dari menjual buku dan menjadi narasumber.

Saya sempat dibantu oleh beberapa rekan ASN mengenalkan Rinkas ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Mengenalkan Rinkas ke Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sudah saya lakukan saat saya mendapat kesempatan menjalankan lokakarya penerapan Agile bersama Pusat Pengembangan Profesi dan Sertifikasi di kementerian itu. Sayang sekali saya belum menerima respons lebih lanjut pasca perkenalan itu.

Satu hal yang ingin saya coba adalah mengumpulkan dana lewat KitaBisa atau platform sejenis. Idenya adalah Koin untuk Rinkas dengan model subsidi dari ASN untuk ASN. Walau bagaimanapun, ketangkasan di instansi pemerintah hanya dapat terbentuk lewat ASN-ASN yang tangkas. Dengan model subsidi dari ASN untuk ASN, saya berharap pengumpulan dana itu juga menjadi ajang untuk membentuk kepedulian kolektik terkait penerapan Agile di pemerintah Indonesia. Lagi-lagi saya merasa enggan untuk melakukan hal ini karena saya merasa tidak nyaman dengan opsi tangan di bawah.

Untuk saat ini sepertinya saya akan tetap bertahan dengan mengisi Koin untuk Rinkas dari kantung saya sendiri. Opsi untuk monetisasi juga tetap akan saya tunda. Mungkin di masa depan akan muncul kesempatan yang lebih layak untuk terus menyebarkan ide, semangat, dan nilai-nilai Agile di dalam instansi pemerintah. Siapa tahu di masa depan juga akan bermunculan pihak-pihak yang berkenan membantu Rinkas. Mudah-mudahan saja inisiatif Rinkas terus hidup dan terus meluas di masa depan. Aamiin.

Minggu, 30 Mei 2021

Pelajaran dari Soul dan Inside Out

0 opini

Piano (Gambar oleh surang)
Saya memang selalu suka film-film buatan Pixar. Animasinya memanjakan mata, alur ceritanya menarik, dan lelucon-leluconnya cukup menghibur. Mayoritas film animasi buatan Pixar sepertinya ditujukan untuk anak-anak, tapi saya perhatikan ada banyak "pelajaran" yang dapat diambil oleh para penonton di atas umur seperti saya. Bagi saya, pesan moral yang disampaikan lewat film-film Pixar sering membuka mata saya lebih lebar lagi dalam melihat dan memahami kehidupan.

Berat ya? Tidak juga. Cara saya menyampaikannya mungkin saja memberikan kesan bahwa pesan moral yang saya bicarakan adalah hal-hal yang berat, tapi kenyataannya film-film Pixar menyampaikannya secara ringan dan menghibur. Ada banyak hal yang bisa dibahas dari alur film-film Pixar, tapi dalam tulisan kali ini, saya ingin membahas 2 film saja, yaitu Soul dan Inside Out.

Sebelum saya lanjutkan, saya perlu ingatkan bahwa tulisan selanjutnya akan berisi spoiler untuk kedua film tersebut. Saya memang tidak akan membahas alurnya karena saya ingin fokus pada pesan moralnya. Walaupun begitu, risikonya cukup tinggi bahwa alurnya akan terkuak saat saya membahas pesan moralnya. Jadi, kalau Anda tidak ingin mengambil risiko itu, silakan berhenti di sini.

Kembali ke pesan moral. Pertama, Soul. Soul menyampaikan pesan penting tentang cara menikmati hidup. Di satu sisi, ada karakter yang tidak siap untuk hidup karena tidak memiliki tujuan hidup. Di sisi lain, ada karakter yang tidak siap mati karena tujuan hidupnya belum tercapai. Ternyata kedua karakter itu memiliki kesamaan, yaitu mereka sama-sama tidak (belum) mampu melihat hidup kita apa adanya.

Kita seringkali terobsesi dengan tujuan sehingga kita merasa hidup tidak bisa dimulai tanpa tujuan. Kalau kita sudah terlanjur menjalani hidup, hidup kita akan terasa tidak berarti karena kita tidak pernah mencapai tujuan itu. Pada kenyataannya hidup adalah proses dan dalam prosesnya, hidup kita memiliki makna yang lebih asalkan perhatian kita tidak hanya tertuju pada sebuah tujuan. Hidup kita juga akan lebih bermakna kalau kita mau membangun hubungan dengan orang lain.

Kedua, Inside Out. Film ini punya memiliki pesan yang kuat tentang cara kita menyikapi kehidupan, khususnya tentang sikap positif. Sikap positif dianggap sebagai hal yang krusial dalam menjalani hidup. Sikap positif dianggap benar-benar penting sampai ke tingkat yang menganggap sikap negatif sebagai sesuatu yang buruk. Menempatkan sikap positif dalam posisi yang sangat tinggi seperti itu justru berisiko merusak. Hal itu yang umumnya kita kenal dengan istilah toxic positivity.

Pada kenyataannya, menjalani hidup tidak cukup dengan modal kebahagiaan. Setiap manusia butuh merasa sedih. Setiap manusia perlu menyalurkan kesedihan. Dengan penyaluran yang tepat, kesedihan akan berangsur pudar seiring dengan datangnya rasa tenang. Pada akhirnya, kebahagiaan akan kembali mengisi hati, tapi bukan karena dipaksakan untuk bahagia seperti halnya toxic positivity. Kebahagiaan yang datang setelah redanya kesedihan biasanya akan lebih kuat dan langgeng.

Bayangkan kalau kedua pesan di atas dapat kita resapi dan terapkan dalam hidup kita. Saya yakin kita akan lebih mampu menerima kenyataan dan lebih mampu menikmati setiap langkah yang kita ambil dalam hidup kita. Kalaupun ada hal buruk yang terjadi dalam hidup kita, kita dapat menerima kesedihan yang muncul, mencoba mengutarakannya, lalu menemukan kembali hal-hal positif dalam hidup kita. Bayangkan betapa bahagianya hidup kita kalau kita bisa melakukan semua itu. Bayangkan juga betapa bahagianya hidup anak-anak kita kalau kita mampu menularkan semua pelajaran penting itu ke dalam diri mereka agar hidup mereka juga dapat diisi dengan berbagai kebahagiaan.

Seru, bukan? Yuk!

Senin, 10 Mei 2021

5 Tahun, 1 Buku

0 opini
ASN Juga Bisa Agile
Beberapa hari yang lalu, saya membeli sebuah buku berjudul "Happiness is a Choice You Make". Tebalnya cukup signifikan, yaitu sekitar 210 halaman. Isinya juga cukup signifikan, yaitu perspektif tentang kebahagiaan dari orang-orang yang sudah berusia lanjut. Hal yang menarik adalah buku itu ditulis sejak tahun 2015 dan dipublikasikan pada tahun 2018. Penulisnya, John Leland, membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk menyelesaikan buku itu.

Ternyata menulis buku dalam waktu yang lama itu bukanlah hal yang unik. Kalau penulis kelas kakap seperti John Leland saja butuh waktu 3 tahun untuk menulis tentang happiness, wajar saja kalau saya butuh waktu 5 tahun untuk menulis ASN Juga Bisa Agile. Saya memang tidak mewawancarai dan mengikuti hidup beberapa orang narasumber seperti yang dilakukan John, tapi saya tetap berusaha untuk menulis buku yang sarat dengan hal-hal praktis, bukan hanya teori. Itu alasannya kenapa saya butuh waktu 5 tahun untuk menulis buku saya itu.

Akan tetapi, bukan itu alasan utama saya membuat post ini. Di post ini, saya ingin menegaskan bahwa waktu bukanlah faktor kunci dalam keberhasilan membuat buku. Selama 5 tahun itu, saya tidak banyak menulis. Waktu saya lebih banyak saya luangkan untuk mempelajari, mengamati, dan menjalani sendiri apa itu Agile dan bagaimana caranya menjadi Agile. Saya lakukan itu sambil menjalankan peran saya sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Itu yang menjadi alasan kenapa saya butuh waktu begitu lama untuk menerbitkan buku tentang ASN dan Agile.

Saya teringat pernyataan seorang rekan ASN yang mengatakan bahwa tidak semua bisa menulis buku seperti saya, apalagi bagi para ASN yang harus memikirkan code dari pagi sampai malam (baca: ASN programmer). Menurut rekan saya itu, menulis buku membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan modal berupa waktu itu yang tidak dimiliki para programmer. Saat ini, walaupun saya berlatar belakang pendidikan di bidang TI dan bekerja di unit TI, porsi kerja saya memang lebih banyak berkutat di analisis dan perancangan, bukan ngoding. Saat itu, saya mengiyakan saja pernyataan rekan saya itu karena saya sendiri menyadari bahwa menulis itu butuh waktu. Belakangan ini saya sadar bahwa "iya" yang saya sampaikan itu terus mengganjal karena saya sendiri sadar keberhasilan saya menulis buku tidak bergantung pada faktor waktu.

Coba kita hitung bersama. Tebal buku ASN Juga Bisa Agile hanya xiv + 134 halaman. Jumlah halaman yang benar-benar "berisi" hanya sekitar 120 halaman. Dari durasi 5 tahun itu, saya baru benar-benar menulis di akhir tahun 2016. Jadi, berhubung ASN Juga Bisa Agile terbit di akhir tahun 2020, kita anggap saja saya "hanya" butuh waktu 4 tahun untuk menulis buku itu. Jadi, 120 halaman dibagi 4 tahun sama dengan 30 halaman per tahun atau kira-kira 3 halaman per bulan. Apakah menulis 3 halaman A5 per bulan itu sulit? Sepertinya mudah, bukan? Sepertinya tidak sulit bagi seseorang untuk meluangkan waktu menulis 3 halaman A5 setiap bulan.

Apa mungkin maksud rekan saya itu adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang cukup untuk dituangkan ke dalam 3 halaman A5? Waktu untuk mempelajari, mengamati, dan mengalami seperti yang saya sebutkan di atas? Waktu untuk semua itu yang sulit diluangkan setiap bulan? Jadi, walaupun menulis 3 halaman A5 setiap bulan itu mudah, tetap saja sulit meluangkan waktu untuk mendapatkan ide dan bahan tulisan. Benarkah seperti itu kondisinya? Belum tentu.

Kuncinya ...

Saya sepakat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menulis juga perlu memperhitungkan waktu untuk mengumpulkan informasi, tapi saya tetap yakin bahwa waktu bukanlah faktor kunci. Apalagi kalau tidak ada deadline, kita punya waktu sebanyak yang kita mau. Hal itu yang saya rasakan. Saya hanya ingin menulis tentang ASN dan Agile tanpa ada tekanan apa pun. Saya bahkan baru mulai mencari penerbit setelah saya benar-benar merasa puas dengan apa yang saya tulis. Semuanya "dibawa santai".

Hal yang membuat saya bertahan untuk tidak berhenti menulis selama bertahun-tahun itu hanyalah niat. Saya sudah tegaskan bahwa saya tidak memiliki tekanan apa pun. Modal saya hanya niat. Saya memiliki niat yang cukup kuat untuk terus menulis tanpa terlalu peduli berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menghasilkan sebuah buku. Saya memiliki niat yang kuat untuk mengorbankan waktu ekstra yang saya miliki untuk menulis (dan mengumpulkan informasi). Pada akhirnya, saya berhasil menulis buku bukan karena saya punya waktu untuk menulis, tapi karena saya mau meluangkan waktu untuk menulis.

Jadi, waktu bukanlah isu utama. Determinasi dan kegigihan yang menjadi faktor utama keberhasilan saya menulis buku. Seandainya saya bekerja sebagai programmer, bukan tidak mungkin saya akan tetap menulis buku, tapi waktu yang saya butuhkan mungkin akan lebih panjang. Seandainya pekerjaan saya berbeda juga tetap ada kemungkinan saya akan menulis buku, baik dengan waktu yang lebih panjang atau lebih pendek. Ada juga kemungkinan bahwa apa pun profesi saya, saya tidak akan pernah menulis buku hingga akhir hayat, tapi saya yakin, seandainya saya tidak menulis buku, waktu tetap saja bukanlah isu utama.

Senin, 03 Mei 2021

Menjadi Mantan Toxic Parent

1 opini

Mungkin ini baru pertama kalinya Anda mendengar istilah toxic parenting. Silakan googling untuk mencari tahu apa itu toxic parenting. Satu hal yang pasti, pola pengasuhan anak yang berdampak buruk itu bukanlah hal yang baru. Tingkatannya pun bervariasi mulai dari sekadar tekanan untuk berprestasi sampai kekerasan fisik demi membentuk kedisiplinan. Kenapa saya berani meyakinkan Anda bahwa toxic parenting ini bukanlah hal yang baru? Karena saya yakin Anda sudah melihat contoh dampak buruknya dalam diri orang-orang di sekitar Anda, bahkan dalam diri orang-orang yang saat ini sudah menjadi orang tua. Ya, kan?

"Apa Ada yang Namanya Toxic Parent?" (Sumber: Narasi Newsroom)

Video yang terpasang di atas merupakan salah satu contoh pembahasan singkat mengenai toxic parent yaitu para orang tua pelaku toxic parenting.  Isinya cukup bagus untuk mulai mengenal toxic parenting. Apa itu toxic parenting, apa dampak buruknya, dan bagaimana cara mengatasinya. Pertanyaan-pertanyaan dasar itu terjawab di dalam video itu, tapi saya akui pembahasannya masih menyentuh bagian permukaan. Untuk memahami toxic parenting dan solusi yang layak tentu saja tidak semudah itu, Ferguso.

Intinya toxic parent itu ada. "Buah karya"-nya pun ada. Sebagian bahkan sudah menjadi orang tua dengan kecenderungan toxic yang sama terhadap anak-anak mereka. Bayangkan bila kecenderungan itu terwujud, akhirnya anak-anak dari para toxic parent itu juga tumbuh menjadi toxic parent, kemudian mereka mendidik dan membesarkan anak-anak dengan model toxic serupa. Hal serupa terjadi secara berulang dari generasi ke generasi. Akhirnya apa yang terjadi? Pola toxic parenting menjadi warisan yang bertahan entah sampai berapa turunan.

Saya sadar tidak semua toxic parent berniat buruk. Sebagian dari mereka tulus ingin yang terbaik bagi anaknya. Mereka mendidik dan membesarkan anaknya untuk menjadi individu yang disiplin, mandiri, berprestasi, atau hal-hal positif lainnya demi kebahagiaan anaknya di masa depan. Mereka juga melakukannya agar anaknya bisa bangga terhadap dirinya sendiri. 

Masalahnya adalah para toxic parent yang bertujuan mulia itu lupa kalau anak mereka adalah individu tersendiri. Anak mereka bukanlah perpanjangan dari mereka. Anak mereka punya minat, keinginan, karakteristik, dan hal lainnya yang tidak sama dengan apa yang ada di benak dan harapan para toxic parent itu. Mereka lupa bahwa mendidik dan membesarkan anak seharusnya mengembangkan diri si Anak, bukan membuat anak menjadi persis seperti apa yang diinginkan mereka. Apakah kita termasuk para toxic parent berhati mulia itu?

Kalau kita berada dalam kondisi seperti itu, solusinya sederhana seperti yang tersurat dalam video di atas. Kita harus belajar mendengarkan isi hati dan pikiran anak kita. Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan anak kita tidak semata-mata ditentukan oleh diri kita, tapi juga oleh anak kita. Dengarkan, bicarakan, lalu arahkan. Itulah 3 hal sederhana yang perlu kita lakukan terhadap anak kita masing-masing.

Saya sadar untuk benar-benar mendengarkan itu sulit. Been there, done that. Apalagi kalau kita sudah terbiasa didengarkan, sulitnya mungkin akan setengah mati. Kita harus terbiasa menahan diri dan membiarkan anak bicara sepenuh hati tanpa kita interupsi. Kita harus terbiasa menahan diri untuk tidak terlalu mengatur keinginan anak kita. Kita harus terbiasa menahan diri dan membiarkan anak kita memilih jalan ninja mereka sendiri. Namun, semua kesulitan itu sepadan.

Kita perlu melakukannya demi kebahagiaan, yaitu kebahagiaan kita bersama anak kita yang kita definisikan bersama-sama dengan anak kita. Bukankah kita terjebak dalam toxic parenting juga karena kita ingin membuat mereka bahagia? Kalau iya, mari ambil jalan yang lebih "sehat" agar kebahagiaan yang kita wujudkan bersama anak kita bukan sekadar kebahagiaan semu yang dihiasi dengan berbagai trauma kehidupan.

Yuk, bisa, yuk!

Minggu, 25 April 2021

Bohong Lagi, Belajar Lagi

0 opini

Detektor Bohong Individu*
Salah satu anak saya berbohong lagi. Dia melakukannya di bulan Ramadan, bulan yang seharusnya menjadi bulan untuk menahan diri dari keburukan. Dia melakukannya juga demi hal yang trivial, yaitu tidak mau kalah dari saudaranya dalam target membaca Al-Qur`an. Insiden kebohongan itu berhasil kami tangani dengan baik. Guncangan yang terjadi sudah terlewati dan hidup sudah kembali normal, tapi bukan berarti tanpa konsekuensi. Terlepas dari itu, ada beberapa pelajaran penting yang saya rasa perlu saya ceritakan di sini.

Pertama, gengsi adalah kunci. Walaupun saya sudah wanti-wanti kepada anak-anak saya bahwa mereka tidak harus bisa melakukan apa yang dilakukan saudaranya, gengsi tetap saja muncul. Rasa tidak mau kalah tetap mampu menguasai pikiran anak-anak dan membuat mereka melakukan cara-cara curang agar tidak tertinggal. Itu yang mendorong salah satu anak saya untuk berbohong.

Kedua, berbohong adalah pilihan. Saat ada masalah, berbohong untuk menutupi sumber masalah atau untuk menghindari masalah akan selalu menjadi pilihan. Ada orang-orang yang mampu menahan diri dari berbohong, tapi kemampuan anak-anak masih mudah dikalahkan oleh nafsu mereka masing-masing. Itu alasannya kenapa anak saya berbohong. Dia tahu berbohong itu salah, tapi dia tidak mampu menahan diri dan memutuskan untuk berbohong demi gengsi.

Ketiga, bosan itu manusiawi. Sebaik apa pun sebuah kegiatan, kalau hal itu dilakukan terus-menerus, rasa bosan pasti akan datang. Itulah alasannya kenapa kebaikan itu lebih baik dilakukan sedikit-sedikit karena rasa bosannya akan lebih membebani bila dilakukan dalam jumlah banyak. Itu yang dirasakan oleh anak saya. Gengsi memang mendorong anak saya untuk berbohong, tapi rasa bosan juga memiliki peran krusial di situ. Gengsi untuk tetap "bersaing", tapi bosan untuk tetap bersaing membuat berbohong menjadi pilihan terbaik (baca: termudah).

Keempat, masalah dengan anak adalah berkah yang tersamarkan. Bila kita menyikapinya seperti sebuah kotoran yang harus dibuang keluar, berkah itu tidak akan sampai. Kita perlu menyikapinya sebagai sebuah kesempatan untuk lebih mengenal anak. Apa saja yang menjadi gengsinya, apa saja yang membuat dia bosan, apa saja yang mendorong dia untuk berbohong, sekuat apa tekad dia untuk menjadi orang jujur, kenapa dia tidak mau terbuka, dan banyak sekali pertanyaan lain yang dapat terjawab asalkan kita mau menanggapi masalah dia dengan bijaksana.

Tentu saja masih ada banyak pelajaran lain yang bisa saya bagikan di sini. Apalagi kalau terkait bohong, ada banyak sekali hal yang dapat saya temukan dalam diri anak-anak saya karena di balik kebohongan itu ada hal-hal yang sengaja disembunyikan dan menunggu untuk ditemukan. Asalkan kita cukup lihai menyelami masalah anak, semua itu dapat kita ungkap satu per satu. Ya, kan? 

--

*Gambar ditemukan lewat Google Search

Minggu, 18 April 2021

Proyek Pertama Raito: Ulasan Buku

0 opini

Sharks (rpaldebaran.wordpress.com)
Secara umum, Agile sangat identik dengan pengelolaan proyek. Proyek yang dikelola biasanya proyek yang dilakukan oleh sebuah organisasi, baik kecil maupun besar. Akan tetapi, bukan berarti Agile tidak dapat digunakan untuk mengelola proyek hobi.

Hal itu yang saya lakukan bersama anak-anak saya. Saya mendorong mereka untuk menumbuhkan minat di luar gim dan memiliki keterampilan di luar akademis. Saya mendorong mereka untuk menemukan dan menekuni sesuatu yang mereka suka, tapi tetap memiliki manfaat jangka panjang.

Jumat lalu, Raito, anak pertama saya, secara resmi berhasil menghasilkan sesuatu yang terukur, yaitu sebuah situs berisi ulasan buku. Awalnya dia hanya ingin menulis ulasan buku, tapi setelah kami berdiskusi, proyek itu berubah dari membuat ulasan buku menjadi mempublikasikan ulasan buku di Internet. Saat ini, dia sudah menulis 3 ulasan buku yang dia publikasikan di rpaldebaran.wordpress.com. Ulasan buku lainnya menyusul. Akhirnya Raito berhasil menyelesaikan proyek pertamanya. 

Sebenarnya proyek "pertama" Raito ini bukanlah yang pertama. Dia pernah memilih pemrograman dan mulai belajar JavaScript, HTML, dan CSS di Khan Academy. Setelah itu, dia pindah ke platform lain seperti Tynker yang menawarkan lebih banyak variasi dalam belajar pemrograman. Akan tetapi, semua itu tidak berakhir bahagia. Dalam perjalanannya, Raito kehilangan minat dalam pemrograman. Dia masih suka bermain dengan logika yang ada di pemrograman, tapi hal itu tidak cukup untuk menahan semangatnya membuat program-program baru.

Kembali ke ulasan buku, hasilnya memang lebih sederhana daripada sebuah program, tapi dia melakukannya hampir semuanya secara mandiri. Mulai dari membaca buku berbahasa Inggris, membuat ulasan berbahasa Indonesia, sampai membuat situs di Wordpress, dia lakukan sendiri. Dalam prosesnya, saya juga meminta dia untuk terlebih dahulu membuat ringkasan bukunya dalam bahasa Indonesia. Jadi, dengan proyek yang sederhana itu, dia telah belajar menerjemahkan, belajar menulis, dan belajar membuat situs dengan Wordpress. Jauh lebih menarik daripada menyibukan diri dengan chatting di WhatsApp atau menonton video lucu di YouTube, bukan?

Berbeda dengan Raito, Aidan memiliki jalannya sendiri. Walaupun sebelumnya dia mencoba hal serupa dengan Raito di Khan Academy dan Tynker dan sampai saat ini masih juga belum berhasil membuat program apa pun, minat dia dalam pemrograman masih ada. Dia pernah mencoba ikut beralih ke ulasan buku, tapi dia dengan tegas memutuskan it's not for me. Saat ini, dia masih mencoba sana-sini untuk menemukan tempat belajar yang bisa mengarahkan dia untuk menghasilkan sesuatu yang nyata secara mandiri. Semoga saja dia berhasil menemukannya.

Jumat, 16 April 2021

Belajar Kemunafikan dari Attack on Titan

0 opini

Attack on Titan (Sumber: wallpaperaccess.com)
Satu hal yang menarik dari Attack on Titan (AoT) musim 3 (iya, saya telat mengikuti) adalah soal kemunafikan manusia. Kemunafikan yang, untuk orang-orang seusia saya, sudah sering tertangkap mata, tapi bagi anak-anak remaja, masih terbilang aneh. Kemunafikan yang berhasil mengabaikan kebenaran demi memenuhi nafsu.

Perhatian: Tulisan di bawah ini berisi spoiler (bagi penonton AoT lain yang telat seperti saya).

Saya lupa kejadiannya di episode berapa dalam AoT musim 3. Satu hal yang saya ingat adalah di adegan itu, salah satu anak saya nyeletuk soal sikap "aneh" para pejabat dalam dunia di balik dinding yang sempit itu. Saat itu, mereka mendapat kabar bahwa tembok lapisan kedua jebol lagi dan titan pun merangsek masuk. Idealnya, saat itu terjadi, gerbang di tembok lapisan pertama dibuka agar evakuasi para penduduk area lapisan kedua dapat masuk ke lapisan pertama.

Berhubung areanya berbentuk lingkaran dengan pusat pemerintahan di tengah, semakin dekat ke tengah, semakin kecil areanya. Itu artinya jumlah penduduk di area lingkaran kedua jauh lebih banyak dari area lingkaran pertama. Bila penduduk di area lingkaran kedua dibiarkan masuk ke lingkaran area pertama, kita bisa bayangkan masalah baru yang akan muncul seperti kekurangan suplai makanan, tempat tinggal, atau penghidupan yang dapat mengakibatkan tingkat kejahatan meningkat.

Pilihan yang sulit, bukan? Akhirnya para pejabat itu memutuskan untuk tidak membukakan akses evakuasi, tapi demi apa? Apakah demi menyelamatkan penduduk di area lingkaran pertama? Tidak. Ternyata para pejabat itu menolak pilihan evakuasi demi diri mereka sendiri. Mereka tidak mau hidup mereka menjadi lebih sulit lagi karena harus menanggung hidup orang-orang dari lingkaran kedua.

Menyedihkan ya? Di adegan itulah celetuk itu muncul. Anak saya bertanya kenapa sikap mereka seperti itu. Sikap seperti itu sudah pernah muncul di musim 2, tapi orang yang melakukannya adalah pengusaha yang sekadar mengutamakan harta bendanya. Dampak negatif keegoisan si Pengusaha tidak masif seperti keegoisan para pejabat. Dampak yang masif itu sepertinya menjadi pemicu bagi salah satu anak saya sehingga mereka merasakan ketidakwajaran keputusan itu.

Ekspresi anak saya saat itu agak lucu. Celetuk dia begitu polos dan tulus bertanya kenapa orang-orang itu bisa mengabaikan begitu banyak nyawa demi kepentingan segelintir orang. Saya pun "terpaksa" menjelaskan kepadanya bahwa kondisi itu nyata. Contoh yang paling nyata adalah adanya korupsi di tengah pandemi Covid-19. Hal yang lebih parah lagi adalah korupsi itu dilakukan pada dana bantuan sosial untuk penanganan Covid-19.

Saya jelaskan lebih jauh lagi bahwa hal itu pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kelakuan seorang anak yang sembunyi-sembunyi main gim dan berbohong untuk menutupinya. Prinsipnya sama: ada nafsu yang tidak bisa diredam, lalu melakukan segala cara untuk memenuhi nafsu itu. Saya sampaikan itu sambil tersenyum lebar, sementara anak saya tersenyum getir karena sadar dirinya sedang disindir.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Kami hanya berhenti menonton sejenak untuk membahas itu semua. Kami segera melanjutkan menonton. Mudah-mudahan saja diskusi ringan-tapi-berat itu dapat mereka ingat dan membawa dampak positif terhadap hidup mereka. Paling tidak mereka tidak perlu kaget lagi kalau kemunafikan sejenis muncul lagi di episode-episode AoT selanjutnya atau bahkan di episode-episode hidup mereka di masa depan.

Minggu, 11 April 2021

Pertemuan Keluarga Spesial Ramadan

0 opini

Pertemuan Mingguan Keluarga Array
Minggu, pukul 10 pagi, kami melakukan pertemuan mingguan keluarga kami seperti biasa. Sesuai namanya, pertemuan itu kami lakukan seminggu sekali setiap hari Minggu pukul 10 pagi. Waktu pertemuan itu kami sepakati bersama. Jadi, setiap orang dalam anggota keluarga kami, termasuk Si Kecil Lucu sudah tahu bahwa setiap hari Minggu pukul 10 pagi, kami harus meluangkan waktu pribadi kami untuk urusan keluarga.

Berhubung 2 hari lagi Ramadan tiba, pertemuan kami kali ini lebih banyak membicarakan rutinitas keluarga yang perlu disesuaikan selama bulan Ramadan. Apalagi sudah berbulan-bulan kami mengurus rumah dan keluarga secara mandiri (tanpa pembantu rumah tangga), rutinitas keluarga seperti bersih-bersih rumah tentu saja harus disesuaikan. Jangan sampai ada yang "pingsan" akibat kecapaian saat menyapu dan mengepel rumah.

Pada pertemuan kali ini, kami juga membahas soal game time, yaitu waktu bermain gim. Akibat sebuah insiden yang tidak bisa saya bicarakan di sini, saya sempat memangkas waktu bermain gim ketiga anak saya. Ibarat tukang cukur, saat itu saya babat rambut mereka sampai sependek 3 mm, termasuk rambut Si Kecil Lucu. Saat itu mereka sangat kecewa, padahal saya sudah berbaik hati tidak memotong rambut mereka sampai plontos. Setelah beberapa minggu berlalu, hari ini saya dan istri saya bersedia untuk kembali membiarkan mereka memilih model rambut sendiri, tapi dengan pilihan terbatas.

Ada juga hal-hal rutin yang kami bahas di setiap pertemuan seperti ibadah harian atau target belajar harian. Seperti halnya orang tua pada umumnya, saya dan istri saya juga membiasakan anak-anak kami agar terbiasa mengembangkan karakter dan keterampilan mereka. Ibadah, bagi kami, termasuk urusan pengembangan karakter. Belajar, sebagaimana umumnya, termasuk urusan pengembangan keterampilan. Kami ajak mereka untuk memperkuat pelajaran sekolah menggunakan platform belajar daring seperti Khan Academy atau Duolingo. Di luar pelajaran sekolah, kami juga mendorong mereka untuk memiliki proyek tertentu sesuai minat mereka.

Dari pertemuan keluarga kali ini, kami berkolaborasi dan berhasil menyusun jadwal rutinitas keluarga spesial Ramadan. Game time juga disepakati sesuai usulan anak-anak dengan beberapa batasan dari saya dan istri saya. Inspeksi terhadap ibadah harian, belajar harian, atau proyek berjalan lancar, tapi terlalu panjang untuk saya bicarakan di sini. Setiap topik berhasil kami bahas sampai tuntas dengan beberapa catatan yang harus ditindaklanjuti di luar pertemuan itu. Semua pertanyaan terjawab, setiap isu berhasil ditangani, dan semua orang senang.