Jumat, 16 April 2021

Belajar Kemunafikan dari Attack on Titan

Attack on Titan (Sumber: wallpaperaccess.com)
Satu hal yang menarik dari Attack on Titan (AoT) musim 3 (iya, saya telat mengikuti) adalah soal kemunafikan manusia. Kemunafikan yang, untuk orang-orang seusia saya, sudah sering tertangkap mata, tapi bagi anak-anak remaja, masih terbilang aneh. Kemunafikan yang berhasil mengabaikan kebenaran demi memenuhi nafsu.

Perhatian: Tulisan di bawah ini berisi spoiler (bagi penonton AoT lain yang telat seperti saya).

Saya lupa kejadiannya di episode berapa dalam AoT musim 3. Satu hal yang saya ingat adalah di adegan itu, salah satu anak saya nyeletuk soal sikap "aneh" para pejabat dalam dunia di balik dinding yang sempit itu. Saat itu, mereka mendapat kabar bahwa tembok lapisan kedua jebol lagi dan titan pun merangsek masuk. Idealnya, saat itu terjadi, gerbang di tembok lapisan pertama dibuka agar evakuasi para penduduk area lapisan kedua dapat masuk ke lapisan pertama.

Berhubung areanya berbentuk lingkaran dengan pusat pemerintahan di tengah, semakin dekat ke tengah, semakin kecil areanya. Itu artinya jumlah penduduk di area lingkaran kedua jauh lebih banyak dari area lingkaran pertama. Bila penduduk di area lingkaran kedua dibiarkan masuk ke lingkaran area pertama, kita bisa bayangkan masalah baru yang akan muncul seperti kekurangan suplai makanan, tempat tinggal, atau penghidupan yang dapat mengakibatkan tingkat kejahatan meningkat.

Pilihan yang sulit, bukan? Akhirnya para pejabat itu memutuskan untuk tidak membukakan akses evakuasi, tapi demi apa? Apakah demi menyelamatkan penduduk di area lingkaran pertama? Tidak. Ternyata para pejabat itu menolak pilihan evakuasi demi diri mereka sendiri. Mereka tidak mau hidup mereka menjadi lebih sulit lagi karena harus menanggung hidup orang-orang dari lingkaran kedua.

Menyedihkan ya? Di adegan itulah celetuk itu muncul. Anak saya bertanya kenapa sikap mereka seperti itu. Sikap seperti itu sudah pernah muncul di musim 2, tapi orang yang melakukannya adalah pengusaha yang sekadar mengutamakan harta bendanya. Dampak negatif keegoisan si Pengusaha tidak masif seperti keegoisan para pejabat. Dampak yang masif itu sepertinya menjadi pemicu bagi salah satu anak saya sehingga mereka merasakan ketidakwajaran keputusan itu.

Ekspresi anak saya saat itu agak lucu. Celetuk dia begitu polos dan tulus bertanya kenapa orang-orang itu bisa mengabaikan begitu banyak nyawa demi kepentingan segelintir orang. Saya pun "terpaksa" menjelaskan kepadanya bahwa kondisi itu nyata. Contoh yang paling nyata adalah adanya korupsi di tengah pandemi Covid-19. Hal yang lebih parah lagi adalah korupsi itu dilakukan pada dana bantuan sosial untuk penanganan Covid-19.

Saya jelaskan lebih jauh lagi bahwa hal itu pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kelakuan seorang anak yang sembunyi-sembunyi main gim dan berbohong untuk menutupinya. Prinsipnya sama: ada nafsu yang tidak bisa diredam, lalu melakukan segala cara untuk memenuhi nafsu itu. Saya sampaikan itu sambil tersenyum lebar, sementara anak saya tersenyum getir karena sadar dirinya sedang disindir.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Kami hanya berhenti menonton sejenak untuk membahas itu semua. Kami segera melanjutkan menonton. Mudah-mudahan saja diskusi ringan-tapi-berat itu dapat mereka ingat dan membawa dampak positif terhadap hidup mereka. Paling tidak mereka tidak perlu kaget lagi kalau kemunafikan sejenis muncul lagi di episode-episode AoT selanjutnya atau bahkan di episode-episode hidup mereka di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar