Senin, 24 Oktober 2011

Rumahku Nerakaku

Kehidupan rumah tangga itu tidak selalu menyenangkan. Nenek-nenek saja tahu akan hal ini. Koreksi: Justru nenek-nenek (yang punya segudang pengalaman) yang paling tahu akan hal ini. Hanya saja, dari semua orang yang tahu akan hal ini, tidak semua orang mau berbagi tentang masalah rumah tangga mereka. Di lain pihak, tidak sedikit orang yang tidak segan-segan berbagi tentang masalah ini. Tidak percaya? Tengok saja timeline di jejaring sosial kesayangan Anda.

Kembali ke topik pembicaraan: Neraka.

Ada banyak hal yang dapat mengubah rumah tangga tercinta kita menjadi neraka. Mulai dari yang paling muda sampai yang paling tua, tidak ada yang benar-benar bebas dari andil mereka membentuk neraka di rumah tangga kita. Kita sendiri pun termasuk di dalam daftar penyebab munculnya neraka itu. Akan tetapi, saya tidak akan mulai dari diri sendiri. Harap maklum. Manusia tidak pernah lepas dari ego yang membuat kita lebih mudah menyalahkan orang lain daripada menyalahkan diri kita sendiri.

Dari istri, anak-anak, orang tua, mertua, sampai pembantu; semua pihak memiliki cara mereka sendiri untuk mengubah rumah tangga kita menjadi neraka. Kadang kita bertengkar dengan istri, kadang anak-anak bertingkah tidak karuan dan menyebalkan, kadang orang tua kita terlalu mencampuri urusan kita, kadang mertua berbeda pendapat dengan kita, kadang pembantu kita membuat masalah yang tidak-tidak; sepertinya selalu saja ada masalah di rumah kita. Kadang masalahnya menumpuk begitu banyak dan membuat kita enggan tinggal di rumah.
Api
Dalam kondisi seperti di atas, kebaikan (kebahagiaan) yang muncul di tengah keluarga kita akan hilang seketika karena tertutup emosi kita. Senyum anak-anak menjadi hambar, kebaikan-kebaikan istri tidak lagi terasa manis, hal-hal baik yang dilakukan orang tua atau mertua pun tidak berarti, apalagi pembantu. Emosi kita senantiasa menghalangi semua kebaikan yang ada untuk mencapai hati kita. Sebegitu gelapnya hati kita sampai akhirnya kita pun merasa putus asa.

Saat rasa putus asa ini muncul, berbagai bentuk pelarian pun mulai terbayang. Mulai dari keinginan untuk pergi dari rumah sampai keingian untuk pergi dari dunia (alias bunuh diri). Pilihan bentuk pelarian ini tentu saja sangat erat kaitannya dengan tingkat stres yang dialami orang terkait. Pelarian dari stres yang ringan mungkin cukup dengan "kabur" sebentar, sementara bunuh diri biasanya menjadi pilihan pelarian dari stres yang berat bin akut.

Empat paragraf di atas adalah gambaran neraka yang saya maksud. Dalam tulisan ini, gambaran neraka itu saya batasi di dalam rumah seseorang yang sudah menikah, memiliki anak, dan tinggal satu rumah dengan orang tua/mertua. Tentu saja gambaran neraka ini tidak sama bagi semua orang, tapi saya yakin banyak orang yang sudah mengalami neraka yang sama.

Lalu?

Di antara semua orang yang pernah (dan akan) hidup di dalam neraka seperti di atas, tidak semuanya memiliki sikap yang sama. Ada yang memutuskan untuk tetap lari, ada yang memutuskan untuk berbalik dan mencoba memadamkan api neraka itu. Seriously? Betul sekali. Api neraka di rumah tangga kita umumnya masih dapat dipadamkan. Hanya saja proses pemadamannya membutuhkan dedikasi dan komitmen dari semua pihak yang terkait.

Alasan seseorang untuk tetap berlari itu bervariasi. Mungkin saja masalah yang dihadapi terlalu berat untuk diatasi. Mungkin saja jalan keluar yang dicari tidak pernah ditemukan. Mungkin saja orang yang bersangkutan tidak menemukan bantuan yang dia butuhkan untuk memecahkan masalahnya. Mungkin saja orang yang bersangkutan tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk mengatasi masalahnya sendiri. Dan masih banyak kemungkinan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Intinya tetap satu: kabuuur.
Fight for Kisses
Yang lebih menarik untuk dibicarakan adalah alasan seseorang untuk berbalik dari pelariannya dan menghadapi masalahnya sampai tetes darah penghabisan. Kenapa? Karena bertarung itu lebih jantan. Sayangnya bukan itu alasan saya. Berhenti berlari dan menghadapi masalah adalah bukti keberanian seseorang. Berhasil atau tidaknya masalah diselesaikan itu urusan nanti.

Sebelum tulisan ini tambah melebar, kita kembali kepada topik tulisan ini: rumah yang menjadi neraka. Bagaimana cara kita memadamkan api yang membara di tengah-tengah rumah tangga (keluarga) kita? Bagaimana cara kita mengembalikan kesejukan dan kedamaian di dalam rumah kita? Haruskah kita mulai dari diri kita sendiri?

Rasanya tulisan ini akan menjadi panjang.

Bagi saya pribadi, setiap masalah itu hanya dapat diselesaikan bila kita memiliki determinasi yang cukup untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah dalam keluarga kita, kita butuh alasan yang kuat untuk mempertahankan keutuhan keluarga kita. Tanpa alasan yang tepat (dan kuat), kita tidak akan pernah memiliki determinasi yang kuat saat menyelesaikan masalah kita. Jadi, layak atau tidak keluarga kita dipertahankan, itulah pertanyaannya.

Kalau jawaban dari pertanyaan itu adalah "layak", langkah selanjutnya adalah introspeksi diri. Betul sekali; introspeksi diri. Kita perlu menenangkan diri dan meredam emosi kita sehingga kita dapat berhenti menyalahkan orang lain dan memulai perbaikan dari diri kita sendiri. Dengan meredam emosi, mata hati kita akan menjadi lebih jernih untuk memahami inti masalah yang kita hadapi.

Anger Management
Meredam emosi memang bukan hal yang mudah. Salah satunya adalah lewat pelarian tadi. Jadi, intinya tetap lari dari masalah? Memang benar begitu. Perbedaannya adalah lari di sini hanya untuk sementara. Lari di sini hanya untuk menenangkan diri dan mengembalikan energi kita untuk kembali menghadapi masalah kita. Kita sama-sama tahu bahwa memaksakan diri menghadapi masalah hanya akan membuat kita lelah. Kita butuh istirahat, hati kita pun butuh istirahat. Kita butuh pengalihan dan melarikan diri untuk sementara adalah metode pengalihan yang cukup handal.

Cara yang lain untuk meredam emosi adalah dengan bercerita. Ada kalanya kita perlu berbagi masalah kita dengan orang lain untuk meredam emosi kita. Dengan menceritakan masalah kita kepada orang lain, kita sedang berbagi beban di pundak kita. Saat beban di pundak itu kita lepaskan, saat itu juga emosi kita ikut mereda dengan sendirinya.

Masih ada cara lain untuk meredam emosi ini. Saya bahkan sempat menuangkannya dalam tulisan Menyiasati Marah dalam Keluarga (bagian 1, bagian 2,  bagian 3, bagian 4). Saya pun pernah mendengar kicauan seorang teman, "gw sih biasanya push-up," saat sedang membicarakan cara-cara mengelola emosi. Rasanya setiap orang punya cara yang tepat guna untuk meredam emosi masing-masing.

Dengan emosi yang reda, kepala yang dingin, dan hati yang bersih, jalan keluar akan lebih mudah ditemukan. Introspeksi diri akan menjadi lebih mudah dilakukan. Kita akan menemukan kesalahan-kesalahan dalam diri kita sendiri. Kita akan melihat seberapa besar peran kita dalam menciptakan neraka di dalam rumah kita sendiri. Dengan begitu, kita pun akan lebih objektif menilai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga kita (termasuk pembantu). Kita pun dapat memilah antara kesalahan yang kecil dan tidak perlu diperpanjang dengan kesalahan yang besar dan perlu ditindaklanjuti. Lalu sedikit demi sedikit, api neraka di rumah tangga kita pun akan segera padam.

Padamnya api neraka rumah tangga ini sebenarnya sudah mulai terjadi saat kita sedang meredam emosi. Kenapa? Karena neraka yang ada di dalam rumah tangga kita sebenarnya ada di dalam hati kita. Emosi kita yang membuat rumah tangga kita terasa panas. Emosi kita yang membuat kita ingin segera pergi dari rumah kita. Emosi kita yang membuat kita ingin terus berlari menjauh dari rumah kita. Emosi kita juga yang membuat kita kehilangan harapan. "Rumahku Nerakaku" itu adalah halusinasi yang dibentuk oleh emosi kita sendiri.

Walaupun begitu, masih banyak rumah tangga lain yang benar-benar menjadi neraka bagi penghuninya. Neraka-neraka ini tidak semuanya sebatas halusinasi yang mudah diatasi dengan meredam emosi dan introspeksi diri. Neraka-neraka ini benar-benar nyata dan terbentuk oleh berbagai masalah rumah tangga yang tidak ada habisnya (atau sulit ditemukan jalan keluarnya). Saya tidak akan berkomentar banyak mengenai neraka-neraka ini karena tulisan ini sendiri sudah sangat panjang. Untuk saat ini, saya hanya bisa mendo'akan agar setiap neraka dalam rumah tangga itu dapat dikembalikan ke fitrahnya sebagai surga atau sekalian dibubarkan sehingga tidak menelan lebih banyak korban jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar