Selasa, 21 Desember 2010

Mengenali Masalah Anak dengan ROCCIPI

0 opini
Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang Hukum dan Kebijakan Publik. Salah satu topik yang dibahas di dalam pelatihan itu adalah metode ROCCIPI. Metode ROCCIPI ini adalah sebuah metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Jangan sampai sebuah peraturan baru diterbitkan, tapi tidak menyelesaikan masalah sosial yang ada.

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai hukum dan kebijakan publik atau penerapan ROCCIPI dalam mengenali masalah sosial tersebut. Tulisan ini justru ingin memperlihatkan bagaimana metode ROCCIPI itu dapat diterapkan dalam mengenali -dan pada akhirnya mengatasi- masalah dalam keluarga; terutama yang terkait dengan anak-anak.

ROCCIPI adalah singkatan dari Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology. Metode ini mengidentifikasi sumber masalah dari 7 (tujuh) sudut pandang, yaitu peraturan, kesempatan, kapasitas, komunikasi, minat, proses, dan ideologi. Masing-masing sudut pandang itu diteliti lebih jauh untuk menemukan sumber masalah sosial yang terjadi.

Sudut pandang di atas pun dapat diterapkan dalam mengenali masalah dalam keluarga. Misalkan anak kita mulai merokok. Apakah ini sebuah masalah dalam keluarga? Kalau memang iya, coba kita analisa sumber masalahnya dengan metode ROCCIPI. Contoh pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah sebagai berikut:
  1. Apakah aturan dalam keluarga memperbolehkan anak kita merokok?
  2. Apakah kondisi yang menyebabkan anak kita mendapatkan kesempatan untuk merokok?
  3. Apakah anak kita memang memiliki kapasitas untuk merokok?
  4. Apakah kita (orang tua) kurang mengkomunikasikan bahaya merokok?
  5. Mengapa anak kita berminat merokok?
  6. Bagaimana bentuk pemahaman anak kita tentang rokok?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu dapat diperluas atau diperdalam tergantung dari masalah yang dihadapi dan kondisi saat masalah itu terjadi.

Yang ingin saya garis bawahi sebenarnya bukan pada 7 (tujuh) sudut pandang tersebut. Yang lebih penting untuk diperhatikan oleh setiap orang tua adalah bagaimana caranya melihat sebuah masalah secara komprehensif. Orang tua pada umumnya melihat sebuah masalah terjadi karena kurangnya peraturan. Padahal pada kenyataannya, peraturan itu hanya menjadi salah satu sumber masalah.

Mungkin saja faktor kuat masalah merokok di atas adalah kesempatan. Dengan begitu yang perlu dilakukan adalah membantu anak kita mengurangi interaksi dengan lingkungan perokok. Mungkin saja faktor lain adalah komunikasi atau kapasitas. Anak kita mungkin belum paham mengenai bahaya merokok atau kita kurang mengkomunikasikan bahaya merokok kepada anak kita.

Ada banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam memecahkan masalah keluarga. Orang tua sebaiknya tidak terpaku pada peraturan dan peraturan saja. Metode ROCCIPI ini menegaskan bahwa sumber masalah itu tidak hanya terkait dengan peraturan dan masalah pun dapat diselesaikan tanpa harus membuat peraturan yang baru.

Perlu diperhatikan bahwa dengan sekedar menerapkan peraturan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan sekedar membuat peraturan, kita gagal melihat sumber masalah dan pada akhirnya gagal menyelesaikan masalah dari sumbernya. Dalam kondisi memaksakan peraturan seperti itu, pelanggaran terhadap peraturan kemungkinan besar akan terjadi karena sumber masalahnya masih ada.

Menjadi orang tua yang tegas, adil, dan konsisten bukan berarti menjadi orang tua yang terus-menerus membuat dan menerapkan aturan untuk mengarahkan dan mengatasi masalah dalam keluarganya. Seperti halnya metode ROCCIPI di atas, kita perlu berusaha menemukan sumber masalah dalam keluarga dan mencoba menyelesaikan masalah langsung dari sumbernya.

Rabu, 15 Desember 2010

Tegas, Adil, dan Konsisten

2 opini
Saya bukan bermaksud untuk kampanye atau bermaksud membicarakan tentang pemilihan umum. Tiga kata di atas memang dapat dijadikan kriteria pemimpin yang baik, tapi dalam tulisan ini saya bermaksud untuk berbagi tentang pola mendidik anak; tepatnya anak laki-laki.

Tegas
Tegas bukan berarti keras. Ini adalah salah satu kesalahan persepsi yang umum. Saya mendefinisikan tegas sebagai sikap kuat dalam mempertahankan pendapat, tapi pada saat yang bersamaan juga berpikiran terbuka. Menjadi ayah yang tegas berarti menyampaikan keinginan kita dan mengatur perilaku anak seraya mendengarkan apa yang ada dalam pikiran anak itu sendiri.

Bila kita hanya mendengarkan apa yang ada dalam pikiran kita sendiri, ini berarti kita sedang menjadi ayah yang keras. Umumnya kondisi ini akan menjadi lebih parah bila kita mudah marah. Yang terjadi saat anak kita menolak keinginan kita adalah bentakan atau bahkan pukulan terhadap anak. Kondisi inilah yang membuat hubungan ayah dan anak memburuk.

Akan tetapi bila kita terlalu sering mendengarkan kemauan anak, ini sama saja dengan membesarkan anak untuk menjadi pribadi yang manja. Anak kita akan memiliki semakin banyak kemauan dan akan semakin sulit mendengarkan kata-kata kita sebagai ayahnya. Kondisi ini seringkali berujung pada bentakan atau bahkan pukulan seperti di atas.

Ayah yang keras atau anak yang manja bukanlah hasil yang kita harapkan. Untuk itulah kita perlu mengedepankan sikap tegas karena ketegasan itu adalah jalan tengah untuk menghasilkan ayah yang pengertian dan anak yang penurut. Dua hal itu adalah bentuk nyata keberhasilan mendidik anak yang diharapkan baik oleh si Ayah maupun oleh si Anak.

Adil
Untuk menjadi seorang ayah yang tegas itu harus bersikap adil. Sikap adil ini memiliki korelasi yang kuat dengan sikap tegas, karena tidak mungkin seorang ayah menemukan jalan tengah saat berseberangan dengan anaknya tanpa sikap adil. Hal ini disebabkan karena anak kita membutuhkan aturan yang adil. Tanpa aturan yang adil ini, kemungkinan besar anak kita akan berontak.

Setiap sebab ada akibat, setiap pilihan ada konsekuensi, setiap aksi ada reaksi. Aturan main tersebut perlu kita kedepankan, baik terhadap anak kita atau terhadap diri kita. Itu artinya saat kita menginginkan sesuatu, kita perlu merelakan sesuatu. Sebaliknya saat anak kita menginginkan sesuatu, anak kita pun perlu merelakan sesuatu.

Saat keinginan anak datang bertubi-tubi, kita atasi dengan pilihan. Anak-anak saya sering meminta lebih dari satu hal pada saat yang bersamaan. Pada saat seperti ini, saya memberikan pilihan. Umumnya saya meminta anak-anak saya untuk memilih setengah dari apa yang mereka mau atau paling tidak saya meminta mereka memilih satu dari apa yang mereka mau. Dalam hal ini, selain berusaha untuk bersikap tegas dan adil, saya juga ingin mengajarkan anak saya untuk tidak serakah.

Saat keinginan kita berseberangan dengan keinginan anak, kita atasi juga dengan memberikan pilihan. Contohnya saat kita ingin istirahat dan anak kita minta digendong. Dalam kondisi seperti ini saya kerap membuat pilihan. Dalam contoh istirahat dan gendong tadi, saya meminta anak saya untuk memilih dipangku atau tidak digendong sama sekali. Kemungkinannya anak saya benar-benar memilih adalah 50-50. Kadang anak saya setuju untuk dipangku, kadang anak saya kekeuh minta digendong. Biasanya saya memberi bonus di pilihan pangkuan itu, misalnya dengan menyuapi makanan atau sambil bermain. Dengan begitu kemungkinan anak-anak saya bersedia dipangku menjadi besar.

Konsisten
Bersikap tegas dan adil memang tidak mudah. Dua contoh kecil di atas pun tidak bermaksud untuk memberi kesan mudah dalam mengatur dan mendidik anak. Meminta anak saya untuk memilih 2 dari 4 atau 1 dari 2 pilihan mereka bukanlah hal yang mudah. Meminta anak saya untuk memahami kondisi kita sehingga mau menerima tawaran pilihan dari saya juga bukan hal yang mudah. Akan tetapi, konsistensi pada sikap tegas dan adil di atas sangat membantu.

Untuk membuat sikap tegas dan adil itu membuahkan hasil dalam proses mendidik anak, kita membutuhkan sikap konsisten. Saat kita sudah memberikan pilihan, usahakan untuk tidak merubahnya. Hindari mengingkari janji memberikan sesuatu kepada anak. Hindari membuat anak kecewa karena dia tidak mendapatkan apa yang dijanjikan. Hindari menarik kembali hukuman yang seharusnya diterima oleh anak. Hindari membuat anak ngelunjak karena menganggap ancaman hukuman dari kita hanya gertak sambal.

Sikap tegas, adil, dan konsisten adalah tiga sikap yang saya tekankan pada diri saya saat mendidik kedua anak laki-laki saya.[1] Hal ini disebabkan karena anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk patuh kepada aturan yang dibuat oleh orang yang dihormati mereka. Anak laki-laki membutuhkan aturan yang jelas untuk mengarahkan hidup mereka dan aturan itu harus merupakan aturan yang adil. Oleh karena itu saya merasa perlu bersikap tegas, adil, dan konsisten dalam membuat aturan main dalam keluarga.

Hindari menuruti semua keinginan anak dan hindari pula memaksakan semua keinginan kita sebagai ayah. Dengarkan apa keinginan anak dan -bila memungkinkan- sampaikan pula keinginan kita. Dengan begitu kita sudah membuka jalan untuk menjadi seorang ayah yang tegas dengan aturan yang adil. Setelah itu kita pertahankan langkah kita menuju sikap tegas dan adil itu dengan bersikap konsisten.

Itu saja yang bisa saya sampaikan dalam tulisan ini. Semoga dapat membantu pembaca, terutama diri saya sendiri, dalam mendidik anak laki-laki mereka. Saat tulisan ini dibuat, kedua anak laki-laki hampir mencapai usia 2 tahun 6 bulan. Saya masih memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk mempelajari dan menerapkan pola pendidikan anak yang baik; insya Allah.

--
[1] Perlu diperhatikan bahwa cara mendidik anak perempuan sebaiknya dibedakan dengan cara mendidik anak laki-laki, tapi saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.

Selasa, 07 Desember 2010

Tahun Baru, Semangat Baru

0 opini
Momentum. Saya yakin semua orang pernah menggunakan kata ini. Setiap orang memiliki waktu dan kesempatan masing-masing untuk dijadikan tonggak atau penanda untuk sebuah perubahan yang umumnya berjalan ke arah yang lebih baik. Ibarat tim nasional sepakbola Indonesia yang ingin menjadikan AFF Suzuki Cup 2010 sebagai momentum untuk membuktikan bahwa mereka dapat dibanggakan oleh setiap warga negara Indonesia.

Tanggal 1 Muharram 1432 H ini pun dapat dijadikan momentum untuk perbaikan karakter, semangat, dan orientasi dalam hidup kita masing-masing. Kita dapat melihat satu tahun -atau bertahun-tahun- ke belakang untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang dapat kita perbaiki dan kekuatan-kekuatan yang dapat kita asah lebih lanjut. Dalam waktu yang sama, kita dapat melihat kesempatan-kesempatan yang belum sempat kita jamah dan peluang-peluang lain yang dapat kita lakukan.

Entah itu dalam peran kita sebagai suami, ayah, anak, saudara, atasan, bawahan, rekan kerja, pengusaha, pemilik saham, atau berbagai peran lainnya, selalu ada waktu untuk introspeksi demi masa depan yang lebih baik. Bahkan dalam masing-masing peran itu pun masih banyak parameter lain yang dapat kita perbaiki atau kita tingkatkan kualitasnya. Hal ini khususnya berlaku untuk diri saya sendiri.

Saya bermaksud mengurangi kebiasaan saya untuk membaca manga. Saya benar-benar harus melakukan kontrol yang kuat untuk kebiasaan ini karena metode Kendali Kosong tidak dapat saya terapkan. Untuk seri-seri yang panjang, kebiasaan ini bisa menghabiskan waktu yang signifikan. Sementara saya sendiri merasa waktu untuk membaca manga itu dapat saya manfaatkan untuk membaca buku yang lebih bermanfaat.

Hal lain yang ingin saya lakukan adalah mempelajari bahasa Arab. Bukan karena saya akan bekerja di daerah yang menggunakan bahasa Arab, tapi karena saya merasa mempelajari bahasa Arab akan membuat saya lebih menikmati Al Qur'an. Saya kerap merasa bahwa mengerti apa yang tersurat -atau tersirat- dalam Al Qur'an akan menjadi nilai tambah yang signifikan dalam menikmati lantunan ayat-ayat Al Qur'an.

Masih ada hal lain yang ingin saya capai, tapi saya tidak ingin tulisan ini menjadi terlalu panjang. Dua contoh di atas saya paparkan dengan maksud untuk menegaskan bahwa "Semangat Baru" yang tercantum dalam judul tulisan ini memang merupakan refleksi dari harapan saya sendiri.

Satu hal lain yang pasti adalah perubahan dalam perilaku blogging. Seperti yang pernah saya tulis di Tutup Tahun Blogging pada akhir tahun lalu, blogging merupakan alternatif yang sehat untuk menyalurkan waktu luang saya. Namun akhir-akhir ini saya merasakan aktifitas blogging saya semakin tidak terkontrol dan tanpa arahan yang jelas. Niat saya untuk saat ini adalah lebih fokus pada beberapa blog saja, terutama asyafrudin.blogspot.com dan asyafrudin.posterous.com, karena saya merasa kedua blog itu yang paling merepresentasikan diri saya. Dengan "spesialisasi" seperti ini, seharusnya nilai tambah kedua blog itu dapat meningkat.

Masih banyak hal lain yang ingin saya sampaikan terkait dengan semangat baru ini, tapi saya yakin hal itu akan membuat tulisan ini bertele-tele. Tulisan ini ingin saya buat seringkas mungkin dengan maksud berbagi semangat baru di tahun baru Hijriyyah kali ini. Semoga kita semua senantiasa menjadi orang-orang yang beruntung, yaitu orang-orang yang hari esoknya lebih baik dari hari ini.

Minggu, 05 Desember 2010

Kendali Kosong (Zero Control)

2 opini
The best form of control is not having to control anything.
Bentuk pengendalian yang terbaik adalah dengan tidak mengendalikan apa pun. Dengan tidak mengendalikan apa pun, pengendalian yang kita lakukan dipastikan akan berjalan sempurna tanpa ada kegagalan sedikit pun. Kita tidak akan kesulitan mengendalikan candu bila kita tidak kecanduan. Kita tidak akan kesulitan mengendalikan kebiasaan kita bila kita tidak memiliki kebiasaan itu.

Bentuk pengendalian seperti itu (untuk selanjutnya kita sebut Kendali Kosong) memang bukan hal yang berlaku untuk banyak kondisi karena memiliki kecenderungan pasif atau bahkan negatif. Kalau kita berniat untuk tidak mengendalikan apa pun, itu sama saja dengan mengatakan kita berniat untuk tidak melakukan apa pun dalam hidup kita. Hal ini sama saja dengan sikap pemalas atau bahkan sama saja dengan tidak memiliki kehidupan.

Salah satu kondisi di mana metode Kendali Kosong ini saya terapkan adalah dalam berinteraksi dengan situs jejaring sosial. Situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter memungkinkan kita untuk mendekatkan yang jauh. Kita bisa berkomunikasi dengan semua teman kita walaupun jarak kita dengan teman-teman kita terpisah jauh. Komunikasi jarak jauh itu bisa kita lakukan dengan mudah, murah, dan -dalam beberapa kasus tertentu- menyenangkan.

Sayangnya akibat dari mendekatkan yang jauh itu, kita -secara sadar atau tidak sadar- dapat menjauhkan yang dekat. Tanpa kita sadari, kita bisa jadi sibuk dengan situs jejaring sosial itu di saat kita sedang berkumpul dengan keluarga kita. Pada akhirnya dunia maya menjadi lebih nyata ketimbang dunia nyata itu sendiri.

Lalu bentuk Kendali Kosong yang saya bicarakan ada di mana? Bentuk Kendali Kosong itu ada pada keputusan saya untuk tidak menggunakan smart phone seperti BlackBerry atau iPhone. Smart phone itu jelas mempermudah kita untuk mengakses situs jejaring sosial. Mudah dibawa, tidak perlu repot menyalakan dan mematikan, dan senantiasa terhubung ke Internet -kalau kita berlangganan. Dengan tidak memiliki smart phone, akses ke situs jejaring sosial sudah pasti terbatas. Saya tidak mungkin membawa netbook ke mana pun saya pergi. Sementara smart phone bahkan dapat dibawa ke (maaf) toilet.

Terlepas dari situs jejaring sosial, saya juga senang menghabiskan waktu dengan bermain game. Ini adalah satu alasan lain bagi saya untuk tidak memiliki smart phone. Saya tidak mau membentuk refleks membuka smart phone untuk bermain game saat saya misalnya sedang menunggu bersama istri saya, karena waktu menunggu itu bisa jadi lebih berharga bila saya manfaatkan untuk mengobrol dengan istri saya. Contoh lain adalah saat rapat. Tentu kecenderungan untuk tidak memperhatikan isi rapat yang membosankan akan menjadi lebih besar dengan kehadiran smart phone.

Contoh-contoh di atas tentu saja sifatnya spesifik, yaitu berlaku untuk kondisi-kondisi tertentu dan subjektif terhadap diri saya sendiri. Selain itu saya juga tidak bermaksud menafikan manfaat dari situs jejaring sosial dan kepemilikan smart phone. Saya yakin ada banyak manfaat dari smart phone karena kalau tidak mereka mungkin akan diberi nama "not so smart phone" atau "stupid phone" atau "silly phone" atau berbagai nama aneh lainnya.

Rabu, 10 November 2010

Mengenal Batasan Integritas

0 opini
Dalam kondisi ideal, integritas tidak mengenal batas. Sikap jujur dan profesional yang kerap kali disandingkan dengan integritas sudah sepantasnya tidak mengenal batas. Dapat dikatakan bahwa dalam kondisi ideal, pilihannya adalah menjaga integritas atau mati. Akan tetapi, dunia nyata bukanlah kondisi ideal.

Di dunia ini, integritas jelas mengenal batas. Kadang batasan itu diakibatkan oleh pengaruh eksternal, kadang batasan itu disebabkan oleh pengaruh internal. Masing-masing sisi, eksternal atau internal, memiliki variasinya masing-masing. Variasinya pun bergantung pada waktu dan tempat integritas itu diterapkan oleh seseorang.

Dalam dunia kerja, batasan integritas itu datang dari berbagai arah. Untuk bawahan, batasan integritas datang dari atasan. Bawahan akan menjaga sikap di hadapan para atasannya untuk menghindari hukuman. Untuk atasan, batasan integritas datang dari bawahan. Atasan senantiasa menjaga sikap untuk menghindari rasa malu di hadapan bawahannya. Rekan kerja pun memiliki pengaruh tersendiri. Seseorang bisa jadi menjaga sikap saat berada di sekitar rekan-rekannya.

Dengan pola yang pragmatis seperti itu, integritas menjadi salah satu topeng dalam panggung sandiwara pekerjaan atau kasarnya sebuah bentuk kemunafikan. Integritas hanya dijaga agar terhindar dari hukuman dan rasa malu. Saat seseorang merasa aman dari hukuman dan rasa malu ini, integritas tidak lagi penting untuk dipertahankan.

Saat integritas diperlakukan sebagai topeng, maka tidak heran bila kita melihat banyak pejabat korupsi. Tidak juga kita perlu heran melihat banyak orang selingkuh. Tidak perlu heran bila kita melihat banyak orang pergi meninggalkan kantornya saat jam kerja. Jangan pula heran saat berbagai bentuk penyimpangan, besar atau kecil, terus terjadi di sekitar kita.

Integritas sepantasnya dibatasi oleh diri kita sendiri. Bagi seorang muslim, integritas justru dibatasi oleh keberadaan Allah. Saya sendiri memilih Allah untuk mengawasi integritas saya karena saya sadar manusia itu sering dibohongi dirinya sendiri. Dengan kehadiran Allah dalam hidup saya, saya yakin tidak akan ada yang luput dari pengawasan. Kebohongan sekecil apa pun yang kita lakukan akan diketahui oleh Allah. Kebenaran sekecil apa pun yang kita lakukan akan diketahui oleh Allah. Kondisi seperti ini yang dapat membuat integritas menjadi tanpa batas karena tidak ada pengawas yang lebih baik selain Allah.

Saya sering tegaskan kepada diri saya bahwa istilah terlalu jujur itu sering dipakai secara berlebihan. Bila Anda membocorkan rahasia negara saat peperangan, Anda bisa dikatakan terlalu jujur. Saat Anda membeberkan lokasi keluarga Anda pada kelompok penculik, Anda bisa dikatakan terlalu jujur. Tapi saat Anda mengakui bahwa Anda terlambat masuk kantor saat rekapitulasi absensi mengatakan sebaliknya, ini adalah sebuah bentuk kejujuran; bukan terlalu jujur. Saat atasan tidak di tempat dan Anda bersikeras untuk tetap bekerja, ini adalah sebuah bentuk kejujuran; bukan terlalu jujur.

Bila semua orang membiasakan hidup jujur dimulai dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar, integritas akan terjaga dengan mudah. Dalam kondisi seperti ini, integritas berubah dari sekedar topeng menjadi bagian dari wajah -tidak akan lepas dalam kondisi apa pun. Dan dalam kondisi seperti ini, proses perbaikan individu, masyarakat, bangsa dan negara akan menjadi optimal.

Sudahkah kita hidup jujur hari ini?

Tulisan terkait:
Terlalu Jujur - http://asyafrudin.blogspot.com/2009/10/terlalu-jujur.html

Rabu, 27 Oktober 2010

Sulitnya Bersyukur

0 opini
Mungkin tidak semua orang setuju bila saya katakan bersyukur itu sulit. Memang apa susahnya mengucapkan pujian kepada Allah SWT bila kita mendapat nikmat? Di mana sulitnya mengucapkan "alhamdulillah" saat kita diberikan keberkahan oleh Allah SWT?

Bersyukur di saat kita mendapat nikmat itu memang mudah, tapi hakikat bersyukur yang saya maksud adalah bersyukur di setiap kondisi. Hal ini termasuk bersyukur di saat kita mendapat musibah, baik kecil maupun besar. Saya yakin bahwa setiap orang akan mengalami kesulitan untuk tetap memuji Allah SWT di saat kita menerima musibah.

Tingkat kesulitan bersyukur itu semakin tinggi akibat sifat kita yang mudah mengeluh. Saat kita sedang menghadapi masalah, keluhan lebih mudah keluar ketimbang ucapan syukur. Kadang dalam kondisi hidup yang buruk, pikiran untuk bersyukur justru tidak datang sama sekali.

Tidak perlu heran bila orang-orang yang senantiasa bersyukur itu lebih mulia di hadapan Allah. Saya rasa kemuliaan itu adalah predikat yang layak diterima oleh orang-orang yang senantiasa memuji Allah SWT. Sangat jauh berbeda dengan kita yang lebih sering mewarnai hidup kita dengan keluhan atau bahkan makian.

Perlu kita ingat bahwa Allah tidak akan membebani kita dengan sesuatu yang melebihi kesanggupan kita [1] karena Allah itu Maha Penyayang. Sulit dibayangkan Allah yang menyayangi kita itu akan mempersulit hidup kita. Kalau pun memang ada sebuah masalah yang tidak bisa kita atasi, itu hanya berarti bahwa kita gagal menghadapi ujiannya. Dari kegagalan itu kita masih bisa mengambil pelajaran untuk bersiap menghadapi ujian berikutnya. Bila kita berhasil menghadapi ujiannya, maka kita sudah berhasil meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Dan dengan kemuliaan yang lebih tinggi, kita harus siap menghadapi ujian yang lebih berat. Baik gagal maupun berhasil, kita bisa senantiasa bersyukur.

Musibah hanya akan berubah bentuk dari ujian menjadi peringatan bila musibah itu datang akibat perbuatan dosa kita. Musibah seperti ini datang untuk membantu kita kembali ke jalan hidup yang Allah ridhai. Kita patut mensyukuri datangnya peringatan ini walaupun kita harus kehilangan banyak hal. Ini pertanda bahwa kita masih memiliki kesempatan untuk bertaubat dan introspeksi diri.

Justru yang mengkhawatirkan adalah saat peringatan itu tidak lagi datang. Ini justru menandakan bahwa jalan hidup kita sudah melenceng terlalu jauh dan kita sudah terlalu cuek untuk melihat rambu-rambu yang ada. Dalam kondisi ini bukan tidak mungkin hidup kita akan penuh dengan kenikmatan dunia. Sayangnya kenikmatan dunia seperti ini hanya menunda datangnya siksa Allah yang pedih; entah di dunia, alam kubur, atau di neraka kelak.

Terlepas dari ujian dan peringatan, kita masih tetap bisa bersyukur. Saat kita mengeluh karena sering kehujanan saat mengendarai motor, ada orang yang kehilangan motornya. Saat kita mengeluhkan sulitnya mengelola pemasukan dan pengeluaran kita, ada orang yang harus dirawat di rumah sakit. Saat kita mengeluhkan sulitnya hidup kita, ada orang yang kehilangan nyawanya.

Saat kita mengeluh, ada nikmat yang kita lupakan. Saat kita mengeluh karena sering kehujanan, kita lupa bersyukur bahwa kita masih diberi nikmat sehat. Saat kita kesulitan mengelola pemasukan dan pengeluaran, kita lupa bersyukur bahwa kita masih memiliki pemasukan. Saat kita mengeluhkan hidup kita, kita lupa bersyukur bahwa kita masih hidup.

Ada beberapa hal yang dapat kita ambil dari paparan di atas agar kita bisa senantiasa bersyukur, yaitu:
  1. Bahwasanya setiap masalah yang kita hadapi adalah ujian.
  2. Bahwasanya setiap musibah yang kita hadapi adalah peringatan.
  3. Bahwasanya masih banyak orang lain yang nasibnya lebih buruk dari kita.
  4. Bahwasanya masih banyak nikmat yang patut kita syukuri.
Jadi pada dasarnya tidak ada yang menghalangi kita untuk senantiasa bersyukur dalam kondisi apa pun. Dengan senantiasa bersyukur, ketenangan hati dan pikiran akan lebih mudah dicapai. Pada akhirnya kebahagiaan yang hakiki akan dengan mudah terwujud dalam hidup kita.

--
[1] Al Quran Surat Al-Baqarah Ayat 286.

Kamis, 14 Oktober 2010

Geraham Bungsu, Bubur, dan Abon

10 opini
Akhirnya jahitan hasil operasi pencabutan gigi geraham bungsu saya pun dilepas. Hari-hari bersama bubur dan abon pun akhirnya secara resmi berlalu. Gigi geraham bungsu sebelah kiri bawah saya tidak lagi menjadi sumber masalah. Saat ini saya hanya perlu menunggu rasa tidak nyaman dalam mulut saya menghilang sedikit demi sedikit.

Saya memutuskan mencabut gigi geraham bungsu sebelah kiri saya karena gigi tersebut diduga menjadi penyebab rasa sakit gigi yang sesekali muncul belakangan ini. Gigi itu sebenarnya sudah lama tumbuh mendatar ke arah depan, tapi saya tidak menggubrisnya. Sebelumnya saya memang tidak mengalami masalah dengan gigi saya itu. Setelah saya mengambil rontgen panoramik untuk gigi saya. Terlihat bahwa gigi geraham bungsu sebelah kiri itu sudah mulai merusak gigi geraham di depannya.

Proses pencabutan gigi geraham bungsu itu saya lakukan di Poli Bedah Mulut Rumah Sakit Umum (RSU) Tangerang. Alasan utama saya memilih RSU Tangerang adalah biaya. Harapan saya dengan bermodal Askes, saya hanya perlu membayar biaya operasi sekitar 300 s.d. 500 ribu rupiah. Ternyata yang harus saya bayar adalah 550 ribu rupiah. Angka itu sudah bersih karena obat-obatan ditanggung penuh oleh Askes. Saya tetap bersyukur bahwa saya tidak perlu mengeluarkan uang sampai jutaan untuk operasi ini.

Persiapan sebelum operasi tidak ada sama sekali. Mungkin yang perlu dipersiapkan adalah mental kita sebelum operasi. Jangan sampai hati kita ciut di tengah jalan setelah melihat jarum suntik, bor, dan berbagai peralatan bedah mulut lainnya. Seorang teman yang pernah menjalani operasi yang sama sempat bercerita bahwa dia disarankan untuk makan terlebih dahulu sebelum operasi. Hal itu dilakukan agar pasien memiliki waktu toleransi yang lama untuk tidak makan/minum setelah operasi. Sayangnya teman saya ini bercerita setelah saya menjalani operasi itu.

Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Kendalanya hanya satu, yaitu saat saya merasa mual dan ingin muntah. Saya sendiri memang mudah mual dan membuka mulut dalam waktu yang lama serta rasa ngilu saat dibor benar-benar memicu rasa mual. Cara mengatasinya adalah dengan bernafas lewat hidung dan mencoba mengalihkan pikiran ke tempat lain. Salah satu dokter yang mengawasi sampai mengajak saya ngobrol untuk membantu mengalihkan pikiran saya.

Operasinya berlangsung cukup lama. Dokternya mengatakan hal itu disebabkan karena giginya terlalu besar sehingga tidak mudah diangkat. Giginya harus dipotong-potong dulu -ini alasannya kenapa perlu bor- sebelum dicabut. Jadi operasi saya yang lama itu masih wajar. Setelah gigi geraham bungsu saya berhasil dicabut, gusi saya pun dijahit. Setelah jahitan selesai, saya diminta menggigit kain kasa yang sudah dicelup bahan sejenis Betadine. Operasi pun selesai dan saya diperbolehkan pulang -untung tidak perlu rawat inap.

Yang kurang mulus dari keseluruhan proses operasi pencabutan geraham bungsu ini justru terjadi pada tahap penyembuhan. Dua hari setelah operasi, pendarahan kecil masih terjadi. Akhirnya saya kontrol kembali ke RSU Tangerang. Setelah konsultasi disimpulkan bahwa kemungkinan besar kelalaian ada pada pihak saya sendiri. Sepertinya saya terlalu sering berkumur sehingga luka pasca operasi itu sulit mengering. Dokter bedah mulut akhirnya memberikan resep obat untuk membantu menghentikan pendarahan.

Akhirnya semua beres dan saat ini jahitannya pun sudah dilepas. Setelah jahitan dilepas, perawat di Poli Bedah Mulut itu mengingatkan bahwa rasa tidak nyaman yang saya rasakan pasca operasi mungkin bertahan sampai satu bulan. Sepertinya saya akan menunggu rasa tidak nyaman itu hilang sebelum saya memutuskan untuk mencabut gigi geraham bungsu saya yang sebelah kanan.

--
Informasi lebih lanjut mengenai pencabutan gigi geraham bungsu: Gigi Geraham Bungsu, Perlukah Dicabut?

Selasa, 31 Agustus 2010

Dunia Wanita yang Memprihatinkan

5 opini
Seringkali saya merasa bahwa dunia saat ini masih memperlakukan wanita sebagai objek untuk meningkatkan daya tarik. Banyak iklan, dalam berbagai bentuk, yang menggunakan wanita sebagai modelnya walaupun pada kenyataannya tidak terlalu relevan. SPG (Sales Promotion Girl) tentunya lebih banyak terlihat ketimbang SPB (Sales Promotion Boy). Kelihatannya SPB lebih cenderung ditempatkan di gudang atau bagian angkut barang.

Untuk urusan bisnis, wanita pun punya andil yang signifikan. Saat mengajukan penawaran ke klien, sales wanita lebih diutamakan; apalagi kalau klien yang dituju adalah pria. Bagian layanan pelanggan pun umumnya mempekerjakan para wanita untuk menerima keluhan pelanggan. Alasannya kemungkinan besar karena suara wanita lebih enak didengar ketimbang suara pria.

Contoh-contoh di atas mungkin tidak representatif; atau bahkan salah. Mungkin saja para wanita lebih dihargai karena kemampuan dan prestasinya, tapi tetap saja penilaian terhadap wanita tidak lepas dari kondisi fisiknya. Entah itu parasnya, bentuk tubuhnya, suaranya, atau kondisi fisik lainnya, penilaian terhadap potensi wanita sepertinya sangat subjektif.

Eksploitasi terhadap wanita ini sudah membentuk opini umum tentang cantik dan seksi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Terbentuknya opini umum ini tentunya tidak lepas dari peran industri mode yang iklan-iklannya secara spesifik membentuk citra seorang wanita yang cantik dan seksi itu. Akhirnya para wanita berbondong-bondong merubah dirinya menjadi cantik dan seksi.

Saya pribadi tidak menentang usaha seseorang, baik pria maupun wanita, menuju keindahan diri. Hanya saja menurut saya usaha ini kerap berbalik menjadi memprihatinkan. Mereka yang berkulit hitam ingin berkulit putih hanya karena cantik itu identik dengan putih walaupun mereka yang mengeluarkan uang banyak untuk produk kecantikan. Mereka yang gemuk ingin menjadi lebih kurus hanya karena seksi itu identik dengan langsing. Mereka pun tak segan menjaga pola makan (kadang sampai ke titik ekstrim), membeli obat-obatan pengecil lingkar pinggang, dan mengikuti berbagai perawatan tubuh untuk mendapatkan tubuh yang langsing.

Tinggi badan pun tidak luput dari perhatian para wanita. Berhubung cantik dan seksi itu tidak lepas dari kata "semampai", banyak wanita pun mengejar tinggi badan yang memadai untuk melengkapi kulitnya yang putih dan badannya yang langsing. Putih, tinggi, langsing menjadi tiga kata yang krusial untuk mendefinisikan cantik dan seksi. Itu pun bila mereka tidak memasukan hal-hal sepele seperti bibir, hidung, alis mata, payudara, atau hal-hal sepele lainnya.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi di atas itu tidak kenal usia. Dari anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar sampai wanita yang sudah pantas dipanggil "nenek" hidup dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Anak SD sudah tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Nenek-nenek tetap tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Anak SD sudah akrab dengan dandanan. Nenek-nenek tetap berdandan layaknya wanita usia 30-an.

Dunia wanita begitu memprihatinkan. Keprihatinan ini mungkin akan lebih terasa saat kita mendengar komentar seorang pria jomblo yang tidak pernah puas dengan kecantikan gadis-gadis yang dikenalkan orang lain kepadanya. Hal ini tentu saja menjelaskan kenapa pria itu tetap jomblo. Rasa prihatin itu akan timbul saat kita mendengar kisah seorang suami yang selingkuh demi wanita yang lebih cantik. Belum lagi cerita bagaimana seorang wanita cerdas dan berprestasi tidak kunjung mendapatkan pasangan karena dirinya kurang cantik. Dan masih banyak lagi cerita-cerita memprihatinkan lainnya.

Entah siapa yang harus disalahkan atas terbentuknya dunia seperti itu? Dunia mode, dunia periklanan, dunia bisnis, para pria, atau para wanita itu sendiri? Entah ada berapa faktor yang akhirnya menyebabkan para wanita harus bersaing untuk terlihat cantik dan seksi. Satu hal yang pasti, para pria punya andil. Mereka yang melihat wanita lewat syahwatnya dan mengukur potensi wanita lewat ukuran dada dan pinggulnya tentunya punya andil yang sangat besar.

Penulis pun seorang pria yang tidak lepas dari tanggung jawab itu, tapi tulisan ini bukan sebuah topeng kemunafikan yang dipakai saat menulis. Tulisan ini merupakan bagian dari proses introspeksi diri karena sebuah perubahan besar hanya dapat terjadi bila setiap orang yang terlibat mau melakukan perubahan yang sama pada dirinya sendiri.

Rabu, 18 Agustus 2010

Bajingan Bernama Pengendara Motor

7 opini
Dia yang nyelip, dia yang oleng, dia yang nyungsruk, dia yang marah. Berkendara tidak hati-hati tapi justru merasa orang lain yang harus lebih hati-hati. Jalanan seharusnya milik bersama tapi justru hanya orang lain yang harus mengalah. Sopan santun berkendara tertinggal di rumah. Yang dibawa dalam perjalanan hanya keegoisan semata. Bajingan!

Pengendara motor itu memang egois dan tidak tahu sopan santun. Mendahului dari berbagai sisi, melawan arus kendaraan seenak dengkulnya sendiri, menerobos lampu merah tanpa basa basi, memotong jalan orang tanpa permisi, dan berbagai bentuk keegoisan berkendara sudah menjadi citra para pengendara motor. Citra buruk ini yang membuat para pengendara kendaraan roda empat atau lebih (terutama mobil pribadi) memilih untuk mengalah dan membiarkan para pengendara motor itu semakin menggila. Bajingan!

Saya yakin tidak sedikit pengendara mobil yang lebih memilih mengalah dibandingkan harus berurusan dengan pengendara motor. Bagaimana tidak? Dalam sebuah kecelakaan antara mobil dan motor, kemungkinan besar pihak yang dinyatakan bersalah adalah pengendara mobil. Walaupun kecelakaan itu merupakan akibat dari kecerobohan pengendara motor, masyarakat pada umumnya tetap menyalahkan pengendara mobil. Ini pun salah satu faktor yang membuat para pengendara motor itu semakin menggila. Mereka dipenuhi kesombongan karena merasa dirinya akan dibela dalam kondisi apa pun. Bajingan!

Kombinasi dari sifat sombong dan egois itu yang membuat para pengendara motor itu terus tumbuh menjadi kumpulan bajingan. Hal ini berlaku benar terutama bagi mereka yang merasa dirinya hebat dan gemar tancap gas. Motor mereka modifikasi sedemikian rupa sehingga (mereka pikir) menyerupai motor balap. Jalan raya pun mereka jadikan arena balap. Setiap kendaraan mereka jadikan lawan tanding yang harus disalip walau harus mengorbankan nyawa. Sayangnya yang menjadi korban seringkali tidak hanya nyawa mereka sendiri, tapi juga nyawa orang lain. Bajingan!

Untunglah tidak semua pengendara motor itu bajingan. Masih ada pengendara motor yang mematuhi peraturan dan berkendara dengan penuh sopan santun. Masih ada pengendara motor yang memikirkan akibat dari cara berkendara yang sembrono sehingga mereka pun lebih berhati-hati.

Pada kenyataannya memang bukan pengendara motor yang merupakan bajingan. Bajingan-bajingan sombong dan egois ini ada di mana-mana. Ada yang berwujud pengendara motor, ada yang berwujud pengendara motor gede, ada yang berwujud pengendara mobil, ada yang berwujud pengendara angkutan umum, ada yang berwujud pengendara truk, dan berbagai wujud lain. Tidak semua pengendara motor itu bajingan, tapi sebagian bajingan itu ada dalam wujud pengendara motor.

Bajingan-bajingan itu mungkin akan terus ada sampai akhir dunia ini. Kalau Anda adalah salah satunya dan masih memiliki sedikit kesadaran akan sopan santun dan toleransi, maka berubahlah. Saya yakin dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman bila jumlah bajingan di dunia ini berkurang.

Kamis, 12 Agustus 2010

Kepercayaan Pangkal Keharmonisan

0 opini
Seorang calon suami mengajak saya diskusi. Ajakannya agak mendadak karena memang waktunya sudah mendesak. Calon suami ini tidak lama lagi akan melamar calon istrinya. Lamaran yang dimaksud adalah lamaran skala besar, yaitu saat keluarga calon suami secara resmi mendatangi keluarga calon istri untuk melakukan lamaran. Saya sebut mendesak bin mendadak karena menjelang waktu lamaran ini calon suami tersebut masih saja gundah. Ada satu hal yang mengganjal di hati calon suami ini. Satu hal yang krusial. Satu hal yang vital. Satu hal yang terkait erat dengan kepercayaan calon suami kepada calon istri tersebut.

Masalahnya berputar sekitar pergaulan. Untuk mempersingkat cerita, masalah ini terkait dengan lingkungan pergaulan calon istri. Calon istri ini tidak memiliki batasan tertentu dalam pergaulan. Dia bisa berteman dengan wanita dan pria. Bahkan salah satu teman dekatnya adalah seorang pria. Calon istri ini (sebagaimana manusia pada umumnya) memiliki lingkaran kecil pertemanan. Lingkaran kecil ini seringkali meluangkan waktu bersama-sama. Makan siang, tukar pikiran (baca: ngobrol), dan berbagai aktifitas lain sering mereka lakukan bersama.

Calon suami tidak merasa nyaman dengan pola pergaulan calon istri. Walau berkali-kali calon istri menegaskan bahwa pergaulannya tidak akan menjadi "penghalang", calon suami ini masih tidak bisa meyakinkan hatinya. Bagi sebagian orang mungkin calon suami ini akan terlihat posesif atau kolot. Akan tetapi pada kenyataannya calon suami ini hanya sekedar berhati-hati. Bagi saya ini adalah hal wajar melihat pergaulan sudah semakin bebas dan perselingkuhan sudah semakin terlihat biasa.

Dalam hal ini saya memihak calon suami. Mengarungi lautan pernikahan tanpa rasa saling percaya yang memadai antara suami dan istri kelak akan mengundang badai. Ombak akan senantiasa terlihat besar dan langit akan senantiasa gelap. Keharmonisan rumah tangga akan selalu ada di ujung tanduk bila ikatan dalam rumah tangga itu terjalin tanpa didasari kepercayaan. Dukungan ini bukan semata-mata karena saya adalah seorang pria. Dukungan ini datang karena keyakinan saya akan pentingnya membentuk rasa saling percaya antara suami dan istri.

Dalam usaha untuk membentuk kepercayaan itu terdapat dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Baik istri maupun suami memiliki kedua kewajiban itu. Seorang suami wajib mempercayai istrinya dan sebaliknya seorang istri wajib membuat dirinya dapat dipercaya oleh suaminya. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya.

Di antara kedua kewajiban itu, kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain ada di atas kewajiban untuk mempercayai orang lain. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini sudah melakukan kewajibannya untuk menjaga batasan dalam bergaul. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini memilih untuk tidak memiliki sekretaris wanita. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini tidak bepergian tanpa alasan yang kuat dengan pria lain. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini tidak membuat-buat alasan saat sulit dihubungi.

Kembali ke masalah calon suami di atas, saya justru merasa calon istri di atas perlu melakukan kewajibannya untuk membatasi pergaulannya. Dengan begitu calon istri ini sudah melakukan kewajibannya untuk membuat dirinya dapat dipercaya. Bila hal ini sudah dilakukan, maka calon suami ini pun wajib mempercayai calon istrinya tanpa kecuali. Kalau memang hal di atas sulit diwujudkan, saya pribadi lebih memilih agar pernikahan mereka dibatalkan.

Kondisi di atas bukan kondisi luar biasa. Kenyataannya masalah kepercayaan ini sudah menjadi masalah yang lumrah dalam sebuah ikatan pernikahan; terutama SETELAH ikatan pernikahan itu terjalin. Saya sendiri pernah menemukan kondisi yang mirip dengan kondisi calon suami istri di atas. Perbedaannya adalah pasangan yang terlibat bukan lagi calon -mereka sudah menikah. Dalam hal ini tentunya saya tidak cenderung ke arah membatalkan pernikahan.

Untungnya dengan pasangan di atas kondisinya relatif lebih mudah. Pihak istri berkenan mengambil inisiatif untuk membatasi pergaulannya dengan teman-teman prianya. Dengan begitu lebih mudah bagi pihak suami untuk menghilangkan kegundahan hatinya dan kembali mempercayai istrinya. Saya tidak sampai hati membayangkan seandainya pihak istri tetap bersikeras dengan pola pergaulannya.

Masalah kepercayaan memang masalah yang sensitif dan tidak berlaku hanya di dunia pernikahan saja. Hubungan pertemanan, hubungan kerja, hubungan bisnis, dan berbagai bentuk hubungan lain tentu mengandalkan kepercayaan untuk membentuk keharmonisan. Tidak mungkin ada orang yang mau berteman dengan pengkhianat, tidak mungkin ada orang yang mau bekerja dengan orang yang tidak dapat dipercaya, tidak mungkin ada orang yang mau berbisnis dengan orang yang reputasinya meragukan.

Sementara dalam pernikahan itu sendiri, kepercayaan tidak hanya berkutat pada masalah pergaulan saja. Kepercayaan juga terkait erat dengan pengelolaan keuangan keluarga, pola pendidikan anak, hubungan dengan keluarga besar, dan berbagai hal lain. Saya yakin sulit rasanya mempercayai pasangan yang boros, sering tidak terus terang, asal-asalan mendidik anak, atau risih dengan kehadiran mertua.

Memang tidak semua orang mengalami masalah kepercayaan yang sama karena kemampuan memberikan kepercayaan masing-masing orang itu berbeda. Akan tetapi saat berhadapan dengan masalah kepercayaan, maka kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan cerita di atas. Semuanya akan kembali kepada kedua kewajiban yang disebutkan di atas, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Prioritasnya tentu saja pada kewajiban yang kedua.

Senin, 12 Juli 2010

The Amazing Coraline

0 opini
Judul tulisan ini seolah-olah menggambarkan bahwa tulisan ini adalah mengenai seorang pahlawan super (super hero) bernama Coraline. Namun demikian, saya yakin setiap penggemar novel karya Neil Gaiman tahu persis siapa yang saya maksud dengan Coraline. Walaupun begitu, saya tidak bermaksud menulis tentang novel Coraline. Yang saya maksud dengan "amazing" adalah film Coraline yang merupakan adaptasi dari novel tersebut.

Coraline merupakan film dengan cerita yang sangat menarik. Ceritanya memiliki tema yang terkait dengan keluarga; sebuah tema yang senantiasa menarik perhatian saya. Film Coraline bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Coraline Jones yang menjauh dari ayah dan ibunya karena ayah dan ibunya dianggap tidak terlalu peduli kepada dirinya. Pada akhirnya dia menemukan ayah dan ibu baru yang identik dengan ayah dan ibunya yang asli. Lebih tepatnya Coraline menemukan dunia paralel yang berisi rumahnya, ayah ibunya, dan tetangga-tetangganya. Perbedaannya adalah dunia paralel yang ditemukan Coraline ini jauh lebih menyenangkan.

Kunjungan pertama Coraline memang mengejutkan. Apalagi bila setiap makhluk hidup (bukan hanya manusia) di dunia paralel itu memiliki mata berupa kancing baju. Akan tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Coraline tidak terlihat terganggu sama sekali dengan semua itu. Dia tidak terlihat memiliki masalah apa pun menatap kancing-kancing baju itu. Bahkan akhirnya dia memutuskan bahwa dunia paralel itu lebih menyenangkan ketimbang dunia yang sebenarnya.

Terus terang film itu mengingatkan saya agar lebih berhati-hati dalam bersikap untuk menjaga perasaan anak-anak saya. Agak menyedihkan juga melihat seorang anak lebih memilih orang tua dengan kancing baju sebagai mata mereka ketimbang orang tua anak itu sendiri. Semoga saja hal itu tidak perlu dialami oleh anak-anak saya kelak.

Kembali ke Coraline. Selepas masa-masa menyenangkan itu akhirnya Coraline dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Coraline harus memilih salah satu dari kedua dunia itu. Dunia nyata dengan ayah ibunya yang asli, yang jelas-jelas merupakan dunia yang membosankan dan tidak menyenangkan, atau dunia paralel yang merupakan dunia yang dia impikan selama ini.

Pilihannya memang sulit, tapi akhirnya Coraline memutuskan untuk kembali ke dunia nyata yang hambar bersama kedua orang tuanya. Akan tetapi, kepulangannya justru membawa dia ke dalam kondisi yang lebih sulit. Dunia paralel itu rupanya tidak pernah berniat melepaskan Coraline. Pada saat itu, Coraline justru dihadapkan kepada kondisi yang lebih sulit lagi. Untuk kelanjutannya saya persilakan untuk melihat sendiri film Coraline ini.

Bagi saya pribadi, hal yang paling menarik dari jalan cerita film Coraline adalah perubahan hati Coraline yang dimulai dari tidak menyukai hidupnya sampai akhirnya dapat kembali mencintai hidupnya. Coraline yang pada awalnya tidak masalah meninggalkan dunianya justru pada akhirnya dipaksa untuk berjuang mempertahankan dunianya itu. Pada akhirnya Coraline pun dapat menghargai setiap orang yang ada di sekelilingnya walaupun setiap orang itu memiliki keterbatasannya masing-masing.

Coraline adalah sebuah film keluarga yang menggugah; sama halnya dengan film Up.

Jumat, 09 Juli 2010

Terlambat Dewasa (3)

0 opini
Semakin kering segumpal tanah liat, semakin sulit tanah liat itu dibentuk. Hal yang sama berlaku juga untuk manusia. Semakin tua seseorang, semakin sulit baginya untuk belajar dan berubah. Kita semua tahu bahwa yang proses "menjadi dewasa" itu merupakan rangkaian perubahan yang harus dilalui seseorang dalam hidupnya. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, semakin sulit bagi diri orang itu untuk menjadi dewasa.

Bila seseorang sudah sebegitu sulitnya berubah menuju kedewasaan, maka orang itu sudah -atau sedang- memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Pada tahap ini, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk menolak setiap hal yang memaksanya -atau mengharapkannya- untuk berubah. Semakin besar tekanan untuk berubah, semakin besar pula penolakan yang diberikan orang itu.

Kondisi seperti ini dapat kita lihat dalam masyarakat. Contohnya seorang ayah yang hanya tahu bagaimana cara mencari uang dan bersenang-senang. Ayah seperti ini punya kecenderungan untuk mengajak anak-anaknya bersenang-senang dengan caranya sendiri. Cara bersenang-senang si Ayah ini mungkin saja tidak aman, tidak sehat, atau membawa dampak buruk terhadap anak-anaknya. Istrinya (si Ibu) tentu berharap si Ayah dapat merubah caranya bermain dengan anak-anaknya. Bila si Ayah ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa", maka semua anjuran dari si Ibu akan mental begitu saja.

Contoh lain adalah seorang pria yang sudah bekerja namun belum menikah. Pria yang sudah bekerja kemungkinan memiliki rasa kemandirian yang sangat tinggi. Kadang rasa kemandirian ini begitu tinggi sampai-sampai pria ini tidak lagi peduli apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya. Yang dia pedulikan hanyalah hal-hal yang penting bagi dirinya sendiri saja. Dia akan peduli apa kata atasannya karena dia ingin promosi, tapi dia tidak akan peduli apa kata orang tuanya karena dia merasa orang tuanya tidak bisa lagi mengatur dia. Dia akan peduli dengan apa yang dikatakan teman dekatnya, tapi tidak tidak akan peduli apa kata saudara-saudaranya karena dia merasa saudaranya tidak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Pria seperti ini bisa jadi memiliki halusinasi bahwa dirinya mapan, toleran, dan bertanggung jawab. Sementara kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri.

Masih ada banyak contoh lain yang bisa saya paparkan, tapi saya yakin setiap orang bisa menemukan contohnya sendiri; baik di orang lain maupun di dalam dirinya sendiri. Contoh di atas merupakan ilustrasi yang saya berikan hanya dalam tulisan ini. Saya tidak ingin mengatakan bahwa contoh-contoh di atas merupakan gambaran umum seorang ayah atau seorang pria bujangan yang sudah bekerja.

Kembali kepada kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini adalah kondisi yang perlu dihindari oleh setiap orang. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, "terlambat dewasa" itu tidak bermasalah asalkan tidak sampai memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Orang yang "terlambat dewasa" bukanlah orang yang tidak bisa dewasa. Orang seperti ini hanya membutuhkan waktu lebih lama untuk menjalani proses menuju kedewasaan. Sementara orang yang ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa" dapat dikatakan berhenti untuk berubah menjadi dewasa. Kalau pun orang seperti ini masih memiliki keinginan untuk berubah, besaran keinginannya mungkin sangat kecil sampai efeknya terhadap perubahan dirinya dapat dikatakan tidak ada.

Orang tua yang sikapnya menyerupai anak balita atau remaja adalah bukti bahwa kondisi "tidak pernah dewasa" ini nyata. Setiap orang bisa mengalami tahap "terlambat dewasa" sampai terjerumus ke dalam kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini perlu dihindari karena kedewasaan merupakan hal yang diperlukan oleh diri seseorang dan masyarakat pada umumnya untuk bergerak ke arah kehidupan yang lebih baik. Tentunya tidak akan menyenangkan bagi kita semua bila nantinya pemimpin-pemimpin di negeri ini adalah sekumpulan orang yang berpikir dan bertingkah laku seperti anak kemarin sore.

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/kVgVidCT/TerlambatDewasa.html

Kamis, 08 Juli 2010

Terlambat Dewasa (2)

0 opini
Batas waktu untuk menjadi dewasa adalah hal yang sangat relatif. Walaupun begitu, masyarakat sudah mengambil perannya untuk menentukan batas waktu ini. Masyarakat pada umumnya menilai bahwa waktunya seseorang untuk menjadi dewasa antara lain saat orang itu sudah memasuki dunia kerja atau saat orang itu sudah memasuki usia menikah. Sementara besaran usia dewasa yang pasti masih bersifat relatif.

Terlambat atau tidaknya seseorang untuk menjadi dewasa memang seyogyanya dilihat dari besarnya tanggung jawab yang sudah seharusnya dia emban. Saat seseorang sudah harus mengemban tanggung jawab seberat 100 kg, maka orang itu dapat dikatakan terlambat dewasa bila dia memilih untuk mengemban hanya 10 kg saja atau bahkan melarikan diri dari tanggung jawab. Cara ini pun masih bersifat relatif karena untuk menentukan besarnya tanggung jawab yang SEHARUSNYA diemban seseorang itu pun bukan masalah mudah.

Memang tidak mudah menentukan apakah seseorang itu terlambat dewasa atau tidak sebab masalah ini umumnya bersifat subjektif. Seseorang menjadi terlambat dewasa kemungkinan besar karena orang-orang di sekitar dia menganggapnya seperti itu. Kata-kata seperti "Kamu kok masih bertingkah seperti anak kecil saja?!" atau "Kenapa kamu tidak pernah bisa bertanggung jawab dengan baik?!" merupakan tanda-tanda terlambatnya seseorang menjadi dewasa. Penilaian-penilaian ini tentunya sangat subjektif terhadap pihak-pihak yang terlibat.

Terlepas dari itu, masalah yang sebenarnya bukan ada pada kata "terlambat dewasa". Masalah yang sebenarnya justru ada pada dampak keterlambatan ini, yaitu saat seseorang menjadi "tidak pernah dewasa". Seseorang yang masuk ke dalam tahap "terlambat dewasa" itu sangat dimungkinkan untuk masuk ke dalam tahap "tidak pernah dewasa". Hal ini terkait erat dengan sifat alami manusia dalam proses belajar dan berubah.

Seperti kita ketahui bersama, usia seseorang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Kemampuan belajar ini mencakup kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang baru dan menerapkan hasil belajarnya itu ke dalam hidupnya. Kemampuan belajar ini tidak terbatas pada pendidikan yang bersifat formal saja, tapi meluas kepada segala sesuatu yang dipelajari seseorang dalam hidupnya untuk kemudian membantunya membentuk sikap dan kepribadiannya sendiri.

Bersambung ...

Rabu, 07 Juli 2010

Terlambat Dewasa (1)

0 opini
Menjadi dewasa adalah sebuah proses berkesinambungan yang membutuhkan waktu lama. Saya bahkan berani mengatakan bahwa proses untuk menjadi dewasa ini adalah proses sepanjang masa. Proses menjadi dewasa yang dilalui seseorang hanya akan berhenti saat orang tersebut meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena grafik kedewasaan seseorang tidak stabil begitu saja. Setiap orang yang BERUBAH menjadi dewasa harus tetap berusaha untuk MEMPERTAHANKAN kedewasaannya. Proses mempertahankan kedewasaan ini yang menjadi tugas seumur hidup setiap orang.

Istilah “terlambat dewasa” yang menjadi judul tulisan ini lebih banyak berkaitan dengan bagian pertama dari proses menjadi dewasa yaitu BERUBAH. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti mengalami perubahan ini. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti mengalami proses untuk menjadi dewasa. Hanya saja kecepatan proses menjadi dewasa untuk masing-masing individu itu tidak sama.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Tingkat pendidikan seseorang merupakan salah satu faktor yang signifikan. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin terbuka pikirannya. Alhasil semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin matang pola pikirnya. Kematangan pola pikir ini menentukan tingkat kedewasaan seseorang.

Kondisi ekonomi seseorang pun dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan. Orang yang hidup dengan berbagai keterbatasan umumnya lebih mandiri ketimbang orang yang terbiasa hidup mewah. Hal ini dikarenakan orang yang terbiasa hidup mewah itu juga terbiasa dilayani. Pada umumnya sulit bagi seseorang yang terbiasa dilayani untuk tidak bergantung pada orang lain.

Pernikahan pun merupakan salah satu gerbang menuju tingkat kedewasaan yang lebih tinggi. Dengan menikah, setiap orang diharuskan bergerak ke arah keselerasan dengan pasangannya. Untuk melakukan hal ini tentunya diperlukan pengorbanan. Sifat egois harus dikendalikan dengan baik untuk menjaga keutuhan pernikahan dan sifat mengalah pun perlu dilestarikan. Proses mengendalikan sifat egois dan melestarikan sifat mengalah itu sendiri merupakan langkah-langkah menuju kedewasaan.

Ada banyak hal lain yang dapat mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Bila ada sesuatu yang dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, cara seseorang bersikap, dan cara seseorang bertingkah, maka sesuatu itu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kedewasaan orang itu. Faktor-faktor ini tentunya tidak sama bagi setiap orang. Kalaupun ada yang sama, besaran pengaruhnya akan berbeda untuk masing-masing individu.

Kadang ada orang lulusan S1 yang tidak lebih dewasa dibandingkan orang lulusan SMU. Kadang ada orang yang hidup mewah namun tetap bisa mengendalikan dirinya untuk menjadi mandiri. Kadang ada orang yang menikah tapi pernikahannya tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap sikap dan tingkah lakunya.

Kecepatan seseorang untuk menjadi dewasa memang berbeda-beda. Ini yang menjadi dasar mengapa ada istilah "terlambat dewasa". Perbedaan kecepatan ini yang membuat pencapaian kedewasaan setiap orang berbeda bila diukur pada usia yang sama. Ada orang yang di usia 22 tahun sudah berani mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ada orang yang di usia 28 tahun masih saja ingin hidup sebebas-bebasnya tanpa ada tanggung jawab.

Orang berusia 28 tahun pada ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh orang yang terlambat dewasa. Akan tetapi, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa 28 tahun itu sebagai tolok ukur keterlambatan. Definisi "terlambat" itu sendiri sangat bergantung pada definisi "tepat waktu". Kita perlu menentukan terlebih dahulu batas waktu untuk menjadi dewasa sebelum mengatakan bahwa seseorang terlambat dewasa.

Bersambung ...

Rabu, 02 Juni 2010

How to Train Your (Viking) Son (3)

0 opini
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/how-to-train-your-viking-son-2.html

Peran anak itu sendiri mungkin akan pasif bila mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Di rentang usia ini, seorang anak sangat bergantung pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh ayahnya. Jadi ayahnya harus berperan aktif membantu anaknya berkembang. Peran anak ini akan berkembang bila mereka sudah memasuki usia remaja.

Untuk menjaga keharmonisan hubungan ayah dan anak, penting bagi seorang anak untuk menanamkan pikiran positif terhadap setiap sikap dan keputusan yang dibuat ayahnya. Setiap anak (di usia remaja atau lebih tua) harus bisa berpikir positif bahwa apa yang dilakukan ayahnya adalah demi kebaikan mereka. Dengan begitu setiap anak mampu menerima dan menjalankan saran-saran atau arahan-arahan dari ayahnya untuk disesuaikan dengan bakat dan minatnya sendiri.

Belajar dari Hiccup, sikap positif itu akan membuahkan hasil yang positif. Seorang anak tidak akan pernah berhenti berkembang bila mereka mempertahankan sikap positif. Yang penting untuk dilakukan oleh seorang anak adalah membuktikan bahwa dirinya bisa mengembangkan potensinya secara maksimal. Dengan potensi yang maksimal itu pun seorang anak bisa menjadi sukses walaupun berbeda dengan kesuksesan ayahnya.

Kemauan ayah untuk membimbing anak sesuai bakat dan minatnya serta kemauan anak untuk selalu berpikir positif akan terbentuk dengan mudah bila didukung dengan komunikasi yang baik di antara keduanya. Bahkan masalah yang terjadi antara Stoick dan Hiccup tidak akan terjadi bila mereka mampu berkomunikasi dengan baik.

Komunikasi adalah hal yang krusial untuk menjaga keharmonisan dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu seorang ayah perlu menemukan cara untuk berbicara dengan anaknya dan setiap anak pun (bila mereka sudah cukup umur) perlu menemukan cara untuk berbicara dengan ayahnya. Yakinlah bahwa semua ini bukanlah hal yang mudah. Tapi kita semua tahu bahwa "No Pain, No Gain!"

Selamat melatih anak (bagi ayah) dan berlatih (bagi anak) untuk menjadi seorang manusia luar biasa!

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html

Senin, 31 Mei 2010

How to Train Your (Viking) Son (2)

0 opini
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/how-to-train-your-viking-son.html

Walaupun semakin ditentang oleh ayahnya, sikap positif Hiccup tidak berhenti. Hiccup justru semakin bertekad untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia bisa menjadi seorang Viking dengan caranya sendiri; tidak dengan cara dan budaya orang Viking pada umumnya. Perjuangannya membuahkan hasil karena akhirnya ayah Hiccup mau menerima Hiccup apa adanya; lebih tepatnya menerima dengan penuh kebanggaan.

Saya yakin banyak orang pernah mengalami hal yang serupa, baik sebagai Hiccup maupun sebagai Stoick. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami hal ini juga menemukan akhir yang bahagia seperti cerita Stoick dan Hiccup. Kadang perselisihan -atau lebih tepatnya kurangnya sikap saling mengerti- antara ayah dan anak itu berujung pada hubungan yang tidak harmonis.

Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari film tersebut dan bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menjaga keharmonisan hubungan ayah-anak. Dalam hal ini, masing-masing ayah dan anak memiliki peran yang vital. Keharmonisan hubungan ayah dan anak hanya bisa terbentuk dengan rasa pengertian dan kepedulian dari ayah terhadap anak dan dari anak terhadap ayah; dua arah.

Seorang ayah yang sukses tentu berharap anaknya pun mengikuti jejak kesuksesannya. Ini adalah kesalahan umum yang dilakukan seorang ayah. Seorang ayah hendaknya menyadari bahwa anaknya tidak sama dengan dirinya. Seorang anak memiliki jalan hidup yang berbeda dengan ayahnya. Seorang dokter yang sukses bisa jadi memiliki anak dengan bakat seni yang hebat. Seorang pegawai negeri yang sukses bisa jadi memiliki anak dengan bakat wiraswasta yang kuat. Setiap ayah harus bisa berhenti meletakan beban "menjadi seperti ayah" di pundak anaknya.

Seorang ayah berperan penting dalam membantu menemukan potensi yang dimiliki oleh anaknya. Setelah potensi itu ditemukan, ayah berperan untuk membantu anaknya mengasah potensi tersebut. Dengan begitu, kolaborasi ayah dan anak ini akan membentuk seorang pemuda dengan kemampuan yang hebat sesuai bakat dan minatnya sendiri; bukan sesuai bakat dan minat ayahnya sendiri.

Seorang ayah perlu membiarkan anaknya mencoba banyak hal yang menarik minatnya. Kalaupun pilihan anak itu salah, biarkan mereka mengambil pilihan itu. Salah memilih itu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk anak-anak. Yang perlu dijaga oleh para ayah adalah jangan sampai kesalahan yang dilakukan itu adalah kesalahan yang fatal.

Bersambung ...

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html

Minggu, 30 Mei 2010

How to Train Your (Viking) Son

0 opini
Saya tidak pernah menyangka bahwa cerita dalam film How to Train Your Dragon banyak menyinggung hubungan antara ayah dan anak. Sebelumnya saya pikir cerita itu akan terpusat pada aksi tokoh protagonis dan tidak melibatkan ayah dan anak. Saya justru membayangkan sekumpulan tokoh protagonis (entah dalam usia remaja atau lebih tua) dalam misi untuk menemukan dan melatih naga-naga sehingga dapat digunakan untuk berperang.

Gambar 1
Ternyata film How to Train Your Dragon ini bercerita banyak tentang tokoh utamanya, Hiccup, yang berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia bisa menjadi bagian dari klan Viking yang kuat. Kenyataannya hal ini sulit dilakukan karena Hiccup memiliki “keterbatasan tertentu” -sengaja saya tidak paparkan- yang membuat ayahnya tidak pernah bisa menerima dia untuk menjadi seorang Viking.

Ada banyak aspek hubungan ayah-anak yang dimunculkan dalam film ini. Kebanyakan aspek-aspek yang dimunculkan ini adalah aspek-aspek umum yang bisa kita temukan dalam interaksi sehari-hari antara seorang ayah dan anak laki-laki. Entah itu antara kita dengan ayah kita, antara kita dengan anak laki-laki kita, antara sepupu dengan paman kita, atau antara ayah dan anak laki-laki mana pun.

Di film tersebut, ayah Hiccup yang bernama Stoick adalah pemimpin bangsa Viking yang disegani. Kondisi ini kerap menjadi kendala dalam perkembangan anak karena tipe ayah yang sukses seperti Stoick ini seringkali memiliki harapan yang tinggi -bahkan terlalu tinggi- terhadap anaknya. Dalam film tersebut, Stoick benar-benar berharap Hiccup dapat tumbuh menjadi orang Viking yang dapat dia banggakan. Dan seperti yang sudah saya paparkan di atas, harapan ini bisa dikatakan sebuah mimpi belaka.

Sisi positifnya adalah Hiccup tidak serta-merta berontak. Hiccup masih berusaha memenuhi harapan ayahnya. Tapi kenyataannya semua hal yang dilakukan Hiccup itu sia-sia. Bukannya berpikir positif terhadap usaha yang dilakukan anaknya, Stoick justru semakin kehilangan kepercayaannya kepada Hiccup. Masalah ini menjadi semakin pelik dengan buruknya komunikasi di antara mereka berdua. Baik Hiccup maupun ayahnya seperti terhalang sebuah tembok besar saat mereka mencoba menyampaikan maksud mereka masing-masing.

Bersambung ...

*Gambar 1 diambil dari http://www.parentpreviews.com/legacy-pics/how-to-train-your-dragon.jpg

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html

Rabu, 26 Mei 2010

2000 Rupiah yang Tidak Halal

2 opini
Pagi ini saya mendapat kesempatan untuk naik kendaraan umum (Bus 46) tanpa bayar. Bukan karena saya merupakan personil kepolisian atau militer, bukan juga karena Bus 46 itu sedang mengadakan promo. Penyebab utamanya adalah keteledoran sang Kondektur.

Bus 46 yang saya tumpangi itu memiliki 3 pintu masuk penumpang, yaitu depan, tengah, dan belakang. Saya masuk dari pintu belakang dan Alhamdulillah mendapat tempat duduk di bagian belakang bus. Setelah saya menyusul beberapa penumpang lain lewat pintu belakang bus itu.

Selama perjalanan dari Slipi sampai kantor, Kondektur tidak kunjung bergerak ke belakang. Saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Entah karena dia tidak melihat ada penumpang yang masuk dari belakang atau bagaimana. Yang pasti Kondektur bergerak tidak jauh dari bagian tengah bus.

Berhubung bus agak padat -maklum rush hour- saya memutuskan menyiapkan uang 2.000 rupiah untuk dibayarkan kepada Kondektur saat saya turun. Tapi harapan tidak bertemu dengan kenyataan. Saat saya turun di halte dekat kantor, Kondektur itu justru berada di dalam bus -tidak di pinggir pintu seperti kondektur pada umumnya. Alhasil uang 2.000 rupiah itu masih saya pegang.

Tanpa berpikir panjang, saya memasukan uang itu ke saku belakang celana untuk memisahkannya dengan uang saya yang lain. Saya langsung jalan ke kantor. Sesampainya di kantor, saya mampir ke masjid kantor dan mencari kotak amal. Uang 2.000 rupiah itu saya masukan ke dalam kotak amal dengan diniatkan atas nama siapa pun orang yang seharusnya mendapatkan uang itu -mungkin antara Kondektur, Supir, atau Pengelola bus.

Selepas dari masjid, saya kembali ke kantor dan meneruskan aktifitas seperti biasa tanpa lagi memikirkan masalah uang 2.000 rupiah itu -kecuali saat saya membuat tulisan ini. Saya tidak tahu apakah langkah yang saya lakukan itu benar atau tidak. Mungkin seharusnya saya kejar Kondektur itu ke bagian tengah bus untuk memberikan uang 2.000 rupiah itu. Tapi sayangnya pilihan yang terakhir itu agak sulit saya lakukan.

Terlepas dari itu, perasaan bersalah saya hilang saat uang itu masuk ke dalam kotak amal. Paling tidak saya tahu bahwa uang itu tidak akan saya gunakan untuk kepentingan saya dan keluarga saya. Walaupun jumlah 2.000 itu kecil, saya tetap menganggap uang itu bukan hak saya. Semoga saja apa yang saya lakukan sudah mengembalikan uang itu kepada yang berhak, walaupun saya melakukannya secara tidak langsung.

Setiap muslim memang selayaknya menjaga kebersihan nafkahnya. Dengan menjaga dari yang kecil, harapannya yang besar pun ikut terjaga. Kalau untuk uang 2.000 rupiah saja saya tidak mau mengambil yang kotor, maka untuk uang yang jumlahnya besar pun -misalnya 25 milyar- tidak akan saya ambil.

Jumat, 14 Mei 2010

Tiga Tahap Pertumbuhan Anak Laki-Laki (3)

0 opini
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/tiga-tahap-pertumbuhan-anak-laki-laki-2.html

Tahap terakhir adalah usia tiga belas tahun sampai seterusnya. Pada tahap ini, anak laki-laki pada dasarnya masih dalam tahap belajar menjadi laki-laki. Perbedaan yang mencolok dengan tahap sebelumnya adalah pergeseran minat anak dari ayah ke pria dewasa pada umumnya. Pada tahap ini, perhatian anak laki-laki akan tertuju pada dunia yang lebih luas. Peran ayah dan ibu di tahap ini akan menurun, tapi jangan sampai anak laki-laki itu dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa pendamping. Yang paling penting di tahap pertumbuhan ini adalah menemukan pria dengan taraf pemikiran yang matang -selain anggota keluarga- untuk membantu anak laki-laki belajar menjadi pria yang bertanggung jawab dan mandiri di tengah-tengah masyarakat.

Di tahap pertumbuhan ketiga ini, seorang anak laki-laki mulai memiliki keinginan untuk mengambil peran dalam masyarakat. Yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membiarkan anak laki-lakinya mengambil peran sambil senantiasa memantau perkembangan anaknya dari jauh. Sekali lagi saya tegaskan bahwa hal yang penting dalam tahap ini adalah menemukan pendamping atau pembimbing yang tepat. Dengan begitu anak laki-laki tidak merasa dirinya dikekang tapi dalam waktu yang sama tetap dijaga agar tidak mengambil peran yang salah. Keberhasilan menemukan sosok pria dewasa yang mampu membimbing seorang anak laki-laki merupakan faktor utama dalam menentukan berhasil atau tidaknya anak laki-laki menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab dan mandiri.

Terlepas dari kita berhasil menemukan pembimbing atau tidak, anak laki-laki pun akan dengan sendirinya mencari. Jika seorang anak laki-laki merasa tidak berhasil menemukannya, mereka akan beralih kepada teman-teman mereka. Teman-teman mereka itu yang akan menjadi pembimbing anak laki-laki kita. Kalau itu sudah terjadi, kelompok yang terbentuk itu adalah sekelompok orang yang saling membimbing tanpa kualifikasi yang memadai untuk membimbing. Wajar saja akhirnya kalau sekelompok anak laki-laki itu suka memberontak, tidak peduli dengan lingkungannya, suka merusak, atau bahkan terjerumus pada hal-hal negatif seperti seks bebas atau obat-obatan terlarang.

Saya yakin banyak orang tua akan sependapat kalau anak laki-laki di usia tiga belas tahun ke atas cenderung tidak mau mendengarkan orang tuanya. Pada saat yang sama, anak laki-laki di usia ini justru lebih mendengarkan kata-kata orang lain. Kalau orang tua memaksakan pendapatnya, kemungkinan besar hasilnya adalah pertengkaran antara orang tua dan anak. Kalau saja anak laki-laki di usia ini memiliki pria dewasa yang mengawasinya, pertengkaran orang tua dan anak itu dapat dihindari dan anak itu pun tidak akan mendapat celaka.

Intinya pada tahap pertumbuhan yang ketiga ini, setiap anak laki-laki sedang berusaha menemukan jati dirinya. Mereka mungkin akan mencoba berbagai hal baru yang mereka temukan di dunia luar. Orang tua yang terlalu mengekang mereka pasti akan mendapat perlawanan. Kalau anak laki-laki tidak dapat melawan orang tuanya secara frontal, maka dapat dipastikan mereka akan main belakang.

Biarkan anak laki-laki itu menemukan sendiri jati diri mereka. Yang dapat dilakukan oleh orang tua pada hakikatnya adalah menjaga agar mereka tidak salah melangkah. Walaupun keberadaan pria dewasa lain sebagai pembimbing itu penting, peran orang tua masih tetap vital dalam menentukan langkah-langkah yang diambil anaknya untuk menemukan peran dan jati diri mereka dalam masyarakat.

Referensi:
  • Bidduplh, Steve. 2005. Raising Boys, alih bahasa oleh Daniel Wirajaya, S.S. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html

Rabu, 12 Mei 2010

Tiga Tahap Pertumbuhan Anak Laki-Laki (2)

0 opini
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/tiga-tahap-pertumbuhan-anak-laki-laki.html

Untuk tahap selanjutnya, dari usia enam tahun sampai tiga belas tahun, peran ayah menjadi signifikan. Steve Biddulph menyebutkan bahwa pada usia enam tahun itu seolah-olah “tombol” untuk menjadi laki-laki dalam diri anak laki-laki ini dihidupkan. Pada usia ini, anak laki-laki semakin mendekat kepada pria-pria yang ada di dekatnya. Entah itu ayahnya, pamannya, atau sosok pria lain di dekatnya, anak laki-laki itu akan mendekat karena mereka ingin “belajar menjadi laki-laki”.

Akan tetapi, menurut saya, tombol kelaki-lakian itu belum tentu selalu dihidupkan di usia enam tahun. Saya rasa waktu untuk menghidupkan tombol ini kembali kepada kedekatan seorang anak laki-laki dengan para pria di sekitarnya. Seorang anak bisa saja menghidupkan tombol kelaki-lakian ini sebelum usia enam tahun kalau dia cukup dekat dengan ayahnya. Sebaliknya seorang anak bisa jadi menghidupkan tombol kelaki-lakian ini setelah melewati usia enam tahun karena dia terlalu bergantung pada ibunya.

Intinya pada tahap kedua dalam hidup anak laki-laki ini, mereka sedang belajar untuk menjadi laki-laki. Seorang anak perlu mengunduh perangkat lunak -meminjam istilah Steve Biddulph- kelaki-lakian dari pria terdekat di sekitarnya. Peran ayah di sini tentunya sangat besar karena seharusnya sosok pria terdekat dengan seorang anak adalah ayahnya. Di tahap ini, seorang ayah HARUS berusaha menyediakan waktu (dan kadar pengertian yang memadai) bagi anak-anaknya sehingga anaknya pun tidak kebingungan menemukan sosok pria yang bisa dia tiru.

Peran ayah di tahap ini memang sangat besar, tapi bukan berarti peran ibu hilang sama sekali. Ibu dengan kelembutannya tetap diperlukan kehadirannya. Salah satu alasan penting kehadiran ibu adalah agar anak laki-laki ini tetap mempertahankan sikap lembut yang ada di dalam dirinya. Saat ayahnya menjadi terlalu tegas (atau bahkan kasar), sikap lembut dalam anak laki-laki akan timbul. Bila dia tidak menemukan tempat untuk menyalurkan kelembutannya, anak laki-laki ini akan menutup diri dari kelembutan dan akan tumbuh menjadi laki-laki yang tegang dan rapuh. Dengan adanya ibu, anak laki-laki tahu bahwa kelembutannya itu baik dan akan selalu disambut oleh ibu mereka.

Yang perlu dijaga dalam kaitannya dengan peran ibu adalah porsi. Seberapa sering anak laki-laki itu kembali kepada ibunya, seberapa banyak perhatian ibu yang mereka butuhkan, seberapa dekat mereka dengan ibunya. Pertanyaan-pertanyaan itu yang perlu diperhatikan. Jangan sampai niat baik untuk mempertahankan kelembutan yang dimiliki anak laki-laki malah menjadi bumerang yang membuat mereka malah berbalik tidak bisa lepas dari pelukan ibu. Kondisi ini malah bersifat kontraproduktif karena akan berlawanan dengan tujuan “belajar menjadi laki-laki” itu sendiri.

Bersambung ...

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html

Mengejar Lowongan Kementerian Keuangan

0 opini
Update (12 Mei 2010 13:56)
Cara Membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK):
http://bagaimana-cara.blogspot.com/2009/04/membuat-surat-keterangan-catatan.html
Cara Membuat Kartu Tanda Pencari Kerja (Kartu Kuning):
http://bagaimana-cara.blogspot.com/2009/01/membuat-kartu-tanda-pencari-kerja-kartu.html
---

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) -sebelumnya Departemen Keuangan (Depkeu)- kembali membuka lowongan untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tingkat sarjana di tahun 2010 ini. Pengumuman resminya ada di sini: http://ppcpns.depkeu.go.id/pengumuman_reg.asp. Persyaratan resminya ada di sini: http://ppcpns.depkeu.go.id/Persyaratan.asp.

Lewat post ini saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya saat mengejar lowongan yang sama tahun 2008 lalu. Seperti lowongan CPNS pada umumnya, seleksi lowongan CPNS Kemenkeu pun melewati beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain:
  1. Seleksi Administrasi.
    Pada tahap ini setiap pelamar diharuskan menyerahkan berkas sesuai persyaratan yang diumumkan. Saat itu berkas pelamar diserahkan langsung, berbeda dengan lowongan tahun 2010 yang mengharuskan berkas dikirim lewat pos. Satu tips yang bisa saya berikan kepada sarjana Ilmu Komputer. Anda diharuskan memilih salah satu jurusan Teknik Komputer, Teknik Informatika, atau Sistem Informasi. Di berkas lamaran Anda, pilih salah satu jurusan dan siapkan surat pernyataan dari almamater Anda yang mendukung jurusan pilihan Anda.
  2. Tes Potensi Akademik (TPA).
    Persiapan yang saya lakukan adalah dengan berlatih soal-soal. Soal-soal seperti ini dapat dibeli di toko buku terdekat. Pentingnya berlatih soal-soal TPA ini adalah untuk menghidupkan kembali sel-sel otak kita yang sudah berkarat. Perlu diperhatikan bahwa TPA ini mungkin saja dibarengi tes bahasa Inggris.
  3. Psikotes.
    Satu-satunya tips yang bisa saya berikan adalah berlatih.
  4. Tes Kesehatan dan Kebugaran.
    Di tahun 2008, tes kesehatan meliputi berat badan, tinggi badan, rabun, dan buta warna (kemungkinan ada tes lain yang lupa saya sebutkan). Tes kebugaran meliputi lari keliling lapangan sepak bola selama 12 menit dan sprint (lari cepat) membentuk angka 8.
  5. Wawancara.
    Anda akan masuk ke dalam instansi yang sedang melakukan reformasi. Di tahap wawancara ini, saya rasa seleksi dilakukan untuk memilih orang-orang dengan moral yang baik. Untuk tahap ini, saya sarankan jadi diri sendiri saja. Hanya saja jadilah diri sendiri yang baik.
  6. Laporan.
    Tahap terakhir dalam rangkaian seleksi. Tahap ini hanya untuk memastikan bahwa Anda yang terpilih memang benar-benar berniat bergabung dengan Kemenkeu.
Pada dasarnya tidak ada yang perlu ditakuti dalam rangkaian seleksi lowongan CPNS Kemenkeu ini. Yang penting -setelah doa- adalah mempersiapkan diri dengan baik, seperti berlatih soal-soal, menjaga kesehatan, atau berlatih bercerita pengalaman kerja (untuk wawancara). Semua proses seleksi yang saya alami sepertinya bebas dari campur tangan pihak-pihak yang licik. Jadi keberhasilan seorang pelamar mencapai penempatan di Kemenkeu adalah hasil jerih payah mereka sendiri.

Selamat mengejar lowongan!

Selasa, 11 Mei 2010

Tiga Tahap Pertumbuhan Anak Laki-Laki

2 opini
Steve Biddulph dalam bukunya Raising Boys membagi tahap pertumbuhan anak laki-laki menjadi 3 (tiga) yang dibagi berdasarkan usia. Ketiga tahap tersebut adalah:
  1. Dari kelahiran sampai enam tahun.
  2. Dari enam sampai tiga belas tahun.
  3. Dari tiga belas tahun sampai seterusnya.
Steve Biddulph membahas banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam masing-masing tahap tersebut. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain perbedaan jenis kelamin, peran ibu, peran ayah, peran anggota keluarga lainnya, dan berbagai dimensi lain dalam merawat dan mendidik anak laki-laki baik. Aspek-aspek itu dibahas dari sudut pandang eksternal (lingkungan sekitar anak laki-laki) dan sudut pandang internal (sudut pandang anak laki-laki itu sendiri).

Terlepas dari itu, tulisan saya ini justru lebih cenderung membahas peran orang tua (ayah dan ibu) dalam mendidik anak laki-laki menurut tahap-tahap yang dikemukakan oleh Steve Biddulph di atas. Tujuannya adalah untuk membandingkan paparan Steve Biddulph dalam bukunya itu dengan pengalaman pribadi saya mendidik 2 (dua) laki-laki luar biasa bersama istri saya.

Steve Biddulph menyebutkan bahwa sejak kelahiran sampai usia enam tahun, peran Ibu dalam mendidik anak laki-laki itu sangat besar. Pada enam tahun pertama hidup mereka, anak laki-laki belajar mengenai kelembutan dari ibunya. Hal ini harus saya akui kebenarannya karena selembut apa pun sikap saya, istri saya tetap terlihat lebih lembut dalam menyikapi anak-anaknya. Walaupun kenyataannya kedua anak laki-laki kami adalah orang-orang yang lumayan keras kepala.

Mengajarkan anak-anak mengenai kelembutan ini pada dasarnya bukan bermaksud untuk menjadikan anak laki-laki menjadi lembek. Justru sikap lembut itu menggambarkan apa arti kedekatan dan cinta bagi anak laki-laki. Seiring banyaknya interaksi antara ibu dan anak laki-laki, mereka semakin mengerti bagaimana cara mendekat dan mencintai. Hal ini merupakan dasar keterampilan sosial yang dibutuhkan anak laki-laki dalam berinteraksi dengan dunia luar saat mereka besar nanti.

Dalam hal kedekatan dan cinta, saya (sebagai ayah) mungkin tidak bisa berperan banyak. Selembut apa pun sikap saya, saya pribadi memilih untuk mengambil peran sebagai orang tua yang tegas. Saat anak-anak saya sudah mulai rewel dan tidak bisa lagi mendengarkan kata-kata ibunya, saya akan (dan harus) turun tangan. Walaupun begitu, sikap tegas saya sebagai ayah tetap harus dibatasi. Saya dan istri saya masih mengutamakan kelembutan dalam mendidik anak-anak saya. Dan saat ketegasan saya akan melewati batas toleransi itu, istri saya yang pasti mengingatkan saya agar saya mengendur.

Bersambung ...

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/ez1IdbOm/TigaTahapPertumbuhanAnakLakiLa.html

Senin, 03 Mei 2010

Sulitnya Menjadi Suami yang Egois

5 opini
Ternyata menjadi suami yang egois itu sulit. Siapa pun boleh berkata bahwa menjadi egois adalah mudah, tapi untuk menjadi seorang suami yang egois itu bukanlah hal yang mudah. Menjadi suami yang egois itu membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari sisi materi maupun hati. Hanya saja tidak semua suami menyadari hal ini.

Kali ini saya ingin mengambil contoh dari sebuah film berjudul “Up”. Film dengan durasi sekitar 90 menit, dengan diawali 11 menit yang mengharukan, itu bercerita tentang keegoisan seorang suami bernama Carl. Setelah Ellie, istrinya, meninggal dunia, sifat Carl berubah menjadi egois. Dengan keegoisannya dia mempertahankan rumah tuanya walaupun rumah-rumah di sekitarnya sudah digusur untuk pembangunan. Dengan egoisnya dia melarikan diri dari kemungkinan masuk rumah jompo demi memastikan janjinya untuk memenuhi impian istrinya; memiliki rumah di Paradise Falls. Sepanjang film itu menceritakan besarnya pengorbanan Carl demi keegoisannya ini.

Film Up itu sebenarnya hanya menegaskan pengalaman saya sendiri untuk menjadi suami yang egois. Keinginan saya hanya satu: pernikahan yang bahagia. Untuk mencapai hal itu, banyak hal yang saya turunkan prioritasnya di bawah pernikahan. Contohnya antara lain pekerjaan, hubungan dengan teman, dan banyak hal lainnya. Keegoisan saya ini memaksa diri saya untuk senantiasa menjadikan pernikahan (baca: istri) sebagai prioritas.

Untuk mencapai pernikahan yang bahagia itu dibutuhkan pengertian dan pengorbanan. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengertian. Pengorbanan itu sendiri adalah bentuk nyata dari pengertian. Untuk mencapai derajat pengertian yang cukup, seorang suami tidak bisa hidup seenak dengkulnya. Aturan main di dalam rumah tangga pun tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh suami (sebagai kepala keluarga) melainkan melalui kesepakatan dengan istri.

Ada banyak hal yang perlu direlakan demi kebahagiaan dalam pernikahan. Salah satu yang paling krusial adalah waktu, karena waktu itu lebih berharga dari emas. Emas yang hilang dapat dibeli, sementara waktu yang hilang tak akan mungkin kembali. Mengorbankan waktu yang kita miliki demi kepentingan istri atau demi kepentingan pernikahan itu jauh lebih sulit ketimbang uang dalam jumlah berapa pun. Waktu untuk bekerja (atau mengejar karir), waktu untuk menghibur diri, waktu untuk bertemu dengan teman-teman lama, waktu untuk tidur dan istirahat, dan waktu-waktu untuk melakukan hal lain dalam hidup seorang suami harus siap dikorbankan. Semua harus dilakukan semata-mata karena keegoisan suami untuk mendapatkan keinginannya, yaitu pernikahan yang penuh kebahagiaan.

Terlepas dari semua kesulitan itu, ada satu faktor yang akan membuat semua pengorbanan suami itu menjadi mudah. Satu faktor ini adalah istri egois dengan keinginan yang sama. Saya tidak menemukan faktor lain yang secara signifikan dapat mempermudah mencapai kebahagiaan dalam pernikahan selain istri yang juga memberi pengertian dan pengorbanan yang sama besarnya terhadap suami. Kalau saja ada seorang suami yang mengaku pernikahannya bahagia tanpa ada faktor istri yang mendukungnya maka kebahagiaan yang diakui suami itu adalah kebahagiaan semu (atau mungkin sekedar topeng).

Setiap pengorbanan yang dilakukan suami akan menjadi hampa bila tidak disambut oleh istri yang juga memberikan pengorbanan yang sama. Hal ini disebabkan karena istri itu akan mengerti betapa besarnya pengorbanan suami karena dia pun melakukan hal yang sama. Dengan adanya rasa saling mengerti di antara suami dan istri inilah sikap saling menghargai akan tumbuh. Dengan adanya sikap saling menghargai ini, suami dan istri bisa menjaga rasa hormat dan rasa sayang di antara satu sama lain. Ini merupakan salah satu rumus sebab-akibat untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahan.

Menggambarkan peran istri lebih jauh lagi tentu akan berlebihan. Dengan ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa peran istri memang sangat signifikan dalam mencapai pernikahan yang bahagia. Sama signifikannya dengan peran suami untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahannya. Saya katakan “sama” tapi bukan berarti sama persis karena baik suami maupun istri memiliki perannya masing-masing. Selama suami dan istri menjalankan perannya secara proporsional (dengan porsi yang sama), maka jalan menuju pernikahan yang bahagia adalah jalan yang mudah.

Menjadi suami yang egois, suami yang hanya mementingkan pernikahannya saja, bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjadi suami yang egois seperti ini dibutuhkan kematangan berpikir dan kemauan untuk mengalah. Bila gayung bersambut, yaitu bila istri yang bersangkutan pun memiliki keegoisan yang sama, maka jalan untuk mencapai pernikahan yang bahagia akan menjadi sangat mudah.

Tulisan terkait:
Karir dalam Keluarga
Menjadi Dewasa dengan Menikah (bahasa Inggris)

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/nmvchl2T/SulitnyaMenjadiSuamiYangEgois.html

Rabu, 28 April 2010

Tanggung Jawab Semu

3 opini
Kata “tanggung jawab” tidak selalu memiliki makna yang sama bagi setiap orang. Bahkan bagi seseorang, definisi tanggung jawab itu bisa jadi berbeda dengan kenyataannya. Memang tidak mudah menjadi orang yang bertanggung jawab, karena tanggung jawab itu membutuhkan pengorbanan; baik dari sisi materi maupun moral.

Dalam prakteknya, banyak orang yang merasa dirinya bertanggung jawab. Sayangnya saat dilihat dari sudut pandang pihak ketiga, terlihat jelas bahwa orang itu tidak bisa bertanggung jawab dengan baik. Bentuk tanggung jawab seperti ini saya sebut “tanggung jawab semu”; disebut semu karena pada dasarnya tidak jelas.

Saya sendiri pernah -atau bahkan sering- berada dalam posisi saat saya merasa bertanggung jawab tapi kenyataannya saya malah sekedar mencari selamat. Saya teringat saat saya pernah mengundurkan diri dari sebuah proyek. Saya tidak kabur begitu saja. Saya bicara baik-baik dengan stakeholder saya. Saya minta maaf dan mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri. Saya rela tidak dibayar sepeser pun walau saya sudah terlibat pekerjaan itu selama beberapa waktu. Pada saat itu kondisi ekonomi memaksa untuk bekerja di lebih dari satu tempat dan saya menilai proyek inilah yang resikonya paling rendah bila saya mundur.

Saya pikir saya bertanggung jawab karena memilih mundur karena saya merasa keterlibatan lebih jauh di proyek itu malah akan menghambat ketimbang membantu. Saya pikir saya bertanggung jawab karena saya tidak main kabur begitu saja. Saya sengaja menghadap stakeholder dan mengundurkan diri secara baik-baik. Saya pikir saya bertanggung jawab karena saya rela tidak dibayar sepeser pun.

Saat itu saya memang melihatnya sebagai bentuk tanggung jawab saya karena tidak lagi mampu meneruskan pekerjaan di proyek itu. Namun kenyataannya bentuk tanggung jawab saya itu adalah tanggung jawab semu. Saya justru merasa bahwa saya sekedar ingin mencari selamat, tidak mau repot, atau alasan-alasan egois lainnya.

Saya baru bisa dikatakan bertanggung jawab kalau saya mau meneruskan pekerjaan saya di proyek itu sambil menyelaraskannya dengan pekerjaan saya yang lain. Ini baru bisa dikatakan bertanggung jawab. Saya rasa saya akan lebih bertanggung jawab bila saya tidak mengundurkan diri dan tetap meneruskan setiap pekerjaan yang saya emban.

Kelihatannya memang lebih berat, atau bahkan terlalu berat, tapi justru disitulah keistimewaan orang yang bertanggung jawab. Orang yang benar-benar bertanggung jawab akan terus berjalan ke arah tujuannya terlepas dari berbagai rintangan yang menghadang. Orang seperti ini tidak akan pernah menjadikan lari sebagai pilihan; entah larinya itu dilakukan dengan cara terhormat atau memalukan.

Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang kuat. Walaupun begitu, melarikan diri tidak selalu menjadi simbol kelemahan. Lari dengan cara yang terhormat itu lebih baik ketimbang lari dengan cara yang memalukan. Dalam konteks pekerjaan, memberanikan diri untuk mengajukan pengunduran diri itu lebih baik ketimbang kabur begitu saja. Memiliki rasa tanggung jawab semu itu tetap lebih baik ketimbang tidak memiliki rasa tanggung jawab sama sekali.

Hanya saja kita perlu ingat bahwa tanggung jawab semu itu bukan tanggung jawab yang sebenarnya. Jangan sampai ilusi yang ditimbulkan dari tanggung jawab semu itu membuat kita menjadi lebih cepat memilih untuk melarikan diri -dengan cara yang bertanggung jawab- ketimbang memilih untuk bertahan. Jangan sampai ilusi yang sama justru membuat kita terbuai dengan predikat bertanggung jawab sampai-sampai kita sendiri tidak bisa melihat betapa lemahnya bentuk tanggung jawab kita.

Tanggung jawab semu itu ada di jiwa siapa saja. Tanggung jawab semu dapat muncul kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi, semua itu kembali kepada kematangan orang yang terlibat. Semakin matang pemikiran seseorang, semakin kuat semangatnya, semakin sulit baginya untuk melarikan diri, semakin besar ketahanannya dalam setiap hal yang diemban di pundaknya, semakin kecil peluang munculnya tanggung jawab semu itu.

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/whtbWEjO/TanggungJawabSemu.html

Senin, 15 Maret 2010

Rapuhnya Konsep "Saya Adalah Saya"

2 opini
"Saya adalah saya" merupakan konsep kepribadian yang mencerminkan pribadi yang tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah tergoyahkan. Pribadi yang menegaskan kepada dirinya bahwa "saya adalah saya" merupakan pribadi yang ingin menegaskan keteguhan hatinya. Pribadi seperti ini akan terlihat kokoh dan memiliki hati yang teguh.

"Saya adalah saya" merupakan ciri kepribadian seseorang yang tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya dengan mudah. Entah itu trend terbaru, perkataan atau sikap orang-orang di sekelilingnya, kebiasaan sosial di tempat dia berada, atau apa pun pengaruh eksternal diri orang itu akan dengan mudah ditolaknya. Orang seperti ini dapat hidup di tengah masyarakat hanya dengan modal kepercayaan dirinya.

Lalu bagian mana yang rapuh dari kepribadian yang kokoh ini?

Dari penjelasan di atas dapat dengan mudah kita lihat bahwa keteguhan yang ada dalam konsep "saya adalah saya" itu tidak jauh berbeda dengan KEANGKUHAN. Seseorang yang merasa dapat hidup dengan cara hidupnya sendiri itu tidak jauh berbeda dengan orang yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Keteguhan orang ini dalam mempertahankan pendapatnya bisa jadi merupakan bentuk kebebalan yang sulit untuk diobati.

Saat seseorang hanya mau mendengarkan dirinya sendiri, dia memperkecil (atau bahkan menutup) kemungkinan masuknya informasi lain yang sebenarnya penting bagi dirinya. Informasi lain ini bisa saja merupakan informasi yang benar yang dia perlukan untuk mengambil keputusan dan sikap. Dengan menutup dirinya dari saran dan masukan, orang ini secara otomatis telah memperbesar peluang dirinya untuk membuat kesalahan dan mencapai kegagalan dalam keputusan-keputusannya.

Hidup dalam kesendirian di tengah-tengah masyarakat adalah hal yang tidak tepat untuk dilakukan. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial karena mereka saling membutuhkan. Saat seseorang menegaskan bahwa dia dapat hidup sesuai kemauan dirinya sendiri, dia harus hidup di sebuah hutan yang jauh dari interaksi sosial dengan manusia. Orang seperti ini mungkin cocok untuk hidup bersama hewan-hewan yang memang merupakan makhluk yang tidak terlalu kenal kompromi dan hidup hanya berdasarkan kebutuhan diri mereka sendiri.

Mungkin masih banyak lagi kerapuhan yang dapat diperlihatkan di balik kokohnya konsep "saya adalah saya", namun penjelasan di atas sepertinya cukup untuk memperlihatkan bobroknya konsep tersebut. Kalau kita ingin mengambil perumpamaan, "saya adalah saya" itu ibarat pohon besar yang berdiri tegak. Pohon ini mungkin dapat bertahan dari terpaan angin yang kuat. Sayangnya saat diterpa badai yang benar-benar dahsyat, batang pohon ini akan patah dan pohon ini akan ambruk untuk selamanya.

Bila kita bandingkan dengan bambu yang memiliki batang yang lentur, badai yang dapat menumbangkan pohon besar tadi belum tentu mampu menumbangkan bambu ini. Bambu ini tidak perlu mencurahkan tenaganya untuk menahan batangnya. Fleksibilitas yang dimiliki batang bambu mampu mengatur arah gerakan batangnya agar tidak mudah dipatahkan oleh terpaan angin yang kuat. Setelah badai berlalu, berbanding terbalik dengan pohon besar tadi, bambu ini dapat kembali berdiri seperti sedia kala.

Konsep "saya adalah saya" pada dasarnya adalah sebuah konsep yang kaku. Kekakuan yang ada dalam konsep ini yang membuatnya menjadi rapuh dan rawan tumbang. Kekakuan yang sama membuat orang-orang dengan kepribadian seperti ini terlihat angkuh. Semua itu didasari oleh pemaksaan pendapat pribadi tanpa melihat kondisi lingkungan di sekitarnya.

Pada kenyataannya konsep "saya adalah saya" bukanlah konsep yang buruk. Banyak orang yang menerapkan konsep ini dalam hidup mereka dan tidak berujung menjadi pohon besar yang tumbang. Kunci dalam keberhasilan penerapan konsep ini ada pada lokasi (di mana) dan waktu (kapan) yang tepat.

Fleksibilitas saja memang tidak cukup untuk membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu setiap orang membutuhkan kekakuan yang cukup agar dirinya tidak terombang-ambing. Seseorang perlu membuka diri terhadap pendapat dari orang lain seraya menjaga pendapatnya sendiri. Dengan demikian orang itu dapat menjaga bentuk kepribadiannya seraya mendapat masukan untuk memoles kepribadiannya ke arah yang lebih baik. Sama seperti bambu, batang boleh lentur tapi akar tetap menancap kuat ke bumi.

Kepedulian dan toleransi merupakan kunci yang diperlukan untuk membentuk fleksibilitas yang memadai. Saat seseorang mencoba beradaptasi dengan kondisi di sekitarnya, dia sedang mencari bentuk fleksibilitas yang sesuai dengan kepribadiannya. Tanpa ada kepedulian dan toleransi dalam diri seseorang, kombinasi yang tepat antara fleksibilitas dan keteguhan tidak akan pernah terbentuk.

Dampak buruk dari konsep ini akan membengkak saat orang yang menerapkannya adalah orang yang belum berpikiran matang atau masih dalam tahap mencari bentuk kepribadiannya sendiri. Orang-orang seperti ini justru membutuhkan banyak masukan untuk menemukan bentuk kepribadian yang diterima oleh dirinya dan oleh lingkungannya. Konsep "saya adalah saya" adalah konsep yang kuat bila diramu dengan cara yang tepat. Penerapan konsep ini secara blak-blakan hanya akan berujung pada pribadi yang angkuh dan rentan terhadap kesalahan.

--
Versi PDF: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/03/rapuhnya-konsep-saya-adalah-saya.html

Rabu, 03 Maret 2010

Hidup Bersama Gejala Tipus

0 opini
Februari 2010 adalah bulan paling "menyakitkan" dalam hidup saya sampai saat tulisan ini dibuat. Saya sebut "menyakitkan" karena pada bulan itu saya menghabiskan 17 hari untuk beristirahat akibat sakit. Kronologisnya agak panjang karena gejala pertama dimulai pada hari Jumat, 29 Januari 2010.

Pada hari Jumat itu, saya merasakan suhu badan meningkat secara signifikan. Namun saya masih bisa bertahan di kantor hingga akhir jam kerja (jam 5 sore). Rasa tidak enak badan itu terus bertahan hingga Senin, 1 Februari 2010. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak masuk kerja dan beristirahat dengan harapan kondisi badan akan membaik.

Selasa, 2 Februari 2010, kondisi badan tetap tidak membaik. Saya memutuskan untuk berobat ke dokter umum di RS Qadr (Tangerang). Setelah melakukan tes darah, dokter menyimpulkan bahwa saya terkena gejala tipus. Saya diminta istirahat selama 3 hari hingga hari Kamis, 4 Februari 2010. Alhamdulillah hari Jumat, 5 Februari 2010, saya sudah bisa bekerja kembali. Sayangnya saya masih merasa kondisi badan belum sepenuhnya membaik. Akhirnya Jumat malam saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam di RS Harapan Bunda (Pasar Rebo).

Dokter spesialis penyakit dalam meresepkan beberapa obat yang perlu saya minum dan meminta saya untuk beristirahat selama 10 hari. Akhirnya saya memulai istirahat di rumah dari tanggal 9 Februari 2010 hingga 18 Februari 2010. Jumat, 19 Februari 2010, saya kembali masuk kerja. Saya masih merasa kondisi badan saya belum membaik 100%. Jumat malam saya kembali mengunjungi dokter spesialis penyakit dalam yang sama di RS Harapan Bunda. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter kembali menyarankan istirahat di rumah selama 10 hari atau rawat inap selama lebih kurang 5 hari.

Terselip sedikit rasa tidak nyaman di hati saat saya harus lagi-lagi meminta ijin tidak masuk kantor karena sakit dengan jumlah hari yang tidak sedikit. Saya pikir kalau memang saya perlu beristirahat selama 10 hari, sebaiknya saya memilih rawat inap agar pengobatan saya bisa optimal. Harapan saya tentunya dengan rawat inap itu penyakit saya bisa sembuh total.

Akhirnya saya merencanakan memulai rawat inap pada hari Jumat, 26 Februari 2010. Saya sengaja memilih long weekend itu untuk menghemat jumlah hari ijin dari kantor. Kenyataannya pada hari Kamis, 25 Februari 2010, suhu badan saya lagi-lagi meningkat. Kamis malam saya sudah berobat lagi ke dokter. Kali ini saya berobat ke bagian Gawat Darurat di RS Omni International.

Setelah dipastikan saya terkena gejala tipus lewat hasil laboratorium. Dokter jaga di bagian Gawat Darurat malah menyarankan saya rawat jalan saja dulu. Namun setelah dokter itu mengetahui apa yang saya paparkan di atas, akhirnya dokter jaga itu merujuk saya ke bagian rawat inap agar dapat diperiksa lebih lanjut. Bisa jadi penyebab turunnya kondisi badan saya bukan disebabkan oleh gejala tipus. Pada saat itu, kata "tuberculosis" sempat terbersit dalam pikiran saya. Saya baru sadar bahwa sejak tanggal 29 Januari itu saya mengidap batuk yang tidak pernah benar-benar sembuh. Kamis, 25 Februari, itu pun suhu badan saya meningkat seiring dengan kambuhnya batuk.

5 hari saya dirawat di RS Omni International terhitung dari tanggal 26 Februari 2010 hingga tanggal 2 Maret 2010. Infus dipasang di tangan kiri saya mulai masuk sampai keluar dari rawat inap. Antibiotik disuntikan langsung melalui selang infus. Hasil rontgen thorax tidak menunjukan gejala-gejala yang negatif. Itu artinya saya tidak mengidap tuberculosis atau penyakit pernapasan lainnya.

Pada awalnya saya hanya diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam. Setelah beberapa hari saya mengadukan masalah batuk dan pilek yang tidak kunjung sembuh. Akhirnya saya dirujuk ke dokter spesialis THT (Telinga Hidung Tenggorokan). Dokter spesialis THT menemukan ada produksi lendir di bagian hidung yang menyebabkan benjolan-benjolan di bagian tenggorokan sehingga bagian tenggorokan pun ikut memproduksi lendir. Produksi lendir di bagian tenggorokan itu yang menyebabkan batuk.

Akhirnya saya harus meminum obat yang diresepkan oleh kedua dokter tersebut. Alhamdulillah obat-obat tersebut tepat guna. Saya merasa batuk dan pilek saya berkurang dan kondisi tubuh berangsur-angsur membaik. Rujukan ke dokter spesialis THT merupakan langkah yang tepat. Tanpa analisa dari dokter spesialis THT itu, masalah batuk dan pilek saya pasti akan terus ada sampai rawat inap saya selesai.

Hari ini, Rabu, 3 Maret 2010, saya sudah keluar dari rawat inap, membawa banyak obat-obatan, dan sedang menjalani jumlah hari rawat tambahan yang diberikan dokter sampai akhir minggu ini. Semoga saja minggu depan kondisi saya sudah sehat kembali dan saya tidak perlu lagi meminta ijin dari kantor akibat sakit dengan jumlah hari yang tidak sedikit.