Saya bukan bermaksud untuk kampanye atau bermaksud membicarakan tentang pemilihan umum. Tiga kata di atas memang dapat dijadikan kriteria pemimpin yang baik, tapi dalam tulisan ini saya bermaksud untuk berbagi tentang pola mendidik anak; tepatnya anak laki-laki.
Tegas
Tegas bukan berarti keras. Ini adalah salah satu kesalahan persepsi yang umum. Saya mendefinisikan tegas sebagai sikap kuat dalam mempertahankan pendapat, tapi pada saat yang bersamaan juga berpikiran terbuka. Menjadi ayah yang tegas berarti menyampaikan keinginan kita dan mengatur perilaku anak seraya mendengarkan apa yang ada dalam pikiran anak itu sendiri.
Bila kita hanya mendengarkan apa yang ada dalam pikiran kita sendiri, ini berarti kita sedang menjadi ayah yang keras. Umumnya kondisi ini akan menjadi lebih parah bila kita mudah marah. Yang terjadi saat anak kita menolak keinginan kita adalah bentakan atau bahkan pukulan terhadap anak. Kondisi inilah yang membuat hubungan ayah dan anak memburuk.
Akan tetapi bila kita terlalu sering mendengarkan kemauan anak, ini sama saja dengan membesarkan anak untuk menjadi pribadi yang manja. Anak kita akan memiliki semakin banyak kemauan dan akan semakin sulit mendengarkan kata-kata kita sebagai ayahnya. Kondisi ini seringkali berujung pada bentakan atau bahkan pukulan seperti di atas.
Ayah yang keras atau anak yang manja bukanlah hasil yang kita harapkan. Untuk itulah kita perlu mengedepankan sikap tegas karena ketegasan itu adalah jalan tengah untuk menghasilkan ayah yang pengertian dan anak yang penurut. Dua hal itu adalah bentuk nyata keberhasilan mendidik anak yang diharapkan baik oleh si Ayah maupun oleh si Anak.
Adil
Untuk menjadi seorang ayah yang tegas itu harus bersikap adil. Sikap adil ini memiliki korelasi yang kuat dengan sikap tegas, karena tidak mungkin seorang ayah menemukan jalan tengah saat berseberangan dengan anaknya tanpa sikap adil. Hal ini disebabkan karena anak kita membutuhkan aturan yang adil. Tanpa aturan yang adil ini, kemungkinan besar anak kita akan berontak.
Setiap sebab ada akibat, setiap pilihan ada konsekuensi, setiap aksi ada reaksi. Aturan main tersebut perlu kita kedepankan, baik terhadap anak kita atau terhadap diri kita. Itu artinya saat kita menginginkan sesuatu, kita perlu merelakan sesuatu. Sebaliknya saat anak kita menginginkan sesuatu, anak kita pun perlu merelakan sesuatu.
Saat keinginan anak datang bertubi-tubi, kita atasi dengan pilihan. Anak-anak saya sering meminta lebih dari satu hal pada saat yang bersamaan. Pada saat seperti ini, saya memberikan pilihan. Umumnya saya meminta anak-anak saya untuk memilih setengah dari apa yang mereka mau atau paling tidak saya meminta mereka memilih satu dari apa yang mereka mau. Dalam hal ini, selain berusaha untuk bersikap tegas dan adil, saya juga ingin mengajarkan anak saya untuk tidak serakah.
Saat keinginan kita berseberangan dengan keinginan anak, kita atasi juga dengan memberikan pilihan. Contohnya saat kita ingin istirahat dan anak kita minta digendong. Dalam kondisi seperti ini saya kerap membuat pilihan. Dalam contoh istirahat dan gendong tadi, saya meminta anak saya untuk memilih dipangku atau tidak digendong sama sekali. Kemungkinannya anak saya benar-benar memilih adalah 50-50. Kadang anak saya setuju untuk dipangku, kadang anak saya kekeuh minta digendong. Biasanya saya memberi bonus di pilihan pangkuan itu, misalnya dengan menyuapi makanan atau sambil bermain. Dengan begitu kemungkinan anak-anak saya bersedia dipangku menjadi besar.
Konsisten
Bersikap tegas dan adil memang tidak mudah. Dua contoh kecil di atas pun tidak bermaksud untuk memberi kesan mudah dalam mengatur dan mendidik anak. Meminta anak saya untuk memilih 2 dari 4 atau 1 dari 2 pilihan mereka bukanlah hal yang mudah. Meminta anak saya untuk memahami kondisi kita sehingga mau menerima tawaran pilihan dari saya juga bukan hal yang mudah. Akan tetapi, konsistensi pada sikap tegas dan adil di atas sangat membantu.
Untuk membuat sikap tegas dan adil itu membuahkan hasil dalam proses mendidik anak, kita membutuhkan sikap konsisten. Saat kita sudah memberikan pilihan, usahakan untuk tidak merubahnya. Hindari mengingkari janji memberikan sesuatu kepada anak. Hindari membuat anak kecewa karena dia tidak mendapatkan apa yang dijanjikan. Hindari menarik kembali hukuman yang seharusnya diterima oleh anak. Hindari membuat anak ngelunjak karena menganggap ancaman hukuman dari kita hanya gertak sambal.
Sikap tegas, adil, dan konsisten adalah tiga sikap yang saya tekankan pada diri saya saat mendidik kedua anak laki-laki saya.[1] Hal ini disebabkan karena anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk patuh kepada aturan yang dibuat oleh orang yang dihormati mereka. Anak laki-laki membutuhkan aturan yang jelas untuk mengarahkan hidup mereka dan aturan itu harus merupakan aturan yang adil. Oleh karena itu saya merasa perlu bersikap tegas, adil, dan konsisten dalam membuat aturan main dalam keluarga.
Hindari menuruti semua keinginan anak dan hindari pula memaksakan semua keinginan kita sebagai ayah. Dengarkan apa keinginan anak dan -bila memungkinkan- sampaikan pula keinginan kita. Dengan begitu kita sudah membuka jalan untuk menjadi seorang ayah yang tegas dengan aturan yang adil. Setelah itu kita pertahankan langkah kita menuju sikap tegas dan adil itu dengan bersikap konsisten.
Itu saja yang bisa saya sampaikan dalam tulisan ini. Semoga dapat membantu pembaca, terutama diri saya sendiri, dalam mendidik anak laki-laki mereka. Saat tulisan ini dibuat, kedua anak laki-laki hampir mencapai usia 2 tahun 6 bulan. Saya masih memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk mempelajari dan menerapkan pola pendidikan anak yang baik; insya Allah.
--
[1] Perlu diperhatikan bahwa cara mendidik anak perempuan sebaiknya dibedakan dengan cara mendidik anak laki-laki, tapi saya tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.
Nais inpo gan
BalasHapusIjin nyimak, nanti dipraktikan kalau ana sudah punya aka, mohon do'anya yah
Dari username-nya bikin curiga kalau yang komentar itu cuma mau pasang link, tapi setelah dilihat ternyata milik kawan lama. :D
BalasHapus