Minggu, 24 Mei 2015

Jujur Pangkal Baik

0 opini
Kaca Retak*
Jujur pangkal baik. Itulah salah satu prinsip hidup yang saya pegang hingga saat ini. Prinsip hidup tersebut mulai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup saya sejak saya duduk di bangku kelas 3 SMA, yaitu saat saya dipergoki mencontek pada waktu ulangan Sejarah. Saya tidak tahu persis pemicunya, tapi kepergok mencontek saat itu menumbuhkan penyesalan yang sangat mendalam dalam hati saya sehingga saya memutuskan untuk tidak lagi mencontek. Bukan hanya itu, saya pun memutuskan untuk tidak lagi berbohong.

Ternyata keputusan untuk tidak lagi berbohong itu membawa kebaikan yang jauh lebih besar. Bagaimana tidak? Semua hal-hal buruk yang biasa saya lakukan dan saya tutupi dengan kebohongan lambat laun berkurang seiring dengan berkurangnya kebohongan yang saya lakukan. Berhubung saya tidak mau lagi berbohong, saya pun "terpaksa" mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk saya. Dengan berhenti berbohong, saya tidak hanya berubah menjadi orang yang jujur, tapi saya pun berubah menjadi orang yang lebih baik.

Prinsip hidup tersebut yang ingin saya wariskan kepada anak-anak saya. Saya ingin anak-anak saya memahami dan menyadari bahwa kejujuran adalah sifat dasar yang harus mereka miliki. Saya ingin anak-anak saya memahami dan menyadari bahwa kejujuran adalah bagian penting yang tidak boleh "hilang" dari seorang manusia. Saya ingin anak-anak saya memahami dan menyadari bahwa kejujuran adalah modal dasar seorang manusia untuk tumbuh menjadi manusia yang baik.

Tentu saja saya tidak akan menunggu sampai anak-anak saya duduk di bangku kelas 3 SMA untuk menanamkan sikap jujur dalam diri mereka. Sebaliknya saya ingin menanamkan sikap jujur itu sedini mungkin karena semakin tua seseorang, semakin sulit pula membentuk kepribadian mereka. Itulah alasannya kenapa saya mulai membiasakan anak-anak saya untuk bersikap jujur (dan tidak pernah berbohong) sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SD.

Prosesnya tentu saja bertahap. Saya tentu saja mengawalinya dengan memperkenalkan konsep jujur dan bohong. Kenapa konsep bohong juga perlu diperkenalkan? Tujuannya adalah agar anak-anak saya memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai "jujur" dan "tidak jujur". Jangan sampai hal-hal yang "tidak jujur" dianggap sebagai hal-hal yang "jujur" atau juga sebaliknya. Pengenalan konsep-konsep ini pun berjalan secara perlahan karena kemampuan anak-anak di kelas 1 SD untuk memahami sebuah konsep itu memang masih sangat terbatas.

Walaupun begitu, memperkenalkan konsep jujur dan bohong pada anak-anak berusia 6-7 tahun itu mudah kok. Tantangan sebenarnya ada pada proses "membiasakan". Justru membiasakan anak-anak untuk bersikap jujur itu yang sangat jauh dari mudah. Ada 2 tantangan utama dalam proses tersebut. Pertama, saya sebagai orang tua harus SELALU bersikap jujur, khususnya saat berurusan dengan anak-anak. Kedua, anak-anak saya tetap bisa belajar berbohong dari sumber lain dan mulai menganggap bahwa berbohong itu memang perlu dilakukan. Kedua tantangan itu kerap menghabiskan energi yang tidak sedikit.

Membiasakan anak-anak untuk bersikap jujur itu memang sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Hal yang penting untuk dilakukan adalah... siap-siap berangkat shalat Isya dan melanjutkan tulisan ini di kesempatan berikutnya. Insya Allah.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Minggu, 17 Mei 2015

Waktunya Menulis Kembali

1 opini
To Blog or Not To Blog*
Sudah lama sekali saya tidak menulis di blog, baik di blog ini, di Bagaimana Cara, maupun di Teknokrasi. Saya sendiri memang tidak rutin menulis di blog. Kesibukan kuliah justru membuat saya semakin tidak rutin menulis di blog. Sejak saya mulai kuliah, yaitu awal September tahun 2013 (kira-kira 18 bulan yang lalu), saya hanya mempublikasikan 12 tulisan di blog ini, 4 tulisan di Bagaimana Cara, dan 4 tulisan lainnya di Teknokrasi. Mayoritas tulisan itu pun sepertinya saya tulis saat libur kuliah.

Saat kuliah, saya lebih memilih untuk fokus belajar dan mengerjakan tugas-tugas kuliah dibandingkan menulis panjang-lebar di blog. Akhir pekan juga sering saya manfaatkan untuk urusan kuliah. Saat ada waktu luang, saya lebih memilih untuk menghabiskan waktu saya untuk berhibur bersama istri dan anak-anak. Pola hidup seperti itu lambat laun terbentuk dengan sendirinya sehingga pasca kuliah pun, setelah saya kembali bekerja, saya masih menerapkan pola hidup yang sama. Senin s.d. Jumat saya maksimalkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab saya, sementara Sabtu dan Minggu saya dedikasikan untuk istri dan anak-anak.

Lalu kenapa saya memutuskan untuk kembali menulis di blog? Karena saya merasa kehilangan. Kehilangan apa? Pertama, saya kehilangan satu saluran untuk berbagi manfaat. Saya yakin tulisan-tulisan saya bisa memberikan manfaat walaupun jumlahnya tidak seberapa. Sebagai seorang muslim, kesempatan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat itu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja; sekecil apa pun kesempatan itu. Saya bisa saja berbagi tulisan melalui status update di Facebook atau membuat rangkaian twit di Twitter, tapi tulisan-tulisan tersebut akan lebih mudah ditemukan lewat Google Search bila dipajang di blog.

Kedua, saya kehilangan satu cara untuk berpikir kreatif. Saya memang bukan orang paling kreatif di dunia ini, tapi saya masih merasa bahwa menulis itu justru menumbuhkembangkan kreativitas saya. Paling tidak, dengan menulis di blog, saya bisa memikirkan (dan menuliskan) hal-hal di luar rutinitas sehari-hari. Kalaupun tidak bisa lepas dari rutinitas sehari-hari, paling tidak menulis itu bisa membantu menata pemikiran saya menjadi lebih logis dan sistematis.

Ketiga, saya kehilangan satu paksaan untuk membaca. Menulis itu pada dasarnya memaksa saya untuk membaca. Tidak mungkin saya menulis sesuatu yang saya tidak tahu. Hal ini jelas bertolak belakang dengan keinginan saya untuk memberikan manfaat lewat tulisan. Saya pasti akan menulis sesuatu yang saya tahu. Bila pengetahuan saya kurang, otomatis saya akan mencari tahu dan minimal saya akan membaca tulisan-tulisan yang relevan dan memiliki kredibilitas yang memadai.

Tiga hal tersebut yang menjadi alasan utama kenapa saya kembali memutuskan untuk menulis di blog. Walaupun saya semakin jarang menulis di blog, bahkan mendekati status vakum, darah blogger itu ternyata belum berhenti mengalir di dalam tubuh saya. Sudah waktunya bagi saya untuk meramaikan kembali blog-blog saya; minimal blog ini. Semoga saja keputusan ini tidak bersifat sepihak, maksud saya, tidak bersifat sementara.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search