Minggu, 14 Juni 2015

Jujur Pangkal Baik - 2

0 opini
Melanjutkan tulisan sebelumnya: Jujur Pangkal Baik.

Membiasakan anak-anak untuk bersikap jujur itu memang sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Hal yang penting untuk dilakukan adalah bersikap tegas, adil, dan konsisten. Saya sudah pernah menulis tentang menjadi ayah yang tegas, adil, dan konsisten sebelumnya, tapi dalam tulisan ini, konteksnya akan saya batasi pada menumbuhkan sikap jujur dalam diri anak-anak.

Tegas
Being Firm*
Untuk menumbuhkan sikap jujur pada diri anak-anak, setiap orang tua harus bersikap tegas dalam menolak segala sikap yang berbau kebohongan. Saya sendiri terbilang ekstrim dalam hal ini karena berbohong untuk bercanda pun saya tegaskan sebagai sesuatu yang salah. Bila saya memergoki anak saya berbohong dalam konteks bercanda, saya tetap tegur mereka dan mengingatkan mereka bahwa perbuatan mereka itu tidak benar.

Ketegasan di atas sebenarnya merupakan cerminan dari ajaran Islam tentang kebohongan. Dalam Islam, bohong itu tidak dapat dibenarkan kecuali untuk hal-hal yang bersifat darurat. Ada beberapa kondisi tertentu yang dapat membenarkan kebohongan dalam ajaran Islam, tapi bercanda bukanlah salah satunya. Itulah alasannya kenapa saya tidak membiarkan anak-anak saya berbohong, walaupun hanya untuk haha-hihi semata.

Kadar kebohongan itu sendiri bervariasi. Kadang hanya untuk bercanda, kadang untuk menutupi suatu insiden atau perbuatan buruk. Oleh karena itu, kadar penolakan yang saya terapkan pun harus disesuaikan dengan kadar kebohongan yang dilakukan oleh anak saya. Contohnya kalau bohong yang dilakukan hanya sebatas bercanda, penolakan yang saya lakukan hanya sebatas teguran lisan. Itu pun dengan syarat mereka mau menyesali perbuatan mereka. Kalau bohong yang dilakukan sudah sampai ke tingkat menutupi suatu insiden atau perbuatan buruk, penolakan yang saya lakukan bisa saya tingkatkan sampai mencabut kebutuhan sekunder atau tersier yang mereka nikmati.

Adil
Being Fair*
Setelah tegas, datanglah adil. Dalam konteks menumbuhkan sikap jujur dalam diri anak-anak, bersikap adil berarti tidak hanya menuntut anak-anak untuk tidak berbohong, tapi juga menuntut diri kita sendiri sebagai orang tua untuk tidak berbohong; terutama di depan anak-anak kita. Jelas tidak adil bila kita menuntut anak kita untuk senantiasa jujur, sementara kita sendiri dengan mudahnya berbohong.

Kadang kita berbohong tanpa kita sadari. Mungkin karena kita sudah terbiasa berbohong saat bercanda atau saat merasa kepepet, kebiasaan itu pun muncul begitu saja di depan anak-anak kita; bahkan saat kita sudah berniat untuk tidak berbohong. Contohnya adalah saat kita menakut-nakuti anak kita dengan adanya hantu atau monster, kita sedang berbohong karena kita tahu hantu atau monster itu tidak ada. Contoh lainnya adalah saat kita tidak menepati janji kita, misalnya membatalkan janji membelikan sesuatu atau mengajak anak kita jalan-jalan ke suatu tempat karena kita malas, kita pun sedang berbohong. Kalaupun kita tidak merasa diri kita berbohong, anak-anak kita tetap akan menganggap kita mengucapkan sesuatu yang tidak benar. Dan itu, bagi anak-anak kita, adalah berbohong.

Kalau kita masih berbohong kepada (atau di hadapan) anak-anak kita, anak-anak akan menganggap kita curang karena hanya bisa menyuruh tanpa bisa melakukan. Anak-anak kita pun akan mulai menganggap enteng kejujuran karena orang tua mereka sendiri ternyata masih berbohong. Pada akhirnya usaha untuk menumbuhkan sikap jujur di dalam diri anak-anak tidak akan tercapai; bukan karena mereka tidak mau, tapi karena kita yang tidak adil.

Konsisten
Being Consistent*
Untuk melengkapi tegas dan adil, kita pun harus bisa bersikap konsisten. Berdasarkan pengalaman saya, bersikap tegas dan adil itu sulit, tapi bersikap konsisten dalam ketegasan dan keadilan itu jauh lebih sulit lagi. Tantangan sebenarnya dalam bersikap tegas dan adil itu justru muncul saat kita berusaha untuk tetap konsisten.

Saat ingin konsisten bersikap tegas, kita kadang merasa kasihan kepada anak kita sehingga kita mulai mengendurkan sikap tegas kita. Saat sikap tegas kita naik-turun seperti itu, kepatuhan anak-anak untuk tetap bersikap jujur pun akan naik-turun. Bukan tidak mungkin naik-turunnya sikap tegas kita justru dianggap sebagai sebuah kelemahan yang dapat dieksploitasi oleh anak-anak kita.

Saat ingin konsisten bersikap adil, kita kadang merasa malas dan lebih banyak menuntut ketimbang memberi contoh. Saat sikap adil kita naik-turun seperti itu, kepatuhan anak-anak untuk tetap bersikap jujur pun akan naik-turun. Bukan tidak mungkin naik-turunnya sikap adil kita justru membuat anak-anak kita semakin tidak menghormati dan mematuhi kita.

Sikap tegas, adil, dan konsisten adalah tiga sikap yang terus saya tekankan pada diri saya dalam hal mendidik anak. Tantangannya tidak sedikit, tapi hasil akhirnya pun sangat memuaskan. Anak-anak saya tumbuh dengan menyadari bahwa bohong itu salah. Saat tulisan ini dibuat, sesekali waktu mereka masih berbohong, tapi mereka masih mau menyadari kesalahan mereka dan meminta maaf saat mereka berbohong; bahkan saat bercanda. Hasil akhir yang lebih memuaskan lagi adalah saya pun tumbuh menjadi orang tua yang dapat dipercaya. Mereka mungkin saja tidak mempercayai kata-kata seseorang, tapi mereka percaya penuh dengan kata-kata saya walaupun apa yang saya katakan sama persis dengan yang mereka dengar dari orang tersebut.

Demikian pengalaman yang bisa saya ceritakan lewat tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat membantu kita, terutama diri saya sendiri, dalam menumbuhkan sikap jujur dalam diri anak-anak kita. Aamiin.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search