Sabtu, 20 Desember 2008

Pembantu Rumah Tangga dilindungi Undang-Undang?

0 opini
Saya rasa keberadaan Undang-Undang (UU) untuk melindungi hak dan kewajiban Pembantu Rumah Tangga (PRT) memang diperlukan karena kasus pelanggaran hak dan perlakuan kasar majikan terhadap PRT sering terjadi. Tapi saya melihat ada kemungkinan keberadaan UU itu akan mempersulit para majikan untuk mempekerjakan PRT.

Undang-Undang tersebut akan mengatur segala sesuatu tentang PRT. Saya bukan orang yang mengerti hukum dan saya pun belum pernah melihat draft rancangan UU tersebut, tapi sumber-sumber yang saya baca memperlihatkan UU itu akan membuat PRT diperlakukan sebagaimana tenaga kerja pada umumnya. Upah minimum, waktu kerja, cuti, lembur, jamsostek, dan berbagai hal lain akan diatur dalam UU tersebut.

Majikan pasti akan bereaksi. Saya juga termasuk pengguna jasa PRT. Saya pun bereaksi. Tapi saya tidak memiliki maksud negatif. Saya tidak pernah memperlakukan PRT semena-mena. Saya bahkan berusaha memenuhi kebutuhan PRT walaupun kadang harus berkorban waktu, biaya, dan tenaga. Saya memperlakukan PRT yang saya pekerjakan sebagaimana saya memperlakukan karyawan umum yang bekerja pada saya.

Tapi sampai saat ini saya melihat ada perbedaan yang nyata antara karyawan dan PRT. Upah PRT melihat upah PRT pada umumnya. Waktu kerja dari pukul 5 pagi sampai 9 malam, tapi bukan bekerja tanpa henti. Saya senantiasa memberikan PRT waktu istirahat dan waktu berhibur yang cukup. Cuti saya berikan saat PRT perlu pulang kampung dari menjelang sampai dengan sesudah hari raya.

Mungkin bukan itu saja yang membedakan PRT dengan karyawan pada umumnya. Tapi kalau sampai PRT menjadi sama dengan karyawan umum, masalah paling utama sepertinya terletak pada waktu kerja. Saya tidak bisa membayangkan kalau saya hanya boleh mempekerjakan PRT selama 8 (delapan) jam sehari sementara saya punya 2 (dua) anak berumur 5 (lima) bulan. Saya perlu bantuan mengurus kedua anak saya mulai dari mereka bangun sampai mereka tidur.

Memberi uang lembur? Bisa saja. Tapi buat saya sepertinya hal ini akan menyulitkan. Upah Minimum Propinsi Banten tahun 2008 adalah Rp. 837.000. Saya tinggal di Tangerang jadi saya harus mengikuti aturan upah minimum tersebut. Kalau ditambah lembur, mungkin saya akan membayar PRT lebih dari 1 juta Rupiah. Kalau saya menggunakan dua orang PRT, saya harus menyiapkan uang lebih dari 2 juta Rupiah.

Kemudian masalah cuti, saya pribadi memilih untuk tidak mempekerjakan PRT yang sedang hamil. PRT itu pekerja kasar. Saya rasa PRT hamil akan sulit bekerja seperti biasanya. Apa jadinya kalau hamil saat sudah bekerja? Sepertinya saya harus mencantumkan "kesediaan untuk tidak hamil selama bekerja" dalam kontrak perjanjian dengan PRT saya nanti.

Masih banyak lagi hal yang ingin saya tuangkan. Sayangnya saya mulai kesulitan mengumpulkan kata-kata yang tepat. Pada intinya saya menyambut baik keberadaan UU untuk mengatur hak dan kewajiban PRT. Saya hanya berharap UU tersebut tidak menimbulkan masalah lain.

Referensi: