Tampilkan postingan dengan label Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anak. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Agustus 2023

Meruntuhkan Tembok Pemisah Anak dan Orang Tua

0 opini

Meruntuhkan tembok yang sudah terlanjur berdiri membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku untuk "tembok" antara saya dan kedua anak laki-laki saya. Butuh lebih dari ngobrol santai sambil jalan ke masjid untuk benar-benar merobohkan tembok itu.

Jalan panjang untuk merobohkan tembok itu saya mulai sejak tahun 2018. Saat itu, setelah bertahun-tahun berkutat dengan Agile, saya mulai menerapkan hal-hal positif dalam Agile ke dalam cara saya mendidik anak. Penerapannya mencakup teori (fondasi) sampai praktik yang relevan.

Sebagai fondasinya, saya menyusun Agile Parenting Manifesto saya sendiri. Manifesto itu menyontek isi Manifesto Agile yang asli, yaitu Manifesto for Agile Software Development. Saya ubah isinya agar Manifesto yang saya buat sesuai dengan konteks mendidik dan membesarkan anak.

Manifesto untuk Agile Parenting yang saya susun dapat dibaca di sini: https://asyafrudin.blogspot.com/2018/07/mendidik-anak-dengan-agileparenting.html

Inti dari Manifesto itu adalah mengutamakan kebahagiaan semua anggota keluarga, baik anak-anak maupun orang tua. Kebahagiaan didefinisikan bersama-sama melalui komunikasi yang positif dan terbuka. Untuk memaksimalkan keterbukaan, pastikan ada toleransi dan fleksibilitas.

Sejak saat itu, setiap praktik parenting yang saya lakukan terus mengacu ke Manifesto itu. Mulai dari membiasakan family meeting, lebih toleran terhadap masalah, sampai membuat kesepakatan internal rumah tangga, dasarnya adalah Manifesto itu. Pola parenting saya berubah drastis.

Perlahan-lahan kedua anak laki-laki saya lebih berani membuka diri. Frekuensi mereka bercerita, termasuk bercerita soal masalah, ikut meningkat. Masalah tetap ada, tapi lebih sedikit yang disembunyikan. Akibatnya kuantitas kebohongan dan silat lidah mereka juga menurun.

Upaya saya untuk menahan diri dari marah juga memberikan hasil positif. Semakin sedikit kebohongan, semakin mudah bagi saya untuk fokus pada masalah yang ada. Dengan begitu, saya bisa lebih bijak menghadapi masalah di tengah keluarga, khususnya yang terkait dengan anak-anak.

Setelah 5 tahun lebih menerapkan Agile Parenting, hasilnya memang positif. Anak-anak saya sendiri bahkan mengaku, lewat obrolan kami, bahwa mereka berdua merasa lebih nyaman berinteraksi dengan saya. Saya juga merasa lebih nyaman berinteraksi dengan mereka berdua.

Sayangnya sisa-sisa tembok yang runtuh itu masih ada. Kebohongan masih terdeteksi sesekali waktu. "Pemberontakan" yang tersembunyi juga masih saya pergoki walaupun saya berkali-kali minta mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Namun, trennya tetap ke arah yang lebih baik.

Hal yang menarik adalah kecepatan runtuhnya tembok itu berbeda di antara kedua anak laki-laki saya. Salah satu dari mereka kelihatannya memiliki luka yang lebih dalam di masa kecilnya. Alhasil proses untuk menjadi lebih terbuka juga membutuhkan waktu yang lebih lama.

Hal itu membuat saya menyadari bahwa anak-anak butuh pendekatan yang personal dan privat. Setiap anak butuh komunikasi dan interaksi yang sesuai dengan kondisi masing-masing dan saya harus merespons hal itu. Mungkin saya bisa bagikan juga ceritanya, tapi tidak di sini.

Satu hal yang pasti, obrolan yang terjadi saat kami bersama-sama pergi shalat berjamaah adalah hasil dari perbaikan komunikasi dan interaksi. Obrolan itu menjadi bagian dari keterbukaan yang kami butuhkan di tengah keluarga kami. Semoga saja hal ini bisa kami pertahankan. Aamiin.

***

Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932699408814080

Senin, 14 Agustus 2023

Mengikat Hati Anak dengan Shalat Berjamaah

0 opini

Ada banyak alasan mengajak anak ke masjid. Kita bisa mengenalkan anak pada berbagai kegiatan di masjid mulai dari shalat berjamaah, mengaji, tidur, sampai main petak umpet. Kita bisa mengenalkan anak pada adab di masjid seperti mengutamakan shalat daripada main petak umpet.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah ikatan. Mengajak anak shalat di samping kita dan melanjutkannya dengan berzikir, apabila dilakukan secara konsisten, akan menjadi salah satu cara membentuk ikatan antara kita dengan anak kita. Namun, kita tidak bisa berhenti di situ.

Ikatan akan terbentuk bila shalat dan zikir menjadi bagian dari rangkaian interaksi yang kita bangun bersama anak-anak kita. Obrolan dan canda dalam perjalanan pergi dan pulang dari masjid juga tidak kalah penting. Prosesnya harus kita rangkul secara menyeluruh.

Saya merasakan hal itu dengan anak saya yang paling kecil. Berhubung dia perempuan, saya tidak membiasakan dia pergi ke masjid. Mungkin alasan dia hanya sebatas ingin bermain bersama teman-temannya, tapi dia selalu ingin pergi ke masjid bersama saya. Alhamdulillaah.

Hampir setiap hari kami selalu berjalan bergandengan tangan ke masjid. Subuh, Magrib, dan Isya menjadi We-Time untuk saya dan anak bungsu saya itu. Di akhir pekan, Zuhur dan Asar juga sama. Kadang kami naik motor, kadang sepeda. Apapun modanya, kebersamaan itu terus terjaga.

Dalam kebersamaan itu kami bertukar cerita. Ceritanya cenderung ringan, tapi kadang serius seperti masalah dengan teman atau isu di sekolah. Kadang saya sendiri yang memulai pembicaraan serius. Ada kalanya obrolan itu menjadi pembuka untuk membahas sesuatu yang lebih penting.

Tentu saja kondisinya tidak selalu kondusif. Ada kalanya mood saya atau anak saya sedang tidak baik. Akhirnya kebersamaan itu hanya sebatas sama-sama jalan pada waktu yang sama. Namun, ada kalanya mood itu membaik karena kami mau bertanya atau bercerita tentang masalah kami.

Ya, benar. Kalau saya diam saja, anak saya itu berani bertanya ada masalah apa. Saat saya menjawab dan bercerita, ada belenggu yang lepas dari hati saya sehingga mood saya membaik. Kalaupun saya tidak bisa ceritakan, rasanya tetap lebih plong saat kita merasa diperhatikan, kan?

Hal itu bersifat resiprokal. Kalau dia diam saja, giliran saya yang bertanya ada masalah apa. Kadang dia mau menceritakan hal yang membuat dia gundah, tapi kadang dia menahannya. Apapun pilihannya, kelihatannya dia tetap mendapatkan mood booster yang sama dari perhatian saya.

Pengalaman positif itu terus saya rasakan. Saya ceritakan juga pengalaman itu kepada istri saya. Saya melihat kebersamaan itu, walaupun kecil, sebagai sesuatu yang berharga. Saya yakin istri saya juga bisa mengambil manfaatnya kalau dia ikut mendampingi anak saya ke masjid.

Satu hal yang saya sesali adalah hal itu tidak saya dapatkan bersama kedua anak laki-laki saya yang pertama. Saya bahkan secara aktif membiasakan mereka shalat berjamaah di masjid. Namun, kuantitas (atau mungkin kualitas) kebersamaan yang sama tidak saya rasakan bersama mereka.

Saya sadari bahwa saya lebih sering bersikap keras saat membesarkan kedua anak laki-laki saya. Saat saya berhasil menjadi lebih bijaksana, "tembok" antara saya dan mereka sudah terlanjur berdiri. Anak bungsu saya lebih beruntung karena tumbuh bersama saya yang lebih dewasa.

Untungnya tembok yang menjadi pemisah itu masih bisa diruntuhkan sedikit demi sedikit. Walaupun tidak seintens dengan adik mereka, suasana akrab saat kami pergi ke masjid bersama masih terbentuk. Obrolan dan canda masih muncul sesekali waktu. Pengalamannya tetap menyenangkan.

Satu hal yang pasti, kebersamaan yang saya rasakan bersama anak-anak saya adalah bagian dari kebersamaan yang lebih besar dalam hidup kami. Komunikasi dan interaksi positif memang harus dibentuk dalam setiap kesempatan yang ada. Shalat berjamaah di masjid adalah salah satunya.

***

Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932675086032897

Senin, 17 Juli 2023

Berburu SMA

0 opini

Melihat kembali perjalanan pendaftaran sekolah anak-anak dari SD, SMP, sampai SMA di tahun ini, indikasi kecurangan itu tetap ada. Sampai kapan, ya?

Berburu SD

Sembilan tahun yang lalu, saat berburu SD, prosedur pendaftarannya sederhana, tapi hasil pendaftarannya kurang transparan. Anak-anak saya tidak diterima di 3 sekolah dengan alasan jarak atau usia, tapi berhubung ada kabar "uang pelicin" untuk diterima, saya tidak terlalu percaya.

Saya tidak mau repot-repot mencari bukti dan memperjuangkan agar anak-anak saya diterima di 3 sekolah itu. Cari yang dekat saja, walaupun kualitasnya pas-pasan. Pada akhirnya, walaupun sedikit lebih repot, anak-anak saya berhasil mendapatkan sekolah.

Berburu SMP

Enam tahun kemudian, saat daftar SMP, prosesnya lebih sederhana dan lebih mudah karena dilakukan secara daring. Kriteria penerimaannya juga mudah dipahami dan hasilnya cukup transparan. Kondisinya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan pendaftaran SD yang lalu.

Walaupun begitu, sistem zonasi memang menjadi momok. Lokasi sekolah yang tidak merata membuat banyak calon siswa tersingkir, termasuk anak-anak saya. Itu alasannya kenapa banyak orang tua rela memindahkan anak mereka ke kartu keluarga (KK) yang lokasinya dekat sekolah.

Kami beruntung karena saat itu ada jalur pendaftaran tahap 2 berbasis prestasi. Posisi anak-anak saya tetap mengkhawatirkan, tapi berakhir baik. Walaupun mereka tidak memiliki prestasi gemilang, nilai rata-rata mereka masih cukup untuk mengamankan kursi di salah satu SMP negeri.

Terlepas dari happy ending itu, mekanismenya perlu diperbaiki. Sistem zonasi, misalnya, bisa mendorong orang mengatur KK untuk anak mereka. Prestasi anak juga bisa saja diatur dengan nilai-nilai di sekolah sebelumnya. Dari 2 hal itu, mekanisme zonasi yang paling berisiko.

Berburu SMA Negeri

Di pendaftaran SMA baru-baru ini, kondisi itu terbukti. Ada siswa yang rumahnya hanya berjarak 7 meter dari sekolah. Ada sekelompok siswa yang jarak tempat tinggalnya sama persis dari SMA yang sama. Ada juga yang mengaku terdaftar di jalur zonasi lewat "orang dalam".

Kuota di jalur zonasi memang sangat banyak. Tidak heran kalau para orang tua akhirnya "memaksa" untuk masuk lewat jalur itu. Kalaupun mereka mengatur KK, aturannya memang membolehkan, terlepas dari kasus absurd seperti jarak 7 meter atau sekelompok siswa yang ada di KK yang sama.

Anak-anak saya memang tidak mungkin terdaftar di jalur zonasi karena pasti kalah bersaing. Kami hanya mengandalkan jalur prestasi. Sayangnya kuota jalur prestasi itu jauh lebih sedikit dari kuota zonasi. Alhasil nilai rata-rata 86,68 mereka gagal mengamankan kursi.

Saya akhirnya mendaftarkan anak-anak saya ke salah satu SMA Muhammadiyah. Mereka sudah diterima dan, saat tulisan ini dibuat, sudah mulai sekolah. Namun, lucunya eksekusi sistem pendaftaran SMA ini masih menjadi topik yang hangat di tengah keluarga.

Anak-anak saya menyaksikan sendiri kecurangan yang dilakukan orang demi mendapatkan sekolah negeri. Mereka juga melihat langsung kecurangan itu seperti dibiarkan oleh pihak yang berwenang. "Percuma saja ada verifikasi," keluh salah satu anak saya. Kami semua hanya bisa tertawa.

Semoga saja kondisinya terus membaik. Semoga hal-hal konyol di jalur zonasi bisa digerus sampai habis. Semoga kuota jalur prestasi ditambah. Semoga prestasi di tingkat sekolah bisa diperhitungkan. Semoga kecurangan di proses pendaftaran sekolah dapat diminimalkan.

Berlaku curang saat daftar sekolah itu ironis. Masak untuk diterima di sekolah negeri harus "mengakali" KK atau masih lewat orang dalam? Kalau masih begitu, untuk apa ada sistem pendaftaran elektronik? Lagi pula, didikan apa yang mau kita tanamkan di dalam diri anak-anak kita?

Di balik semua itu, ada pelajaran yang bisa diambil. Anak-anak saya jelas mendapat pelajaran soal pentingnya disiplin dan rajin. Mereka disadarkan bahwa kegagalan mereka, walaupun ada pihak lain yang bisa disalahkan, adalah karena kemalasan mereka sendiri.

Beralih ke SMA Swasta

Kami juga mendapat kesempatan berbaik sangka pada Yang Maha Kuasa. Walaupun tidak masuk sekolah negeri, kami tetap bersyukur ditunjukkan jalan menuju SMA yang islami. Bukan tidak mungkin memang ini jalannya untuk membentuk karakter yang lebih baik dalam diri anak-anak kami.

Tidak bisa dipungkiri bahwa jalan menuju SMA Muhammadiyah itu seperti dibukakan untuk kami. Dari gagal masuk sekolah negeri, ada yang tiba-tiba mengarahkan ke SMA Muhammadiyah, sampai uang juga cukup untuk menutupi biaya pendaftaran. Apa itu istilahnya, "semesta mendukung", ya?

Last but not least, hidup harus jalan terus dan terus lurus. Kecurangan harus dihindari karena memang itu jalan hidup yang diridai Allah Swt. Jangan sampai kecurangan yang kita anggap kecil berbalik menjadi masalah di masa depan, apalagi di akhirat. Na'uudzubillaahi.

Minggu, 16 Januari 2022

Tanpa Gim, Tanpa Proyek (2)

0 opini
Game Over oleh Freepik

Sambungan dari Tanpa Gim, Tanpa Proyek (1)

Pilihan untuk berhenti mengerjakan proyek pribadi tidak langsung diterima oleh anak-anak saya. Mereka masih mencoba mengikuti kemauan saya agar mereka terus mengerjakan proyek yang sudah disepakati sebelumnya. Hal-hal seperti membangun keterampilan, memperluas wawasan, atau mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dijadikan alasan untuk terus mengerjakan proyek. Tapi, apa yang terucap sudah tidak lagi terlihat. Cara mereka mengerjakan proyek pribadi mereka sudah jelas menunjukkan bahwa mereka tidak lagi bersemangat. Sangat jelas terlihat bahwa mereka melakukan itu hanya demi main gim setiap hari. Kesimpulannya, proyek pribadi tetap berhenti.

Seminggu setelah kesepakatan itu kami buat, saya tanyakan kembali kesan mereka setelah 1 minggu tidak mengerjakan proyek. Untungnya kami sudah terbiasa melakukan pertemuan keluarga setiap pekan. Jadi, waktu untuk melakukan evaluasi terhadap kesepakatan di dalam keluarga selalu tersedia. Di pertemuan keluarga itu, salah satu anak saya menyatakan bahwa tidak mengerjakan proyek itu "biasa saja." Saudaranya justru berkata, "enak." Walaupun mereka terlihat sungkan mengutarakan itu, tapi itu adalah ungkapan yang jujur. Saya terima jawaban mereka apa adanya.

Akhirnya kami sepakat untuk meniadakan proyek pribadi sampai waktu yang tidak ditentukan. Berhubung proyek pribadi sepaket dengan waktu main gim di hari kerja, tidak ada proyek berarti tidak ada waktu main gim di hari kerja. Akan tetapi, kesempatan untuk main gim di hari kerja itu masih saya buka. Syaratnya hanya 1, yaitu mereka harus meluangkan waktu untuk melakukan sesuatu yang ekstra. Argumen saya sederhana. Main gim di hari kerja itu, kan, ekstra dan untuk mendapatkan sesuatu yang ekstra, kita juga perlu upaya ekstra.

Secara tidak langsung, saya masih berharap mereka mengerjakan sesuatu di luar urusan akademis dan rutinitas sehari-hari mereka. Secara tidak langsung, saya masih berharap mereka mengerjakan proyek pribadi. Bedanya, kali ini saya memberikan kebebasan mutlak kepada mereka untuk memilih apa yang mau mereka kerjakan dan kapan mereka mengerjakannya. Hak dan kewajibannya sama, tapi tidak terlalu mengikat seperti sebelumnya.

Seminggu setelah kesepakatan itu dibuat, lagi-lagi di dalam pertemuan keluarga, saya evaluasi kembali "kebebasan" yang mereka dapatkan. Berhubung saya sesekali work from home (WFH), saya melihat sendiri bahwa mereka merasa lebih nyaman tanpa proyek. Walaupun tidak lagi bisa main gim setiap hari, hidup mereka tetap terlihat lebih santai. Saya sempatkan diri untuk menanyakan soal "upaya ekstra" mereka selama seminggu terakhir untuk melihat apakah ada yang akan main gim setiap hari di minggu berikutnya. Tidak ada satu pun yang melakukannya. Tapi, tidak ada satu pun yang terlihat menyesal, walaupun itu berarti hanya main gim di akhir pekan.

Sampai saat tulisan ini dibuat, kondisinya masih sama. Mereka hidup tanpa gim, tanpa proyek. Durasinya belum terlalu lama karena kondisi ini dimulai sejak awal Januari. Jadi, perubahannya baru berjalan selama 2 minggu. Mungkin minggu depan mereka berubah pikiran, mungkin sampai akhir tahun kondisinya akan tetap sama. Siapa yang tahu, kan? Satu hal yang pasti, sebelum mereka menemukan proyek yang mereka senang lakukan tanpa paksaan, sepertinya kondisi tanpa gim (di hari kerja) dan tanpa proyek ini lebih baik bagi mereka. 

Minggu, 09 Januari 2022

Tanpa Gim, Tanpa Proyek (1)

0 opini

 

Gamer oleh Freepik

Kemudahan akses, pengaruh lingkungan, dan pengaruh iklan membuat gim tidak pernah lepas dari pikiran anak-anak. Kalau bisa main gim 24/7, anak-anak pasti akan melakukannya. Kalau waktu main gim itu dibatasi, anak-anak mungkin saja merasa terkekang atau bahkan tertekan. Oleh karena itu, waktu main gim adalah sesuatu yang perlu diatur dengan baik di dalam keluarga agar kepuasan bermain dapat diperoleh anak-anak tanpa main gim secara berlebihan.

Di dalam keluarga saya, waktu main gim anak-anak sudah mengalami beberapa kali perubahan. Awalnya anak-anak saya hanya main gim di gawai saya dan mainnya hanya di akhir pekan. Setelah ada cukup uang untuk membeli gawai baru, anak-anak memiliki gawai bersama untuk dipakai main gim bergantian, tapi waktu mainnya tetap hanya di akhir pekan. Setelah mereka cukup besar untuk memiliki gawai sendiri, mereka bebas mengatur gim di gawai masing-masing, tapi waktu main gim mereka tetap hanya di akhir pekan.

Sayangnya anak-anak saya terlalu cerdas untuk menahan diri main gim hanya di akhir pekan. Mereka sering menemukan cara curang untuk bisa main gim di luar waktu yang ditentukan, yaitu di hari kerja. Saat kecurangan-kecurangan itu bermunculan, saya mencoba mengatasinya dengan menegur dan menutup semua celah yang terbongkar. Akan tetapi, cara seperti itu melelahkan. Siapa yang tidak lelah kucing-kucingan dengan anak sendiri? Mau kita sikapi dengan keras, kasihan. Mau kita biarkan, semakin liar. Betul, kan?

Akhirnya saya dan istri saya sepakat memberikan sedikit waktu bermain di hari kerja, yaitu dari pukul 16.00 s.d. pukul 17.30. Kami tawarkan pilihan itu kepada anak-anak kami dengan syarat mereka mau melakukan upaya ekstra, yaitu dengan mengerjakan proyek pribadi. Bagi kami, itu adalah solusi menang-menang. Mereka menang karena bisa main gim di luar akhir pekan. Kami menang karena bisa membiasakan mereka melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat dalam hidup mereka. Untungnya mereka setuju.

Waktu main gim tambahan itu berlaku untuk semua anak-anak saya, tapi proyek pribadi hanya dikerjakan oleh kedua anak remaja saya. Anak saya yang paling kecil tidak memiliki proyek pribadi. Waktunya sudah cukup banyak terpakai untuk mengerjakan bahasa di Duolingo dan Matematika di Khan Academy. Kedua anak remaja saya juga memiliki target harian menggunakan 2 aplikasi itu, tapi kecepatan mereka menyelesaikan target harian dan mengatur waktu jauh lebih baik daripada adik mereka. Jadi, tambahan urusan berupa proyek pribadi itu hanya berlaku untuk kedua anak remaja saya.

Saya juga jelaskan kepada kedua anak saya bahwa adanya proyek itu punya beberapa manfaat. Pertama, proyek pribadi membantu kita membangun keterampilan atau memperluas wawasan di luar rutinitas sehari-hari kita. Kedua, membuat diri kita menjadi lebih bermanfaat dengan menghasilkan sesuatu yang positif dalam hidup kita. Ketiga, yang paling pragmatis, membantu mengisi waktu luang agar waktu itu tidak berbalik menjerumuskan ke dalam hal-hal yang merusak hidup kita. Namanya juga remaja, kan?

Berhubung mereka tidak bisa memutuskan proyek sendiri, saya menyarankan 2 alternatif: membuat gim atau mengulas buku. Mereka sudah menulis beberapa ulasan yang dipublikasikan di blog pribadi mereka, tapi untuk pembuatan gim, mandek. Mereka berhasil membuat dengan meniru dan mengubah gim yang dibagikan oleh orang lain, tapi mereka terus saja kesulitan untuk membuat sesuatu yang benar-benar baru. Saya tidak bisa cerita terlalu banyak di sini. Satu hal yang pasti, belum ada gim buatan mereka yang mau mereka publikasikan.

Kesepakatan untuk bermain gim di hari kerja dan mengerjakan proyek pribadi itu berjalan lancar, tapi lama-lama rasa jenuh itu muncul dan terus menguat. Walaupun mereka sungkan mengakuinya, saya bisa pastikan motivasi mereka untuk mengerjakan proyek pribadi itu mulai sirna. Puncaknya ada di akhir tahun 2021, yaitu di masa liburan sekolah. Pada saat itu, saya akhirnya menawarkan pilihan bagi anak-anak saya untuk berhenti mengerjakan proyek.

Bersambung ...

Minggu, 05 Desember 2021

Self-Organizing Family

0 opini

Keluarga (Gambar oleh www.freepik.com)

Kesannya luar biasa, ya, "Self-Organizing Family", padahal intinya hanya sebuah keluarga yang mandiri. Keluarga yang mandiri itu adalah keluarga yang mampu mengelola masalah dan mencari jalan keluarnya sendiri. Keluarga itu juga merupakan keluarga yang mampu mengurus dirinya sendiri tanpa mengandalkan pihak eksternal seperti pembantu rumah tangga (PRT), kakek-nenek, atau anggota keluarga besar lain. Keluarga yang mandiri itu yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini.

Hal yang memicu saya untuk menulis tentang self-organizing family adalah kenyataan bahwa hampir genap 1 tahun keluarga saya hidup tanpa PRT. Urusan bersih-bersih dibagi secara proporsional antara saya, istri saya, dan ketiga anak saya. Urusan makan, saat istri tidak sempat masak, kami serahkan ke GoFood atau GrabFood. Saya biasanya menggunakan GrabFood karena diskonnya lebih banyak daripada GoFood.

Saya cukup sering memesan GrabFood sampai-sampai akun saya terus bertahan di tingkat Platinum. Manfaatnya juga ... Eh, kenapa malah membahas GrabFood, ya? Kembali ke keluarga.

Kondisi semua serba dari rumah, yaitu kerja dan sekolah, juga memiliki andil membentuk lingkungan yang kondusif untuk keluarga yang mandiri. Urusan bersih-bersih sepertinya tidak mungkin kami tangani sendiri kalau saya dan istri harus ke kantor, sementara anak-anak juga harus ke sekolah. Selain itu, pengawasan terhadap anak-anak juga lebih mudah dilakukan saat saya atau istri saya ada di rumah.

Awalnya memang sulit, terutama saat PRT kami izin pulang dan tidak kembali lagi tanpa kabar bulan Desember lalu. Untungnya anak-anak saya tidak keberatan hidup tanpa PRT. Kami menyepakati beberapa penyesuaian untuk hidup lebih mandiri dan menurunkan beberapa standar, misalnya standar kebersihan rumah atau kerapian pakaian, agar urusan rumah tangga dapat kami tangani tanpa menjadi beban yang berlebihan. Saya bahkan membeli vacuum cleaner (2 kali) untuk memastikan rumah tetap bersih, terutama saat anak-anak saya yang bertugas bersih-bersih rumah.

Kalau saya ceritakan satu per satu penyesuaian yang kami lakukan, sepertinya akan terlalu panjang untuk dituangkan di sini. Pada intinya, kepergian PRT itu menjadi pemicu utama kemandirian kami sebagai sebuah keluarga, sementara kondisi kerja dan sekolah dari rumah membuat upaya membentuk kemandirian itu menjadi lebih kondusif. Sayangnya kemandirian itu belum benar-benar teruji karena saya dan istri saya masih ada di rumah untuk membantu dan mengawasi anak-anak.

Menguji Kemandirian

Sampai tiba waktunya saya dan istri saya harus pergi berdua saja. Saat itu bulan Oktober, 10 bulan sejak kami dan anak-anak kami mengurus kebutuhan kami sendiri. Kami diskusikan kepergian itu bersama anak-anak kami karena kami ingin mendengar pendapat mereka. Singkatnya, mereka lebih memilih bertahan di rumah bertiga saja daripada harus menginap di rumah kakek-nenek mereka. Mereka cukup percaya diri untuk menjalankan rutinitas harian tanpa kehadiran bapak-ibu mereka selama beberapa hari. Soal makan, bagaimana? Nasi bisa dimasak sendiri. Sisanya, ya, pesan-antar.

Antara optimis dan nekat karena kepepet, saya dan istri saya berangkat sesuai rencana. Anak-anak kami tetap di rumah sesuai pilihan mereka. Komunikasi kami jaga secara berkala. Pengawasan kami lakukan secara jarak jauh semampu kami. Bagaimana hasilnya? Rumah masih utuh, isinya juga tidak kurang satu apa pun, anak-anak tetap sehat, masalah (yang besar atau signifikan) juga tidak ada. Komunikasi saja yang kadang tidak berjalan lancar sehingga muncul kekhawatiran sesekali waktu. Secara garis besar, mereka sukses hidup tanpa pengawasan yang konstan dari kami.

Bagian yang "seru" adalah saat kakek-nenek mereka tahu kalau saya dan istri saya pergi begitu saja meninggalkan anak-anak kami tanpa memberi tahu mereka. Alasannya sederhana, kalau kami beri tahu mereka, kemandirian itu tidak akan terlihat, kan? Sayangnya logika itu tidak mudah diterima oleh kakek-nenek mereka dan ... Intinya, masalah sempat muncul, tapi reda dengan sendirinya. Mungkin kakek-nenek mereka sudah lelah berurusan dengan orang tua yang tidak konvensional seperti kami.

Beberapa hari yang lalu, hal itu terjadi lagi. Bedanya kali ini si Kecil Lucu ikut pergi bersama kami. Kedua anak remaja kami lagi-lagi memilih untuk tetap di rumah. Salah satu alasannya karena masa ujian masih berlangsung. Kalau harus bepergian, walaupun tujuannya dekat, waktu untuk belajar akan berkurang dan ada risiko kelelahan sehingga tidak bersemangat untuk belajar. Tapi, mereka mengakui bahwa sebenarnya mereka sedang malas bepergian. Jadi, keputusan untuk pergi bertiga saja tidak sulit dicapai. Hasilnya, bagaimana? Tidak jauh berbeda dengan cerita sebelumnya, bahkan lebih baik lagi karena mereka berhasil meluangkan waktu belajar sendiri tanpa diawasi orang tua mereka.

Oya, bagi yang penasaran, kami pergi bukan tanpa pertimbangan. Rumah kami ada di dalam sebuah cluster yang aman dari masalah seperti maling atau sejenisnya. Petugas keamanan di cluster juga tidak asing lagi dengan keluarga kami dan mudah dihubungi saat dibutuhkan. Rukun tetangga kami juga cukup akrab. Kami terbiasa untuk saling menjaga dan membantu saat yang lain ada masalah. Jadi, risiko ancaman eksternal cukup rendah di lingkungan sekitar rumah kami.

Menjaga Kemandirian

Saat tulisan ini dibuat, kami sudah kembali menggunakan PRT, tapi tidak menginap. Tempat kerja saya dan istri saya sudah mulai kembali ke rutinitas bekerja dari kantor. Anak-anak kami juga sudah mulai masuk sekolah walaupun hanya 1-2 kali per minggu. Untungnya jadwal masuk sekolah mereka berbeda-beda sehingga rumah kami tidak pernah kosong melompong. PRT bertugas menyapu, mengepel, menyetrika, dan bersih-bersih secara umum, tapi hanya dari hari Senin s.d. Jumat. Sabtu dan Minggu, urusan rumah tangga tetap kami tangani sendiri.

Di masa depan nanti, apalagi saat pandemi Covid-19 dianggap selesai dan semua kembali normal, rutinitas kami sekeluarga juga akan kembali normal seperti sebelum pandemi. Kami mungkin akan kembali mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan urusan rumah tangga kami. Walaupun begitu, saya tetap optimis kemandirian yang sudah kami bentuk tidak akan hilang begitu saja, khususnya kemampuan anak-anak kami untuk mengambil keputusan sendiri dan menjalaninya secara bertanggung jawab.

Minggu, 30 Mei 2021

Pelajaran dari Soul dan Inside Out

0 opini

Piano (Gambar oleh surang)
Saya memang selalu suka film-film buatan Pixar. Animasinya memanjakan mata, alur ceritanya menarik, dan lelucon-leluconnya cukup menghibur. Mayoritas film animasi buatan Pixar sepertinya ditujukan untuk anak-anak, tapi saya perhatikan ada banyak "pelajaran" yang dapat diambil oleh para penonton di atas umur seperti saya. Bagi saya, pesan moral yang disampaikan lewat film-film Pixar sering membuka mata saya lebih lebar lagi dalam melihat dan memahami kehidupan.

Berat ya? Tidak juga. Cara saya menyampaikannya mungkin saja memberikan kesan bahwa pesan moral yang saya bicarakan adalah hal-hal yang berat, tapi kenyataannya film-film Pixar menyampaikannya secara ringan dan menghibur. Ada banyak hal yang bisa dibahas dari alur film-film Pixar, tapi dalam tulisan kali ini, saya ingin membahas 2 film saja, yaitu Soul dan Inside Out.

Sebelum saya lanjutkan, saya perlu ingatkan bahwa tulisan selanjutnya akan berisi spoiler untuk kedua film tersebut. Saya memang tidak akan membahas alurnya karena saya ingin fokus pada pesan moralnya. Walaupun begitu, risikonya cukup tinggi bahwa alurnya akan terkuak saat saya membahas pesan moralnya. Jadi, kalau Anda tidak ingin mengambil risiko itu, silakan berhenti di sini.

Kembali ke pesan moral. Pertama, Soul. Soul menyampaikan pesan penting tentang cara menikmati hidup. Di satu sisi, ada karakter yang tidak siap untuk hidup karena tidak memiliki tujuan hidup. Di sisi lain, ada karakter yang tidak siap mati karena tujuan hidupnya belum tercapai. Ternyata kedua karakter itu memiliki kesamaan, yaitu mereka sama-sama tidak (belum) mampu melihat hidup kita apa adanya.

Kita seringkali terobsesi dengan tujuan sehingga kita merasa hidup tidak bisa dimulai tanpa tujuan. Kalau kita sudah terlanjur menjalani hidup, hidup kita akan terasa tidak berarti karena kita tidak pernah mencapai tujuan itu. Pada kenyataannya hidup adalah proses dan dalam prosesnya, hidup kita memiliki makna yang lebih asalkan perhatian kita tidak hanya tertuju pada sebuah tujuan. Hidup kita juga akan lebih bermakna kalau kita mau membangun hubungan dengan orang lain.

Kedua, Inside Out. Film ini punya memiliki pesan yang kuat tentang cara kita menyikapi kehidupan, khususnya tentang sikap positif. Sikap positif dianggap sebagai hal yang krusial dalam menjalani hidup. Sikap positif dianggap benar-benar penting sampai ke tingkat yang menganggap sikap negatif sebagai sesuatu yang buruk. Menempatkan sikap positif dalam posisi yang sangat tinggi seperti itu justru berisiko merusak. Hal itu yang umumnya kita kenal dengan istilah toxic positivity.

Pada kenyataannya, menjalani hidup tidak cukup dengan modal kebahagiaan. Setiap manusia butuh merasa sedih. Setiap manusia perlu menyalurkan kesedihan. Dengan penyaluran yang tepat, kesedihan akan berangsur pudar seiring dengan datangnya rasa tenang. Pada akhirnya, kebahagiaan akan kembali mengisi hati, tapi bukan karena dipaksakan untuk bahagia seperti halnya toxic positivity. Kebahagiaan yang datang setelah redanya kesedihan biasanya akan lebih kuat dan langgeng.

Bayangkan kalau kedua pesan di atas dapat kita resapi dan terapkan dalam hidup kita. Saya yakin kita akan lebih mampu menerima kenyataan dan lebih mampu menikmati setiap langkah yang kita ambil dalam hidup kita. Kalaupun ada hal buruk yang terjadi dalam hidup kita, kita dapat menerima kesedihan yang muncul, mencoba mengutarakannya, lalu menemukan kembali hal-hal positif dalam hidup kita. Bayangkan betapa bahagianya hidup kita kalau kita bisa melakukan semua itu. Bayangkan juga betapa bahagianya hidup anak-anak kita kalau kita mampu menularkan semua pelajaran penting itu ke dalam diri mereka agar hidup mereka juga dapat diisi dengan berbagai kebahagiaan.

Seru, bukan? Yuk!

Senin, 03 Mei 2021

Menjadi Mantan Toxic Parent

1 opini

Mungkin ini baru pertama kalinya Anda mendengar istilah toxic parenting. Silakan googling untuk mencari tahu apa itu toxic parenting. Satu hal yang pasti, pola pengasuhan anak yang berdampak buruk itu bukanlah hal yang baru. Tingkatannya pun bervariasi mulai dari sekadar tekanan untuk berprestasi sampai kekerasan fisik demi membentuk kedisiplinan. Kenapa saya berani meyakinkan Anda bahwa toxic parenting ini bukanlah hal yang baru? Karena saya yakin Anda sudah melihat contoh dampak buruknya dalam diri orang-orang di sekitar Anda, bahkan dalam diri orang-orang yang saat ini sudah menjadi orang tua. Ya, kan?

"Apa Ada yang Namanya Toxic Parent?" (Sumber: Narasi Newsroom)

Video yang terpasang di atas merupakan salah satu contoh pembahasan singkat mengenai toxic parent yaitu para orang tua pelaku toxic parenting.  Isinya cukup bagus untuk mulai mengenal toxic parenting. Apa itu toxic parenting, apa dampak buruknya, dan bagaimana cara mengatasinya. Pertanyaan-pertanyaan dasar itu terjawab di dalam video itu, tapi saya akui pembahasannya masih menyentuh bagian permukaan. Untuk memahami toxic parenting dan solusi yang layak tentu saja tidak semudah itu, Ferguso.

Intinya toxic parent itu ada. "Buah karya"-nya pun ada. Sebagian bahkan sudah menjadi orang tua dengan kecenderungan toxic yang sama terhadap anak-anak mereka. Bayangkan bila kecenderungan itu terwujud, akhirnya anak-anak dari para toxic parent itu juga tumbuh menjadi toxic parent, kemudian mereka mendidik dan membesarkan anak-anak dengan model toxic serupa. Hal serupa terjadi secara berulang dari generasi ke generasi. Akhirnya apa yang terjadi? Pola toxic parenting menjadi warisan yang bertahan entah sampai berapa turunan.

Saya sadar tidak semua toxic parent berniat buruk. Sebagian dari mereka tulus ingin yang terbaik bagi anaknya. Mereka mendidik dan membesarkan anaknya untuk menjadi individu yang disiplin, mandiri, berprestasi, atau hal-hal positif lainnya demi kebahagiaan anaknya di masa depan. Mereka juga melakukannya agar anaknya bisa bangga terhadap dirinya sendiri. 

Masalahnya adalah para toxic parent yang bertujuan mulia itu lupa kalau anak mereka adalah individu tersendiri. Anak mereka bukanlah perpanjangan dari mereka. Anak mereka punya minat, keinginan, karakteristik, dan hal lainnya yang tidak sama dengan apa yang ada di benak dan harapan para toxic parent itu. Mereka lupa bahwa mendidik dan membesarkan anak seharusnya mengembangkan diri si Anak, bukan membuat anak menjadi persis seperti apa yang diinginkan mereka. Apakah kita termasuk para toxic parent berhati mulia itu?

Kalau kita berada dalam kondisi seperti itu, solusinya sederhana seperti yang tersurat dalam video di atas. Kita harus belajar mendengarkan isi hati dan pikiran anak kita. Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan anak kita tidak semata-mata ditentukan oleh diri kita, tapi juga oleh anak kita. Dengarkan, bicarakan, lalu arahkan. Itulah 3 hal sederhana yang perlu kita lakukan terhadap anak kita masing-masing.

Saya sadar untuk benar-benar mendengarkan itu sulit. Been there, done that. Apalagi kalau kita sudah terbiasa didengarkan, sulitnya mungkin akan setengah mati. Kita harus terbiasa menahan diri dan membiarkan anak bicara sepenuh hati tanpa kita interupsi. Kita harus terbiasa menahan diri untuk tidak terlalu mengatur keinginan anak kita. Kita harus terbiasa menahan diri dan membiarkan anak kita memilih jalan ninja mereka sendiri. Namun, semua kesulitan itu sepadan.

Kita perlu melakukannya demi kebahagiaan, yaitu kebahagiaan kita bersama anak kita yang kita definisikan bersama-sama dengan anak kita. Bukankah kita terjebak dalam toxic parenting juga karena kita ingin membuat mereka bahagia? Kalau iya, mari ambil jalan yang lebih "sehat" agar kebahagiaan yang kita wujudkan bersama anak kita bukan sekadar kebahagiaan semu yang dihiasi dengan berbagai trauma kehidupan.

Yuk, bisa, yuk!

Minggu, 25 April 2021

Bohong Lagi, Belajar Lagi

0 opini

Detektor Bohong Individu*
Salah satu anak saya berbohong lagi. Dia melakukannya di bulan Ramadan, bulan yang seharusnya menjadi bulan untuk menahan diri dari keburukan. Dia melakukannya juga demi hal yang trivial, yaitu tidak mau kalah dari saudaranya dalam target membaca Al-Qur`an. Insiden kebohongan itu berhasil kami tangani dengan baik. Guncangan yang terjadi sudah terlewati dan hidup sudah kembali normal, tapi bukan berarti tanpa konsekuensi. Terlepas dari itu, ada beberapa pelajaran penting yang saya rasa perlu saya ceritakan di sini.

Pertama, gengsi adalah kunci. Walaupun saya sudah wanti-wanti kepada anak-anak saya bahwa mereka tidak harus bisa melakukan apa yang dilakukan saudaranya, gengsi tetap saja muncul. Rasa tidak mau kalah tetap mampu menguasai pikiran anak-anak dan membuat mereka melakukan cara-cara curang agar tidak tertinggal. Itu yang mendorong salah satu anak saya untuk berbohong.

Kedua, berbohong adalah pilihan. Saat ada masalah, berbohong untuk menutupi sumber masalah atau untuk menghindari masalah akan selalu menjadi pilihan. Ada orang-orang yang mampu menahan diri dari berbohong, tapi kemampuan anak-anak masih mudah dikalahkan oleh nafsu mereka masing-masing. Itu alasannya kenapa anak saya berbohong. Dia tahu berbohong itu salah, tapi dia tidak mampu menahan diri dan memutuskan untuk berbohong demi gengsi.

Ketiga, bosan itu manusiawi. Sebaik apa pun sebuah kegiatan, kalau hal itu dilakukan terus-menerus, rasa bosan pasti akan datang. Itulah alasannya kenapa kebaikan itu lebih baik dilakukan sedikit-sedikit karena rasa bosannya akan lebih membebani bila dilakukan dalam jumlah banyak. Itu yang dirasakan oleh anak saya. Gengsi memang mendorong anak saya untuk berbohong, tapi rasa bosan juga memiliki peran krusial di situ. Gengsi untuk tetap "bersaing", tapi bosan untuk tetap bersaing membuat berbohong menjadi pilihan terbaik (baca: termudah).

Keempat, masalah dengan anak adalah berkah yang tersamarkan. Bila kita menyikapinya seperti sebuah kotoran yang harus dibuang keluar, berkah itu tidak akan sampai. Kita perlu menyikapinya sebagai sebuah kesempatan untuk lebih mengenal anak. Apa saja yang menjadi gengsinya, apa saja yang membuat dia bosan, apa saja yang mendorong dia untuk berbohong, sekuat apa tekad dia untuk menjadi orang jujur, kenapa dia tidak mau terbuka, dan banyak sekali pertanyaan lain yang dapat terjawab asalkan kita mau menanggapi masalah dia dengan bijaksana.

Tentu saja masih ada banyak pelajaran lain yang bisa saya bagikan di sini. Apalagi kalau terkait bohong, ada banyak sekali hal yang dapat saya temukan dalam diri anak-anak saya karena di balik kebohongan itu ada hal-hal yang sengaja disembunyikan dan menunggu untuk ditemukan. Asalkan kita cukup lihai menyelami masalah anak, semua itu dapat kita ungkap satu per satu. Ya, kan? 

--

*Gambar ditemukan lewat Google Search

Minggu, 18 April 2021

Proyek Pertama Raito: Ulasan Buku

0 opini

Sharks (rpaldebaran.wordpress.com)
Secara umum, Agile sangat identik dengan pengelolaan proyek. Proyek yang dikelola biasanya proyek yang dilakukan oleh sebuah organisasi, baik kecil maupun besar. Akan tetapi, bukan berarti Agile tidak dapat digunakan untuk mengelola proyek hobi.

Hal itu yang saya lakukan bersama anak-anak saya. Saya mendorong mereka untuk menumbuhkan minat di luar gim dan memiliki keterampilan di luar akademis. Saya mendorong mereka untuk menemukan dan menekuni sesuatu yang mereka suka, tapi tetap memiliki manfaat jangka panjang.

Jumat lalu, Raito, anak pertama saya, secara resmi berhasil menghasilkan sesuatu yang terukur, yaitu sebuah situs berisi ulasan buku. Awalnya dia hanya ingin menulis ulasan buku, tapi setelah kami berdiskusi, proyek itu berubah dari membuat ulasan buku menjadi mempublikasikan ulasan buku di Internet. Saat ini, dia sudah menulis 3 ulasan buku yang dia publikasikan di rpaldebaran.wordpress.com. Ulasan buku lainnya menyusul. Akhirnya Raito berhasil menyelesaikan proyek pertamanya. 

Sebenarnya proyek "pertama" Raito ini bukanlah yang pertama. Dia pernah memilih pemrograman dan mulai belajar JavaScript, HTML, dan CSS di Khan Academy. Setelah itu, dia pindah ke platform lain seperti Tynker yang menawarkan lebih banyak variasi dalam belajar pemrograman. Akan tetapi, semua itu tidak berakhir bahagia. Dalam perjalanannya, Raito kehilangan minat dalam pemrograman. Dia masih suka bermain dengan logika yang ada di pemrograman, tapi hal itu tidak cukup untuk menahan semangatnya membuat program-program baru.

Kembali ke ulasan buku, hasilnya memang lebih sederhana daripada sebuah program, tapi dia melakukannya hampir semuanya secara mandiri. Mulai dari membaca buku berbahasa Inggris, membuat ulasan berbahasa Indonesia, sampai membuat situs di Wordpress, dia lakukan sendiri. Dalam prosesnya, saya juga meminta dia untuk terlebih dahulu membuat ringkasan bukunya dalam bahasa Indonesia. Jadi, dengan proyek yang sederhana itu, dia telah belajar menerjemahkan, belajar menulis, dan belajar membuat situs dengan Wordpress. Jauh lebih menarik daripada menyibukan diri dengan chatting di WhatsApp atau menonton video lucu di YouTube, bukan?

Berbeda dengan Raito, Aidan memiliki jalannya sendiri. Walaupun sebelumnya dia mencoba hal serupa dengan Raito di Khan Academy dan Tynker dan sampai saat ini masih juga belum berhasil membuat program apa pun, minat dia dalam pemrograman masih ada. Dia pernah mencoba ikut beralih ke ulasan buku, tapi dia dengan tegas memutuskan it's not for me. Saat ini, dia masih mencoba sana-sini untuk menemukan tempat belajar yang bisa mengarahkan dia untuk menghasilkan sesuatu yang nyata secara mandiri. Semoga saja dia berhasil menemukannya.

Jumat, 16 April 2021

Belajar Kemunafikan dari Attack on Titan

0 opini

Attack on Titan (Sumber: wallpaperaccess.com)
Satu hal yang menarik dari Attack on Titan (AoT) musim 3 (iya, saya telat mengikuti) adalah soal kemunafikan manusia. Kemunafikan yang, untuk orang-orang seusia saya, sudah sering tertangkap mata, tapi bagi anak-anak remaja, masih terbilang aneh. Kemunafikan yang berhasil mengabaikan kebenaran demi memenuhi nafsu.

Perhatian: Tulisan di bawah ini berisi spoiler (bagi penonton AoT lain yang telat seperti saya).

Saya lupa kejadiannya di episode berapa dalam AoT musim 3. Satu hal yang saya ingat adalah di adegan itu, salah satu anak saya nyeletuk soal sikap "aneh" para pejabat dalam dunia di balik dinding yang sempit itu. Saat itu, mereka mendapat kabar bahwa tembok lapisan kedua jebol lagi dan titan pun merangsek masuk. Idealnya, saat itu terjadi, gerbang di tembok lapisan pertama dibuka agar evakuasi para penduduk area lapisan kedua dapat masuk ke lapisan pertama.

Berhubung areanya berbentuk lingkaran dengan pusat pemerintahan di tengah, semakin dekat ke tengah, semakin kecil areanya. Itu artinya jumlah penduduk di area lingkaran kedua jauh lebih banyak dari area lingkaran pertama. Bila penduduk di area lingkaran kedua dibiarkan masuk ke lingkaran area pertama, kita bisa bayangkan masalah baru yang akan muncul seperti kekurangan suplai makanan, tempat tinggal, atau penghidupan yang dapat mengakibatkan tingkat kejahatan meningkat.

Pilihan yang sulit, bukan? Akhirnya para pejabat itu memutuskan untuk tidak membukakan akses evakuasi, tapi demi apa? Apakah demi menyelamatkan penduduk di area lingkaran pertama? Tidak. Ternyata para pejabat itu menolak pilihan evakuasi demi diri mereka sendiri. Mereka tidak mau hidup mereka menjadi lebih sulit lagi karena harus menanggung hidup orang-orang dari lingkaran kedua.

Menyedihkan ya? Di adegan itulah celetuk itu muncul. Anak saya bertanya kenapa sikap mereka seperti itu. Sikap seperti itu sudah pernah muncul di musim 2, tapi orang yang melakukannya adalah pengusaha yang sekadar mengutamakan harta bendanya. Dampak negatif keegoisan si Pengusaha tidak masif seperti keegoisan para pejabat. Dampak yang masif itu sepertinya menjadi pemicu bagi salah satu anak saya sehingga mereka merasakan ketidakwajaran keputusan itu.

Ekspresi anak saya saat itu agak lucu. Celetuk dia begitu polos dan tulus bertanya kenapa orang-orang itu bisa mengabaikan begitu banyak nyawa demi kepentingan segelintir orang. Saya pun "terpaksa" menjelaskan kepadanya bahwa kondisi itu nyata. Contoh yang paling nyata adalah adanya korupsi di tengah pandemi Covid-19. Hal yang lebih parah lagi adalah korupsi itu dilakukan pada dana bantuan sosial untuk penanganan Covid-19.

Saya jelaskan lebih jauh lagi bahwa hal itu pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kelakuan seorang anak yang sembunyi-sembunyi main gim dan berbohong untuk menutupinya. Prinsipnya sama: ada nafsu yang tidak bisa diredam, lalu melakukan segala cara untuk memenuhi nafsu itu. Saya sampaikan itu sambil tersenyum lebar, sementara anak saya tersenyum getir karena sadar dirinya sedang disindir.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Kami hanya berhenti menonton sejenak untuk membahas itu semua. Kami segera melanjutkan menonton. Mudah-mudahan saja diskusi ringan-tapi-berat itu dapat mereka ingat dan membawa dampak positif terhadap hidup mereka. Paling tidak mereka tidak perlu kaget lagi kalau kemunafikan sejenis muncul lagi di episode-episode AoT selanjutnya atau bahkan di episode-episode hidup mereka di masa depan.

Minggu, 11 April 2021

Pertemuan Keluarga Spesial Ramadan

0 opini

Pertemuan Mingguan Keluarga Array
Minggu, pukul 10 pagi, kami melakukan pertemuan mingguan keluarga kami seperti biasa. Sesuai namanya, pertemuan itu kami lakukan seminggu sekali setiap hari Minggu pukul 10 pagi. Waktu pertemuan itu kami sepakati bersama. Jadi, setiap orang dalam anggota keluarga kami, termasuk Si Kecil Lucu sudah tahu bahwa setiap hari Minggu pukul 10 pagi, kami harus meluangkan waktu pribadi kami untuk urusan keluarga.

Berhubung 2 hari lagi Ramadan tiba, pertemuan kami kali ini lebih banyak membicarakan rutinitas keluarga yang perlu disesuaikan selama bulan Ramadan. Apalagi sudah berbulan-bulan kami mengurus rumah dan keluarga secara mandiri (tanpa pembantu rumah tangga), rutinitas keluarga seperti bersih-bersih rumah tentu saja harus disesuaikan. Jangan sampai ada yang "pingsan" akibat kecapaian saat menyapu dan mengepel rumah.

Pada pertemuan kali ini, kami juga membahas soal game time, yaitu waktu bermain gim. Akibat sebuah insiden yang tidak bisa saya bicarakan di sini, saya sempat memangkas waktu bermain gim ketiga anak saya. Ibarat tukang cukur, saat itu saya babat rambut mereka sampai sependek 3 mm, termasuk rambut Si Kecil Lucu. Saat itu mereka sangat kecewa, padahal saya sudah berbaik hati tidak memotong rambut mereka sampai plontos. Setelah beberapa minggu berlalu, hari ini saya dan istri saya bersedia untuk kembali membiarkan mereka memilih model rambut sendiri, tapi dengan pilihan terbatas.

Ada juga hal-hal rutin yang kami bahas di setiap pertemuan seperti ibadah harian atau target belajar harian. Seperti halnya orang tua pada umumnya, saya dan istri saya juga membiasakan anak-anak kami agar terbiasa mengembangkan karakter dan keterampilan mereka. Ibadah, bagi kami, termasuk urusan pengembangan karakter. Belajar, sebagaimana umumnya, termasuk urusan pengembangan keterampilan. Kami ajak mereka untuk memperkuat pelajaran sekolah menggunakan platform belajar daring seperti Khan Academy atau Duolingo. Di luar pelajaran sekolah, kami juga mendorong mereka untuk memiliki proyek tertentu sesuai minat mereka.

Dari pertemuan keluarga kali ini, kami berkolaborasi dan berhasil menyusun jadwal rutinitas keluarga spesial Ramadan. Game time juga disepakati sesuai usulan anak-anak dengan beberapa batasan dari saya dan istri saya. Inspeksi terhadap ibadah harian, belajar harian, atau proyek berjalan lancar, tapi terlalu panjang untuk saya bicarakan di sini. Setiap topik berhasil kami bahas sampai tuntas dengan beberapa catatan yang harus ditindaklanjuti di luar pertemuan itu. Semua pertanyaan terjawab, setiap isu berhasil ditangani, dan semua orang senang.

Senin, 13 Juli 2020

Berburu SMP Di PPDB Tangerang 2020

0 opini
Sekolah (Gambar oleh srip)
Akhirnya blog ini mendapat kesempatan untuk bernapas kembali. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya mendaftarkan kedua anak saya ke SMP melalui Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Tangerang untuk tahun ajaran 2020/2021. Berhubung saya mencoba dua jalur, yaitu jalur zonasi dan jalur prestasi akademik, ada beberapa hal menarik yang bisa saya bagikan.

Semua dimulai pada tanggal 20 Agustus 2005, saat saya resmi menikahi calon ibu dari anak-anak saya. ...

Maaf saya mundurnya terlalu jauh. Saya ulangi.

Semua dimulai saat saya mendapat kepastian bahwa pendaftaran SMP untuk kedua anak saya akan dilakukan secara online (daring). Hal itu merupakan kabar baik bagi saya karena pendaftaran daring seharusnya lebih mudah dan efisien. Sebelumnya saat saya dan istri saya berburu SD untuk kedua anak saya, pendaftarannya harus dilakukan dengan datang ke sekolah. Cara itu tentu saja lebih ribet karena kami harus mengunjungi beberapa sekolah secara bergantian, menyiapkan dokumen (1 rangkap untuk 1 sekolah), dan mengantri berkali-kali.

Kabar yang lebih baik lagi adalah ujian nasional (UN) segera ditiadakan akibat wabah Covid-19. Anak-anak (termasuk kami) tidak perlu jumpalitan lagi untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Kami tidak perlu khawatir lagi kedua anak kami kesulitan mendapatkan nilai pada ujian dengan standar nasional yang kemungkinan standarnya lebih tinggi daripada sekolah kedua anak kami.

Tanpa adanya UN, penilaian akademik hanya dilakukan berdasarkan nilai rata-rata rapor dari kelas 4 sampai kelas 6. Untungnya kedua anak kami memiliki prestasi akademik yang cukup baik. Salah satunya langganan peringkat 1, sementara saudaranya, di kelas yang berbeda, tidak pernah lepas dari peringkat 2, 3, atau 4; bahkan berhasil mendapat peringkat 1 di kelas 6 semester 1. Kami begitu yakin bahwa nilai-nilai mereka akan memudahkan mereka mendapatkan SMP kelak.

Ternyata dugaan kami salah. Tanpa adanya UN, standar penilaian justru menjadi tidak jelas. Saat nilai rata-rata dijadikan acuan, standar tidak mungkin tercapai karena tiap-tiap sekolah memiliki standar nilai tersendiri. Di antara semua SD yang ada di Kota Tangerang, apa mungkin semuanya memiliki standar nilai yang sama? Sepertinya tidak mungkin. Akhirnya kabar baik dihapuskannya UN berubah menjadi kabar buruk.

Jalur Zonasi
Sebelum curcol saya di atas menjadi terlalu panjang, saya langsung masuk ke proses pendaftaran yang saya jalani bersama istri dan anak-anak saya. Proses ini benar-benar efisien. Kami hanya perlu menunggu PIN yang disiapkan dan didistribusikan kepada tiap-tiap siswa oleh SD (bukan SMP). Setelah menerima PIN, anak-anak saya dapat login ke dalam situs PPDB Mandiri menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan PIN masing-masing.

Jadwal PPDB SMP Kota Tangerang Tahun 2020 (Sumber: Situs Resmi PPDB Kota Tangerang)

Situs PPDB Mandiri tersebut mulai dapat digunakan sesuai jadwal yang saya cantumkan di atas. Seperti yang dapat dilihat di gambar tersebut, PPDB SMP Kota Tangerang terbagi menjadi 2 tahap, yaitu Tahap 1 dan Tahap 2. Tahap 1 dibagi menjadi 4 jalur, yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi (akademik dan non-akademik yang dilombakan). Tahap 2 hanya memiliki 1 jalur, yaitu jalur prestasi akademik yang dibatasi untuk daerah dalam kota (Kota Tangerang).

Prosesnya berjalan sesuai jadwal. Kedua anak saya mulai dari jalur zonasi. Persaingannya sangat ketat. Saya melihat banyak pendaftar yang memiliki nilai rata-rata 90. Itu artinya para siswa itu memperoleh nilai yang sangat tinggi sejak kelas 4 semester 1 sampai kelas 6 semester 1. Bagi siswa dan sekolah terkait, hal itu adalah prestasi yang luar biasa, tapi kondisi itu justru menegaskan dalam diri saya bahwa kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam penilaian itu cukup besar.

Persaingannya semakin ketat bagi anak-anak saya karena, selain nilai rata-rata mereka tidak terlalu tinggi, skor zona mereka juga rendah. Dari nilai maksimal 5, anak-anak saya hanya mendapat skor 2. Berhubung lokasi sekolah di Kota Tangerang tidak tersebar secara merata, saya melihat banyak sekali pendaftar yang memiliki skor 2. Persaingan pendaftar dengan skor zona 2 benar-benar tinggi karena jumlah mereka benar-benar dominan. Hal itu terjadi di setiap SMP yang ada di Kota Tangerang.

Kenapa saya bisa tahu? Karena sistemnya transparan. Kami bisa melihat perkembangan penerimaan di setiap SMP. Kami dapat melihat siapa orangnya, berapa skor zonanya, berapa nilai rata-ratanya, berapa usianya, dan berapa skor totalnya. Skor total itu yang menjadi penentu apakah seorang siswa diterima atau tidak dan ada di urutan keberapa dari keseluruhan siswa yang diterima.

Skor Jalur Zonasi
Skor (Freepik)
Skor total itu yang perlu diperhatikan. Ada 4 faktor yang menentukan skor total itu, yaitu zona, nilai rata-rata, usia, dan nomor urut pendaftaran. Semakin tinggi skor zonanya, semakin tinggi nilai rata-ratanya, semakin tua usianya, semakin cepat mendaftarnya, semakin besar peluangnya. Sayangnya faktor-faktor tersebut diperlakukan sebagai skala prioritas. Tidak ada pembobotan untuk tiap-tiap faktor. Di bawah ini saya berikan ilustrasinya.

Saya ambil contoh salah satu anak saya dengan skor total 28402899283xxxxx. Saya pecah menjadi:
  • Digit 1: 2. Ini adalah skor zona.
  • Digit 2-5: 8402. Ini adalah skor berdasarkan nilai rata-rata. Nilai rata-rata anak saya adalah 84,02.
  • Digit 6-11: 899283. Ini adalah skor berdasarkan tanggal lahir.
  • Digit 12-16: xxxxx. Sepertinya ini adalah skor berdasarkan urutan pendaftaran.
Digit 1 itu menjadi penentu pertama. Seandainya ada pendaftar lain yang memiliki skor zona 3, 4, atau 5, maka skornya sudah pasti lebih tinggi dari anak saya, walaupun nilai rata-ratanya 60,00. Bila skor zonanya sama, nilai rata-rata yang akan menentukan. Bila nilai rata-rata, tanggal lahir yang menjadi penentu. Begitu pula bila semua faktor itu sama, urutan pendaftaran yang akan menjadi penentu.

Hal itu sempat dialami langsung oleh anak saya. Ada pendaftar lain dengan nilai rata-rata 77 yang diterima di sebuah sekolah karena skor zonanya 5. Terakhir saya lihat, posisinya ada di antara posisi 15-20 di sekolah tempat dia mendaftar. Anak saya justru ada di area waswas. Ada juga pendaftar lain dengan skor zona dan nilai rata-rata yang sama persis dengan anak saya. Posisinya 1 tingkat di atas anak saya karena usianya sedikit lebih tua.

Persaingan yang ketat membuat kedua anak saya pindah-pindah pilihan sekolah. Salah satunya justru gugur di hari kedua pendaftaran karena kalah persaingan di skor zona 2. Di akhir proses pendaftaran jalur zonasi, anak saya yang masih bertahan di area waswas tidak sreg dengan sekolah yang berhasil dipilihnya karena lokasinya sulit dijangkau. Dia pun bergabung dengan saudaranya untuk melawan monster jahat yang merusak kota, eh, untuk berjuang di jalur prestasi.

Jalur Prestasi
Monster (Gambar oleh Smashicons)
Setelah jalur afirmasi dan perpindahan orang tua selesai, jalur prestasi pun dimulai. Rasa waswas akibat pengalaman pahit di jalur zonasi masih ada, tapi kami mencoba untuk tetap optimis. Kami cukup yakin bahwa jalur zonasi telah melahap habis para siswa yang bernilai tinggi sehingga persaingan di jalur prestasi pun tidak akan seketat jalur zonasi.

Keyakinan itu pun terbukti. Walaupun jalur prestasi itu mencakup para siswa dengan prestasi non-akademik yang dilombakan, mayoritas tetap berisi para siswa yang mendaftar melalui prestasi akademik. Itu artinya persaingannya lebih ditentukan oleh nilai rata-rata dan usia. Pada akhirnya, walaupun awalnya posisi kedua anak saya sempat sempat mengkhawatirkan, mereka berhasil bertahan.

Model penghitungan skornya serupa tapi tak sama dengan penghitungan skor di jalur zonasi. Perbedaannya adalah di jalur prestasi tidak ada faktor seperti zona sehingga skor total yang diperoleh benar-benar mencerminkan nilai rata-rata, usia, dan urutan pendaftaran. Kami beruntung karena nilai rata-rata kedua anak saya masih mampu membawa mereka bertahan di SMP yang sesuai harapan mereka.

Perbaikan yang Perlu Dilakukan
Saya yakin tidak semua pendaftar itu mengalami happy ending seperti anak-anak saya. Walaupun sistem PPDB Kota Tangerang secara daring terbukti efektif, efisien, dan transparan, penghitungan skor yang menentukan diterima atau tidaknya seorang siswa masih perlu dioptimalkan. Saya sendiri melihat ada beberapa hal yang dapat diperbaiki.

Pertama, perbaikan di skor zona. Berhubung menyebarkan lokasi sekolah lebih merata butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit, penentuan skor zona perlu dimodifikasi agar tidak ada penumpukan siswa dengan skor zona 2. Ada yang mengusulkan agar kelurahan-kelurahan yang tidak memiliki SMP dipertimbangkan untuk "didekatkan" dengan sekolah tertentu sehingga skor zonanya meningkat untuk sekolah tersebut.

Kedua, pembobotan faktor penghitungan skor. Pembobotan juga dapat dijadikan alternatif. Faktor-faktor di atas jangan dijadikan urutan prioritas, tapi masing-masing memiliki bobot untuk menentukan skor total. Model penghitungannya tentu tidak sesederhana yang dilakukan saat ini (seperti saya jelaskan di atas), tapi hasilnya mungkin akan lebih adil. Dengan bobot, skor zona tetap dapat meningkatkan daya saing seorang siswa, tapi tidak terlalu dominan seperti saat ini.

Menurut saya, kedua hal itu yang penting untuk diperhatikan. Sistemnya sendiri tidak hanya efektif, efisien, dan transparan, tapi juga sudah cukup stabil. Saya sendiri tidak merasakan kendala yang berarti selama saya menggunakan sistem tersebut bersama anak-anak saya. Rasa waswas justru timbul saat saya melihat hasilnya. Tentu disayangkan bila sistem yang layak pakai justru memberikan keluaran atau hasil yang mengecewakan. 

Senin, 13 Agustus 2018

Buruk Perilaku Anak, Jangan Dibela

0 opini
Pernahkah Anda secara langsung melihat orang tua yang datang membela anaknya di depan orang lain walaupun anaknya itu yang salah? Mungkin ada pula yang pernah melihat orang tua yang memarahi anak orang lain karena anak orang lain itu menyakiti anaknya padahal anaknya sendiri yang mulai membuat masalah? Saya pernah. Pertama kali saya melihat insiden semacam itu adalah saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya tidak terlalu ingat rincian kejadiannya karena saat itu saya masih duduk di bangku kelas 1 atau 2. Satu hal yang pasti, saat itu ada orang tua yang datang ke sekolah untuk membela anaknya yang dipukul oleh anak lain.

Ucok
Orang tua itu adalah ayah dari Ucok (bukan nama sebenarnya). Sebelum Ayah Ucok datang ke sekolahnya Ucok, Ucok sedang berkelahi dengan Ujang (bukan nama sebenarnya). Kenapa Ucok berkelahi dengan Ujang? Saya pun tidak ingat. Tidak lama kemudian, Ucup (bukan nama sebenarnya) datang melerai mereka, tapi entah kenapa perkelahian beralih menjadi Ucok vs. Ucup. Mungkin Ucok tidak terima Ucup ikut campur karena urusan dengan Ujang belum selesai. Alasan persisnya saya pun tidak ingat.

Dalam perkelahian Ucok vs. Ucup, Ucup yang menang. Pukulan yang masuk terakhir adalah pukulan Ucup dan pukulan itu memupuskan semangat Ucok untuk terus bertahan. Seharusnya keributan pun usai, tapi entah siapa yang memberi kabar kepada Ayah Ucok, tidak lama kemudian Ayah Ucok mendatangi Ucup. Keributan berlanjut saat Ayah Ucok memberi pelajaran tersendiri kepada Ucup. Pada akhirnya, Ucok menang, tapi tetap kalah. Ucok menang karena Ucup mungkin kapok berurusan dengan Ucup, tapi Ucok kalah karena kemenangan yang dia peroleh adalah kemenangan semu.

Dari cerita di atas, kita dapat melihat bahwa tindakan Ayah Ucok jelas tidak bijaksana. Hari ini anak kita berkelahi, minggu depan, atau bahkan besok, mereka sudah berbaikan kembali. Mungkin saja mereka tidak akan berbaikan lagi, tapi urusan mereka adalah urusan mereka. Akan lebih bijaksana bila Ayah Ucok mengajari Ucok bagaimana cara mengatasi masalahnya, bukan justru membela dia tanpa mencari tahu sumber masalahnya. Apakah usia Ucok masih terlalu muda? Menurut saya, tidak. Anak-anak seusia itu dapat diajari bagaimana cara menyikapi masalah sejak dini sesuai kapasitas mereka. Bahkan anak usia tiga tahun sekalipun dapat diajari bagaimana menyikapi masalah dengan temannya.

Tindakan Ayah Ucok justru berisiko membuat masalah yang lebih besar, yaitu mengubah masalah antara anak-anak menjadi masalah antara orang tua. Bukan tidak mungkin Ayah Ucup juga bertindak tanpa pikir panjang sehingga perseteruan Ucok vs. Ucup berubah menjadi Ayah Ucok vs. Ayah Ucup. Hal itu mungkin saja terjadi sementara Ucok dan Ucup sendiri sudah berbaikan. Konyol, bukan?

Selain itu, ada dampak buruk yang lebih besar lagi, yaitu pada diri Ucok. Apa yang Ucok rasakan bila ayahnya secara konsisten membela dia tanpa melihat siapa yang benar atau siapa yang salah? Apalagi kalau terbukti memang Ucok yang salah, bagaimana perasaan dia bila ayahnya terus membela? Bukankah kondisi seperti itu akan menumbuhkan sifat egois dan manja dalam diri Ucok? Bukankah Ucok berisiko tumbuh menjadi seseorang yang merasa dirinya selalu menang walaupun dia salah? Kalau kondisi itu dibiarkan, Ucok akan tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah.

Cerita di atas sebenarnya bukan sesuatu yang unik. Dengan sedikit googling, saya menemukan sebuah post di Facebook oleh Veronica Hanny Arsanty Tan yang menampung banyak cerita serupa. Dari post tersebut terlihat bahwa perilaku membela anak tanpa melihat kesalahan anak merupakan perilaku yang ada di dalam diri banyak orang tua atau orang tuanya orang tua (kakek-nenek). Dari semua cerita itu, jelas bahwa sumber masalahnya adalah para orang tua yang lebay dalam membela anak-anak mereka.



Ino
Kembali ke saat ini, saya mendengar cerita tentang Ino (bukan nama sebenarnya). Ino dan Ucok mengalami insiden serupa. Entah kapan persisnya, saya mendengar cerita bahwa Ino ditegur oleh temannya karena sebuah kesalahan yang dia lakukan. Teguran dari temannya itu terbatas pada kesalahan Ino saja; tidak merembet ke urusan-urusan pribadi Ino. Tegurannya pun sebenarnya hanya sindiran. Sakit di hati, mungkin. Sakit secara fisik, tidak mungkin.

Beberapa hari kemudian, kabar beredar bahwa Ayah Ino menegur temannya Ino. Entah apa yang dikatakan Ayah Ino, tapi hal itu cukup untuk membuat temannya Ino merasa kesal. Temannya Ino sempat mendatangi Ino dan mencoba berbaikan. Terlepas dari berhasil atau tidaknya usaha berbaikan tersebut, sepertinya temannya Ino tetap memutuskan untuk menjauh dari Ino. Sepertinya dia berpikiran bahwa lebih baik Ino dibiarkan berbuat salah daripada ditegur karena teguran itu justru mendatangkan masalah lain yang lebih besar.

Kisah Ino setali tiga uang dengan kisah Ucok; beda tipis. Perbedaannya adalah Ucok masih anak-anak, sementara Ino sudah pantas memiliki anak. Ucok mengalami masalah di sekolahnya, sementara Ino mengalami masalah di pekerjaannya. Walaupun Ino sudah bekerja, Ayah Ino masih saja melakukan intervensi dalam masalah yang dihadapi anaknya seolah-olah Ino masih duduk di bangku sekolah dasar. Kalau dalam kasus Ucok saja terlihat bahwa sikap Ayah Ucok itu tidak bijaksana, apalagi dalam kasus Ino.

Saya membayangkan saat Ucok besar nanti. Mungkinkah Ucok tumbuh menjadi Ino? Terlepas dari perbedaan nama (dan jenis kelamin yang tercermin lewat namanya), saya rasa tidak aneh bila Ucok tumbuh menjadi laki-laki yang hidup di balik perlindungan ayahnya seperti halnya Ino. Ucok akan sangat bergantung pada ayahnya karena setiap kali Ucok menghadapi masalah, ayahnya akan turun tangan.

Agile Parenting
Apa kaitannya cerita Ucok dan Ino dengan Agile Parenting? Kaitannya dengan pernyataan pertama dalam Agile Parenting Manifesto, yaitu happiness (kebahagiaan) over grades and achievements. Dalam Agile Parenting, kebahagiaan menjadi tolok ukur utama dalam mendidik anak dan membentuk keluarga. Jadi, wajar saja bila orang tua melindungi anaknya dari hal-hal yang dapat mengganggu kebahagiaan anak. Akan tetapi, memastikan kebahagiaan anak itu bukan dengan memaksa orang lain untuk terus mengalah atau memaklumi perilaku buruk anak kita. Justru kita perlu mengajari anak kita untuk mendapatkan kebahagiaan itu tanpa mengganggu kebahagiaan orang lain. Kita perlu mengajari anak kita untuk menjadi manusia, bukan dewa.

Kembali ke cerita-cerita di atas, kita dapat memaklumi sikap lebay yang ditunjukkan Ayah Ucok dan Ayah Ino. Ayah Ucok ingin Ucok bahagia, maka Ayah Ucok memberi pelajaran kepada Ucup agar Ucup tidak lagi mengganggu Ucok. Sayangnya Ayah Ucok tidak menyadari dirinya sudah memberi contoh yang buruk kepada Ucok dengan lebih mementingkan Ucok walaupun mungkin saja Ucok yang pertama kali membuat masalah. Ayah Ino pun tidak jauh berbeda karena Ayah Ino pun sudah memberi contoh yang buruk kepada Ino bahwa kebahagiaannya lebih penting daripada bekerja secara profesional.

Seandainya Ayah Ucok mau bersabar, menunggu Ucok pulang, berbicara dengan Ucok, mencari sumber masalahnya, dan, bila memang Ucok yang bersalah, menegur dan mengajari Ucok bagaimana berteman dengan baik, Ucok akan mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya. Seandainya Ayah Ino pun mau bersabar, berbicara dengan Ino, menegur dan mengajari Ino tentang profesionalisme, Ino pun akan mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam hidupnya. Sayangnya bukan jalan baik itu yang dipilih oleh Ayah Ucok dan Ayah Ino.

Mengutip salah satu tulisan dalam post milik Veronica Hanny Arsanty Tan di atas, setiap orang tua selayaknya prepare their kids for the world, not the world for their kids. Anak kita perlu kita bentuk untuk siap menghadapi dunia, bukan dunia yang kita bentuk untuk menghadapi (memaklumi) anak kita. Saat anak kita berperilaku buruk dan mengganggu orang lain, jangan dibela. Jelaskan kepada anak kita bahwa perilaku itu buruk dan perilaku itu harus diubah agar mereka dapat tumbuh menjadi orang yang baik. Jelaskan kepada anak kita bahwa kebahagiaannya itu penting, tapi kebahagiaan itu tidak boleh didapatkan dengan menyakiti atau mengganggu orang lain.

--
Kesamaan cerita di atas dan kejadian di dunia nyata hanya kebetulan belaka. Kalau memang hal itu terjadi, semoga menjadi sarana introspeksi bagi para ayah yang bersangkutan.

Jumat, 13 Juli 2018

Mendidik Anak dengan #AgileParenting

0 opini
Tulisan kali ini ditujukan sebagai "terjemahan bebas" dari #HowToRaiseAHuman with Agile Parenting. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menguraikan konsep Agile Parenting yang ingin saya terapkan dalam hidup saya sendiri. Bagi orang yang sudah mengenal Agile, konsep Agile Parenting yang akan saya tuangkan di sini akan mudah dipahami. Bagi orang yang baru tahu dengan istilah Agile, konsep Agile Parenting pun akan mudah dipahami. Mudah dipahami; bukan mudah diterapkan.

Mari kita mulai.

Perjalanan saya di dunia Agile secara resmi berjalan sejak tahun 2015. Saat itu pekerjaan saya menuntut saya memperdalam tentang Agile agar Agile dapat menjadi bagian dari budaya organisasi tempat saya bekerja, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hasilnya hingga saat ini saya sudah membuat kajian, menyusun kebijakan, memberikan pelatihan-pelatihan, mempublikasikan karya tulis di Majalah InfoKomputer, dan memperoleh sertifikat Professional Scrum Master. Sayangnya dampak positifnya terhadap DJP masih sangat minim.

Memahami Agile Lewat Permainan Draw Something
Agile yang saya maksud di atas dapat didefinisikan sebagai berikut:
Agile adalah pola pikir atau cara kerja yang fokus pada pembuatan produk yang berguna (bukan dokumentasi yang komprehensif) melalui kolaborasi bersama pengguna (bukan mengandalkan dokumen atau perjanjian), mengadopsi perubahan yang perlu dilakukan (bukan berpegang teguh pada rencana yang dibuat sebelumnya), dan memaksimalkan individu-individu yang terlibat dan interaksi antarindividu (bukan bergantung pada proses dan perangkat).
Pola pikir atau cara kerja tersebut sebenarnya cocok untuk diterapkan di berbagai bidang, bahkan di luar dunia kerja. Akan tetapi, saya baru menyadari bahwa Agile pun dapat diterapkan oleh para orang tua dalam mendidik anak setelah saya menonton video TED Talk oleh Bruce Feiler yang berjudul Agile programming for you family.

Paparan Bruce Feiler dalam video tersebut memang menarik, tapi bagi saya, materi yang dibahas terlalu teknis karena dia sudah membahas metode-metode yang dapat digunakan dalam Agile parenting. Metode-metode tersebut memang penting, tapi pemahaman terhadap Agile tetap harus dimulai dari nilai-nilainya. Memahami Agile dari nilai-nilai tersebut memungkinkan kita untuk memahami Agile secara utuh. Bila kita memulainya dari metode, risikonya adalah kita akan membatasi Agile hanya pada metode tersebut.

Keluarga Agile
Saya pun mencoba mencari informasi lebih lanjut terkait Agile parenting dan berhasil menemukan Agile Parenting Manifesto yang disusun oleh Geof Lory. Sayangnya manifesto tersebut bukanlah manifesto yang saya cari. Manifesto yang disusun oleh Geof Lory itu terlalu rumit bagi saya. Menurut saya, Agile itu harus sederhana. Paling tidak, Agile itu harus mulai dari sederhana. Kesederhanaan merupakan intisari dari Agile karena Agile menghindari pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan. Itulah alasannya kenapa saya menyusun Agile Parenting Manifesto versi saya sendiri.


Agile Parenting Manifesto

We are uncovering better ways of raising children and forming families by doing it and helping other parents do it. Through this work we have come to value:

happiness over grades and achievements
responding to changes over following a parenting plan
children collaboration over rewards and punishments negotiation
parents, children, and interactions over parenting styles and rules

That is, while there is value in the items on the right, we value the items on the left more.


Mudah dicerna, bukan?

Pertama, happiness.

Happiness (kebahagiaan), baik untuk anak-anak maupun orang tua, harus menjadi tolok ukur utama keberhasilan dalam membesarkan anak dan membentuk keluarga. Kebahagiaan jauh lebih penting daripada nilai, prestasi, atau ukuran lainnya. Hal itu bahkan lebih penting daripada kesuksesan itu sendiri. Seberapa penting kebahagiaan? Cobalah menonton paparan dari Nadine Burke Haris tentang dampak negatif dari masa kecil yang buruk dan paparan dari Julie Lythcott-Haim tentang membesarkan anak-anak yang sukses dengan cara membuat mereka bahagia. Keduanya menjelaskan pentingnya kebahagiaan dengan baik.

Kedua, responding to changes.

Untuk mencapai kebahagiaan, kita harus responding to changes (tanggap terhadap perubahan) di dalam keluarga, baik dalam diri anak-anak maupun orang tua. Pengalaman baru, kebutuhan baru, lingkungan baru, pekerjaan baru, dan semua hal baru yang akan datang di masa depan harus ditanggapi dengan tepat. Rencana parenting, yaitu rencana yang kita buat seumur hidup kita untuk menjamin masa depan anak-anak kita, adalah awal yang baik. Akan tetapi, tetap berpegang teguh pada rencana itu bukanlah ide yang baik. Mengharapkan rencana kita dapat selalu mengikuti perubahan yang akan datang akan sangat membebani kita dan anak-anak kita. Jadi, bersikap responsif adalah cara yang tepat. Ubah rencana parenting kita untuk menyesuaikan dengan setiap perubahan yang muncul dalam hidup kita.

Ketiga, children collaboration.

Untuk menjadi responsif, kita harus mulai dengan memahami perubahan yang sedang atau akan terjadi. Untuk memahaminya, kita harus mulai dengan mendengarkan anak-anak. Saya berasumsi bahwa kita telah membuka telinga kita untuk mendengarkan pasangan kita. Dengan berkolaborasi bersama anak-anak dalam pengambilan keputusan, besar kemungkinan kita dapat menumbuhkan perilaku yang lebih baik dan memberikan lebih sedikit tekanan bagi seluruh keluarga. Cara ini sebaiknya menjadi pilihan utama daripada terus-menerus menggunakaan sistem rewards and punishment (penghargaan dan hukuman). Dengan meminta anak-anak mengatakan apa yang ada di dalam pikiran dan hati mereka, besar kemungkinan kita untuk memahami apa yang benar-benar dibutuhkan keluarga kita. Dengan demikian, kita dapat merespons dengan tepat.

Intermeso: Kata yang baku adalah respons; bukan respon.

Keempat, parents, children, and interactions.

Yang tidak kalah penting adalah setiap individu di dalam keluarga dan interaksinya. Bukankah itu bagian dari kolaborasi? Belum tentu. Ada kemungkinan kita berkolaborasi dengan semua anggota keluarga, tetapi keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan tidak mencerminkan pemikiran dan kebutuhan anak-anak kita. Dengan Agile parenting, anak-anak diberdayakan. Membuat keputusan, sampai titik tertentu, perlu menyertakan suara anak-anak. Mengambil tindakan pun perlu melibatkan anak-anak sesuai dengan kemampuan mereka. Interaksi adalah kunci dalam melibatkan atau memberdayakan anak-anak. Kita masih dapat menggunakan gaya pengasuhan tertentu atau membuat aturan tertentu dalam rumah tangga kita dan membiarkan anak-anak mengikutinya. Namun, melibatkan semua anggota keluarga dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab yang lebih tinggi.

Paparan singkat di atas sebaiknya dibiarkan meresap terlebih dahulu. Dengan begitu, kita dapat memahami bagaimana menerapkan pola pikir Agile untuk menjalankan peran kita sebagai orang tua. Bila pola pikir itu sudah meresap cukup dalam, kita dapat mulai membicarakan metode atau aspek-aspek lain yang relevan dalam Agile parenting.

Rabu, 13 Juni 2018

#HowToRaiseAHuman with Agile Parenting

2 opini
First of all, why English? That's because I want to participate in NPR's "How To Raise A Human" series. I know that I've committed to blog in Indonesian to maximize my impact in the majority of my audience, but the hashtag #HowToRaiseAHuman is quite tempting. So, to accommodate both needs, I'll be writing in English for this post and I'll write the Indonesian version in my next post. Insyaa Allaah.

Let's get started.

This blog post is meant to answer a good question: "What's the one thing you wish someone had told you before you became a parent?" This question intrigued me because during my "transformation" efforts in the last few months, I was asking a similar question to myself: "What do I need to know to become a better parent and a better husband?" or "What do I need to do to become a better parent and a better husband?" Apparently Agile parenting has some of the answers I needed.

Work of a group of participants in one of my Agile trainings
I come across Agile a couple of years ago in my work. I work in the IT field, specifically in software development. For me, understanding and implementing Agile is a must. It's not some fancy high-level term or just another hype. It's actually a new mind set and a new way of working that focuses on creating working products (instead of comprehensive documentation) through collaborating with customers (instead of relying on documents and agreements), responding to required changes (instead of sticking to a single plan), and improving involved individuals and their interactions (instead of highly relying on processes and tools). However, it was not until I watched Bruce Feiler's TED talk that I realize that Agile is also applicable to run my family.

To be honest, no matter how exciting Bruce's talk was, it was still way too technical because he was already talking about techniques to implement Agile parenting. I understand that these techniques are important, but I prefer to start with the set of values, i.e. the manifesto. In my opinion, understanding the values allows us to really understand what Agile is all about while going ahead with techniques might mislead us to think that Agile is limited to these techniques. Thus, I embark on a journey, i.e. googling, to understand more about Agile parenting and stumbled upon Geof Lory's Agile Parenting Manifesto. Unfortunately, after reading, and re-reading, the manifesto, I find it was a bit too complex for me.

The Agile Parenting Manifesto
Being Agile should be simple. At least, it should start simple. As in Agile for software development, simplicity should be essential. So, I decided to put together my own version of the Agile Parenting Manifesto.
My Agile family

Agile Parenting Manifesto

We are uncovering better ways of raising children and forming families by doing it and helping other parents do it. Through this work we have come to value:

happiness over grades and achievements
responding to changes over following a parenting plan
children collaboration over rewards and punishments negotiation
parents, children, and interactions over parenting styles and rules

That is, while there is value in the items on the right, we value the items on the left more.


Quite easy to comprehend, no?

Happiness, for both children and parents, should be the primary measurements of success in raising children and forming families. Happiness is much more important than grades, achievements, or other measurements of success. It's even more important than success itself. How important is happiness? Try watching Nadine Burke Haris' talk about the negative impact of adverse childhood experience and Julie Lythcott-Haims' talk about raising successful kids by focusing on making them happy. They put together the importance of happiness remarkably well.

To achieve happiness, we should be responsive to changes inside the family, children and parents alike. New experience, new needs, new environment, new jobs, and all new things coming in the future should be responded accordingly. A parenting plan, i.e. the plan that we as parents have been making our entire life to guarantee the future of our children, is a good start, but strictly sticking to that plan might not be a good idea. Expecting our plan to always keep up with the coming changes might put a lot of burden to us and our children. Thus, being responsive is the way to go. Change our plan according to the changes that pops up in our life.

To be responsive, we should start with understanding the changes. To understand, we should start with listening to children. This is assuming that we have already opened our ears to our spouse. Having our children collaborate with us to determine the path for our family might result in better behavior and less stress for the whole family compared to keeping up with rewards and punishments. By having the kids say what's inside their mind and heart, we can come to understand what really suits the needs of our family. Thus, we can respond accordingly.

What's also important are the individuals inside the family and their interactions. Isn't that what collaboration is about? Not necessarily. There's a chance that we collaborate with all the family members, but when it comes to making decisions and doing what's required, we left out our children. With Agile parenting, children are empowered. Making decisions, to a certain point, should include votes from the children. Doing what's required should involve the children according to the best of their capacity. Interactions is a key point in making such involvement or empowerment feasible. We can still use certain parenting styles or set up certain rules in our household and let the children follow them. However, involving all family members in the process builds a higher sense of belonging and accountability.

The Agile Techniques

Our family in Habitica
Now that we got the basics figured out, we can move on to techniques. A board, possibly with post-its, containing tasks or goals, do we need it? Yes; to visualize our current plan on what defines our happiness and how we should achieve them. There are also other alternatives to this board. My favorite is the life gamification app called Habitica. Rewards and punishments, do we need them? Yes; to make our children take the family plan more seriously. Styles Weekly meetings, do we need them? Yes; to accommodate collaboration on creating the family plan and modifying it as needed. Daily meetings, do we need them? Yes; to accommodate interactions and to respond against emerging changes. The list goes on.

In choosing these "Agile" techniques, be sure to understand each of their purpose. If a technique doesn't meet any purpose, it's safe to discard it no matter how many parents are using it. If a technique is required to implement any of the manifesto, and it's not going to be a burden, then by all means, use it even if no one in this world uses it. One Agile parent might use different techniques from another Agile parent. That is normal because techniques highly depends on the circumstances and the condition of the family; values don't. As long as we share the same values, we're doing the "same" Agile parenting.

The Positive Impact

One of my son's weekly projects (it's a brick table rack)
At the time of writing this blog post, I'm already in my 4th months of doing Agile parenting. I signed up myself and two of my sons in Habitica. My wife refused saying it was not her style. Oh, well. Nevertheless, we put our plans, tasks, rewards, punishments, and everything we could think of in Habitica. We're doing the weekly meetings to discuss what went well in the past week and what should we do in the next week. We're doing the daily meetings to check on our tasks. Okay, I'll be honest. We're doing the daily meetings to play on Habitica so that we know how many damage, experience, gold, and items that we get in the last 24 hours. Fun! We might add more techniques as our Agile family understand more of who we are and what we need, but for now, it's just Habitica and the meetings.

How does it really impact my family life? My children are taking more responsibility with their tasks. This is probably to avoid taking heavy damage in Habitica. Fortunately, they're doing those tasks because they want to, not just because I want them to. They're also more aware of the future, at least one week ahead. They realize that what they're doing are important. Parenting has also been less stressful. At the very least, it's less scolding and anger. Whenever something goes wrong, we go to Habitica to enforce any required punishments. I postponed my "lectures" until the daily meeting or even the weekly meeting where the situation is calmer. Not only were those lectures more concise and fair, it seems my children were also better at digesting what I said because it's less clouded with emotion. The children also got the opportunity to voice their opinion; and defense.

In all, it's been great. I'm seeing great improvements in our relationship and communication as a family. I guess Agile parenting works for me and my family. I am still learning though. I still spend some time to read articles, books, and watch videos about parenting. I believe there's still plenty of room for improvements. The only regret I have right now is that I wish I knew about this before I became a parent or at least right after I'm doing Agile in my work. That could definitely save a lot of work, time, and stress.