Kamis, 30 November 2023

Jadwal Puasa Intermiten Mingguan

0 opini

Total intermittent fasting (IF) saya per minggu adalah 116 jam (rincian ada di gambar). Setiap hari, saya mulai puasa dari pukul 9 malam. Senin dan Kamis saat  puasa sunnah, sahur hanya minum air putih. Alhasil IF saya di 2 hari itu bisa sampai 21 jam.

IF di hari kerja lain saya batasi 16 jam, yaitu dari pukul 9 malam hari sebelumnya sampai pukul 1 siang. Saat itu saya mulai makan siang. Sisanya, yaitu Sabtu dan Minggu, saya kurangi menjadi 14 dan 12 jam karena saya perlu menyesuaikan diri dengan waktu ngemil keluarga.

IF saya lakukan bukan lagi untuk mengelola berat badan, tapi untuk mengambil manfaat kesehatannya. Terus terang saya tidak lagi berminat menurunkan berat badan. Berat badan berkutat di 58-60 kg sudah cukup. Saat ini saya hanya berusaha untuk menjaga badan agar tidak jadi "bulat".

Untuk menjaga kestabilan berat badan juga tidak cukup dengan IF. Kuantitas makanan yang masuk di waktu makan juga harus dikendalikan. Satu hal yang paling berpengaruh untuk badan saya adalah nasi. Saya bertahan hanya makan nasi 1 kali sehari walaupun waktu makan tetap 2 kali.

Hal yang belum jalan secara konsisten adalah olahraga ringan, khususnya saat puasa. Dokter Andi Pratama Dharma menyarankan agar IF dibarengi olahraga setelah puasa minimal 10 jam. Pola itu dinyatakan efektif membakar lemak, tapi saya belum bisa menemukan waktu dan tempatnya.

Terlepas dari nasi dan olahraga ringan, IF memang berdampak positif bagi saya, terutama pada lambung. Sejak IF saya lakukan secara konsisten, kondisi lambung saya membaik karena GERD saya tidak sering kambuh seperti sebelum IF. Selain itu, dompet juga lebih sehat. 

Kamis, 14 September 2023

Pengalaman Jual Laptop di Kampanyelaptop-dot-com

0 opini

Genap 10 tahun usia laptop Samsung saya. Saya membelinya saat saya akan memulai kuliah S2. Saat itu saya merasa membutuhkan laptop baru yang dapat digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Laptop dengan spesifikasi RAM 4 GB dan storage 100 GB itu cukup membantu.

Saat ini laptop itu tidak lagi terpakai karena spesifikasinya sudah tertinggal dan saya sudah punya laptop lain dengan spesifikasi yang lebih baik. Laptop itu masih dapat dipakai untuk aplikasi Office atau Web browser, tapi responsnya lambat. Dia memang sudah layak pensiun.



Berhubung saya sudah beberapa kali jual handphone lewat Maujual-dot-com, saya coba cari layanan serupa untuk laptop. Dari hasil pencarian di Google Search, pilihan saya jatuh ke jualinlaptop-dot-id dan kampanyelaptop-dot-com. Dari situsnya, kedua layanan itu terlihat bonafide.

Singkat cerita, jualinlaptop menolak laptop jadul seperti laptop saya karena mereka tidak bisa menentukan harga jual kembali laptop itu. Sebaliknya kampanyelaptop masih mau membelinya dengan harga 3 ... juta? Bukan. Harga yang mereka tawarkan hanya 3 ... ratus ... ribu rupiah.

Saya jalani saja demi mendapatkan pengalaman.

Proses awalnya sederhana baik di jualinlaptop maupun di kampanyelaptop. Saya hanya berkomunikasi dengan customer service (CS) via WA. Di situ saya mengirim foto fisik laptop dan screenshot dxdiag sambil menjelaskan kekurangan laptop saya. Caranya serupa di kedua layanan itu.



Seperti saya sebutkan tadi, hanya kampanyelaptop yang bersedia membeli laptop saya. Harga penawaran awal hanya Rp350.000. Saya terima dan kami atur waktu bertemu untuk memeriksa laptop saya. Harga Rp300.000 yang tadi saya sebutkan adalah harga setelah laptop saya diperiksa.

Saat pemeriksaan diketahui kalau kondisi baterai hanya sekitar 80%, kondisi display tidak optimal, dan klik kanan di touchpad tidak berfungsi. Untungnya Kondisi fisik, keyboard, dan touch screen masih baik. Walaupun begitu, penawaran harga tetap turun menjadi Rp300.000.

Setelah sepakat dengan harga, saya diminta mengisi surat pernyataan telah menjual laptop sambil menunggu dana saya diproses. Walaupun jumlahnya kecil, kampanyelaptop tetap mengirim dana via transfer, tidak tunai. Dalam hitungan menit, dana itu sudah saya terima di e-wallet saya.

Secara keseluruhan, prosesnya berjalan sat set tanpa kendala yang signifikan. Komunikasi dengan CS tidak sulit, pemeriksaan barang juga tidak merepotkan. Negosiasi harga tidak terlalu alot, pengiriman dana juga tidak menyulitkan. Layanannya benar-benar nyaman.

Senin, 21 Agustus 2023

Meruntuhkan Tembok Pemisah Anak dan Orang Tua

0 opini

Meruntuhkan tembok yang sudah terlanjur berdiri membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku untuk "tembok" antara saya dan kedua anak laki-laki saya. Butuh lebih dari ngobrol santai sambil jalan ke masjid untuk benar-benar merobohkan tembok itu.

Jalan panjang untuk merobohkan tembok itu saya mulai sejak tahun 2018. Saat itu, setelah bertahun-tahun berkutat dengan Agile, saya mulai menerapkan hal-hal positif dalam Agile ke dalam cara saya mendidik anak. Penerapannya mencakup teori (fondasi) sampai praktik yang relevan.

Sebagai fondasinya, saya menyusun Agile Parenting Manifesto saya sendiri. Manifesto itu menyontek isi Manifesto Agile yang asli, yaitu Manifesto for Agile Software Development. Saya ubah isinya agar Manifesto yang saya buat sesuai dengan konteks mendidik dan membesarkan anak.

Manifesto untuk Agile Parenting yang saya susun dapat dibaca di sini: https://asyafrudin.blogspot.com/2018/07/mendidik-anak-dengan-agileparenting.html

Inti dari Manifesto itu adalah mengutamakan kebahagiaan semua anggota keluarga, baik anak-anak maupun orang tua. Kebahagiaan didefinisikan bersama-sama melalui komunikasi yang positif dan terbuka. Untuk memaksimalkan keterbukaan, pastikan ada toleransi dan fleksibilitas.

Sejak saat itu, setiap praktik parenting yang saya lakukan terus mengacu ke Manifesto itu. Mulai dari membiasakan family meeting, lebih toleran terhadap masalah, sampai membuat kesepakatan internal rumah tangga, dasarnya adalah Manifesto itu. Pola parenting saya berubah drastis.

Perlahan-lahan kedua anak laki-laki saya lebih berani membuka diri. Frekuensi mereka bercerita, termasuk bercerita soal masalah, ikut meningkat. Masalah tetap ada, tapi lebih sedikit yang disembunyikan. Akibatnya kuantitas kebohongan dan silat lidah mereka juga menurun.

Upaya saya untuk menahan diri dari marah juga memberikan hasil positif. Semakin sedikit kebohongan, semakin mudah bagi saya untuk fokus pada masalah yang ada. Dengan begitu, saya bisa lebih bijak menghadapi masalah di tengah keluarga, khususnya yang terkait dengan anak-anak.

Setelah 5 tahun lebih menerapkan Agile Parenting, hasilnya memang positif. Anak-anak saya sendiri bahkan mengaku, lewat obrolan kami, bahwa mereka berdua merasa lebih nyaman berinteraksi dengan saya. Saya juga merasa lebih nyaman berinteraksi dengan mereka berdua.

Sayangnya sisa-sisa tembok yang runtuh itu masih ada. Kebohongan masih terdeteksi sesekali waktu. "Pemberontakan" yang tersembunyi juga masih saya pergoki walaupun saya berkali-kali minta mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Namun, trennya tetap ke arah yang lebih baik.

Hal yang menarik adalah kecepatan runtuhnya tembok itu berbeda di antara kedua anak laki-laki saya. Salah satu dari mereka kelihatannya memiliki luka yang lebih dalam di masa kecilnya. Alhasil proses untuk menjadi lebih terbuka juga membutuhkan waktu yang lebih lama.

Hal itu membuat saya menyadari bahwa anak-anak butuh pendekatan yang personal dan privat. Setiap anak butuh komunikasi dan interaksi yang sesuai dengan kondisi masing-masing dan saya harus merespons hal itu. Mungkin saya bisa bagikan juga ceritanya, tapi tidak di sini.

Satu hal yang pasti, obrolan yang terjadi saat kami bersama-sama pergi shalat berjamaah adalah hasil dari perbaikan komunikasi dan interaksi. Obrolan itu menjadi bagian dari keterbukaan yang kami butuhkan di tengah keluarga kami. Semoga saja hal ini bisa kami pertahankan. Aamiin.

***

Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932699408814080

Senin, 14 Agustus 2023

Mengikat Hati Anak dengan Shalat Berjamaah

0 opini

Ada banyak alasan mengajak anak ke masjid. Kita bisa mengenalkan anak pada berbagai kegiatan di masjid mulai dari shalat berjamaah, mengaji, tidur, sampai main petak umpet. Kita bisa mengenalkan anak pada adab di masjid seperti mengutamakan shalat daripada main petak umpet.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah ikatan. Mengajak anak shalat di samping kita dan melanjutkannya dengan berzikir, apabila dilakukan secara konsisten, akan menjadi salah satu cara membentuk ikatan antara kita dengan anak kita. Namun, kita tidak bisa berhenti di situ.

Ikatan akan terbentuk bila shalat dan zikir menjadi bagian dari rangkaian interaksi yang kita bangun bersama anak-anak kita. Obrolan dan canda dalam perjalanan pergi dan pulang dari masjid juga tidak kalah penting. Prosesnya harus kita rangkul secara menyeluruh.

Saya merasakan hal itu dengan anak saya yang paling kecil. Berhubung dia perempuan, saya tidak membiasakan dia pergi ke masjid. Mungkin alasan dia hanya sebatas ingin bermain bersama teman-temannya, tapi dia selalu ingin pergi ke masjid bersama saya. Alhamdulillaah.

Hampir setiap hari kami selalu berjalan bergandengan tangan ke masjid. Subuh, Magrib, dan Isya menjadi We-Time untuk saya dan anak bungsu saya itu. Di akhir pekan, Zuhur dan Asar juga sama. Kadang kami naik motor, kadang sepeda. Apapun modanya, kebersamaan itu terus terjaga.

Dalam kebersamaan itu kami bertukar cerita. Ceritanya cenderung ringan, tapi kadang serius seperti masalah dengan teman atau isu di sekolah. Kadang saya sendiri yang memulai pembicaraan serius. Ada kalanya obrolan itu menjadi pembuka untuk membahas sesuatu yang lebih penting.

Tentu saja kondisinya tidak selalu kondusif. Ada kalanya mood saya atau anak saya sedang tidak baik. Akhirnya kebersamaan itu hanya sebatas sama-sama jalan pada waktu yang sama. Namun, ada kalanya mood itu membaik karena kami mau bertanya atau bercerita tentang masalah kami.

Ya, benar. Kalau saya diam saja, anak saya itu berani bertanya ada masalah apa. Saat saya menjawab dan bercerita, ada belenggu yang lepas dari hati saya sehingga mood saya membaik. Kalaupun saya tidak bisa ceritakan, rasanya tetap lebih plong saat kita merasa diperhatikan, kan?

Hal itu bersifat resiprokal. Kalau dia diam saja, giliran saya yang bertanya ada masalah apa. Kadang dia mau menceritakan hal yang membuat dia gundah, tapi kadang dia menahannya. Apapun pilihannya, kelihatannya dia tetap mendapatkan mood booster yang sama dari perhatian saya.

Pengalaman positif itu terus saya rasakan. Saya ceritakan juga pengalaman itu kepada istri saya. Saya melihat kebersamaan itu, walaupun kecil, sebagai sesuatu yang berharga. Saya yakin istri saya juga bisa mengambil manfaatnya kalau dia ikut mendampingi anak saya ke masjid.

Satu hal yang saya sesali adalah hal itu tidak saya dapatkan bersama kedua anak laki-laki saya yang pertama. Saya bahkan secara aktif membiasakan mereka shalat berjamaah di masjid. Namun, kuantitas (atau mungkin kualitas) kebersamaan yang sama tidak saya rasakan bersama mereka.

Saya sadari bahwa saya lebih sering bersikap keras saat membesarkan kedua anak laki-laki saya. Saat saya berhasil menjadi lebih bijaksana, "tembok" antara saya dan mereka sudah terlanjur berdiri. Anak bungsu saya lebih beruntung karena tumbuh bersama saya yang lebih dewasa.

Untungnya tembok yang menjadi pemisah itu masih bisa diruntuhkan sedikit demi sedikit. Walaupun tidak seintens dengan adik mereka, suasana akrab saat kami pergi ke masjid bersama masih terbentuk. Obrolan dan canda masih muncul sesekali waktu. Pengalamannya tetap menyenangkan.

Satu hal yang pasti, kebersamaan yang saya rasakan bersama anak-anak saya adalah bagian dari kebersamaan yang lebih besar dalam hidup kami. Komunikasi dan interaksi positif memang harus dibentuk dalam setiap kesempatan yang ada. Shalat berjamaah di masjid adalah salah satunya.

***

Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932675086032897

Selasa, 01 Agustus 2023

Pengalaman Mengikuti Tes Bakat Skolastik Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Rupanya Tes Bakat Skolastik (TBS) Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 2 Tahun 2023 sudah dekat. Pertama kali saya mengikutinya, TBS itu ibarat sebuah tembok yang sangat tinggi. Saya kuatir karena saya sudah lama tidak berurusan dengan perhitungan Matematika yang rumit, saya akan gagal.

Kecemasan saya sebenarnya tidak beralasan karena keterampilan Matematika bisa disegarkan kembali dengan latihan. Hal yang penting adalah tahu bagian mana yang harus dilatih. Bagi saya, bagian itu adalah deret bertingkat. Di bagian itu saya perbanyak latihan soal.

Deret bertingkat itu menghabiskan waktu karena kita perlu mengenal pola di balik pola. Risiko salahnya cukup tinggi, apalagi kalau kita terburu-buru. Beruntung contoh-contoh soal deret bertingkat itu mudah ditemukan. Jadi, saya punya cukup banyak materi untuk berlatih.

Selain deret bertingkat, soal-soal Matematika yang saya ingat di TBS adalah aritmatika, aljabar, dan analisis terhadap kecukupan data. Aritmatika dan aljabar itu biasa saya temui di tes-tes Matematika, salah satunya saat mengikuti Ujian Masuk UI. Kecukupan data itu yang unik.

Walaupun begitu, saya lebih banyak berlatih dengan soal deret bertingkat. Aritmatika, aljabar, dan kecukupan data tetap saya perhitungkan, tapi kemampuan mengenali pola bilangan yang saya utamakan. Hasilnya, di percobaan pertama dan kedua, saya bisa lulus TBS. Alhamdulillaah.

Contoh soal untuk semua itu mudah ditemukan di Internet. Apalagi untuk LPDP, banyak kanal yang berkenan berbagi langsung sampai pembahasan soalnya. Berlatih menjadi mudah. Akan tetapi, hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan oleh peserta tes adalah kondisi mental.

Bagi yang belum terbiasa, soal-soal TBS bisa terasa sulit dan membuat kewalahan. Hal itu harus dihindari karena bersama soal-soal yang susah, ada soal-soal yang mudah. Jangan berhenti di 1 soal yang sulit. Ingat terus bahwa waktu tes terbatas. Jadi, kalau mentok, ganti soal.

Teman saya yang dulu ikut TBS juga mengakui bahwa ego kadang muncul dan membuat waktu kita habis di 1 soal tertentu. Hal itu jelas keliru karena kita tidak diminta untuk menjawab semua soal, tapi mendapat nilai setinggi mungkin. Kalau ada yang tidak bisa kita jawab, no problem!

Hal itu bukan berarti soal-soal kita lewati begitu saja. Semua soal sebaiknya diisi karena tidak ada penalti. Jadi, saat membaca dan mencoba menjawab soal, kalau kita tidak bisa menemukan jawabannya, paling tidak kita bisa membuat tebakan yang terarah. Siapa tahu benar, kan?

Selain keterampilan Matematika, TBS juga menguji keterampilan Bahasa Indonesia dan logika berpikir kita. Soal-soal keterampilan Bahasa Indonesia seperti padanan kata termasuk mudah. Akan tetapi, soal-soal yang menguji logika berpikir bisa sekaligus menguji kesabaran kita.

Saya ingat di percobaan kedua, ada soal yang meminta saya menyusun belasan pot dan guci ke sebuah lemari. Nantinya saya harus memilih kondisi mana yang benar dalam pilihan yang tersedia. Soal itu terasa begitu rumit sampai rasanya saya ingin membanting guci. Wild, right?

Untuk model soal seperti itu, opsi terbaik adalah mulai dari pilihan yang tersedia, lalu cari pilihan yang benar. Sebaliknya juga bisa dilakukan, kita lihat semua pilihan yang ada, coret yang salah sampai tersisa yang benar. Kalau tidak seperti itu, waktu akan banyak terbuang.

Intinya, sebaik apa pun keterampilan kita, sebanyak apa pun latihan kita, kita harus ingat bahwa tujuan mengikuti TBS adalah mendapatkan nilai semaksimal mungkin. Kalau ada soal yang tidak bisa kita jawab, tidak masalah. Kalau SEMUA soal tidak bisa kita jawab, itu baru masalah.

Lewati soal yang susah, fokus ke soal yang mudah. Setelah semua soal yang mudah dapat kita jawab, waktu yang tersisa kita alihkan untuk mencoba menjawab semua soal yang kita lewati. Kalau rasa panik sudah muncul, mulailah menebak sebaik mungkin agar semua soal terisi jawaban.

Senin, 17 Juli 2023

Berburu SMA

0 opini

Melihat kembali perjalanan pendaftaran sekolah anak-anak dari SD, SMP, sampai SMA di tahun ini, indikasi kecurangan itu tetap ada. Sampai kapan, ya?

Berburu SD

Sembilan tahun yang lalu, saat berburu SD, prosedur pendaftarannya sederhana, tapi hasil pendaftarannya kurang transparan. Anak-anak saya tidak diterima di 3 sekolah dengan alasan jarak atau usia, tapi berhubung ada kabar "uang pelicin" untuk diterima, saya tidak terlalu percaya.

Saya tidak mau repot-repot mencari bukti dan memperjuangkan agar anak-anak saya diterima di 3 sekolah itu. Cari yang dekat saja, walaupun kualitasnya pas-pasan. Pada akhirnya, walaupun sedikit lebih repot, anak-anak saya berhasil mendapatkan sekolah.

Berburu SMP

Enam tahun kemudian, saat daftar SMP, prosesnya lebih sederhana dan lebih mudah karena dilakukan secara daring. Kriteria penerimaannya juga mudah dipahami dan hasilnya cukup transparan. Kondisinya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan pendaftaran SD yang lalu.

Walaupun begitu, sistem zonasi memang menjadi momok. Lokasi sekolah yang tidak merata membuat banyak calon siswa tersingkir, termasuk anak-anak saya. Itu alasannya kenapa banyak orang tua rela memindahkan anak mereka ke kartu keluarga (KK) yang lokasinya dekat sekolah.

Kami beruntung karena saat itu ada jalur pendaftaran tahap 2 berbasis prestasi. Posisi anak-anak saya tetap mengkhawatirkan, tapi berakhir baik. Walaupun mereka tidak memiliki prestasi gemilang, nilai rata-rata mereka masih cukup untuk mengamankan kursi di salah satu SMP negeri.

Terlepas dari happy ending itu, mekanismenya perlu diperbaiki. Sistem zonasi, misalnya, bisa mendorong orang mengatur KK untuk anak mereka. Prestasi anak juga bisa saja diatur dengan nilai-nilai di sekolah sebelumnya. Dari 2 hal itu, mekanisme zonasi yang paling berisiko.

Berburu SMA Negeri

Di pendaftaran SMA baru-baru ini, kondisi itu terbukti. Ada siswa yang rumahnya hanya berjarak 7 meter dari sekolah. Ada sekelompok siswa yang jarak tempat tinggalnya sama persis dari SMA yang sama. Ada juga yang mengaku terdaftar di jalur zonasi lewat "orang dalam".

Kuota di jalur zonasi memang sangat banyak. Tidak heran kalau para orang tua akhirnya "memaksa" untuk masuk lewat jalur itu. Kalaupun mereka mengatur KK, aturannya memang membolehkan, terlepas dari kasus absurd seperti jarak 7 meter atau sekelompok siswa yang ada di KK yang sama.

Anak-anak saya memang tidak mungkin terdaftar di jalur zonasi karena pasti kalah bersaing. Kami hanya mengandalkan jalur prestasi. Sayangnya kuota jalur prestasi itu jauh lebih sedikit dari kuota zonasi. Alhasil nilai rata-rata 86,68 mereka gagal mengamankan kursi.

Saya akhirnya mendaftarkan anak-anak saya ke salah satu SMA Muhammadiyah. Mereka sudah diterima dan, saat tulisan ini dibuat, sudah mulai sekolah. Namun, lucunya eksekusi sistem pendaftaran SMA ini masih menjadi topik yang hangat di tengah keluarga.

Anak-anak saya menyaksikan sendiri kecurangan yang dilakukan orang demi mendapatkan sekolah negeri. Mereka juga melihat langsung kecurangan itu seperti dibiarkan oleh pihak yang berwenang. "Percuma saja ada verifikasi," keluh salah satu anak saya. Kami semua hanya bisa tertawa.

Semoga saja kondisinya terus membaik. Semoga hal-hal konyol di jalur zonasi bisa digerus sampai habis. Semoga kuota jalur prestasi ditambah. Semoga prestasi di tingkat sekolah bisa diperhitungkan. Semoga kecurangan di proses pendaftaran sekolah dapat diminimalkan.

Berlaku curang saat daftar sekolah itu ironis. Masak untuk diterima di sekolah negeri harus "mengakali" KK atau masih lewat orang dalam? Kalau masih begitu, untuk apa ada sistem pendaftaran elektronik? Lagi pula, didikan apa yang mau kita tanamkan di dalam diri anak-anak kita?

Di balik semua itu, ada pelajaran yang bisa diambil. Anak-anak saya jelas mendapat pelajaran soal pentingnya disiplin dan rajin. Mereka disadarkan bahwa kegagalan mereka, walaupun ada pihak lain yang bisa disalahkan, adalah karena kemalasan mereka sendiri.

Beralih ke SMA Swasta

Kami juga mendapat kesempatan berbaik sangka pada Yang Maha Kuasa. Walaupun tidak masuk sekolah negeri, kami tetap bersyukur ditunjukkan jalan menuju SMA yang islami. Bukan tidak mungkin memang ini jalannya untuk membentuk karakter yang lebih baik dalam diri anak-anak kami.

Tidak bisa dipungkiri bahwa jalan menuju SMA Muhammadiyah itu seperti dibukakan untuk kami. Dari gagal masuk sekolah negeri, ada yang tiba-tiba mengarahkan ke SMA Muhammadiyah, sampai uang juga cukup untuk menutupi biaya pendaftaran. Apa itu istilahnya, "semesta mendukung", ya?

Last but not least, hidup harus jalan terus dan terus lurus. Kecurangan harus dihindari karena memang itu jalan hidup yang diridai Allah Swt. Jangan sampai kecurangan yang kita anggap kecil berbalik menjadi masalah di masa depan, apalagi di akhirat. Na'uudzubillaahi.

Jumat, 07 Juli 2023

Esensi Esai untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Keberuntungan saya dalam esai untuk Seleksi Beasiswa LPDP belum tentu dirasakan banyak orang. Tidak semua orang "kebetulan" memiliki tulisan yang siap untuk dijadikan esai, kan? Bukan tidak mungkin banyak orang di luar sana yang mengalami kesulitan ekstra dalam penyusunan esai.

Beberapa orang yang lulus Seleksi Beasiswa LPDP mengakui urusan esai itu menantang. Setiap orang, sesuai cerita mereka, memiliki tantangan masing-masing saat menyusun komitmen dan rencana pasca studi mereka. Namun, semuanya terlihat memiliki keaslian dan kematangan yang sama.

Keaslian dan kematangan itu akan digali saat wawancara, tapi esai menjadi titik awal yang penting. Esai itu membentuk cerita yang akan disajikan kepada para pewawancara. Esai itu tentunya berisi perjalanan yang telah dilakukan dan "itinerary" untuk perjalanan di masa depan.

Ceritanya juga harus diarahkan ke hal-hal yang berdampak positif bagi banyak pihak. Saya, misalnya, bercerita mengenai workshop Agile untuk rekan-rekan ASN dan menulis buku ASN Juga Bisa Agile. Walaupun sifatnya terbatas, banyak pihak yang ikut merasakan manfaatnya.

Kalau esai bisa diarahkan seperti itu, penyusunannya akan lebih mudah. Bagian "komitmen" dapat diisi dengan komitmen untuk meneruskan apa yang sudah dibangun lewat kontribusi yang lampau. Di situ, rencana pasca studi atau kontribusi seharusnya akan keluar dengan sendirinya.

Peran studi kita kelak juga akan lebih mudah untuk dijelaskan. Saya, misalnya, berkomitmen untuk terus menjaga agar Rinkas tetap hidup. Topik riset yang saya pilih adalah Agile. Riset itu berperan besar untuk memperkuat kompetensi saya sebagai praktisi Agile dalam Rinkas.

Benang merahnya terlihat, kan?

Pada intinya, esai itu dimulai dari diri penulisnya. Jelaskan siapa dirinya, kompetensinya, lalu kontribusinya. Selanjutnya jelaskan visinya yang selaras dengan kontribusinya. Di tengah-tengah, sisipkan peran studi yang ingin diambil dalam rencananya di masa depan. Itu saja.

Sederhana, tapi tidak mudah.

Senin, 03 Juli 2023

Pengalaman Membuat Proposal Riset untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Dari semua persyaratan yang perlu disiapkan untuk Seleksi Beasiswa LPDP, proposal riset adalah hal yang paling menantang. Tidak seperti esai yang hakikatnya "hanya" bercerita, uraian di dalam proposal riset harus ilmiah. Alur ceritanya harus ditunjang referensi yang kuat.

Untuk S3, tantangannya lebih berat lagi karena topik riset kita harus lebih luas dari riset S2. Selain itu, kita dituntut untuk menemukan sesuatu yang baru lewat riset S3. Definisi "baru" itu, berdasarkan pemahaman saya saat ini, dinilai dari referensi yang kita gunakan.

Referensi dalam proposal riset bisa diibaratkan sebagai pijakan untuk melompat ke depan. Kalau pijakan yang kita gunakan tidak kuat, lompatan kita tidak akan jauh. Bukan hanya itu, pijakan yang rapuh mungkin saja membuat kita GAGAL melompat karena pijakannya ambruk lebih dulu.

Pijakan yang rapuh itu membuat saya gagal di Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 2 Tahun 2022. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, referensi di dalam proposal pertama saya memang lemah. Saya hanya mencantumkan 1 jurnal sehingga pijakan riset saya benar-benar terlihat lemah.

Rasanya ingin menertawakan diri sendiri.

Dari kejadian itu saya belajar. Tidak lama setelah wawancara di Tahap 2 Tahun 2022, saya perbanyak referensi. Kajian pustaka untuk proposal riset saya perdalam. Satu per satu publikasi ilmiah internasional saya tambahkan. Referensi non-publikasi juga saya buat seminimal mungkin.

Waktu saya terbatas karena saya harus segera menyelesaikan proposal riset saya untuk mendaftar di Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 1 Tahun 2023. Walaupun begitu, hasilnya cukup baik. Referensi berupa publikasi di dalam proposal riset saya meningkat drastis dari 1 menjadi belasan.

Seiring dengan bertambahnya referensi, isi proposal saya juga berubah. Analisis dalam proposal terasa lebih "nendang". Hal "baru" yang ingin saya temukan lewat riset semakin terlihat. Dapat dikatakan bahwa proposal riset saya mengalami peningkatan kualitas yang signifikan.

Walaupun proposal itu saya susun untuk Seleksi Beasiswa LPDP, dampak positifnya saya rasakan juga dalam mencari prospek kuliah S3. Saya menjadi lebih percaya diri saat mengontak para profesor di kampus-kampus yang saya minati. Saya memang merasa isi proposal saya lebih berbobot.

Dalam proses memperbaiki proposal itu, saya juga menggunakan publikasi yang penulisnya ada di salah satu kampus incaran saya. Saat saya menghubungi profesor itu, saya sebutkan juga publikasinya. Isi email yang saya kirim menjadi lebih spesifik karena menyebut hasil karyanya.

Dibandingkan sebelumnya, proposal saya menarik lebih banyak respons. Responsnya bervariasi dari yang berminat, tapi tidak bisa menampung PhD student baru, sampai yang berminat dan mengajak diskusi lebih lanjut. Yang mengajak diskusi adalah profesor yang publikasinya saya kutip.

Dari profesor itu, prosesnya diarahkan ke kampus. Beliau meminta saya tetap mendaftar dulu di kampus tujuan agar kelayakan saya dinilai langsung oleh bagian administrasi kampus. Saya menerima lampu hijau dan diskusi saya bersama profesor dapat diteruskan lebih dalam lagi.

Kondisi itu benar-benar menguntungkan bagi saya karena semua itu terwujud sebelum wawancara di Seleksi Substansi (Beasiswa LPDP). Wawancara itu lebih lancar dari tahap sebelumnya. Perbaikan di sisi proposal dan respons dari profesor itu membuat wawancara saya "lebih meyakinkan".

Ada satu hal yang membuat saya tetap waswas. Salah seorang pewawancara mengatakan bahwa mayoritas referensi saya berisi fringe journal. Untungnya saya bisa menjelaskan bahwa hal itu akan saya perbaiki karena saya mendapat akses ke berbagai publikasi yang kredibel dari kampus.

Singkat cerita (di tulisan yang ekstra panjang ini), saya lulus seleksi. Seleksi Substansi yang terlihat sulit itu berhasil saya lewati. Upaya memperbanyak literatur untuk saya kutip membuahkan hasil positif. Kampus yang saya kejar juga memberikan respons positif. Alhamdulillah.

Soal wawancara, sebenarnya masih ada hal menarik lain karena isinya bukan hanya soal proposal riset. Di tengah proses seleksi juga ada Seleksi Bakat Skolastik yang juga tidak kalah menantang. Saya coba ceritakan di tulisan berikutnya, ya. Insyaa Allaah.

Sabtu, 01 Juli 2023

Pengalaman Membuat Esai Untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Setelah IELTS, ada esai. Setiap orang yang mendaftar Seleksi Beasiswa LPDP, termasuk saya, harus membuat esai yang berisi rencana studi dan kontribusi di masa depan. Semua itu perlu kita jelaskan dalam konteks berkomitmen untuk kembali ke Indonesia dan terus berkontribusi.

Sebenarnya, dibandingkan dengan IELTS, membuat esai ini justru lebih sulit. Namun, lagi-lagi saya beruntung karena pernah membuat tulisan yang panjang mengenai kontribusi dan mimpi saya dalam penerapan Agile di pemerintahan. Kata kuncinya adalah Pemerintah Tangkas.

Target 1.500-2.000 untuk esai dapat saya penuhi dengan mudah karena tulisan saya mengenai Pemerintah Tangkas (Rinkas) memang sepanjang itu. Saya hanya perlu mengubah sudut pandang tulisan dari komunitas ke pribadi. Struktur dan isinya secara fundamental tidak perlu saya ubah.

Struktur esai yang saya buat cukup sederhana. Saya buka dengan menceritakan berbagai pengalaman saya menerapkan Agile sejak tahun 2015. Saya lanjutkan dengan menjelaskan apa itu Rinkas dan apa visinya. Saya juga ceritakan peran dan pencapaian Rinkas di dalam esai itu.

Berhubung saya aktif di Rinkas, mudah bagi saya untuk memposisikan diri saya di setiap bagian dalam cerita Rinkas. Saya juga tambahkan cerita tentang komunitas praktisi/peminat Agile di pemerintahan dan gambaran Agile yang Agnostik. Tujuannya agar ceritanya menjadi lebih utuh.

Esai saya tutup dengan komitmen untuk meneruskan apa yang sudah saya mulai. Saya juga tekankan bahwa topik riset saya juga selaras dengan cita-cita itu. Esai itu saya tutup dengan menunjukkan keselarasan antara kontribusi yang telah lalu dengan rencana saya di masa depan.

Saya sendiri tidak tahu seberapa besar pengaruh esai itu terhadap hasil akhir Seleksi Substansi. Namun, kalau memang keaslian yang dicari, sepertinya praktisi Agile di pemerintahan memang belum banyak. Peran saya yang cukup signifikan di Rinkas ikut memperkuat keaslian itu.

Kalau dilihat dari kaitannya dengan bangsa dan negara, isi esai saya sudah terkait cukup erat. Peran saya dalam penerapan Agile adalah sebagai ASN. Tujuannya untuk membangun layanan yang berkualitas di instansi tempat saya bekerja. Dampak positifnya akan dirasakan masyarakat.

Rinkas, dengan konteks yang lebih luas dari tempat kerja saya, juga tidak jauh dari pemerintahan. Lewat Rinkas, saya juga ingin melihat peningkatan kualitas layanan di instansi lain di luar tempat saya bekerja. Dampak positifnya tentu akan dirasakan oleh lebih banyak pihak.

Mungkin esai seperti itu yang perlu disiapkan para pemburu Beasiswa LPDP. Esai itu perlu diisi dengan riwayat kontribusi yang relevan dengan rencana di masa depan. Dengan begitu, esainya akan berisi cerita yang berkelanjutan dengan studi S2/S3 sebagai salah satu katalisatornya.

Oleh karena itu, menurut saya, akan lebih baik kalau proposal riset yang dibuat juga selaras dengan esai. Keselarasan itu menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan memang memiliki visi yang jelas terkait studinya. Bukan hanya studi yang dipikirkan, tapi juga manfaat studi itu.

Proposal riset adalah salah satu persyaratan untuk melanjutkan studi S3 dengan Beasiswa LPDP. Seluk-beluk mempersiapkan proposal juga menarik untuk dibahas, tapi tentu saja terlalu panjang untuk diteruskan di sini. Saya ceritakan di tulisan selanjutnya saja, ya. Insyaa Allaah.

Kamis, 29 Juni 2023

Pengalaman Tes IELTS Untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Ada 3 hal besar yang perlu saya siapkan sewaktu mendaftar Beasiswa LPDP. Ketiga hal itu adalah IELTS, Esai, dan Proposal Riset. Proposal Riset hanya diminta dari para pendaftar jenjang studi S3, sementara IELTS dan Esai harus dipenuhi pendaftar dari jenjang studi S2 dan S3.

Dari semua itu, bagian yang paling berat adalah IELTS. Sebenarnya LPDP membuka beberapa opsi, tapi saya memilih yang paling feasible: IELTS. Saat itu saya benar-benar mengejar waktu dan hanya IELTS yang dapat saya peroleh hasilnya sebelum pendaftaran Beasiswa LPDP ditutup.

Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya mencoba LPDP pertama kali di Tahap 2 Tahun 2022. Saat itu, waktu yang tersisa untuk mendaftar agak mepet. Di waktu yang terbatas itu, saya mencari tempat untuk mendapatkan skor tes Bahasa Inggris sesuai kriteria LPDP.

Setelah browsing sana-sini, saya menemukan slot kosong untuk tes IELTS berbasis komputer di IALF Gading Serpong. Biaya tesnya cukup mengguncang cashflow, yaitu Rp3.000.000, tapi tetap saya jalani. Saya pikir, walaupun mahal, hasil tesnya bisa saya pakai selama 2 tahun ke depan.

Pendaftaran dan pembayaran saya lakukan pada tanggal 24 Juli 2022. Jadwal tes saya tanggal 28 Juli 2022. Saya hanya punya waktu 4 hari untuk mempersiapkan diri. Semua itu saya lakukan karena saya ingin mengejar pendaftaran Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 2 Tahun 2022 saat itu.

Saya beruntung karena sejak kecil saya tidak pernah mengalami kesulitan dengan Bahasa Inggris. Namun, tes IETLS itu menjadi tes Bahasa Inggris pertama saya yang mencakup speaking skill. Jadi, perasaan saya campur aduk antara rasa senang mencoba hal baru dan rasa takut gagal.

Dalam waktu 4 hari itu, saya browsing mencari contoh atau simulasi tes IELTS. Beruntung informasi seperti itu sudah sangat mudah ditemukan di YouTube. Saya pelajari mekanisme tes yang akan saya jalani nanti, baik listening, reading, writing, maupun speaking.

Satu hal yang meleset dari perhatian saya adalah bahwa tes IELTS ini menggunakan UK English. Isunya adalah selama ini saya lebih banyak bermain dengan US English. Hal itu menjadi tantangan tersendiri di bagian listening karena pengucapan UK English berbeda dengan US English.

Ada 1 cerita konyol saat saya tes, khususnya di bagian listening. Setiap sesi, peserta diberi kesempatan untuk membaca pertanyaan yang ada sebelum audio diputar agar peserta tahu informasi apa yang harus mereka cari. Di salah satu sesi listening, saya seperti kehilangan fokus.

Di sesi konyol itu, saya lupa membaca pertanyaan yang ada di waktu yang disediakan. Saya santai saja mendengarkan obrolan antara 2 orang yang sedang diputar. Saat audio selesai, saya kaget. Untungnya obrolan mereka nyangkut dan saya bisa menjawab pertanyaan di sesi itu.

Reading dan writing dapat saya jalani dengan baik. Materinya bukan sesuatu yang bisa saya temukan dalam hidup saya sehari-hari. Saya masih bisa mencernanya, tapi di bagian writing, hal itu menjadi menantang karena kosakata saya masih terbatas.

Di bagian Speaking, saya juga terhambat di kosakata. Walaupun topik yang dibahas sangat erat dengan hidup sehari-hari seperti kota kelahiran atau akun favorit di Twitter, saya masih tidak terlalu lancar berbicara. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya kurang latihan.

Walaupun begitu, secara umum, saya masih bisa melewati semua bagian tes itu dengan baik. Sesuai dugaan, speaking dan writing saya ada di band 7. Tidak tinggi, tapi cukup baik. Untungnya listening dan reading saya ada di band 8,5 sehingga hasil akhir tes IELTS saya adalah band 8.

Hasil tes saya keluar dalam hitungan hari, yaitu tanggal 2 Agustus 2022. Sesuai harapan saya, saya bisa menggunakan tes IELTS itu untuk mendaftar di Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 2 Tahun 2022. Semua waktu, tenaga, dan uang yang keluar untuk tes bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Rabu, 28 Juni 2023

Gagal Sebelum Lulus Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Seleksi Beasiswa LPDP yang pertama kali saya ikuti adalah Tahap 2 Tahun 2022. Saat itu, saya gagal di Seleksi Substansi. Kegagalan itu sebenarnya sulit saya terima, tapi bisa saya maklumi, karena saya berada di tengah-tengah antara siap dan tidak siap melanjutkan studi S3.

Bagian wawancara (dalam Seleksi Substansi) yang membekas adalah pembahasan proposal riset. Proposal saya tidak didukung oleh referensi yang kuat. Saya hanya mencantumkan 1 jurnal dalam referensi, sementara sisanya berisi peraturan dan dokumen non-jurnal, termasuk riset internal.

Saya juga terbilang masih hijau dalam urusan prospek kuliah S3. Saat itu, walaupun saya sudah mengontak banyak akademisi di berbagai universitas, belum ada yang memberikan respons. Jadi, dalam wawancara itu, saya tidak bisa bercerita banyak tentang rencana studi S3 saya.

Saya hanya bisa bercerita panjang-lebar tentang nilai tambah riset saya, baik terhadap diri saya, karir saya, instansi tempat saya bekerja, atau masyarakat secara umum. Akan tetapi, begitu saya ditanya nilai tambah riset itu di sisi akademis, saya tidak bisa berkomentar banyak.

Hal itu sepertinya sangat diperhatikan para pewawancara dan "kegagapan" saya sepertinya membuat saya dinilai tidak siap melanjutkan studi S3. Saya menyadari hal itu, tapi kenapa saya sulit menerimanya? Karena menurut saya kesiapan itu bisa saya wujudkan di masa depan.

Referensi bisa saya perkuat. Saya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang kuat terkait riset yang saya ingin lakukan. Supervisor bisa saya cari karena masih ada banyak universitas yang belum saya jajaki. Mungkin para pewawancara tidak mau mengambil risiko, tapi saya maklum.

Maju ke Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 1 Tahun 2023, semua itu teratasi. Alhamdulillaah. Referensi dalam proposal, walaupun tidak terlalu kredibel, dapat saya perkaya dengan banyak jurnal. Saya juga sudah terhubung dengan seorang profesor yang mau menerima saya sebagai PhD student.

Semua keberhasilan itu bisa saya ceritakan dalam wawancara di Seleksi Tahap 1 Tahun 2023. Jalannya wawancara di tahap ini menjadi lebih meyakinkan bagi saya dibandingkan tahap sebelumnya. Paling tidak saya tidak lagi mengalami momen speechless seperti di tahap sebelumnya.

Walaupun lebih meyakinkan, saya tetap waswas. Penilaian tetap ada di tangan para pewawancara yang, tentu saja, subjektif. Saya berdoa kepada Allah Swt. agar saya tidak perlu mengikuti seleksi lagi untuk yang ketiga kalinya. Doa saya ternyata dikabulkan. Alhamdulillaah.

Dari pengalaman gagal dan akhirnya lulus seleksi itu akhirnya saya tegaskan, "Kuncinya ada di Seleksi Substansi". Akan tetapi, semua tetap dimulai dari Seleksi Administrasi, bahkan sebelum itu. Semua persiapan saya untuk mencapai kondisi saat diwawancarai itu yang menjadi kunci.

Bagaimana persiapannya? Tentu saja terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Niat saya memang membahasnya satu per satu, sedikit demi sedikit, supaya tidak terlalu banyak informasi yang harus dibahas dalam 1 waktu. Saya akan bercerita lagi di tulisan berikutnya. Insyaa Allaah.

Selasa, 27 Juni 2023

Lulus Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Kabar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Hari Kamis, 8 Juni 2023, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mengumumkan hasil seleksi Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP Tahap 1 Tahun 2023. Dengan izin Allah Swt., saya dinyatakan lulus. Alhamdulillaah.

Saya mengikuti seleksi beasiswa itu untuk melanjutkan studi S3. Saya berniat untuk melanjutkan studi S3 itu di luar negeri. Negara tujuan saya adalah Selandia Baru. Beasiswa itu dapat mengakomodir semua kebutuhan itu. Jadi, saat pendaftarannya dibuka, saya langsung daftar. 

Berhubung saya bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN), saya pilih program yang bersifat targeted untuk PNS, TNI, dan Polri. Bagian kepegawaian di kantor saya juga mendukung penuh dari sisi administrasi sehingga prosesnya lebih mudah. Persiapannya juga berjalan lancar.

Seleksi itu sendiri terdiri dari 3 tahap, yaitu Administrasi, Bakat Skolastik, dan Substansi. Berdasarkan pengalaman saya, Seleksi Administrasi hanya memeriksa kelengkapan data dan dokumen. Potensi akademik diukur di Seleksi Bakat Skolastik. Seleksi Substansi, ya, substansial.

Data yang harus disiapkan cukup banyak. Data yang diminta mencakup data diri, data keluarga, riwayat pekerjaan, riwayat pendidikan, pengalaman riset, prestasi, karya ilmiah, konferensi/seminar, dll. Yang paling menonjol adalah Bahasa Inggris, Esai, dan Proposal Riset.

Semua persyaratan yang diminta dapat saya siapkan dengan baik sehingga Seleksi Administrasi dapat saya lewati tanpa kendala berarti. Tes-tes di dalam Seleksi Bakat Skolastik juga dapat saya selesaikan dengan baik. Soal-soalnya memang menantang, tapi saya tetap bisa lulus.

Kuncinya ada di Seleksi Substansi. Seleksi Substansi itu dilakukan melalui wawancara. Semua berkas yang saya serahkan saat Seleksi Administrasi menjadi bahan wawancara. Kabarnya yang digali pewawancara adalah keaslian dan kesiapan. Itu juga dapat saya lewati dengan baik.

Skor Seleksi Bakat Skolastik saya adalah 220. Skor yang cukup baik untuk potensi akademik orang yang usianya berkepala 4. Skor Seleksi Substansi saya adalah 958. Skor itu sepertinya terbilang tinggi, tapi saya tidak tahu apa sebenarnya yang membuat skor saya setinggi itu.

Saya bermaksud membahas semuanya satu per satu. Siapa tahu ada yang bisa mengambil manfaat dari pengalaman saya lulus seleksi Beasiswa Pendidikan Indonesia dari LPDP ini. Supaya tulisan ini tidak terlalu panjang, saya akan lanjutkan di tulisan berikutnya. Insyaa Allaah. 

Kamis, 22 Juni 2023

Gagal Verifikasi Wajah Di PermataMobile X

0 opini

Akhirnya urusan verifikasi wajah selesai dengan baik, tapi prosesnya cukup lama.

Beberapa hari yang lalu, saya protes ke Permata Bank karena verifikasi wajah saat registrasi mobile banking (PermataMobile X) selalu gagal. Saya sudah coba pagi, siang, sore, dan malam selama berhari-hari, tapi tetap gagal. Pencahayaan sudah diatur. Reinstall aplikasi sudah berkali-kali. Gagal!

Saya sempat datang ke kantor cabang, tapi di sana hanya dibantu melakukan hal yang sudah saya coba berkali-kali. Saya pergi dengan tangan hampa. Saya agak kecewa karena maksud saya datang ke kantor cabang adalah untuk verifikasi langsung, tapi ternyata tidak bisa.

Hati sudah berniat tutup rekening, tapi dari akun Twitter PermataCare menyarankan saya mengajukan komplain lewat email. Apa bedanya? Menurut mereka, komplain lewat email dapat ditindaklanjuti lebih jauh di sisi teknis. Masak? Memang benar. Akar masalah verifikasi wajah itu akhirnya terlihat.

Isunya ternyata pada data. Data saya sejak saya buka rekening di Permata Bank tidak pernah diubah. Akibatnya verifikasi wajah dilakukan berdasarkan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang DULU saya gunakan saat buka rekening. Sampai unta masuk ke lubang jarum juga tidak akan berhasil.

Yang "menyebalkan" adalah kenapa kemungkinan data mismatch itu tidak muncul saat saya datang ke kantor cabang. Mungkin ada kesenjangan informasi antara customer service (CS) saat itu dengan petugas Permata Bank yang ada di balik email. Akibat kesenjangan itu, mereka hampir kehilangan 1 pelanggan.

Akhirnya saya datang LAGI ke kantor cabang. Di sana, saya langsung bilang mau update data. Setelah CS mengubah data saya, saya registrasi lagi di mobile banking dan, seperti kata Dora, berhasil!

Batal, deh, tutup rekening.