Minggu, 15 September 2013

Gagal Mendidik Anak

0 opini
Pernahkah Anda merasa gagal mendidik anak? Saya pernah. Perasaan ini muncul tidak hanya sekali atau dua kali; berkali-kali. Perasaan ini muncul saat saya melihat kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya kadang terdiam dan berpikir, "salah di mana ya gw?" Pada saat seperti ini, saya terus bertanya di mana letak kesalahan-kesalahan saya yang membentuk kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak saya itu.

Saat perasaan gagal mendidik anak ini muncul, saya mulai merasa pesimis melihat masa depan saya sebagai orang tua. Pesimisme ini dibarengi dengan perasaan minder yang mengakibatkan munculnya sifat cuek terhadap anak-anak saya. Saat cuekisme ini muncul, saya tidak lagi peduli dengan peran penting saya sebagai orang tua. Sampai akhirnya saya sadar kalau saja saya mau berpikir jernih, sebenarnya perasaan gagal mendidik anak ini menjadi salah satu sumber kegagalan saya.

Bayangkan saja. Kalau sampai kita tidak lagi optimis dengan kemampuan kita menjadi orang tua, kalau sampai kita tidak lagi percaya diri dengan status saya sebagai orang tua, kalau sampai kita tidak lagi peduli dengan peran penting kita sebagai orang tua, bukankah kita sudah menjerumuskan diri kita sendiri kepada kegagalan? Justru perasaan gagal mendidik anak ini yang membuat kita semakin terpuruk. Pada akhirnya kita pun akan kehilangan sentuhan kita sebagai orang tua.

Dengan menyadari hal ini, saya akhirnya memutuskan untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Sama seperti inti tulisan saya, Menghitung Nikmat, kita terlalu sering disibukkan dengan hal-hal yang negatif dan memberatkan sampai kita lupa melihat hal-hal yang positif dan meringankan. Begitu juga halnya dengan merawat anak-anak, saya pun memutuskan untuk melihat anak-anak saya seutuhnya; tidak hanya kebiasaan-kebiasaan buruk mereka saja.

Melalui sudut pandang yang lebih menyeluruh, saya menemukan lebih banyak hal-hal positif pada anak-anak saya dibandingkan dengan hal-hal negatif. Dengan melihat secara utuh, saya menemukan bahwa anak-anak saya ternyata memiliki lebih banyak kebiasaan-kebiasaan yang membanggakan dibandingkan kebiasaan-kebiasaan yang mengecewakan. Saya menyadari bahwa saya terlalu fokus pada memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya lupa menghargai kebiasaan-kebiasaan baik mereka.

Saat kebiasaan-kebiasaan baik itu mulai muncul ke permukaan, saat inilah saya menyadari bahwa posisi saya masih jauh dari gagal. Perasaan minder saya hilang dan saya tidak lagi cuek. Saya kembali merangkul peran saya sebagai orang tua dan berusaha untuk lebih menghargai anak-anak saya. Saya menyadari bahwa untuk bisa berhasil menjadi orang tua yang baik, saya tidak boleh merasa gagal mendidik anak-anak saya.

INTROSPEKSI

Langkah selanjutnya adalah introspeksi. Walaupun saya sudah berhasil mengalahkan hal-hal negatif dalam pikiran saya, momen ini dapat dimanfaatkan untuk introspeksi. Saya melakukan hal ini dengan menanyakan 2 (dua) hal kepada diri saya sendiri: (1) apa latar belakang munculnya perasaan gagal mendidik anak itu, dan (2) apa yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan kemampuan saya dalam mendidik anak.

Pertanyaan (1) lebih sering terkait dengan insiden-insiden yang melibatkan ketidakpatuhan anak-anak. Insiden-insiden ini umumnya begitu mengesalkan sampai ke titik yang membuat saya kesulitan mengendalikan emosi. Saya yakin setiap orang tua pernah mengalami masalah seperti ini. Insiden-insiden ini menjadi bahan introspeksi yang menarik bagi saya, terutama dalam konteks manajemen emosi.

Pertanyaan (2) saya tanyakan untuk mencari peluang-peluang yang bisa saya manfaatkan untuk memperbaiki kualitas metode mendidik anak yang sudah saya terapkan. Saya coba melihat kembali metode-metode dan nilai-nilai yang saya tanamkan dalam mendidik anak-anak saya. Yang saya nilai kurang tepat, saya tinggalkan. Yang sudah baik, saya pertahankan. Yang berpotensi baik, saya mulai terapkan juga.

Tulisan ini tentu akan menjadi panjang bila saya bicarakan satu per satu apa yang menjadi bahan introspeksi saya. Intinya ada pada memanfaatkan momen. Perasaan gagal mendidik anak itu muncul bukan tanpa alasan. Momen kemunculan perasaan negatif ini yang saya manfaatkan sebagai momen melakukan introspeksi bagi saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik di kemudian hari.

Di penghujung hari, saya berhasil memulihkan hati ini. Saya berbalik menyadari bahwa saya menemukan lebih banyak keberhasilan dibandingkan kegagalan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak saya. Saya tetap optimis bahwa saya akan menjadi orang tua yang baik dan terus belajar dari kesalahan-kesalahan saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak-anak saya.

Tidak hanya itu, saya juga belajar untuk menilai anak-anak saya secara utuh. Saya belajar untuk tidak hanya melihat kesalahan, kenakalan, atau ketidakpatuhan mereka, tapi juga melihat kebaikan, keistimewaan, dan kelebihan-kelebihan mereka. Saya belajar untuk bisa lebih menghargai apa yang berhasil mereka lakukan dan tidak melulu melihat kegagalan mereka. Semua itu menegaskan bahwa saya berhasil menjadi orang tua yang baik; BUKAN yang gagal.

Minggu, 01 September 2013

Menghitung Nikmat

0 opini
7 (tujuh) hari terakhir ini adalah neraka. Sounds familiar? Saya yakin kita semua pernah kelelahan melewati hari-hari yang penuh cobaan. Saya pun yakin tidak hanya 1-2 kali rangkaian hari-hari melelahkan itu datang menghampiri kita. Kali ini, neraka yang saya lalui dimulai dari penyakit Mastitis yang diderita istri.

Istri saya divonis menderita penyakit Mastitis sejak hari Senin. Sejak hari Senin itu, istri saya terpaksa terus beristirahat di tempat tidur karena badannya terasa nyeri untuk melakukan berbagai aktivitas. Alhasil tenaga yang tersedia untuk mengurus dan merawat Yelena berkurang 1 (satu) orang. Yang tersisa hanya saya dan seorang pembantu yang belum terbiasa merawat bayi balimbul (bawah lima bulan). Untungnya saya tidak lagi canggung menggendong, mengganti popok, memandikan, dan menidurkan Yelena. Jadi, walaupun peran istri saya menjadi terbatas pada menyusui, life goes on.

Keberuntungan lain terkait masalah waktu. Berhubung saya sudah ada di penghujung masa kerja saya (Senin depan saya sudah mulai kuliah), maka tanggung jawab saya di kantor pun jauh berkurang. Atasan saya pun memperkenankan saya untuk tidak masuk kantor agar saya bisa meluangkan lebih banyak waktu di rumah. Walaupun saya harus bolak-balik rumah-kantor selama 5 (lima) hari berturut-turut, saya tetap bersyukur bahwa saya masih bisa membantu meringankan beban istri saya.

Seharusnya hari Jumat adalah hari terakhir masa-masa melelahkan tersebut karena itu adalah hari terakhir saya harus masuk kerja. Hari Jumat itu saya lewati dengan bahagia. Saya sudah sempat berpamitan ke atasan-atasan dan teman-teman di kantor. Barang-barang saya pun sudah saya benahi dan saya bawa pulang sehari sebelumnya. Saya sudah siap menempuh hidup baru --sebagai mahasiswa.

Rupanya "neraka" itu masih berlanjut. Sepulangnya saya dari acara orientasi mahasiswa baru pada Jumat malam, BRAAAK! Motor saya tergelincir. Saya terjatuh di sebuah persimpangan antara Harmoni dan Grogol. Untungnya masih ada pengendara motor yang berbaik hati untuk berhenti dan membantu saya berdiri dan berjalan ke pinggir jalan. Seorang pengendara motor lain ikut berhenti dan membantu membawa motor saya ke pinggir.

Untungnya kecepatan motor saya tidak terlalu tinggi. Badan masih kuat untuk meneruskan perjalanan pulang dan motor pun masih cukup prima untuk mengantarkan saya pulang. Berbagai luka di tangan dan kaki pun tidak menghambat saya untuk meneruskan perjalanan --walaupun saya harus menahan nyeri sepanjang perjalanan pulang itu. Untungnya hari sudah malam sehingga tidak ada macet sepanjang perjalanan. Rasa sakit di sekujur badan pun tidak terlalu mengganggu karena saya tidak perlu berhenti akibat macet.

Sesampainya di rumah, saya segera membersihkan luka-luka saya. Tangan kanan 2 (dua) tempat, tangan kiri 3 (tiga) tempat, kaki kanan 3 (tiga) tempat, kaki kiri bebas luka. Badan terasa sakit di beberapa bagian, tapi untungnya tidak ada yang serius. Alhamdulillah tidak ada satu pun tulang yang patah.

Celana panjang kesayangan terpaksa saya buang karena sobek akibat gesekan dengan aspal. Jaket yang saya gunakan agak sobek di bagian lengan kanan dan kiri, tapi untungnya jaket itu bisa dipakai bolak-balik. Smartphone saya yang terkena benturan saat saya jatuh ternyata tidak bermasalah. Barang-barang lainnya yang saya bawa pun masih utuh.

Secara sekilas kondisi motor saya masih baik-baik saja, tapi tetap terlihat ada yang perlu diperbaiki. Kerusakan yang bisa saya identifikasi sendiri adalah tuas rem tangan, pijakan kaki sebelah kanan, dan spion kanan. Kondisi motornya sendiri secara keseluruhan masih layak jalan --kalau saja stangnya tidak miring ke kanan. Sayangnya saya belum bisa memeriksa motor di bengkel langganan, tapi saya optimis kerusakannya tidak banyak.

Semua kemungkinan kerugian finansial itu pun tidak akan terasa terlalu berat karena Jumat siang saya masih sempat menerima honor dengan jumlah yang besar. Saya rasa sebesar apa pun kerugian finansial saya, cash flow bulanan saya tidak akan terganggu --walaupun untuk sementara saya perlu taksi untuk bepergian.

Yang menjadi beban pikiran adalah Yelena. Dengan kecelakaan yang saya alami, tenaga yang tersedia untuk mengurus Yelena pun semakin berkurang. Saat saya menulis di sini, kondisi istri memang sudah membaik, tapi tetap saja istri saya belum pulih 100%. Untungnya luka di tangan tidak terlalu parah sehingga saya masih bisa membantu mengurus Yelena --walaupun tidak dengan kapasitas 100%.

Masih ada keberuntungan-keberuntungan lain yang patut saya syukuri. Fakta bahwa saya terjatuh pada hari Jumat itu patut disyukuri karena saya memiliki waktu 2 (dua) hari untuk beristirahat sebelum mulai aktif kuliah. Yelena pun sudah bisa menggunakan pampers --sebelumnya kulitnya selalu mengalami iritasi-- sehingga saya atau istri saya untuk sementara tidak perlu repot mencuci clodi (cloth diapers). Dan masih banyak keberuntungan-keberuntungan lain yang agaknya akan terlalu banyak bila saya paparkan satu per satu di sini.

Sesungguhnya bersama kesulitan itu memang ada kemudahan. Yang menjadi masalah adalah kita lebih sering disibukkan oleh hal-hal yang sulit sehingga kita tidak bisa melihat kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan. Pikiran kita seringkali terlalu fokus pada musibah yang kita hadapi sehingga kita tidak menyadari berbagai nikmat yang kita terima di saat musibah itu terjadi. Alhasil musibah yang sudah berat akan terasa semakin berat karena pikiran kita hanya diisi oleh hal-hal yang memberatkan kita.

Menghitung nikmat adalah sebuah proses tak berujung karena kenikmatan yang kita terima itu juga sama-sama tak berujung --kecuali kita sudah mati. Proses tak berujung itu kita lakukan agar kita bisa senantiasa menghargai apa yang sudah kita miliki dan apa yang masih kita miliki saat kita sedang kehilangan berbagai hal. Dengan menghitung nikmat, pikiran kita akan terarah kepada hal-hal yang positif dan hidup kita akan terasa jauh lebih ringan. Jadi, sudah berapa nikmatkah yang Anda terima hari ini?