Pernahkah Anda merasa gagal mendidik anak? Saya pernah. Perasaan ini muncul tidak hanya sekali atau dua kali; berkali-kali. Perasaan ini muncul saat saya melihat kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya kadang terdiam dan berpikir, "salah di mana ya gw?" Pada saat seperti ini, saya terus bertanya di mana letak kesalahan-kesalahan saya yang membentuk kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak saya itu.
Saat perasaan gagal mendidik anak ini muncul, saya mulai merasa pesimis melihat masa depan saya sebagai orang tua. Pesimisme ini dibarengi dengan perasaan minder yang mengakibatkan munculnya sifat cuek terhadap anak-anak saya. Saat cuekisme ini muncul, saya tidak lagi peduli dengan peran penting saya sebagai orang tua. Sampai akhirnya saya sadar kalau saja saya mau berpikir jernih, sebenarnya perasaan gagal mendidik anak ini menjadi salah satu sumber kegagalan saya.
Bayangkan saja. Kalau sampai kita tidak lagi optimis dengan kemampuan kita menjadi orang tua, kalau sampai kita tidak lagi percaya diri dengan status saya sebagai orang tua, kalau sampai kita tidak lagi peduli dengan peran penting kita sebagai orang tua, bukankah kita sudah menjerumuskan diri kita sendiri kepada kegagalan? Justru perasaan gagal mendidik anak ini yang membuat kita semakin terpuruk. Pada akhirnya kita pun akan kehilangan sentuhan kita sebagai orang tua.
Dengan menyadari hal ini, saya akhirnya memutuskan untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Sama seperti inti tulisan saya, Menghitung Nikmat, kita terlalu sering disibukkan dengan hal-hal yang negatif dan memberatkan sampai kita lupa melihat hal-hal yang positif dan meringankan. Begitu juga halnya dengan merawat anak-anak, saya pun memutuskan untuk melihat anak-anak saya seutuhnya; tidak hanya kebiasaan-kebiasaan buruk mereka saja.
Melalui sudut pandang yang lebih menyeluruh, saya menemukan lebih banyak hal-hal positif pada anak-anak saya dibandingkan dengan hal-hal negatif. Dengan melihat secara utuh, saya menemukan bahwa anak-anak saya ternyata memiliki lebih banyak kebiasaan-kebiasaan yang membanggakan dibandingkan kebiasaan-kebiasaan yang mengecewakan. Saya menyadari bahwa saya terlalu fokus pada memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya lupa menghargai kebiasaan-kebiasaan baik mereka.
Saat kebiasaan-kebiasaan baik itu mulai muncul ke permukaan, saat inilah saya menyadari bahwa posisi saya masih jauh dari gagal. Perasaan minder saya hilang dan saya tidak lagi cuek. Saya kembali merangkul peran saya sebagai orang tua dan berusaha untuk lebih menghargai anak-anak saya. Saya menyadari bahwa untuk bisa berhasil menjadi orang tua yang baik, saya tidak boleh merasa gagal mendidik anak-anak saya.
INTROSPEKSI
Langkah selanjutnya adalah introspeksi. Walaupun saya sudah berhasil mengalahkan hal-hal negatif dalam pikiran saya, momen ini dapat dimanfaatkan untuk introspeksi. Saya melakukan hal ini dengan menanyakan 2 (dua) hal kepada diri saya sendiri: (1) apa latar belakang munculnya perasaan gagal mendidik anak itu, dan (2) apa yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan kemampuan saya dalam mendidik anak.
Pertanyaan (1) lebih sering terkait dengan insiden-insiden yang melibatkan ketidakpatuhan anak-anak. Insiden-insiden ini umumnya begitu mengesalkan sampai ke titik yang membuat saya kesulitan mengendalikan emosi. Saya yakin setiap orang tua pernah mengalami masalah seperti ini. Insiden-insiden ini menjadi bahan introspeksi yang menarik bagi saya, terutama dalam konteks manajemen emosi.
Pertanyaan (2) saya tanyakan untuk mencari peluang-peluang yang bisa saya manfaatkan untuk memperbaiki kualitas metode mendidik anak yang sudah saya terapkan. Saya coba melihat kembali metode-metode dan nilai-nilai yang saya tanamkan dalam mendidik anak-anak saya. Yang saya nilai kurang tepat, saya tinggalkan. Yang sudah baik, saya pertahankan. Yang berpotensi baik, saya mulai terapkan juga.
Tulisan ini tentu akan menjadi panjang bila saya bicarakan satu per satu apa yang menjadi bahan introspeksi saya. Intinya ada pada memanfaatkan momen. Perasaan gagal mendidik anak itu muncul bukan tanpa alasan. Momen kemunculan perasaan negatif ini yang saya manfaatkan sebagai momen melakukan introspeksi bagi saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik di kemudian hari.
Di penghujung hari, saya berhasil memulihkan hati ini. Saya berbalik menyadari bahwa saya menemukan lebih banyak keberhasilan dibandingkan kegagalan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak saya. Saya tetap optimis bahwa saya akan menjadi orang tua yang baik dan terus belajar dari kesalahan-kesalahan saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak-anak saya.
Tidak hanya itu, saya juga belajar untuk menilai anak-anak saya secara utuh. Saya belajar untuk tidak hanya melihat kesalahan, kenakalan, atau ketidakpatuhan mereka, tapi juga melihat kebaikan, keistimewaan, dan kelebihan-kelebihan mereka. Saya belajar untuk bisa lebih menghargai apa yang berhasil mereka lakukan dan tidak melulu melihat kegagalan mereka. Semua itu menegaskan bahwa saya berhasil menjadi orang tua yang baik; BUKAN yang gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar