Tampilkan postingan dengan label Wanita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wanita. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Januari 2013

Kanibalisme dan Gosipisme

0 opini
Saya yakin tidak ada satu orang berakal di dunia ini yang mau menjadi seorang kanibal. Menurut saya memang tidak masuk akal bila seorang manusia mau memakan manusia lain. Buat saya pribadi, bukan sekedar "tidak masuk akal". Bayangan seseorang memakan orang lain sudah berhasil membuat saya merasa mual.

Tulisan ini tentu saja bukan untuk membahas kanibalisme. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas salah satu kebiasaan kita yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kanibalisme, yaitu gosipisme. Gosipisme, yaitu kebiasaan kita untuk ngomongin orang lain, adalah sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan ini tidak mengenal batas. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, semua sudah terbiasa ngegosip. Bahkan tidak sedikit acara di televisi yang isinya hanya gosip.

Ngegosip tentu saja ditargetkan kepada orang lain. Pernah dengar seseorang ngegosip tentang dirinya sendiri? Tentu saja tidak ada. Ngegosip itu selalu tentang orang lain. "orang lain" di sini Kalau seseorang sedang membicarakan dirinya sendiri, kemungkinan besar orang itu sedang pamer; bukan ngegosip.

Keburukan adalah ciri lain dari ngegosip. Yang dibicarakan di dalam sebuah sesi gosip pada umumnya adalah keburukan orang lain. Keburukan-keburukan yang dibicarakan pun bervariasi mulai dari tingkah laku konyol seseorang sampai perkataan atau perbuatan buruk yang bersifat serius. Gosip tidak pernah membicarakan kebaikan orang lain. Kalau yang dibicarakan itu kebaikan, kemungkinan besar itu adalah sesi pengajian; bukan sesi gosip.

Dari dua karakteristik itu saja saya menganggap bahwa gosipisme pada hakikatnya sama dengan kanibalisme. Seperti para kanibal, para penggosip pun sama-sama menikmati "bangkai" orang lain. Keburukan-keburukan orang lain dijadikan bahan tertawaan oleh para penggosip sebagaimana potongan tubuh orang lain dijadikan bahan makanan oleh para kanibal. Perbedaannya adalah kanibalisme ini mudah sekali membuat kita merasa jijik, sementara gosipisme justru membuat kita merasakan kenikmatan.

Perbedaan lain dari kedua metode memangsa orang lain ini adalah dampaknya. Kalau kita menjadi mangsa para kanibal, kita pasti mati. Selesai. Tidak ada dampak negatif lain yang bisa kita rasakan. Kalaupun kita menjadi mangsa hidup-hidup, rasa sakit yang kita rasakan pun akan berhenti saat kita mati. Berbeda dengan kalau kita menjadi mangsa para penggosip. Dampak negatif dari gosip ini akan terus kita rasakan sampai gosip ini terbantahkan atau sampai gosip ini tidak lagi dijadikan tema pembicaraan orang-orang di sekitar kita. Bisa bayangkan rasanya hidup dengan prasangka negatif yang menumpuk di pundak? Rasanya lebih baik mati, bukan?

Saat kita menjadi korban gosip, bukan tidak mungkin kita akan dituduh yang bukan-bukan. Selain itu, orang-orang di sekitar kita mulai melihat kita secara negatif. Bukan tidak mungkin kita justru akan dijauhi oleh orang-orang yang biasanya dekat dengan kita. Semua ini lebih menyakitkan dari mati dan semua ini diawali oleh omongan-omongan orang yang tidak berdasar (baca: tidak punya otak).

Curcol? Bukan. :)

Saya sendiri beruntung bahwa saya tidak pernah merasakan kepedihan separah itu. Hanya saja saya pernah beberapa kali menjadi saksi bagaimana gosip itu bisa merusak hidup seseorang. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, hidup mereka bisa rusak begitu saja digerogoti oleh gosip. Tidak ada seorang pun di antara kita yang ingin hidupnya rusak oleh gosip, tapi entah kenapa kita ini tidak pernah mengalami kesulitan ngegosip.

Saya pribadi tidak pernah mau menjadi bahan gosip. Kalau ada hal buruk yang saya katakan atau lakukan, saya lebih suka ditegur langsung. Dengan ditegur langsung, mungkin saja saya sakit hati. Tapi sakit hati seperti ini sifatnya sementara dan akan hilang seiring perbaikan terhadap diri sendiri yang saya lakukan. Jauh lebih baik sakit hati yang frontal seperti ini dibandingkan terus-menerus menjadi bahan gunjingan.

Dan keinginan untuk tidak menjadi bahan gosip itulah yang membuat saya mulai bergerak untuk menjauhi gosip. Pokoknya kalau obrolan sudah mulai mengarah ke orang yang tidak hadir, saya mencoba untuk tidak terlibat. Melakukan hal ini pada dasarnya sulit; sesulit mengendalikan lidah kita untuk nyeletuk dan ikut ngegosip. Sepertinya analogi gosipisme dengan kanibalisme ini akan menjadi pegangan penting bagi saya untuk menjaga diri saya dari menikmati pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain.

**Semua gambar ditemukan lewat Google

Senin, 19 Maret 2012

Kenapa Pakai Rok Mini, Kakak?

26 opini
Seandainya saya bertanya, "Kenapa pakai rok mini, Kakak?" Saya rasa jawaban dari pertanyaan ini akan bervariasi. Akan tetapi saya yakin salah satu jawaban yang akan saya dengar adalah demi kebebasan berekspresi, yaitu bahwa setiap wanita sudah selayaknya memiliki kebebasan untuk memakai pakaian yang dia inginkan. Yang paling penting adalah pakaian yang dipilihnya tidak dianggap mengganggu kenyamanan publik. Jadi, kalaupun seorang memakai bikini di tengah keramaian atau bahkan telanjang dada sekalipun, semua itu tidak masalah apabila publik menyetujuinya.

Baiklah. Saya tidak akan mempermasalahkan keinginan setiap wanita untuk bebas berekspresi, tapi apakah kebebasan berekspresi ini harus dibuktikan lewat rok mini? Ini yang sebenarnya ingin saya tanyakan pada para wanita yang mengenakan rok mini. Ini pula yang saya ingin tanyakan kepada para pria yang mendukung para wanita untuk mengenakan rok mini.

Kita ini hidup di dunia para pria, Kakak. Para pria ini memiliki syahwat yang tidak terbatas. Bagi para pria normal, wanita seksi yang mengenakan rok mini adalah pemandangan yang membangkitkan gairah. Kalau memang ada pria normal yang tidak "terangsang" melihat wanita seksi yang mengenakan rok mini, kemungkinan pria ini sudah terlalu sering melihatnya sehingga wanita dengan rok mini tidak lagi menarik.

Dalam dunia pria ini, para wanita adalah anggota masyarakat kelas dua. Kalau saja tidak ada yang turun tangan dan membela hak para wanita, maka sampai saat ini pun para wanita akan tetap tertindas. Bahkan saat pembelaan hak terhadap para wanita ini sudah sebegitu gencarnya, para wanita ini tetap saja dianggap anggota masyarakat kelas dua. Pelecehan seksual, pemerkosaan, dan berbagai perampasan hak para wanita masih terus berjalan. Dan tebak siapa yang menjadi mayoritas bintang utama dalam film-film porno? Pria atau wanita? Saya rasa cukup jelas untuk dikatakan bahwa kita ini memang hidup di dunia para pria, Kakak.

Satu hal yang tidak luput dari "peran" para wanita ini adalah sebagai objek syahwat pria, Kakak. Entah itu secara eksplisit lewat pornografi dan prostitusi atau secara implisit lewat siulan-siulan lelaki hidung hitam putih (baca: belang). Kalau seorang wanita mengenakan rok mini, bukankah itu sama saja menegaskan kalau wanita ini siap menjadi objek syahwat pria? Kalau seorang wanita mengenakan rok mini, bukankah itu sama saja membuka dirinya terhadap pelecehan para pria (baik implisit maupun eksplisit)?

Di tengah-tengah perjuangan para wanita untuk mendapatkan kesetaraan hak terhadap para pria, bukankah mengenakan rok mini justru bersifat kontraproduktif? Saat para wanita ingin dinilai dari kemampuannya, bukankah mengenakan rok mini justru membuat para pria menilai wanita dari banyaknya kulit yang diperlihatkan? Saat para wanita bersikeras untuk mendapatkan penghargaan yang sama dengan para pria, bukankah mengenakan rok mini jelas-jelas akan membuat wanita tetap dihargai dari sudut pandang syahwat semata?

Kenapa pakai rok mini, Kakak? Dengan penalaran yang saya lakukan di atas, sulit bagi saya untuk menerima alasan Kakak memakai rok mini. Dengan begitu, sulit pula bagi saya untuk mendukung Kakak saat Kakak ingin mengenakan rok mini. Walaupun Kakak bersikeras atas nama kebebasan, saya justru berpikir kebebasan yang Kakak inginkan ini salah arah.

Apakah Kakak hanya ingin mengikuti trend? Apakah Kakak terpengaruh opini para pembela kebebasan? Apakah Kakak terpengaruh media dengan berbagai iklan mode yang provokatif dan proaktif itu? Apakah Kakak rela menjadi objek syahwat pria demi trend, kebebasan, atau iklan mode itu?

Akhirnya saya harus bertanya kembali. Kenapa mau (dan masih) pakai rok mini, Kakak?

Update [29 Mei 2012]
Perihal otak kotor, jawaban saya selaras dengan apa yang saya kutip di bawah ini:
Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani tepuk dada bilang: tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke jalan mendukung semua wanita untuk memakai rok mini.. Agar makin banyak wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?
Sumber kutipan di atas: http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/05/28/kata-kata-bijak-yang-koplak-dian-jatikusuma/

Rabu, 09 November 2011

Belajar dari Surat An-Nisaa'

0 opini
Dan perjalanan membaca terjemah Al-Qur'an itu pun berlanjut sampai surat keempat: surat An-Nisaa'. Hal pertama yang saya temukan dalam surat An-Nisaa' adalah pembatasan (bukan sekedar pembolehan) poligami menjadi maksimal 4 istri (dari sebelumnya tanpa batas). Poligami pun dibatasi dengan syarat suami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya. Bila suami tidak mampu berlaku adil, Allah pun membatasi pernikahan menjadi monogami. Berikut isi ayat 3 surat An-Nisaa' yang berisi pembatasan tersebut:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[+1], maka (kawinilah) seorang saja[+2], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisaa':3)
Surat An-Nisaa' juga berisi pokok-pokok hukum pembagian harta waris, yaitu dalam ayat 7 s.d. ayat 14. Selain itu, surat ini juga berisi beberapa hukum perkawinan (pernikahan). Ada banyak sekali ayat-ayat yang mengatur tentang pernikahan dalam surat An-Nisaa' ini. Salah satu ayat yang menyebutkan tentang hukum perkawinan itu adalah ayat 23 (saya kutip di bawah) yang juga dijadikan dasar hukum mahram.

Di dalam surat ini pun saya menemukan banyak ayat yang mengatur tentang jihad dan hijrah; baik mengenai kewajibannya maupun mengenai balasannya. Masih banyak pelajaran lain yang saya dapatkan dari surat An-Nisaa'. Akan tetapi, dari semua pelajaran yang saya dapat dari surat An-Nisaa', hanya beberapa ayat saja yang saya kutip dalam tulisan ini:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisaa':10)
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan[*3], yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa':17)
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[+3]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa':23)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[+4]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisaa':29)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisaa':32)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[+5] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[+6]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[+7], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[+8]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa':34)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (QS. An-Nisaa':57)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa':59)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisaa':82)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[+9], (QS. An-Nisaa':105)
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa':110)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisaa':116)
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa':129)
Allah tidak menyukai ucapan buruk[*1], (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya[*2]. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisaa':148)
--
[+1]Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[+2]Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[+3]Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[+4]Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
[+5]Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[+6]Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[+7]Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[+8]Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[+9]Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
[*1]Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.
[*2]Maksudnya: orang yang teraniaya boleh mengemukakan kepada hakim atau penguasa keburukan-keburukan orang yang menganiayanya.
[*3]Maksudnya ialah:
- Orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu.
- Orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak.
- Orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu.

Selasa, 11 Oktober 2011

Rok Mini dan Pemerkosaan

2 opini
Peluit Pemerkosa(an)
Sesekali waktu saya ingin menulis tentang pemerkosaan di blog ini. Walau bagaimana pun, pemerkosaan dan pernikahan memiliki keterkaitan langsung. Keduanya sama-sama memiliki awalan "pe-" dan akhiran "-an". Lalu apakah pembahasan mengenai pemerkosaan ini telat? Mungkin saja. Topik ini sempat melejit di media sampai mendorong munculnya demonstrasi yang ingin menegaskan bahwa rok mini itu tidak ada hubungannya dengan pemerkosaan. Pada akhirnya topik itu hilang dengan sendirinya seiring dengan berkurangnya laporan terkait di media. Typical.

Telat atau tidak, saya tetap lanjutkan.

Jadi, esensi dari kontroversi di atas itu adalah adanya pihak yang menolak pernyataan yang mengkaitkan pemerkosaan dengan rok mini. "Jangan salahkan rok mininya. Salahkan pemerkosanya." Kira-kira seperti itu bunyi penolakan yang muncul dalam kontroversi terkait. Denial? Nanti dulu. Jangankan denial, mungkin saja masalah ini tidak masuk kategori kontroversi.

Kita sama-sama sepakat bahwa pihak yang salah, yaitu yang wajib dihukum, dalam sebuah kasus pemerkosaan adalah pemerkosanya. Korban pemerkosaan, apa pun pakaiannya, tidak layak disalahkan atau dihukum. Rasanya mengenaskan bila korban pemerkosaan, yang kemungkinan besar akan mengalami trauma, justru kehilangan dukungan dari masyarakat yang ikut menudingnya turut andil dalam pemerkosaan itu.

Sebagaimana kita ketahui bersama, pemerkosaan itu bergantung pada 4 (empat) faktor utama, yaitu pelaku, korban, waktu, dan lokasi. Di masing-masing faktor tersebut, ada sekumpulan faktor-faktor turunan lain yang perlu diperhatikan. Waktu dan lokasi memiliki peran penting dalam konteks pemerkosaan. Apa mungkin pemerkosaan terjadi di tengah keramaian pada siang hari? Kalau mungkin, itu artinya moral masyarakat di sekitar lokasi tersebut sudah bobrok sebobrok-bobroknya.

Faktor pelaku tentu saja lebih dominan dibandingkan waktu atau lokasi. Pemerkosaan dapat terjadi di tempat-tempat yang tidak kita bayangkan. Seorang gadis mungkin saja diperkosa di rumahnya sendiri; misalnya saat gadis itu memang sedang sendirian di rumah. Siang atau malam bisa jadi tidak relevan dalam konteks pemerkosaan; yang penting lokasinya sepi. Jelas sekali bahwa faktor penentu terjadinya pemerkosaan adalah pelakunya sendiri.

Saat seseorang tidak mampu lagi membendung hasrat seksualnya, tidak memiliki penyaluran yang sah, dan (secara tidak sadar) membenarkan pemerkosaan, maka pemerkosaan ini kemungkinan besar akan terjadi. Pemerkosaan mungkin saja terjadi tidak hanya pada wanita dengan rok mini, tapi mungkin saja terjadi pada wanita yang mengenakan pakaian yang tertutup. Pakaian yang dipakai korban pemerkosaan menjadi tidak relevan. Wanita muslim yang mengenakan jilbab panjang pun tidak akan lepas dari ancaman pemerkosaan.

Dari gambaran di atas, faktor pelaku terlihat jelas sebagai faktor dominan dalam pemerkosaan. Waktu, lokasi, bahkan korban sekali pun tidak dapat menyaingi dominasi faktor pelaku dalam setiap "sesi" pemerkosaan. Kalau faktor korban saja tidak dominan, apalagi rok mini (yang merupakan faktor turunan dari faktor korban).

Jadi, rasanya wajar kalau ada pihak yang menolak bila rok mini ikut disalahkan dalam masalah pemerkosaan. Yang perlu disorot memang pelakunya. Apa yang membuat pelaku pemerkosaan itu melakukan aksinya? Apakah terpaan pornografi yang diakses lewat Internet? Apakah perilaku tidak senonoh yang didapat lewat film? Apakah ada faktor-faktor lain yang membuat pelaku berani memperkosa wanita lain? Justru hal-hal seperti ini yang perlu disorot; dan tentu saja dibenahi.

Apakah itu artinya rok mini tidak memiliki pengaruh apa pun? Justru sebaliknya. Keberadaan rok mini juga turut andil mendorong hasrat seksual. Hanya saja rok mini di sini bukan sekedar rok mini pemerkosanya. Rok mini yang dimaksud adalah rok mini yang dipakai wanita di ruang publik dan bebas dipelototi pria-pria mata trolley (mata keranjang tidak lagi representatif). Rok mini yang dimaksud adalah rok mini yang dipakai berbagai aktris dan model dan dapat dikonsumsi secara bebas lewat media elektronik.

Ya, rok mini tetap memiliki andil. Akan tetapi, jangan memandang rok mini ini dengan kacamata kuda. Masih ada banyak faktor lain yang turut andil mempertahankan angka kasus pemerkosaan di Indonesia; atau bahkan di seluruh dunia. Semua faktor ini harus diperhatikan dan dibenahi sesuai prioritasnya. Tidak sepantasnya kita menyoroti satu-dua hal yang trivial semata untuk mengatasi masalah pemerkosaan.

Lalu bagaimana dengan kebebasan berpakaian? Sesuai dengan alur pembahasan saya di atas, silakan saja para wanita menggunakan rok mini. Yang perlu diingat adalah, walaupun rok mini tidak sepantasnya disalahkan, rok mini tetap memiliki andil memancing datangnya pemerkosaan. Pemerkosaan memang tetap saja bisa terjadi terlepas dari korban memakai pakaian minim atau pakaian tertutup, tapi pemilihan pakaian ini merupakan bagian dari kehati-hatian yang menjadi tanggung jawab setiap individu terhadap dirinya sendiri.

Bila rumah kita kosong selama beberapa hari, apakah kita akan mengumumkannya ke lingkungan sekitar? Bukankah pengumuman itu ibarat memancing datangnya pencuri? Kalau kita sedang naik bus atau kereta saat jam sibuk, apakah kita akan menyimpan dompet kita di saku celana (atau tempat lain yang mudah dijangkau)? Bukankah sikap seperti ini ibarat memancing datangnya pencopet?

Dalam dua contoh di atas, kalau rumah kita dibobol pencuri, maka yang patut disalahkan adalah pencuri. Tapi bukankah kita turut andil memudahkan pencuri itu untuk membobol rumah kita? Kita pun "bersalah". Kemudian kalau dompet kita dicopet, maka yang patut disalahkan adalah pencopet. Tapi bukankah kita turut andil memudahkan pencopet itu mengambil dompet kita? Kita pun "bersalah".

Saya rasa dua contoh di atas tidak jauh berbeda dengan seorang wanita yang menggunakan rok mini di ruang publik. Kalau sampai wanita ini diperkosa oleh seorang (atau kemungkinan besar beberapa orang) pria, maka yang patut disalahkan adalah (para) pemerkosanya. Tapi bukankah wanita ini turut andil memancing terjadinya pemerkosaan itu? Wanita ini pun "bersalah".

Rok mini memang tidak sepantasnya menjadi sorotan utama dalam kasus pemerkosaan. Rok mini memang tidak sepantasnya dituding sebagai dalang kasus pemerkosaan. Akan tetapi, dengan menggunakan rok mini, para wanita dapat dikatakan sedang memperbesar resiko diperkosa. Dengan menggunakan rok mini, para wanita dapat dikatakan lalai. Dan kelalaian itu sudah jelas memiliki andil dalam setiap kasus kejahatan.

Kesimpulannya?

Pakaian yang dipakai korban tidak bisa dijadikan alasan atau bahkan pembenaran dalam kasus pemerkosaan, tapi bersikap hati-hati (menjaga diri) dengan berpakaian sopan dan tidak minim sebaiknya diutamakan.

Jumat, 27 Mei 2011

Ibu, bukan Martir

2 opini
Menjadi seorang ibu tentu tidak mudah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an, "ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun" (31:14). Kelemahan ini sering disebut sebagai kehamilan, persalinan dan menyusui. Tapi itu hanya awalnya.

Ibu berada di "parit" rutinitas penggantian popok, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, memasak makan malam, menjaga kedisiplinan dan menyeimbangkan antara pekerjaan, menjemput anak-anak dari sekolah, dan menghadiri pertandingan sepak bola anak-anak. Rutinitas harian melayani keluarga ini dapat menyerap begitu banyak energi dari seorang ibu dan menyebabkan dia kehilangan keseimbangan dan perspektif terhadap dirinya sendiri. Ketika seorang wanita kehilangan makna yang mendalam dari peran seorang ibu, dia mungkin akan merasa bahwa tugas seorang ibu adalah untuk mengorbankan dirinya sendiri (menjadi martir) dengan mendahulukan kepentingan keluarganya. Tapi memikul semua beban dan kesulitan seperti itu bukanlah cara untuk menjadi ibu yang baik. Sikap seperti itu akan menghabiskan energi seorang wanita, dan mungkin dapat menumbuhkan kebencian, membuatnya berpikir bahwa anak-anak dan anggota keluarga yang lain "berhutang" kepada dirinya sebagai imbalan atas semua pengorbanannya.

Sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada kita: "Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan." Apa sedekah yang lebih baik dibandingkan sedekah seorang ibu yang berkorban demi mengurus keluarganya? Akan tetapi, seperti halnya dengan berbagai bentuk memberi, balasannya ada dalam proses memberi, bukan dalam balasan dari orang yang kita beri. Sesungguhnya semua bentuk memberi itu membawa manfaat kepada pemberi, bila dilakukan dengan baik dan benar.

Menjadi seorang ibu itu bukan menjadi seorang martir. Menjadi seorang ibu adalah menghormati kepercayaan dan tanggung jawab membesarkan anak serta menghargai diri sendiri sebagai wanita yang kuat.
Keibuan adalah sebuah perjalanan yang memungkinkan seorang wanita untuk menyaksikan perkembangan anak-anak serta untuk mengembangkan diri menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana. Allah memberkati wanita yang memiliki anak-anak dan para ibu ini pun berjanji kepada Allah untuk memelihara anak-anak mereka hingga dewasa. Melalui proses mengasuh anak, seseorang akan menyadari bahwa mengasuh itu adalah juga tentang memberi contoh gaya hidup yang seimbang dan sehat kepada anak-anak. Menjadi seorang ibu itu bukan menjadi seorang martir. Menjadi seorang ibu adalah menghormati kepercayaan dan tanggung jawab membesarkan anak serta menghargai diri sendiri sebagai wanita yang kuat. Anak-anak akan menghormati ibu mereka sebagai wanita yang melayani keluarga demi menggapai ridha Allah. Tanggung jawab keibuan membuat seorang wanita tumbuh lebih kuat secara fisik, mental dan spiritual karena dia diuji di semua sisi kehidupannya. Dia belajar untuk melayani orang-orang di sekitarnya dengan tujuan mencapai ridha Allah tanpa harus kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Seorang ibu seharusnya tidak menjadi lemah melalui proses memberi kepada keluarganya, tapi justru menjadi lebih kuat dan lebih seimbang.

Berikut ini adalah enam cara bagi para ibu untuk menemukan keseimbangan dan tetap fokus melewati hari-hari sulit mengasuh anak-anak serta menikmati perjalanan keibuan mereka:

1. "Saya akan mengingatkan diri saya setiap hari bahwa waktu saya bersama anak-anak saya itu sangat berharga."

Suatu hari nanti, masa kanak-kanak akan berakhir dan "bayi" kita akan tumbuh dewasa. Anak-anak kita berubah setiap hari dan tumbuh menjadi dewasa. Mengasuh anak adalah merayakan peristiwa sehari-hari bersama anak-anak ketimbang sekedar fokus pada waktu peralihan kehidupan anak-anak kita. Yang akan kita kenang adalah waktu berkualitas yang kita habiskan bersama anak-anak kita dan waktu yang kita gunakan untuk berkomunikasi dan berbagi dengan anak-anak kita. Kegiatan duniawi dalam hidup kita adalah cara kita membentuk hubungan dengan anak-anak kita, sehingga kita perlu melihat anak-anak kita sebagai pengalaman bersosialisasi daripada sekedar kegiatan yang perlu dilewati untuk menuju kegiatan berikutnya.

2. "Saya akan mengurus diri saya."

Baik secara fisik, mental maupun spiritual. Dengan terus-menerus memberikan perhatian kepada anak-anak kita dan suami, kita seringkali lupa mengurus diri kita sendiri atau kita seringkali menempatkan kebutuhan kita di urutan terakhir. Beberapa ibu bahkan tidak menempatkan kebutuhan diri mereka dalam urutan mana pun. Hanya saja sebagai ibu kita hanya dapat memberikan sebanyak yang kita miliki, dan jika kita tidak mengisi ulang tangki kita sendiri maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diberikan. Menjaga tubuh kita melalui latihan sangat penting untuk kesehatan fisik kita serta meningkatkan suasana hati kita dan energi secara keseluruhan. Menghabiskan waktu berolahraga itu bukan egois, tidak penting atau sekedar kegiatan tambahan. Hal ini harus dilihat sebagai prioritas untuk melakukan tugas kita sebagai seorang ibu dengan baik. Menjaga kondisi mental dan spiritual juga penting karena ini adalah area yang paling menantang dan terkuras ketika membesarkan anak-anak kita. Tujuan dari shalat kita adalah untuk membantu kita kembali fokus dan menata kehidupan kita yang sibuk, khususnya sebagai ibu. Karena wanita adalah "jantung" sebuah rumah tangga, kita harus memiliki hati yang tenang dan damai untuk memberikan keseimbangan ke tengah keluarga kita. Mencari dan mempertahankan rasa percaya diri dan kebahagiaan pada akhirnya akan terwujud pada diri anak-anak kita dan suami kita.

3. "Saya bukan ibu yang sempurna."

Banyak ibu-ibu Muslim memiliki pandangan yang sangat idealis dari pengasuhan atau harapan yang tinggi dari diri mereka sendiri sebagai seorang ibu. Anak-anak kita tidak membutuhkan kita menjadi sempurna dan mereka dapat dengan mudah memaafkan kita ketika kita mengakui kesalahan dan menunjukkan ketidaksempurnaan kita. Kita harus menerima bahwa mungkin bagi kita untuk melakukan kesalahan dan hal ini akan menjadi kesempatan bagi kita untuk tumbuh menjadi ibu yang lebih cerdas. Kita perlu memaafkan diri sendiri dan melepaskan diri dari beban perjuangan demi kesempurnaan. Kita perlu menghilangkan pola pikir bahwa ibu-ibu yang lain itu sempurna dan melakukan segalanya dengan benar. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik dengan kemampuan yang kita miliki dan kita harus fokus pada hal-hal yang penting, yaitu hubungan kita dengan anak-anak kita. Makan malam tidak akan selalu menakjubkan, piring tidak akan selalu bersih, dan cucian akan menumpuk, tetapi ketika anak-anak kita menjadi dewasa mereka tidak akan ingat semua itu, melainkan mereka akan ingat waktu yang mereka habiskan bersama kita dan percakapan yang mereka lakukan dengan kita.

4. "Saya akan mengutamakan pernikahan saya."

Anak-anak memberikan tekanan yang besar pada pernikahan, terutama bagi para ibu dengan anak-anak belia. Banyak ibu fokus pada kebutuhan anak-anak mereka dan dalam prosesnya mengabaikan hubungan dengan suami. Kelelahan secara fisik dan emosi menyisakan hanya sedikit energi untuk diberikan kepada suami mereka dan sikap ini dapat menyebabkan terputusnya hubungan suami-istri. Sangat penting bahwa kita untuk menemukan keseimbangan dalam pernikahan dan mengasuh anak karena tidak hanya baik bagi anak-anak kita untuk melihat hubungan yang sehat antara ayah dan ibu mereka, tetapi juga baik untuk kesehatan mental kita. Hubungan dengan pasangan kita akan menggantikan hubungan kita dengan anak-anak kita, terutama ketika anak-anak kita tumbuh dewasa. Kita harus memelihara hubungan yang penuh kasih bersama pasangan kita sehingga kita mencapai usia senja bersama-sama dan menjadi lebih terikat antara satu sama lain setelah anak-anak kita tumbuh dewasa dan menikah. Ini berarti kita tidak bisa "menunda" pernikahan kita, tetapi kita justru harus mempertahankan ikatan persahabatan dan cinta melalui saat-saat sulit menjadi orangtua. Penting untuk menghabiskan waktu sendirian bersama suami kita sehingga kita dapat melihat satu sama lain melalui sudut pandang pasangan kita dan bukan hanya sebagai pengasuh anak-anak kita. Mengatur "malam kencan" dan tamasya akhir pekan sebagai pasangan sangat penting untuk menjaga hubungan dengan suami kita.

5. "Saya akan menghargai teman-teman saya."

Saling kontak dan berbagi dengan wanita lain akan membantu kita menemukan kesamaan perjuangan kita sebagai seorang ibu dan seorang wanita. Memiliki saudari dan teman wanita dalam hidup kita dapat menjadikan kita lebih kuat karena hubungan ini membantu menjaga stabilitas emosional kita dan membantu kita mengelola stres dalam hidup kita. Teman wanita dan saudari kita memiliki tempat khusus dalam kehidupan kita yang bahkan tidak bisa digantikan oleh suami kita sendiri. Meluangkan waktu untuk bertemu atau berbicara dengan teman-teman kita akan membantu kita merasa lebih bahagia sehingga kita mampu memberikan kebahagiaan yang sama kepada anak-anak dan suami kita. Berbicara dan bepergian dengan teman wanita sangat penting bagi seorang ibu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan wanita lain. Hal ini akan meningkatkan suasana hati kita dan mengisi ulang energi kita sehingga kita dapat memberikan lebih banyak untuk anak-anak kita dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan suami kita.

6. "Saya akan mengutamakan makan malam bersama keluarga."

Makan bersama keluarga merupakan kegiatan harian untuk membentuk ikatan. Rutinitas dalam kehidupan anak-anak dapat memupuk ketidakstabilan emosi pada diri anak-anak. Membiasakan tradisi seperti makan bersama menjadi sangat berguna bagi kehidupan kita karena itu adalah waktu untuk berbagi dan menguatkan ikatan antara satu sama lain. Penelitian telah menunjukkan anak-anak yang makan malam dengan keluarga mereka secara teratur memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bersikap baik dan membuat pilihan yang baik berkaitan dengan teman-teman, narkoba dan seks. Mengajak semua anggota keluarga untuk duduk bersama setiap hari akan menciptakan sebuah dinamika keluarga yang lebih komunikatif dan tradisi makanan, percakapan dan sukacita akan menjadi kenangan yang dihargai setiap anggota keluarga.

Tulisan di atas merupakan terjemahan dari tulisan "Mother, not Martyr" yang dipublikasikan di sini: http://www.suhaibwebb.com/relationships/marriage-family/spouse/mother-not-martyr/ yang ditulis oleh MUNIRA LEKOVIC EZZELDINE. Terjemahan saya buat sendiri secara bebas.

Khusus untuk kutipan ayat Al Qur'an dan hadits, terjemahan saya ambil langsung dari terjemahan Al Qur'an dan hadits versi Bahasa Indonesia (tidak saya terjemahkan sendiri). Bagi yang berkenan, saya sarankan membaca tulisan aslinya karena sebaik-baiknya terjemahan tetap berpotensi menggeser maksud tulisan asli.

Kamis, 17 Februari 2011

Istri Bukan Pembantu

4 opini
Sebuah judul yang menarik minat baca saya. Pertama kali saya melihat judul artikel "Istri Bukan Pembantu", saya bergegas membacanya. Artikel tersebut adalah tulisan Ust. Ahmad Sarwat yang membongkar sempitnya persepsi masyarakat terhadap kedudukan istri dalam rumah tangga; tentunya disertai dalil Al-Qur'an, Sunnah, dan Mahzab para ulama. Tulisan lengkapnya dapat dibaca di sini: http://www.ustsarwat.com/web/foto_berita/istri.pdf.

Dalam tulisan tersebut, Ust. Ahmad Sarwat menjelaskan betapa mulianya kedudukan istri dalam Islam. Sebegitu mulianya sampai-sampai kewajiban mengurus rumah tangga sebenarnya tidak berada di tangan para istri. Jangankan wajib, sunnah pun tidak. Justru para suami yang wajib mengurus semua urusan rumah tangga. Bila para suami tidak mampu melakukannya, maka mereka wajib menyediakan pembantu rumah tangga.

Paparan Ust. Ahmad Sarwat jelas bertolak belakang dengan kondisi saat ini dalam masyarakat (baik di Indonesia maupun di seluruh dunia). Diskriminasi terhadap wanita masih kental. Posisi wanita secara umum dianggap lebih rendah dari pria. Bahkan wanita pun tidak jarang dianggap sebagai sebuah objek ketimbang sebagai seorang manusia yang layak dihormati dan dihargai.

Dalam konteks kehidupan rumah tangga, suami dianggap sebagai seseorang yang WAJIB dipatuhi dan dilayani oleh istri. Penting bagi seorang istri untuk bisa memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak-anak, dan melayani kebutuhan suami. Aturan suami harus dipatuhi dan pendapat suami harus didengar. Hal yang sama belum tentu berlaku sebaliknya untuk istri.

Jelas sekali persepsi masyarakat saat ini berbeda dengan paparan Ust. Ahmad Sarwat. Yang jelas tulisan beliau pun sedikit banyak berlawanan dengan persepsi saya mengenai kedudukan istri. Saya sendiri tidak keberatan urusan rumah tangga dikerjakan pembantu, terutama bila istri saya bekerja. Saya pun tidak pernah keberatan bila istri saya bekerja, terutama bila ilmu (dan ijazah) yang dimilikinya dapat memiliki manfaat yang lebih di luar rumah tangga. Hanya saja saya masih berharap istri saya yang akan mengurus rumah dan anak-anak seandainya saya tidak bisa menyediakan pembantu.

Beruntung sampai saat ini saya berusaha mengalahkan dominasi saya sehingga saya mau membuka hati dan pikiran untuk menerima pendapat-pendapat istri. Dalam mengambil keputusan keluarga, saya selalu menegaskan kepada diri saya bahwa istri itu ibarat penasihat kerajaan. Setiap raja (yang waras) perlu mendengar pendapat dari penasihat kerajaan walau pada akhirnya keputusan ada di tangan raja. Dalam hal ini, istri bukan selir yang cukup mengikuti keputusan raja.

Alhamdulillah saya menemukan tulisan "Istri Bukan Pembantu" dari Ust. Ahmad Sarwat. Paling tidak saya menyadari masih banyak hal lain yang perlu saya pelajari dalam rangka memuliakan istri. Semoga saya tidak terjebak dalam persepsi kolot yang mengatakan bahwa istri adalah pembantu; sadar atau tidak sadar.

Selasa, 31 Agustus 2010

Dunia Wanita yang Memprihatinkan

5 opini
Seringkali saya merasa bahwa dunia saat ini masih memperlakukan wanita sebagai objek untuk meningkatkan daya tarik. Banyak iklan, dalam berbagai bentuk, yang menggunakan wanita sebagai modelnya walaupun pada kenyataannya tidak terlalu relevan. SPG (Sales Promotion Girl) tentunya lebih banyak terlihat ketimbang SPB (Sales Promotion Boy). Kelihatannya SPB lebih cenderung ditempatkan di gudang atau bagian angkut barang.

Untuk urusan bisnis, wanita pun punya andil yang signifikan. Saat mengajukan penawaran ke klien, sales wanita lebih diutamakan; apalagi kalau klien yang dituju adalah pria. Bagian layanan pelanggan pun umumnya mempekerjakan para wanita untuk menerima keluhan pelanggan. Alasannya kemungkinan besar karena suara wanita lebih enak didengar ketimbang suara pria.

Contoh-contoh di atas mungkin tidak representatif; atau bahkan salah. Mungkin saja para wanita lebih dihargai karena kemampuan dan prestasinya, tapi tetap saja penilaian terhadap wanita tidak lepas dari kondisi fisiknya. Entah itu parasnya, bentuk tubuhnya, suaranya, atau kondisi fisik lainnya, penilaian terhadap potensi wanita sepertinya sangat subjektif.

Eksploitasi terhadap wanita ini sudah membentuk opini umum tentang cantik dan seksi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Terbentuknya opini umum ini tentunya tidak lepas dari peran industri mode yang iklan-iklannya secara spesifik membentuk citra seorang wanita yang cantik dan seksi itu. Akhirnya para wanita berbondong-bondong merubah dirinya menjadi cantik dan seksi.

Saya pribadi tidak menentang usaha seseorang, baik pria maupun wanita, menuju keindahan diri. Hanya saja menurut saya usaha ini kerap berbalik menjadi memprihatinkan. Mereka yang berkulit hitam ingin berkulit putih hanya karena cantik itu identik dengan putih walaupun mereka yang mengeluarkan uang banyak untuk produk kecantikan. Mereka yang gemuk ingin menjadi lebih kurus hanya karena seksi itu identik dengan langsing. Mereka pun tak segan menjaga pola makan (kadang sampai ke titik ekstrim), membeli obat-obatan pengecil lingkar pinggang, dan mengikuti berbagai perawatan tubuh untuk mendapatkan tubuh yang langsing.

Tinggi badan pun tidak luput dari perhatian para wanita. Berhubung cantik dan seksi itu tidak lepas dari kata "semampai", banyak wanita pun mengejar tinggi badan yang memadai untuk melengkapi kulitnya yang putih dan badannya yang langsing. Putih, tinggi, langsing menjadi tiga kata yang krusial untuk mendefinisikan cantik dan seksi. Itu pun bila mereka tidak memasukan hal-hal sepele seperti bibir, hidung, alis mata, payudara, atau hal-hal sepele lainnya.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi di atas itu tidak kenal usia. Dari anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar sampai wanita yang sudah pantas dipanggil "nenek" hidup dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Anak SD sudah tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Nenek-nenek tetap tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Anak SD sudah akrab dengan dandanan. Nenek-nenek tetap berdandan layaknya wanita usia 30-an.

Dunia wanita begitu memprihatinkan. Keprihatinan ini mungkin akan lebih terasa saat kita mendengar komentar seorang pria jomblo yang tidak pernah puas dengan kecantikan gadis-gadis yang dikenalkan orang lain kepadanya. Hal ini tentu saja menjelaskan kenapa pria itu tetap jomblo. Rasa prihatin itu akan timbul saat kita mendengar kisah seorang suami yang selingkuh demi wanita yang lebih cantik. Belum lagi cerita bagaimana seorang wanita cerdas dan berprestasi tidak kunjung mendapatkan pasangan karena dirinya kurang cantik. Dan masih banyak lagi cerita-cerita memprihatinkan lainnya.

Entah siapa yang harus disalahkan atas terbentuknya dunia seperti itu? Dunia mode, dunia periklanan, dunia bisnis, para pria, atau para wanita itu sendiri? Entah ada berapa faktor yang akhirnya menyebabkan para wanita harus bersaing untuk terlihat cantik dan seksi. Satu hal yang pasti, para pria punya andil. Mereka yang melihat wanita lewat syahwatnya dan mengukur potensi wanita lewat ukuran dada dan pinggulnya tentunya punya andil yang sangat besar.

Penulis pun seorang pria yang tidak lepas dari tanggung jawab itu, tapi tulisan ini bukan sebuah topeng kemunafikan yang dipakai saat menulis. Tulisan ini merupakan bagian dari proses introspeksi diri karena sebuah perubahan besar hanya dapat terjadi bila setiap orang yang terlibat mau melakukan perubahan yang sama pada dirinya sendiri.

Jumat, 20 November 2009

Bakti Seorang Ibu

0 opini
Khutbah Jumat hari ini mengingatkan saya pada besarnya pengorbanan seorang ibu dalam merawat anak-anaknya. Sejak Raito dan Aidan hadir di dunia ini, topik-topik yang terkait dengan keluarga menjadi topik yang menarik bagi saya. Mendengarkan penjelasan Sang Khatib, saya teringat akan segala hal yang sudah dicurahkan oleh istri saya demi menjaga Raito dan Aidan.

Sebenarnya topik utama khutbah hari ini tidak spesifik tentang ibu dan segala pengorbanannya. Beliau memulai khutbahnya dari kata silaturahmi. Pembahasan seputar isu keibuan masuk saat beliau menjelaskan bahwa kata silaturahmi itu dibentuk dari dua kata dan salah satunya adalah rahim.

Rahim adalah tempat yang sangat kokoh sehingga mampu menampung awal sebuah kehidupan. Lebih dari sebuah seandainya rahim tersebut menyimpan janin-janin kembar seperti Raito dan Aidan. Tempat yang kokoh ini dititipkan Allah kepada para wanita. Jelas tergambar peran besar wanita di dunia ini. Sayangnya peran besar ini sering dikalahkan oleh peran-peran yang ditawarkan dunia kerja.

Saat seorang ibu mengandung, dia memberikan segala yang bisa dia berikan demi pertumbuhan anaknya; sadar atau tidak sadar. Misalnya saat si Ibu makan, maka si Anak pun ikut makan. Bahkan kadang porsi yang diserap si Anak jauh lebih besar dari yang dimanfaatkan oleh si Ibu.

Bila terjadi benturan pada kandungannya, si Ibu lebih mengkhawatirkan nasib si Anak ketimbang rasa sakit yang dia rasakan. Seluruh badan terasa sakit pun tidak masalah asalkan tidak terjadi apa-apa pada si Anak. Begitu besar pengorbanan seorang ibu demi kenyamanan dan keamanan anak yang dikandungnya.

Kedekatan hubungan antara si Ibu dan si Anak begitu kuat. Ikatan emosional yang terbentuk antara si Ibu dengan anak di rahimnya begitu erat seolah-olah si Anak dapat merasakan kebahagiaan dan kesedihan yang dialami si Ibu. Interaksi yang terjadi antara si Ibu dan si Anak pun terlihat erat. Tidak ada yang bisa mengetahui gerak-gerik anak di dalam rahim lebih baik dari ibu yang mengandungnya.

Masih banyak lagi hal yang dipaparkan dalam khutbah tersebut mengenai makna rahim. Pada intinya Sang Khatib ingin menggambarkan betapa kuatnya arti kasih sayang yang secara implisit dijelaskan lewat kata rahim. Oleh karena itu mereka yang memahami makna sebenarnya dari rahim tentu mampu membayangkan betapa kuatnya ikatan yang diharapkan dalam sebuah silaturahmi.

Dalam hati saya berpikir betapa besarnya jasa seorang ibu dalam membesarkan anak-anaknya. Sang Khatib menegaskan bahwa seorang ibu itu merawat anaknya di dalam rahim tanpa banyak perhitungan. Entah nanti si Anak akan berbakti, akan tumbuh menjadi orang hebat, atau tumbuh menjadi apa pun juga, si Ibu akan senantiasa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Semoga saja setiap anak menyadari jasa-jasa orang tuanya saat mereka besar nanti sehingga timbul keinginan untuk berbakti. Kenyataan yang ada sekarang ini memang berbanding terbalik dengan harapan ini, tapi hasil yang baik harus dimulai dari harapan -bukan sekedar mimpi- yang baik.

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/file/179281740/f8e4a6b7/BaktiSeorangIbu.html