Senin, 07 Januari 2013

Kanibalisme dan Gosipisme

Saya yakin tidak ada satu orang berakal di dunia ini yang mau menjadi seorang kanibal. Menurut saya memang tidak masuk akal bila seorang manusia mau memakan manusia lain. Buat saya pribadi, bukan sekedar "tidak masuk akal". Bayangan seseorang memakan orang lain sudah berhasil membuat saya merasa mual.

Tulisan ini tentu saja bukan untuk membahas kanibalisme. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas salah satu kebiasaan kita yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kanibalisme, yaitu gosipisme. Gosipisme, yaitu kebiasaan kita untuk ngomongin orang lain, adalah sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan ini tidak mengenal batas. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, semua sudah terbiasa ngegosip. Bahkan tidak sedikit acara di televisi yang isinya hanya gosip.

Ngegosip tentu saja ditargetkan kepada orang lain. Pernah dengar seseorang ngegosip tentang dirinya sendiri? Tentu saja tidak ada. Ngegosip itu selalu tentang orang lain. "orang lain" di sini Kalau seseorang sedang membicarakan dirinya sendiri, kemungkinan besar orang itu sedang pamer; bukan ngegosip.

Keburukan adalah ciri lain dari ngegosip. Yang dibicarakan di dalam sebuah sesi gosip pada umumnya adalah keburukan orang lain. Keburukan-keburukan yang dibicarakan pun bervariasi mulai dari tingkah laku konyol seseorang sampai perkataan atau perbuatan buruk yang bersifat serius. Gosip tidak pernah membicarakan kebaikan orang lain. Kalau yang dibicarakan itu kebaikan, kemungkinan besar itu adalah sesi pengajian; bukan sesi gosip.

Dari dua karakteristik itu saja saya menganggap bahwa gosipisme pada hakikatnya sama dengan kanibalisme. Seperti para kanibal, para penggosip pun sama-sama menikmati "bangkai" orang lain. Keburukan-keburukan orang lain dijadikan bahan tertawaan oleh para penggosip sebagaimana potongan tubuh orang lain dijadikan bahan makanan oleh para kanibal. Perbedaannya adalah kanibalisme ini mudah sekali membuat kita merasa jijik, sementara gosipisme justru membuat kita merasakan kenikmatan.

Perbedaan lain dari kedua metode memangsa orang lain ini adalah dampaknya. Kalau kita menjadi mangsa para kanibal, kita pasti mati. Selesai. Tidak ada dampak negatif lain yang bisa kita rasakan. Kalaupun kita menjadi mangsa hidup-hidup, rasa sakit yang kita rasakan pun akan berhenti saat kita mati. Berbeda dengan kalau kita menjadi mangsa para penggosip. Dampak negatif dari gosip ini akan terus kita rasakan sampai gosip ini terbantahkan atau sampai gosip ini tidak lagi dijadikan tema pembicaraan orang-orang di sekitar kita. Bisa bayangkan rasanya hidup dengan prasangka negatif yang menumpuk di pundak? Rasanya lebih baik mati, bukan?

Saat kita menjadi korban gosip, bukan tidak mungkin kita akan dituduh yang bukan-bukan. Selain itu, orang-orang di sekitar kita mulai melihat kita secara negatif. Bukan tidak mungkin kita justru akan dijauhi oleh orang-orang yang biasanya dekat dengan kita. Semua ini lebih menyakitkan dari mati dan semua ini diawali oleh omongan-omongan orang yang tidak berdasar (baca: tidak punya otak).

Curcol? Bukan. :)

Saya sendiri beruntung bahwa saya tidak pernah merasakan kepedihan separah itu. Hanya saja saya pernah beberapa kali menjadi saksi bagaimana gosip itu bisa merusak hidup seseorang. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, hidup mereka bisa rusak begitu saja digerogoti oleh gosip. Tidak ada seorang pun di antara kita yang ingin hidupnya rusak oleh gosip, tapi entah kenapa kita ini tidak pernah mengalami kesulitan ngegosip.

Saya pribadi tidak pernah mau menjadi bahan gosip. Kalau ada hal buruk yang saya katakan atau lakukan, saya lebih suka ditegur langsung. Dengan ditegur langsung, mungkin saja saya sakit hati. Tapi sakit hati seperti ini sifatnya sementara dan akan hilang seiring perbaikan terhadap diri sendiri yang saya lakukan. Jauh lebih baik sakit hati yang frontal seperti ini dibandingkan terus-menerus menjadi bahan gunjingan.

Dan keinginan untuk tidak menjadi bahan gosip itulah yang membuat saya mulai bergerak untuk menjauhi gosip. Pokoknya kalau obrolan sudah mulai mengarah ke orang yang tidak hadir, saya mencoba untuk tidak terlibat. Melakukan hal ini pada dasarnya sulit; sesulit mengendalikan lidah kita untuk nyeletuk dan ikut ngegosip. Sepertinya analogi gosipisme dengan kanibalisme ini akan menjadi pegangan penting bagi saya untuk menjaga diri saya dari menikmati pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain.

**Semua gambar ditemukan lewat Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar