Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Mei 2021

Pelajaran dari Soul dan Inside Out

0 opini

Piano (Gambar oleh surang)
Saya memang selalu suka film-film buatan Pixar. Animasinya memanjakan mata, alur ceritanya menarik, dan lelucon-leluconnya cukup menghibur. Mayoritas film animasi buatan Pixar sepertinya ditujukan untuk anak-anak, tapi saya perhatikan ada banyak "pelajaran" yang dapat diambil oleh para penonton di atas umur seperti saya. Bagi saya, pesan moral yang disampaikan lewat film-film Pixar sering membuka mata saya lebih lebar lagi dalam melihat dan memahami kehidupan.

Berat ya? Tidak juga. Cara saya menyampaikannya mungkin saja memberikan kesan bahwa pesan moral yang saya bicarakan adalah hal-hal yang berat, tapi kenyataannya film-film Pixar menyampaikannya secara ringan dan menghibur. Ada banyak hal yang bisa dibahas dari alur film-film Pixar, tapi dalam tulisan kali ini, saya ingin membahas 2 film saja, yaitu Soul dan Inside Out.

Sebelum saya lanjutkan, saya perlu ingatkan bahwa tulisan selanjutnya akan berisi spoiler untuk kedua film tersebut. Saya memang tidak akan membahas alurnya karena saya ingin fokus pada pesan moralnya. Walaupun begitu, risikonya cukup tinggi bahwa alurnya akan terkuak saat saya membahas pesan moralnya. Jadi, kalau Anda tidak ingin mengambil risiko itu, silakan berhenti di sini.

Kembali ke pesan moral. Pertama, Soul. Soul menyampaikan pesan penting tentang cara menikmati hidup. Di satu sisi, ada karakter yang tidak siap untuk hidup karena tidak memiliki tujuan hidup. Di sisi lain, ada karakter yang tidak siap mati karena tujuan hidupnya belum tercapai. Ternyata kedua karakter itu memiliki kesamaan, yaitu mereka sama-sama tidak (belum) mampu melihat hidup kita apa adanya.

Kita seringkali terobsesi dengan tujuan sehingga kita merasa hidup tidak bisa dimulai tanpa tujuan. Kalau kita sudah terlanjur menjalani hidup, hidup kita akan terasa tidak berarti karena kita tidak pernah mencapai tujuan itu. Pada kenyataannya hidup adalah proses dan dalam prosesnya, hidup kita memiliki makna yang lebih asalkan perhatian kita tidak hanya tertuju pada sebuah tujuan. Hidup kita juga akan lebih bermakna kalau kita mau membangun hubungan dengan orang lain.

Kedua, Inside Out. Film ini punya memiliki pesan yang kuat tentang cara kita menyikapi kehidupan, khususnya tentang sikap positif. Sikap positif dianggap sebagai hal yang krusial dalam menjalani hidup. Sikap positif dianggap benar-benar penting sampai ke tingkat yang menganggap sikap negatif sebagai sesuatu yang buruk. Menempatkan sikap positif dalam posisi yang sangat tinggi seperti itu justru berisiko merusak. Hal itu yang umumnya kita kenal dengan istilah toxic positivity.

Pada kenyataannya, menjalani hidup tidak cukup dengan modal kebahagiaan. Setiap manusia butuh merasa sedih. Setiap manusia perlu menyalurkan kesedihan. Dengan penyaluran yang tepat, kesedihan akan berangsur pudar seiring dengan datangnya rasa tenang. Pada akhirnya, kebahagiaan akan kembali mengisi hati, tapi bukan karena dipaksakan untuk bahagia seperti halnya toxic positivity. Kebahagiaan yang datang setelah redanya kesedihan biasanya akan lebih kuat dan langgeng.

Bayangkan kalau kedua pesan di atas dapat kita resapi dan terapkan dalam hidup kita. Saya yakin kita akan lebih mampu menerima kenyataan dan lebih mampu menikmati setiap langkah yang kita ambil dalam hidup kita. Kalaupun ada hal buruk yang terjadi dalam hidup kita, kita dapat menerima kesedihan yang muncul, mencoba mengutarakannya, lalu menemukan kembali hal-hal positif dalam hidup kita. Bayangkan betapa bahagianya hidup kita kalau kita bisa melakukan semua itu. Bayangkan juga betapa bahagianya hidup anak-anak kita kalau kita mampu menularkan semua pelajaran penting itu ke dalam diri mereka agar hidup mereka juga dapat diisi dengan berbagai kebahagiaan.

Seru, bukan? Yuk!

Rabu, 21 Maret 2012

Ocean Heaven

0 opini
Ocean Heaven (http://hkmdbnews.com/)
Film Ocean Heaven adalah film tentang seorang ayah bernama Wang yang memiliki anak autis berumur 21 tahun bernama Dafu. Cerita di dalam film Ocean Heaven ini berkisar tentang usaha Wang untuk mencarikan tempat yang mau menerima dan merawat Dafu. Alasannya adalah karena Wang sendiri sudah menghitung hari menuju kematiannya. Berhubung istrinya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, Wang merasa memang sudah menjadi kewajibannya untuk memastikan bahwa Dafu dapat bertahan hidup setelah dia meninggal nanti.

Ada dua alasan yang membuat saya tertarik menonton film ini. Pertama, Jet Li di sebuah film drama. Aktor film action kawakan seperti Jet Li mengambil peran utama dalam sebuah film drama keluarga adalah adalah sesuatu yang menarik. Tentu saja saya penasaran melihat bagaimana Jet Li memerankan karakter seorang ayah (dan jauh dari unsur "keras"). Alasan kedua film ini menarik bagi saya tentu saja untuk melihat bagaimana perkembangan cerita perjuangan Wang untuk menyelamatkan masa depan Dafu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Dafu.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa film ini adalah film yang hebat. Saya sendiri bahkan beranggapan bahwa ceritanya sendiri terlalu "mulus" untuk dapat terjadi di dunia nyata. Akan tetapi, sebagai seorang ayah, saya pribadi menganggap cerita di film ini begitu nyambung dengan kehidupan saya sendiri. Saya merasa dapat memahami perasaan dan beban Wang hampir di setiap adegan dalam film ini. Benar-benar sebuah film yang sangat mengena.

Ulasan saya mengenai film ini tentu saja bias. Hal ini jelas terlihat dari pengakuan saya di paragraf sebelumnya. Untungnya tulisan saya ini tidak dimaksudkan untuk mengulas film Ocean Heaven ini. Saya justru ingin menekankan pada pelajaran menarik (dan mengharukan) yang dapat saya ambil dari film ini.

Pelajaran utama yang saya dapatkan adalah betapa pentingnya menjadi seorang ayah yang memiliki dedikasi yang besar dalam merawat anaknya. Kehidupan sehari-hari Wang itu sebenarnya tidak istimewa. Wang hanyalah seorang pekerja biasa di sebuah Ocean Park; seseorang yang dapat kita temui setiap hari dalam hidup kita. Akan tetapi, dedikasinya merawat Dafu menjadikan dia seseorang yang istimewa di mata orang-orang di sekitarnya. Wang pun hidup bagaikan pahlawan tanpa tanda jasa.

Kasih sayang yang Wang berikan kepada anaknya sudah pasti luar biasa besarnya. Merawat Dafu sehari-hari saja sudah pasti membutuhkan kesabaran yang tinggi, apalagi saat Wang sadar bahwa dia akan segera meninggal. Kasih sayang Wang kepada Dafu justru memaksa dia untuk berusaha lebih keras lagi mengajarkan Dafu untuk bisa bertahan hidup sendirian. Kasih sayang Wang juga yang memaksa dia untuk terus mencari alternatif tempat yang mau menerima Dafu.

Yang membuat saya terharu adalah di balik "mulus"-nya cerita dalam film ini, masih ada adegan-adegan yang memperlihatkan bahwa Wang pun hanya manusia biasa. Adegan pertama adalah saat pertama kali Wang harus berpisah dengan Dafu setelah Wang berhasil mendapatkan tempat yang mau menerima Dafu. Saat itu Wang digambarkan terlihat kesepian; seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Yang tidak saya sangka adalah Dafu pun ternyata memiliki perasaan yang sama. Sangat mengharukan.

Adegan berikutnya adalah saat Wang sedang mengajarkan Dafu untuk mengepel. Berkali-kali Wang memberi contoh mengepel dengan gerakan ke kiri dan ke kanan sambil berjalan mundur, berkali-kali pula Dafu justru mengepel dengan berjalan ke depan. Berkali-kali hal itu terjadi sampai ke sebuah titik saat Wang pun membentak Dafu. Dafu hanya terdiam dan menangis. Akhirnya Wang menghampiri Dafu dan mengatakan kepada Dafu bahwa dia akan pelan-pelan mengajari Dafu. Lagi-lagi sebuah adegan yang mengharukan.

Adegan yang paling mengharukan dan berhasil membuat saya meneteskan air mata adalah ... adegan yang saya rasa perlu ditonton langsung. Semakin banyak saya menulis di sini, semakin banyak pula spoiler Ocean Heaven yang terbuka. Satu hal yang pasti, film ini mengingatkan saya untuk kembali bersabar dalam menyikapi Raito dan Aidan, yaitu bahwa sesungguhnya menjadi ayah yang penyabar dan penuh kasih sayang adalah sesuatu yang penting.

Rabu, 08 Februari 2012

Belajar Dari Film

2 opini
Saya yakin yang namanya sumber inspirasi itu ada banyak sekali. Untuk penggemar channel hiburan seperti saya, film tidak pelak lagi menjadi salah satu sumber inspirasi yang signifikan. Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari film-film yang sudah saya tonton. Kali ini saya ingin berbagi tentang film-film yang memberikan inspirasi terhadap peran saya sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah.

Film pertama yang terbayang di benak saya adalah Up. Film ini adalah film yang mengharukan. Entah kenapa saat menonton film ini saya merasakan hubungan yang kuat dengan tokoh utama film ini, Carl Fredricksen. Adegan singkat hidupnya mulai dari menikah, istrinya hamil, istrinya keguguran, dan pada akhirnya mereka mencoba menikmati hidup berdua saja adalah adegan yang sulit saya lupakan. Saat istri Carl meninggal dunia, hati saya sempat terasa hampa karena saya pun terbayang bagaimana perasaan saya bila istri saya "pergi".

Inspirasi dari film ini tentu saja dedikasi Carl untuk mewujudkan impian istrinya memiliki rumah kecil di sebuah bukit yang dilengkapi dengan air terjun (koreksi saya bila saya salah di bagian ini). Cara Carl mewujudkan impian istrinya ini mungkin tidak masuk akal. Saya sendiri tidak bisa membayangkan seseorang mengangkat rumahnya dengan ratusan balon berisi helium (koreksi saya lagi bila saya salah di bagian ini). Hanya saja determinasi Carl ini patut diacungi jempol. Dia terus berusaha untuk membahagiakan istrinya walaupun istrinya tidak perlu lagi dibuat bahagia.

Film kedua adalah Take Shelter. Film ini bercerita tentang seorang pria bernama Curtis yang dihantui oleh mimpi dan bayangan akan datangnya sebuah badai besar yang akan melanda kotanya. Pengaruh mimpi dan bayangan ini sangat kuat sampai Curtis pun memutuskan untuk memperbaiki dan mengembangkan storm shelter yang ada di belakang rumahnya. Keputusan ini pada awalnya baik-baik saja tapi pada akhirnya masalah-masalah pun menumpuk. Curtis kehilangan pekerjaannya karena dia menggunakan alat berat dari kantornya tanpa izin. Istrinya marah besar saat mengetahui Curtis menggadaikan rumahnya demi mengumpulkan dana untuk memperbaiki storm shelter tersebut. Seluruh kota pun sudah mendengar kabar kegilaan Curtis.

Modal Curtis hanya satu. Keyakinannya yang kuat terhadap mimpi-mimpinya. Dia yakin badai besar itu akan datang dan storm shelter itu dia bangun dan perbaiki untuk menyelamatkan istri dan anaknya. Di balik semua tumpukan masalah itu, Curtis akhirnya berjalan sendirian. Hal yang paling menyentuh di bagian ini adalah saat istrinya (yang sangat mungkin memutuskan untuk meninggalkan suaminya yang gila ini) akhirnya memutuskan untuk tetap bersama Curtis dan melihat mimpi Curtis menjadi kenyataan. Istri Curtis tidak hanya memberi kesempatan bagi Curtis untuk membuktikan mimpinya, tapi dia juga memberi dukungan moral bagi Curtis untuk terus mencapai tujuannya. Melihat ikatan suami-istri yang kuat seperti ini sudah pasti memberikan inspirasi bagi saya untuk membentuk ikatan yang sama dengan istri saya sendiri.

Film ketiga adalah How to Train Your Dragon. Kalau Anda tidak suka film tentang Viking, saya jamin Anda akan menyukai film ini; atau sebaliknya. Entahlah. Satu hal yang pasti, film ini termasuk film favorit saya. Bagian yang paling saya suka dalam film ini tentu saja hubungan anak-ayah antara Hiccup Horrendous Haddock III (anak) dengan Stoick the Vast (ayah). Hubungan di antara keduanya adalah hubungan yang sesekali waktu kita temui di dunia nyata, yaitu antara seorang anak yang mati-matian membuktikan bahwa dirinya itu "layak" dengan seorang ayah yang tidak pernah merasa bahwa anaknya itu "layak".

Jangan sampai saya menjadi orang yang menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.
Perkembangan hubungan antara keduanya pun terbilang predictable. Hiccup berhasil melakukan sesuatu yang dapat membuat dirinya diakui oleh ayahnya, tapi sulit bagi ayahnya untuk mempercayai anaknya. Dalam film ini digambarkan bahwa Stoick lebih sibuk dengan harapannya terhadap Hiccup ketimbang berusaha menerima Hiccup apa adanya. Fase ini terjadi terus dan terus dan terus hingga tiba waktunya saat Hiccup berhasil menunjukan kemampuannya dan mendapatkan kepercayaan ayahnya ... dengan sebuah pengorbanan. Film ini berhasil membuka mata saya dan mengingatkan saya untuk tidak menaruh harapan yang tidak mungkin digapai anak saya. Jangan sampai saya menjadi orang yang menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.

Film keempat (dan terakhir dalam tulisan ini) adalah Finding Nemu ... maksud saya, Finding Nemo. Terus terang film ini baru beberapa waktu yang lalu saya tonton ulang; kali ini saya tonton bersama anak-anak saya. Cerita dalam film ini menjadi sumber inspirasi yang "menyegarkan" bagi saya yang sedang penat mengurus anak-anak. Satu hal yang saya rasakan betul adalah kadang kita lupa diri dan terlalu kaku dalam mengatur anak-anak sampai anak-anak kita pun tidak bisa menikmati hidupnya. Sampai akhirnya anak-anak kita pun menjauh dari kita sampai ke sebuah titik yang membuat kita menyesali keputusan-keputusan kita.

Dalam film Finding Nemo, ceritanya memang tidak setragis itu. Ceritanya justru lebih tragis lagi karena anak yang dimaksud malah hilang "diculik" orang. Untungnya film ini berakhir baik karena Nemo (anak) dan Marlin (ayah) berhasil bertemu kembali dan hidup bahagia selamanya. Yang menarik dari film ini justru petualangan Marlin menyeberang lautan yang luas untuk menemukan Nemo. Kata "luas" ini menjadi signifikan karena Marlin sendiri hanya seekor ikan badut kecil yang tidak berdaya. Dibalik semua keberuntungan yang dialami Marlin, dedikasi Marlin untuk menemukan anaknya yang (pada saat pencarian) belum tentu masih hidup itu menjadi inspirasi yang luar biasa bagi saya.

Masih banyak film lain yang menjadi inspirasi bagi saya sebagai seorang suami dan seorang ayah. Tentu saja semua itu tidak mungkin saya jabarkan dalam satu tulisan. Kalau satu film saja menghasilkan 2 paragraf, entah berapa panjang tulisan ini kalau saya pajang satu per satu film yang pernah saya tonton. Lagipula saya sendiri tidak ingat lagi film-film bertema keluarga yang saya pernah saya tonton.

Ada tulisan (blog post) tentang film lainnya yang menarik untuk saya baca? Silakan rekomendasikan di bagian komentar.

Kamis, 02 Februari 2012

The Taqwacores

0 opini
Sepertinya ini film pertama tentang Islam yang pernah saya tonton dengan tema yang tidak islami. Yang saya maksud dengan "tidak islami" di sini bukan karena filmnya tidak menyinggung Islam sama sekali atau bahkan bertolak belakang dengan Islam. Yang saya maksud dengan "tidak islami" di sini karena tema yang diangkat di dalam film ini sangat jauh berbeda dengan film islami yang biasa saya tonton. Saya tegaskan, sangat jauh.

Pertama kali saya melihat poster film ini, saya langsung tertarik untuk menontonnya. Dari gambar maupun tagline-nya saja film ini sudah berhasil membuat saya penasaran. Pertanyaan pertama saya tentu saja bagaimana film ini akan menampilkan sebuah cerita dengan kombinasi Punk, Muslim, dan American. Saya sudah tidak asing lagi dengan kombinasi Muslim dan American, tapi kombinasi Muslim dan Punk adalah sesuatu yang asing bagi saya.

Rasa antusias saya untuk menonton pun dibayar dengan baik oleh film ini. Film ini berhasil memperluas wawasan saya mengenai variasi keyakina yang dianut oleh orang-orang Islam. Perlu saya tegaskan bahwa variasi di sini adalah variasi keyakinan, karena Islam menjadi warna-warni karena perbedaan keyakinan ini.

Bagaimana dengan filmnya?

The Taqwacores diawali dengan perjalanan Yusef, your typical everyday Muslim, yang mencari tempat tinggal bersama pemuda Muslim lainnya saat meneruskan studinya di Buffalo (New York). Yusef akhirnya memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah yang ditinggali oleh sekumpulan pemuda (dan pemudi) Muslim. Di dalam rumah inilah semua petualangan Yusef bersama aliran Punk Rock Muslim dimulai (dan diakhiri).

Jehangir (kiri) dan Umar
Orang pertama yang ditemui Yusef adalah Umar. Umar adalah tipe Muslim yang kaku. Di balik pemahamannya terhadap Islam yang baik, Umar adalah seorang Muslim yang keras. Rumah itu pernah menjadi rumah yang kaya dengan nilai-nilai Islam, tetapi lama-kelamaan Umar merasa nilai-nilai ini tergerus dengan kehadiran Punk Rock Muslim. Walaupun begitu, Umar tetap memilih untuk bertahan di rumah tersebut dengan harapan dapat mengembalikan kondisi rumah itu seperti dulu lagi.

Berikutnya Yusef bertemu Jehangir (baca: Jehanggir) dan Fasiq. Yusef bertemu mereka di waktu subuh saat dia hendak berwudhu untuk shalat subuh. Saat itu Jehangir dan Fasiq sedang duduk-duduk di atas bagian atap rumah mereka. Jehangir sedang menirukan suara adzan dengan gitar listriknya. Sebuah pertemuan yang menarik, bukan? Jehangir ini akan menjadi karakter utama yang mempengaruhi hidup Yusef. Pergaulan Yusef dengan Jehangir bahkan mampu merubah sikap dan keyakinan Yusef dalam Islam.

Rabeya
Pertemuan yang tidak diduga Yusef adalah dengan Rabeya (baca: Robiya). Yusef tidak pernah menyangka akan tinggal serumah dengan seorang Muslimah (yang mengenakan burqa). Tapi kecanggungan ini tidak berlangsung lama karena Rabeya sendiri sudah terbiasa berinteraksi dengan teman-teman pria. Karakter Rabeya tidak kalah menariknya dengan Jehangir. Muslimah yang satu ini, walaupun mengenakan burqa (yang mengindikasikan dia taat beragama), justru memiliki pemikiran yang liberal. Salah satu contohnya ditunjukan lewat adegan yang memperlihatkan dia berani mencoret (yang mengindikasikan penolakan) satu ayat Al-Qur'an kepunyaannya.

Masih banyak karakter menarik lainnya di dalam film ini antara lain (Amazing) Ayyub yang jauh lebih "radikal" dibandingkan Jehangir, Muzzamil yang gay, dan Lynn yang mengaku baru masuk Islam. Karakter-karakter ini menambah lebih banyak warna lagi ke dalam film The Taqwacores melalui beragam interaksi antara karakter-karakter tersebut. Di tengah-tengah film ini pun (sedikit) sisi toleran Umar pun sempat ditunjukan; terutama terhadap Muzzamil yang gay.

Klimaks dari keragaman ini, menurut saya pribadi, ada pada acara konser Punk Rock Muslim yang diadakan oleh Jehangir. Jehangir menyulap rumah tersebut menjadi tempat konser terbatas untuk para penggemar Punk Rock Muslim dan mengundang beberapa band untuk mengisi konser ini. Suasana saat konser ini sempat memanas karena Jehangir memutuskan mengundang satu band yang tidak disukai banyak orang. Konser yang awalnya seru menjadi ricuh karena konflik antara anggota band tersebut dengan para penonton. Adegan selanjutnya tidak akan saya ceritakan karena akan menjadi spoiler bagi pembaca yang belum (dan berminat) menonton.

Yang membuat film ini menarik bagi saya pada dasarnya hanya keanekaragaman Muslim di dalam rumah tersebut. Saya pernah bertemu dengan Muslim dengan keyakinan yang berbeda, tapi saya belum pernah bertemu orang-orang seperti Jehangir dan Rabeya. Satu hal yang kelihatannya ingin ditunjukan lewat film ini adalah terlepas dari berbagai keyakinan mereka, mereka masih bisa hidup bersama dan masih bisa shalat bersama-sama. Kelihatannya film ini ingin mengajak para penontonnya untuk bersikap lebih terbuka terhadap sesama Muslim yang berbeda pendapat, pemikiran, dan gaya hidup.

Saya memang tidak akan mengatakan bahwa film ini adalah film yang fenomenal, tapi saya rasa film ini tetap layak untuk ditonton oleh setiap pemuda Muslim. Akan tetapi, saya perlu ingatkan bahwa film ini memiliki potensi yang besar untuk menyinggung masyarakat Muslim. Untuk bisa menikmati film ini (dan mencoba menyerap moral ceritanya) dibutuhkan pemikiran yang terbuka dan kemauan untuk menerima sesuatu yang berbeda; atau lebih tepatnya sangat berbeda.

Saya menonton film The Taqwacores ini beberapa waktu setelah film The Message yang menggambarkan kehidupan kenabian Rasulullah SAW. Dapat saya katakan bahwa perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Muslim itu sangat luar biasa. Bukan sesuatu yang mengherankan mengingat ajaran Islam diturunkan ke bumi ratusan tahun yang lalu, tapi apakah kondisi saat ini membahagiakan atau justru memprihatinkan. Saya rasa pertanyaan ini yang perlu kita jawab.

Senin, 28 November 2011

3 Jam Bersama Rasulullah

2 opini
Dua hal yang saya rasa perlu saya lakukan sebelum saya meninggal dunia adalah membaca terjemah Al-Qur'an sampai selesai dan membaca kitab Sirah Nabawiyah. Yang pertama, yaitu membaca terjemah Al-Qur'an, masih berjalan sampai surat keenam (Al-An'aam). Sementara yang kedua, yaitu membaca kitab Sirah Nabawiyah, belum saya mulai sama sekali. Kedua hal tersebut saya perlu saya lakukan demi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap Islam. Saya yakin saya akan menjadi seorang Muslim yang lebih baik bila saya mampu memahami firman-firman Allah dan mengenal karakter dan kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Alhamdulillah saya menemukan sebuah alternatif untuk Sirah Nabawiyah, yaitu film The Message. Kata "alternatif" rasanya kurang tepat, tapi film ini berhasil memberikan pengalaman yang luar biasa dalam usaha saya mengenal Rasulullah Muhammad SAW.

Film The Message ini merupakan ringkasan super singkat dari perjalanan panjang kehidupan Rasulullah Muhammad SAW mulai dari turunnya wahyu untuk pertama kalinya sampai dengan haji terakhir beliau. Beberapa peristiwa penting dalam sejarah kenabian ada di dalam film ini antara lain hijrah ke Habasyah, usaha pembunuhan Rasulullah, hijrah ke Madinah, perang Badr, perang Uhud, perjanjian Hudaibiyah, dan penaklukan kembali kota Makkah oleh kaum Muslimin.

Cerita dalam film ini benar-benar mengena di hati saya. Yang pertama adalah cerita tentang penindasan terhadap orang-orang yang pertama kali memeluk Islam. Di dalam film ini digambarkan keteguhan hati orang-orang yang bersedia memeluk Islam sampai mereka rela meregang nyawa untuk mempertahankan Islam di dalam hati mereka. Berikutnya adalah perjalanan panjang menuju Habasyah yang dilakukan kaum Muslimin untuk menghindari berbagai siksaan dari masyarakat di kota Makkah. Banyak sekali gambaran penderitaan kaum Muslimin pada masa ini sampai saya pun tersadar untuk bersyukur bahwa saya bisa memeluk Islam dengan tanpa rasa takut terhadap apa pun.

Berikutnya adalah tentang hijrah Rasulullah ke Madinah saat orang-orang di Makkah bermaksud membunuh beliau. Begitu besar pengorbanan para sahabat untuk Rasulullah, terutama 'Ali dan Abu Bakar, dalam proses hijrah ini. Akan tetapi, peristiwa yang benar-benar luar biasa adalah saat Rasulullah terpojok di sebuah gua saat sedang diburu. Yang menjadi "penyelamat" beliau hanyalah sebuah sarang laba-laba yang terangkai apik di mulut gua tempat Rasulullah Muhammad SAW bersembunyi. Sarang laba-laba ini yang memberi kesan bahwa tidak ada yang masuk ke dalam gua tersebut dan membuat para pemburu nyawa Rasulullah berbalik dan meninggalkan gua tersebut. Allahu Akbar!

Pasca keberhasilan Rasulullah hijrah ke Madinah, film The Message ini pun mulai memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan Islam antara lain dengan kemenangan kaum Muslimin di perang Badr. Kebangkitan Islam memang tidak instan dan hal ini terlihat cukup jelas lewat kekalahan kaum Muslimin di perang Uhud dan terwujudnya perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah ini yang menjadi titik awal kebangkitan Islam yang hakiki karena perjanjian Hudaibiyah ini memungkinkan penyebaran Islam secara damai. Allahu Akbar!

Klimaks dari film ini adalah penaklukan kota Makkah (Mekah). Bala tentara kaum Muslimin yang sangat dominan itu tidak merusak atau membabi buta membasmi orang-orang yang menentang Islam. Kota Makkah berhasil direbut kembali tanpa pertumpahan darah. Sebuah kemenangan yang elegan dan begitu memukau. Ka'bah pun berhasil dikuasai kaum Muslimin dan dibersihkan dari berbagai berhala yang sudah lama menghuni Ka'bah. Takbir pun dikumandangkan di kota Makkah tanpa ada ancaman atau tekanan barang sedikit pun. Peristiwa ini adalah peristiwa yang luar biasa. Bahkan saya berharap dapat menjadi bagian dari kaum Muslimin saat itu.

Film ini pun ditutup dengan khutbah terakhir Rasulullah. Sebuah khutbah yang begitu memilukan hati karena kita semua tahu bahwa dunia ini akan kehilangan satu manusia yang sangat mulia di mata Allah. Manusia yang sangat dicintai kaum Muslimin karena keteguhannya dan keteladanannya dalam menyebarkan Islam sampai ke hati kita masing-masing. Sulit sekali menahan tangis saat menonton adegan haji terakhir Rasulullah ini.

Film The Message ini insya Allah akan menjadi tontonan yang berkesan dan sulit dilupakan. Film dengan durasi 3 jam ini berhasil membawa saya satu langkah lebih dekat ke dalam kehidupan Rasulullah SAW. Efek visual yang ditawarkan oleh sebuah film pun lebih mengena ketimbang sekedar membaca rentetan kata dalam sebuah buku atau kitab.

Sedikit Trivia

Satu hal unik dari film ini adalah film ini dibuat dalam dua versi bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab. Akan tetapi, versi bahasa Arabnya bukan sekedar dubbing dari versi bahasa Inggris. Dua versi film ini ibarat dua film yang berbeda. Untuk setiap pengambilan adegan dalam film ini, aktor dan aktris berbahasa Inggris bergantian dengan aktor dan aktris berbahasa Arab. Hasilnya adalah dua film dengan plot yang sama dan adegan yang sangat mirip. Tetap ada perbedaan antara film versi bahasa Inggris dengan film dengan versi bahasa Arab, tapi perbedaan-perbedaan ini sama sekali tidak merubah plot film ini.

Download Link

Bagi yang berminat menonton film tahun 1977 ini dapat mengunduhnya dari sini:
Perlu saya informasikan bahwa The Message versi bahasa Arab di atas terbagi menjadi 14 bagian. Sayangnya ada beberapa adegan yang hilang di antara bagian-bagian tersebut. Sementara The Message versi bahasa Inggris lengkap dari awal hingga akhir tanpa ada adegan yang hilang.

Senin, 12 Juli 2010

The Amazing Coraline

0 opini
Judul tulisan ini seolah-olah menggambarkan bahwa tulisan ini adalah mengenai seorang pahlawan super (super hero) bernama Coraline. Namun demikian, saya yakin setiap penggemar novel karya Neil Gaiman tahu persis siapa yang saya maksud dengan Coraline. Walaupun begitu, saya tidak bermaksud menulis tentang novel Coraline. Yang saya maksud dengan "amazing" adalah film Coraline yang merupakan adaptasi dari novel tersebut.

Coraline merupakan film dengan cerita yang sangat menarik. Ceritanya memiliki tema yang terkait dengan keluarga; sebuah tema yang senantiasa menarik perhatian saya. Film Coraline bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Coraline Jones yang menjauh dari ayah dan ibunya karena ayah dan ibunya dianggap tidak terlalu peduli kepada dirinya. Pada akhirnya dia menemukan ayah dan ibu baru yang identik dengan ayah dan ibunya yang asli. Lebih tepatnya Coraline menemukan dunia paralel yang berisi rumahnya, ayah ibunya, dan tetangga-tetangganya. Perbedaannya adalah dunia paralel yang ditemukan Coraline ini jauh lebih menyenangkan.

Kunjungan pertama Coraline memang mengejutkan. Apalagi bila setiap makhluk hidup (bukan hanya manusia) di dunia paralel itu memiliki mata berupa kancing baju. Akan tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Coraline tidak terlihat terganggu sama sekali dengan semua itu. Dia tidak terlihat memiliki masalah apa pun menatap kancing-kancing baju itu. Bahkan akhirnya dia memutuskan bahwa dunia paralel itu lebih menyenangkan ketimbang dunia yang sebenarnya.

Terus terang film itu mengingatkan saya agar lebih berhati-hati dalam bersikap untuk menjaga perasaan anak-anak saya. Agak menyedihkan juga melihat seorang anak lebih memilih orang tua dengan kancing baju sebagai mata mereka ketimbang orang tua anak itu sendiri. Semoga saja hal itu tidak perlu dialami oleh anak-anak saya kelak.

Kembali ke Coraline. Selepas masa-masa menyenangkan itu akhirnya Coraline dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Coraline harus memilih salah satu dari kedua dunia itu. Dunia nyata dengan ayah ibunya yang asli, yang jelas-jelas merupakan dunia yang membosankan dan tidak menyenangkan, atau dunia paralel yang merupakan dunia yang dia impikan selama ini.

Pilihannya memang sulit, tapi akhirnya Coraline memutuskan untuk kembali ke dunia nyata yang hambar bersama kedua orang tuanya. Akan tetapi, kepulangannya justru membawa dia ke dalam kondisi yang lebih sulit. Dunia paralel itu rupanya tidak pernah berniat melepaskan Coraline. Pada saat itu, Coraline justru dihadapkan kepada kondisi yang lebih sulit lagi. Untuk kelanjutannya saya persilakan untuk melihat sendiri film Coraline ini.

Bagi saya pribadi, hal yang paling menarik dari jalan cerita film Coraline adalah perubahan hati Coraline yang dimulai dari tidak menyukai hidupnya sampai akhirnya dapat kembali mencintai hidupnya. Coraline yang pada awalnya tidak masalah meninggalkan dunianya justru pada akhirnya dipaksa untuk berjuang mempertahankan dunianya itu. Pada akhirnya Coraline pun dapat menghargai setiap orang yang ada di sekelilingnya walaupun setiap orang itu memiliki keterbatasannya masing-masing.

Coraline adalah sebuah film keluarga yang menggugah; sama halnya dengan film Up.

Rabu, 02 Juni 2010

How to Train Your (Viking) Son (3)

0 opini
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/how-to-train-your-viking-son-2.html

Peran anak itu sendiri mungkin akan pasif bila mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Di rentang usia ini, seorang anak sangat bergantung pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh ayahnya. Jadi ayahnya harus berperan aktif membantu anaknya berkembang. Peran anak ini akan berkembang bila mereka sudah memasuki usia remaja.

Untuk menjaga keharmonisan hubungan ayah dan anak, penting bagi seorang anak untuk menanamkan pikiran positif terhadap setiap sikap dan keputusan yang dibuat ayahnya. Setiap anak (di usia remaja atau lebih tua) harus bisa berpikir positif bahwa apa yang dilakukan ayahnya adalah demi kebaikan mereka. Dengan begitu setiap anak mampu menerima dan menjalankan saran-saran atau arahan-arahan dari ayahnya untuk disesuaikan dengan bakat dan minatnya sendiri.

Belajar dari Hiccup, sikap positif itu akan membuahkan hasil yang positif. Seorang anak tidak akan pernah berhenti berkembang bila mereka mempertahankan sikap positif. Yang penting untuk dilakukan oleh seorang anak adalah membuktikan bahwa dirinya bisa mengembangkan potensinya secara maksimal. Dengan potensi yang maksimal itu pun seorang anak bisa menjadi sukses walaupun berbeda dengan kesuksesan ayahnya.

Kemauan ayah untuk membimbing anak sesuai bakat dan minatnya serta kemauan anak untuk selalu berpikir positif akan terbentuk dengan mudah bila didukung dengan komunikasi yang baik di antara keduanya. Bahkan masalah yang terjadi antara Stoick dan Hiccup tidak akan terjadi bila mereka mampu berkomunikasi dengan baik.

Komunikasi adalah hal yang krusial untuk menjaga keharmonisan dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu seorang ayah perlu menemukan cara untuk berbicara dengan anaknya dan setiap anak pun (bila mereka sudah cukup umur) perlu menemukan cara untuk berbicara dengan ayahnya. Yakinlah bahwa semua ini bukanlah hal yang mudah. Tapi kita semua tahu bahwa "No Pain, No Gain!"

Selamat melatih anak (bagi ayah) dan berlatih (bagi anak) untuk menjadi seorang manusia luar biasa!

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html

Senin, 31 Mei 2010

How to Train Your (Viking) Son (2)

0 opini
Sambungan dari: http://asyafrudin.blogspot.com/2010/05/how-to-train-your-viking-son.html

Walaupun semakin ditentang oleh ayahnya, sikap positif Hiccup tidak berhenti. Hiccup justru semakin bertekad untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia bisa menjadi seorang Viking dengan caranya sendiri; tidak dengan cara dan budaya orang Viking pada umumnya. Perjuangannya membuahkan hasil karena akhirnya ayah Hiccup mau menerima Hiccup apa adanya; lebih tepatnya menerima dengan penuh kebanggaan.

Saya yakin banyak orang pernah mengalami hal yang serupa, baik sebagai Hiccup maupun sebagai Stoick. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami hal ini juga menemukan akhir yang bahagia seperti cerita Stoick dan Hiccup. Kadang perselisihan -atau lebih tepatnya kurangnya sikap saling mengerti- antara ayah dan anak itu berujung pada hubungan yang tidak harmonis.

Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari film tersebut dan bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menjaga keharmonisan hubungan ayah-anak. Dalam hal ini, masing-masing ayah dan anak memiliki peran yang vital. Keharmonisan hubungan ayah dan anak hanya bisa terbentuk dengan rasa pengertian dan kepedulian dari ayah terhadap anak dan dari anak terhadap ayah; dua arah.

Seorang ayah yang sukses tentu berharap anaknya pun mengikuti jejak kesuksesannya. Ini adalah kesalahan umum yang dilakukan seorang ayah. Seorang ayah hendaknya menyadari bahwa anaknya tidak sama dengan dirinya. Seorang anak memiliki jalan hidup yang berbeda dengan ayahnya. Seorang dokter yang sukses bisa jadi memiliki anak dengan bakat seni yang hebat. Seorang pegawai negeri yang sukses bisa jadi memiliki anak dengan bakat wiraswasta yang kuat. Setiap ayah harus bisa berhenti meletakan beban "menjadi seperti ayah" di pundak anaknya.

Seorang ayah berperan penting dalam membantu menemukan potensi yang dimiliki oleh anaknya. Setelah potensi itu ditemukan, ayah berperan untuk membantu anaknya mengasah potensi tersebut. Dengan begitu, kolaborasi ayah dan anak ini akan membentuk seorang pemuda dengan kemampuan yang hebat sesuai bakat dan minatnya sendiri; bukan sesuai bakat dan minat ayahnya sendiri.

Seorang ayah perlu membiarkan anaknya mencoba banyak hal yang menarik minatnya. Kalaupun pilihan anak itu salah, biarkan mereka mengambil pilihan itu. Salah memilih itu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk anak-anak. Yang perlu dijaga oleh para ayah adalah jangan sampai kesalahan yang dilakukan itu adalah kesalahan yang fatal.

Bersambung ...

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html

Minggu, 30 Mei 2010

How to Train Your (Viking) Son

0 opini
Saya tidak pernah menyangka bahwa cerita dalam film How to Train Your Dragon banyak menyinggung hubungan antara ayah dan anak. Sebelumnya saya pikir cerita itu akan terpusat pada aksi tokoh protagonis dan tidak melibatkan ayah dan anak. Saya justru membayangkan sekumpulan tokoh protagonis (entah dalam usia remaja atau lebih tua) dalam misi untuk menemukan dan melatih naga-naga sehingga dapat digunakan untuk berperang.

Gambar 1
Ternyata film How to Train Your Dragon ini bercerita banyak tentang tokoh utamanya, Hiccup, yang berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia bisa menjadi bagian dari klan Viking yang kuat. Kenyataannya hal ini sulit dilakukan karena Hiccup memiliki “keterbatasan tertentu” -sengaja saya tidak paparkan- yang membuat ayahnya tidak pernah bisa menerima dia untuk menjadi seorang Viking.

Ada banyak aspek hubungan ayah-anak yang dimunculkan dalam film ini. Kebanyakan aspek-aspek yang dimunculkan ini adalah aspek-aspek umum yang bisa kita temukan dalam interaksi sehari-hari antara seorang ayah dan anak laki-laki. Entah itu antara kita dengan ayah kita, antara kita dengan anak laki-laki kita, antara sepupu dengan paman kita, atau antara ayah dan anak laki-laki mana pun.

Di film tersebut, ayah Hiccup yang bernama Stoick adalah pemimpin bangsa Viking yang disegani. Kondisi ini kerap menjadi kendala dalam perkembangan anak karena tipe ayah yang sukses seperti Stoick ini seringkali memiliki harapan yang tinggi -bahkan terlalu tinggi- terhadap anaknya. Dalam film tersebut, Stoick benar-benar berharap Hiccup dapat tumbuh menjadi orang Viking yang dapat dia banggakan. Dan seperti yang sudah saya paparkan di atas, harapan ini bisa dikatakan sebuah mimpi belaka.

Sisi positifnya adalah Hiccup tidak serta-merta berontak. Hiccup masih berusaha memenuhi harapan ayahnya. Tapi kenyataannya semua hal yang dilakukan Hiccup itu sia-sia. Bukannya berpikir positif terhadap usaha yang dilakukan anaknya, Stoick justru semakin kehilangan kepercayaannya kepada Hiccup. Masalah ini menjadi semakin pelik dengan buruknya komunikasi di antara mereka berdua. Baik Hiccup maupun ayahnya seperti terhalang sebuah tembok besar saat mereka mencoba menyampaikan maksud mereka masing-masing.

Bersambung ...

*Gambar 1 diambil dari http://www.parentpreviews.com/legacy-pics/how-to-train-your-dragon.jpg

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/Vd7jfwYC/HowToTrainYourVikingSon.html

Senin, 03 Mei 2010

Sulitnya Menjadi Suami yang Egois

5 opini
Ternyata menjadi suami yang egois itu sulit. Siapa pun boleh berkata bahwa menjadi egois adalah mudah, tapi untuk menjadi seorang suami yang egois itu bukanlah hal yang mudah. Menjadi suami yang egois itu membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari sisi materi maupun hati. Hanya saja tidak semua suami menyadari hal ini.

Kali ini saya ingin mengambil contoh dari sebuah film berjudul “Up”. Film dengan durasi sekitar 90 menit, dengan diawali 11 menit yang mengharukan, itu bercerita tentang keegoisan seorang suami bernama Carl. Setelah Ellie, istrinya, meninggal dunia, sifat Carl berubah menjadi egois. Dengan keegoisannya dia mempertahankan rumah tuanya walaupun rumah-rumah di sekitarnya sudah digusur untuk pembangunan. Dengan egoisnya dia melarikan diri dari kemungkinan masuk rumah jompo demi memastikan janjinya untuk memenuhi impian istrinya; memiliki rumah di Paradise Falls. Sepanjang film itu menceritakan besarnya pengorbanan Carl demi keegoisannya ini.

Film Up itu sebenarnya hanya menegaskan pengalaman saya sendiri untuk menjadi suami yang egois. Keinginan saya hanya satu: pernikahan yang bahagia. Untuk mencapai hal itu, banyak hal yang saya turunkan prioritasnya di bawah pernikahan. Contohnya antara lain pekerjaan, hubungan dengan teman, dan banyak hal lainnya. Keegoisan saya ini memaksa diri saya untuk senantiasa menjadikan pernikahan (baca: istri) sebagai prioritas.

Untuk mencapai pernikahan yang bahagia itu dibutuhkan pengertian dan pengorbanan. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengertian. Pengorbanan itu sendiri adalah bentuk nyata dari pengertian. Untuk mencapai derajat pengertian yang cukup, seorang suami tidak bisa hidup seenak dengkulnya. Aturan main di dalam rumah tangga pun tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh suami (sebagai kepala keluarga) melainkan melalui kesepakatan dengan istri.

Ada banyak hal yang perlu direlakan demi kebahagiaan dalam pernikahan. Salah satu yang paling krusial adalah waktu, karena waktu itu lebih berharga dari emas. Emas yang hilang dapat dibeli, sementara waktu yang hilang tak akan mungkin kembali. Mengorbankan waktu yang kita miliki demi kepentingan istri atau demi kepentingan pernikahan itu jauh lebih sulit ketimbang uang dalam jumlah berapa pun. Waktu untuk bekerja (atau mengejar karir), waktu untuk menghibur diri, waktu untuk bertemu dengan teman-teman lama, waktu untuk tidur dan istirahat, dan waktu-waktu untuk melakukan hal lain dalam hidup seorang suami harus siap dikorbankan. Semua harus dilakukan semata-mata karena keegoisan suami untuk mendapatkan keinginannya, yaitu pernikahan yang penuh kebahagiaan.

Terlepas dari semua kesulitan itu, ada satu faktor yang akan membuat semua pengorbanan suami itu menjadi mudah. Satu faktor ini adalah istri egois dengan keinginan yang sama. Saya tidak menemukan faktor lain yang secara signifikan dapat mempermudah mencapai kebahagiaan dalam pernikahan selain istri yang juga memberi pengertian dan pengorbanan yang sama besarnya terhadap suami. Kalau saja ada seorang suami yang mengaku pernikahannya bahagia tanpa ada faktor istri yang mendukungnya maka kebahagiaan yang diakui suami itu adalah kebahagiaan semu (atau mungkin sekedar topeng).

Setiap pengorbanan yang dilakukan suami akan menjadi hampa bila tidak disambut oleh istri yang juga memberikan pengorbanan yang sama. Hal ini disebabkan karena istri itu akan mengerti betapa besarnya pengorbanan suami karena dia pun melakukan hal yang sama. Dengan adanya rasa saling mengerti di antara suami dan istri inilah sikap saling menghargai akan tumbuh. Dengan adanya sikap saling menghargai ini, suami dan istri bisa menjaga rasa hormat dan rasa sayang di antara satu sama lain. Ini merupakan salah satu rumus sebab-akibat untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahan.

Menggambarkan peran istri lebih jauh lagi tentu akan berlebihan. Dengan ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa peran istri memang sangat signifikan dalam mencapai pernikahan yang bahagia. Sama signifikannya dengan peran suami untuk mencapai kebahagiaan dalam pernikahannya. Saya katakan “sama” tapi bukan berarti sama persis karena baik suami maupun istri memiliki perannya masing-masing. Selama suami dan istri menjalankan perannya secara proporsional (dengan porsi yang sama), maka jalan menuju pernikahan yang bahagia adalah jalan yang mudah.

Menjadi suami yang egois, suami yang hanya mementingkan pernikahannya saja, bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjadi suami yang egois seperti ini dibutuhkan kematangan berpikir dan kemauan untuk mengalah. Bila gayung bersambut, yaitu bila istri yang bersangkutan pun memiliki keegoisan yang sama, maka jalan untuk mencapai pernikahan yang bahagia akan menjadi sangat mudah.

Tulisan terkait:
Karir dalam Keluarga
Menjadi Dewasa dengan Menikah (bahasa Inggris)

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/nmvchl2T/SulitnyaMenjadiSuamiYangEgois.html

Selasa, 21 Juli 2009

Bee Movie

1 opini
First of all, the title is Bee Movie. Why is it have to be [something] Movie, anyway? First time I heard the title Bee Movie, my mind went ahead and think it was gonna be something like Scary Movie, Disaster Movie, or the like. I don't really like those types of movies.

Fortunately, unlike Scary Movie or Disaster Movie, this one is quite worth the watch. It was produced in 2007, so I assume most people would know that this is an animated movie telling the story of a teenage bee wanting to escape the 27-million-year-old traditional bee life.

This movie is somewhat funny. It was supposed to be funny but the puns (or as they call it "bee jokes") were too long. I guess the bees in bee movies are amazingly poetic -not always in a good way.

That being said, we can always enjoy this movie with our family; especially with our children. We can have our children learn how bees have a significant effect in the balance of nature. The best thing about it is that our children can have a good laugh during their lesson; that is if they understand English or able to read subtitles fast enough.

There's only one thing that doesn't make sense in this movie. If a TALKING BEE would actually sue major food production companies for taking away the honey from bees, reality would definitely expose more on the TALKING instead of the suing.

--
* Image grabbed from http://markkaske.blogspot.com/

Senin, 26 Januari 2009

Kung Fu Panda: Secrets of the Furious Five

4 opini
Time to write something casual today. Let's talk movies. As far as I can tell, I am a big fan of animation. My favorite animation studios are Pixar and Dreamworks Animation. Both studios have shown great expertise in their artworks and humor. I love the laughter they brought. :)

For now, I wanna talk about one of Dreamworks Animation movies; that is Kung Fu Panda. Po was an extremely funny character. Having Jack Black -or is it Black Jack?- acting as the voice of Po was the right choice. That man IS funny with only a few people to compare though right now I can only think of Jim Carrey. :)

I can't tell you much about Kung Fu Panda except that it's a recommended movie for the whole family to enjoy. Its intended audience is definitely kids. However, if you enjoy a good laugh then Po and the Furious Five is for you.

Speaking of the Furious Five ... don't know who the Furious Five is? They are the five top students of the temple where Po is studying Kung Fu with Master Shifu. Errr ... You should Google it or have a look at IMDb here: http://www.imdb.com/title/tt0441773/.

*Image grabbed from http://www.cinemablend.com/

Dreamworks made an additional movie (only around 30 minutes long) about Kung Fu Panda. As I was stating in the title of this post, Dreamworks produced Kung Fu Panda: Secrets of the Furious Five.

Every movie fan would enjoy getting to know more about the characters in a movie. Secrets of the Furious Five tells the story where Po was assigned to teach the basic of Kung Fu to a class full of anxious cute little Kung Fu student bunnies. Seriously, they are cute. :)

In that Kung Fu class, Po shares the background of the Furious Five before each of them were heroes. In such a short duration animation, Dreamworks still manage to offer a hilarious story. However, some Kung Fu Panda fans might be disappointed due to the fact that it's not CGI (Computer-generated Imagery ). Nevertheless, it's enjoyable.

Jumat, 24 Oktober 2008

Fight Club

2 opini
Today I feel like writing something about the 1999 movie, Fight Club. The first time I watched this movie was on television with plenty of scenes cut. I didn't watch it from the start so I decided to watch it again. It is fortunate that I got the uncut version with all the blood and violence. It's definitely worth watching.

Fight Club tells an interesting story of a common white-collar slave working for an automobile company who suffers from insomnia. The way he sees it, his life was full of boring routines. That was before he met Tyler Durden which by far the most interesting single-serving friend he have ever met. A "tragedy" brought them together to start a ....

I'll stop here with the summary. Moving on with what I really had in mind about the movie. I'll start with some lines from the movie.
Man, I see in Fight Club the strongest and smartest men who've ever lived. I see all this potential, and I see squandering. God damn it, an entire generation pumping gas, waiting tables; slaves with white collars. Advertising has us chasing cars and clothes, working jobs we hate so we can buy shit we don't need. We're the middle children of history, man. No purpose or place. We have no Great War. No Great Depression.

Our Great War's a spiritual war... our Great Depression is our lives. We've all been raised on television to believe that one day we'd all be millionaires, and movie gods, and rock stars. But we won't. And we're slowly learning that fact. And we're very, very pissed off.
It's like being in a therapy session where the therapist broke the illusions from our life. The second paragraph really hits it, don't you think? Fight Club was actually not just about blood and violence, it ...
wasn't about winning or losing. It wasn't about words. The hysterical shouting was in tongues, like at a Pentecostal Church.
The fights in Fight Club showed the path to enlightenment. As I said before, it's like a therapy session. All the men of Fight Club was saved.
When the fight was over, nothing was solved, but nothing mattered. We all felt saved.
This movie actually reminds me of School for Scoundrels. The concept of being saved in both movies were similar. Only that Fight Club offers more blood.

Other than that, Fight Club also put up personality disorder in its plot. It was a result of the protagonist feeling neglected in life. When one felt his life was a failure, one would start dreaming to have a different life or to become a different person.
If you wake up at a different time in a different place, could you wake up as a different person?
In a world full of materialism, having everything does not necessarily mean you're satisfied with your life. The IKEA-boy (the protagonist) owned everything but it ended up owning him. He just didn't realize that having everything was not the answer he was looking for in his life.
It's just, when you buy furniture, you tell yourself, that's it. That's the last sofa I'm gonna need. Whatever else happens, I've got that sofa problem handled.
The above was a quote of how devastated the protagonist when he found out that his condo blew up everything he had; A sign of the importance of material possessions. This is one source, which I can identify, that resulted in the protagonist's personality disorder.

That "tragedy" was the beginning of a new life for the protagonist. A life as a new man; a free man. Free from everything that defines himself before.
It's only after we've lost everything that we're free to do anything.
Yes.
We're consumers. We are by-products of a lifestyle obsession. Murder, crime, poverty, these things don't concern me. What concerns me are celebrity magazines, television with 500 channels, some guy's name on my underwear. Rogaine, Viagra, Olestra.
Define yourself as ...
You're not your job. You're not how much money you have in the bank. You're not the car you drive. You're not the contents of your wallet. You're not your fucking khakis. You're the all-singing, all-dancing crap of the world.
In the end, we should ...
Reject the basic assumptions of civilization, especially the importance of material possessions.
That's all I can write about Fight Club. The one thing that really interest me was the concept of what I quote above; rejecting the importance of material possessions. It goes along with my point of view as a Muslim excluding the brutality. As a Muslim, I should never be attached to anything in this world. We're all bound to die anyway.
On a long enough timeline, the survival rate for everyone drops to zero.