Senin, 21 Agustus 2023

Meruntuhkan Tembok Pemisah Anak dan Orang Tua

0 opini

Meruntuhkan tembok yang sudah terlanjur berdiri membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku untuk "tembok" antara saya dan kedua anak laki-laki saya. Butuh lebih dari ngobrol santai sambil jalan ke masjid untuk benar-benar merobohkan tembok itu.

Jalan panjang untuk merobohkan tembok itu saya mulai sejak tahun 2018. Saat itu, setelah bertahun-tahun berkutat dengan Agile, saya mulai menerapkan hal-hal positif dalam Agile ke dalam cara saya mendidik anak. Penerapannya mencakup teori (fondasi) sampai praktik yang relevan.

Sebagai fondasinya, saya menyusun Agile Parenting Manifesto saya sendiri. Manifesto itu menyontek isi Manifesto Agile yang asli, yaitu Manifesto for Agile Software Development. Saya ubah isinya agar Manifesto yang saya buat sesuai dengan konteks mendidik dan membesarkan anak.

Manifesto untuk Agile Parenting yang saya susun dapat dibaca di sini: https://asyafrudin.blogspot.com/2018/07/mendidik-anak-dengan-agileparenting.html

Inti dari Manifesto itu adalah mengutamakan kebahagiaan semua anggota keluarga, baik anak-anak maupun orang tua. Kebahagiaan didefinisikan bersama-sama melalui komunikasi yang positif dan terbuka. Untuk memaksimalkan keterbukaan, pastikan ada toleransi dan fleksibilitas.

Sejak saat itu, setiap praktik parenting yang saya lakukan terus mengacu ke Manifesto itu. Mulai dari membiasakan family meeting, lebih toleran terhadap masalah, sampai membuat kesepakatan internal rumah tangga, dasarnya adalah Manifesto itu. Pola parenting saya berubah drastis.

Perlahan-lahan kedua anak laki-laki saya lebih berani membuka diri. Frekuensi mereka bercerita, termasuk bercerita soal masalah, ikut meningkat. Masalah tetap ada, tapi lebih sedikit yang disembunyikan. Akibatnya kuantitas kebohongan dan silat lidah mereka juga menurun.

Upaya saya untuk menahan diri dari marah juga memberikan hasil positif. Semakin sedikit kebohongan, semakin mudah bagi saya untuk fokus pada masalah yang ada. Dengan begitu, saya bisa lebih bijak menghadapi masalah di tengah keluarga, khususnya yang terkait dengan anak-anak.

Setelah 5 tahun lebih menerapkan Agile Parenting, hasilnya memang positif. Anak-anak saya sendiri bahkan mengaku, lewat obrolan kami, bahwa mereka berdua merasa lebih nyaman berinteraksi dengan saya. Saya juga merasa lebih nyaman berinteraksi dengan mereka berdua.

Sayangnya sisa-sisa tembok yang runtuh itu masih ada. Kebohongan masih terdeteksi sesekali waktu. "Pemberontakan" yang tersembunyi juga masih saya pergoki walaupun saya berkali-kali minta mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Namun, trennya tetap ke arah yang lebih baik.

Hal yang menarik adalah kecepatan runtuhnya tembok itu berbeda di antara kedua anak laki-laki saya. Salah satu dari mereka kelihatannya memiliki luka yang lebih dalam di masa kecilnya. Alhasil proses untuk menjadi lebih terbuka juga membutuhkan waktu yang lebih lama.

Hal itu membuat saya menyadari bahwa anak-anak butuh pendekatan yang personal dan privat. Setiap anak butuh komunikasi dan interaksi yang sesuai dengan kondisi masing-masing dan saya harus merespons hal itu. Mungkin saya bisa bagikan juga ceritanya, tapi tidak di sini.

Satu hal yang pasti, obrolan yang terjadi saat kami bersama-sama pergi shalat berjamaah adalah hasil dari perbaikan komunikasi dan interaksi. Obrolan itu menjadi bagian dari keterbukaan yang kami butuhkan di tengah keluarga kami. Semoga saja hal ini bisa kami pertahankan. Aamiin.

***

Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932699408814080

Senin, 14 Agustus 2023

Mengikat Hati Anak dengan Shalat Berjamaah

0 opini

Ada banyak alasan mengajak anak ke masjid. Kita bisa mengenalkan anak pada berbagai kegiatan di masjid mulai dari shalat berjamaah, mengaji, tidur, sampai main petak umpet. Kita bisa mengenalkan anak pada adab di masjid seperti mengutamakan shalat daripada main petak umpet.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah ikatan. Mengajak anak shalat di samping kita dan melanjutkannya dengan berzikir, apabila dilakukan secara konsisten, akan menjadi salah satu cara membentuk ikatan antara kita dengan anak kita. Namun, kita tidak bisa berhenti di situ.

Ikatan akan terbentuk bila shalat dan zikir menjadi bagian dari rangkaian interaksi yang kita bangun bersama anak-anak kita. Obrolan dan canda dalam perjalanan pergi dan pulang dari masjid juga tidak kalah penting. Prosesnya harus kita rangkul secara menyeluruh.

Saya merasakan hal itu dengan anak saya yang paling kecil. Berhubung dia perempuan, saya tidak membiasakan dia pergi ke masjid. Mungkin alasan dia hanya sebatas ingin bermain bersama teman-temannya, tapi dia selalu ingin pergi ke masjid bersama saya. Alhamdulillaah.

Hampir setiap hari kami selalu berjalan bergandengan tangan ke masjid. Subuh, Magrib, dan Isya menjadi We-Time untuk saya dan anak bungsu saya itu. Di akhir pekan, Zuhur dan Asar juga sama. Kadang kami naik motor, kadang sepeda. Apapun modanya, kebersamaan itu terus terjaga.

Dalam kebersamaan itu kami bertukar cerita. Ceritanya cenderung ringan, tapi kadang serius seperti masalah dengan teman atau isu di sekolah. Kadang saya sendiri yang memulai pembicaraan serius. Ada kalanya obrolan itu menjadi pembuka untuk membahas sesuatu yang lebih penting.

Tentu saja kondisinya tidak selalu kondusif. Ada kalanya mood saya atau anak saya sedang tidak baik. Akhirnya kebersamaan itu hanya sebatas sama-sama jalan pada waktu yang sama. Namun, ada kalanya mood itu membaik karena kami mau bertanya atau bercerita tentang masalah kami.

Ya, benar. Kalau saya diam saja, anak saya itu berani bertanya ada masalah apa. Saat saya menjawab dan bercerita, ada belenggu yang lepas dari hati saya sehingga mood saya membaik. Kalaupun saya tidak bisa ceritakan, rasanya tetap lebih plong saat kita merasa diperhatikan, kan?

Hal itu bersifat resiprokal. Kalau dia diam saja, giliran saya yang bertanya ada masalah apa. Kadang dia mau menceritakan hal yang membuat dia gundah, tapi kadang dia menahannya. Apapun pilihannya, kelihatannya dia tetap mendapatkan mood booster yang sama dari perhatian saya.

Pengalaman positif itu terus saya rasakan. Saya ceritakan juga pengalaman itu kepada istri saya. Saya melihat kebersamaan itu, walaupun kecil, sebagai sesuatu yang berharga. Saya yakin istri saya juga bisa mengambil manfaatnya kalau dia ikut mendampingi anak saya ke masjid.

Satu hal yang saya sesali adalah hal itu tidak saya dapatkan bersama kedua anak laki-laki saya yang pertama. Saya bahkan secara aktif membiasakan mereka shalat berjamaah di masjid. Namun, kuantitas (atau mungkin kualitas) kebersamaan yang sama tidak saya rasakan bersama mereka.

Saya sadari bahwa saya lebih sering bersikap keras saat membesarkan kedua anak laki-laki saya. Saat saya berhasil menjadi lebih bijaksana, "tembok" antara saya dan mereka sudah terlanjur berdiri. Anak bungsu saya lebih beruntung karena tumbuh bersama saya yang lebih dewasa.

Untungnya tembok yang menjadi pemisah itu masih bisa diruntuhkan sedikit demi sedikit. Walaupun tidak seintens dengan adik mereka, suasana akrab saat kami pergi ke masjid bersama masih terbentuk. Obrolan dan canda masih muncul sesekali waktu. Pengalamannya tetap menyenangkan.

Satu hal yang pasti, kebersamaan yang saya rasakan bersama anak-anak saya adalah bagian dari kebersamaan yang lebih besar dalam hidup kami. Komunikasi dan interaksi positif memang harus dibentuk dalam setiap kesempatan yang ada. Shalat berjamaah di masjid adalah salah satunya.

***

Sumber: https://twitter.com/asyafrudin/status/1690932675086032897

Selasa, 01 Agustus 2023

Pengalaman Mengikuti Tes Bakat Skolastik Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Rupanya Tes Bakat Skolastik (TBS) Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 2 Tahun 2023 sudah dekat. Pertama kali saya mengikutinya, TBS itu ibarat sebuah tembok yang sangat tinggi. Saya kuatir karena saya sudah lama tidak berurusan dengan perhitungan Matematika yang rumit, saya akan gagal.

Kecemasan saya sebenarnya tidak beralasan karena keterampilan Matematika bisa disegarkan kembali dengan latihan. Hal yang penting adalah tahu bagian mana yang harus dilatih. Bagi saya, bagian itu adalah deret bertingkat. Di bagian itu saya perbanyak latihan soal.

Deret bertingkat itu menghabiskan waktu karena kita perlu mengenal pola di balik pola. Risiko salahnya cukup tinggi, apalagi kalau kita terburu-buru. Beruntung contoh-contoh soal deret bertingkat itu mudah ditemukan. Jadi, saya punya cukup banyak materi untuk berlatih.

Selain deret bertingkat, soal-soal Matematika yang saya ingat di TBS adalah aritmatika, aljabar, dan analisis terhadap kecukupan data. Aritmatika dan aljabar itu biasa saya temui di tes-tes Matematika, salah satunya saat mengikuti Ujian Masuk UI. Kecukupan data itu yang unik.

Walaupun begitu, saya lebih banyak berlatih dengan soal deret bertingkat. Aritmatika, aljabar, dan kecukupan data tetap saya perhitungkan, tapi kemampuan mengenali pola bilangan yang saya utamakan. Hasilnya, di percobaan pertama dan kedua, saya bisa lulus TBS. Alhamdulillaah.

Contoh soal untuk semua itu mudah ditemukan di Internet. Apalagi untuk LPDP, banyak kanal yang berkenan berbagi langsung sampai pembahasan soalnya. Berlatih menjadi mudah. Akan tetapi, hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan oleh peserta tes adalah kondisi mental.

Bagi yang belum terbiasa, soal-soal TBS bisa terasa sulit dan membuat kewalahan. Hal itu harus dihindari karena bersama soal-soal yang susah, ada soal-soal yang mudah. Jangan berhenti di 1 soal yang sulit. Ingat terus bahwa waktu tes terbatas. Jadi, kalau mentok, ganti soal.

Teman saya yang dulu ikut TBS juga mengakui bahwa ego kadang muncul dan membuat waktu kita habis di 1 soal tertentu. Hal itu jelas keliru karena kita tidak diminta untuk menjawab semua soal, tapi mendapat nilai setinggi mungkin. Kalau ada yang tidak bisa kita jawab, no problem!

Hal itu bukan berarti soal-soal kita lewati begitu saja. Semua soal sebaiknya diisi karena tidak ada penalti. Jadi, saat membaca dan mencoba menjawab soal, kalau kita tidak bisa menemukan jawabannya, paling tidak kita bisa membuat tebakan yang terarah. Siapa tahu benar, kan?

Selain keterampilan Matematika, TBS juga menguji keterampilan Bahasa Indonesia dan logika berpikir kita. Soal-soal keterampilan Bahasa Indonesia seperti padanan kata termasuk mudah. Akan tetapi, soal-soal yang menguji logika berpikir bisa sekaligus menguji kesabaran kita.

Saya ingat di percobaan kedua, ada soal yang meminta saya menyusun belasan pot dan guci ke sebuah lemari. Nantinya saya harus memilih kondisi mana yang benar dalam pilihan yang tersedia. Soal itu terasa begitu rumit sampai rasanya saya ingin membanting guci. Wild, right?

Untuk model soal seperti itu, opsi terbaik adalah mulai dari pilihan yang tersedia, lalu cari pilihan yang benar. Sebaliknya juga bisa dilakukan, kita lihat semua pilihan yang ada, coret yang salah sampai tersisa yang benar. Kalau tidak seperti itu, waktu akan banyak terbuang.

Intinya, sebaik apa pun keterampilan kita, sebanyak apa pun latihan kita, kita harus ingat bahwa tujuan mengikuti TBS adalah mendapatkan nilai semaksimal mungkin. Kalau ada soal yang tidak bisa kita jawab, tidak masalah. Kalau SEMUA soal tidak bisa kita jawab, itu baru masalah.

Lewati soal yang susah, fokus ke soal yang mudah. Setelah semua soal yang mudah dapat kita jawab, waktu yang tersisa kita alihkan untuk mencoba menjawab semua soal yang kita lewati. Kalau rasa panik sudah muncul, mulailah menebak sebaik mungkin agar semua soal terisi jawaban.