Senin, 28 Januari 2013

Menemukan Motivasi dan Potensi

3 opini
Being the best of ourselves itu adalah konsep yang sederhana. Post panjang yang saya tulis sebelum ini sebenarnya hanya terdiri dari 2 (dua) hal utama, yaitu:
  • menemukan motivasi, dan
  • memaksimalkan potensi (atau meminimalisir kelemahan).
Dua hal itu yang perlu kita lakukan secara berulang dan terus-menerus sehingga diri kita akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Motivasi bisa datang kapan saja dan dari arah mana saja, tapi saya pribadi lebih memilih untuk mencarinya ketimbang menunggu dia datang. Pilihan untuk mencari motivasi ini sendiri sudah menunjukan bahwa kita mau berperan aktif untuk membawa perubahan pada diri kita. Saat kita mencari, tangan kita akan lebih terbuka untuk menerima motivasi itu. Sebaliknya apabila kita menunggu, kemungkinannya sangat besar kita akan lebih selektif dan pada akhirnya motivasi itu seolah-olah tidak kunjung datang.

Ada banyak cara untuk menemukan motivasi ini. Hanya saja cara yang saya pilih adalah dengan berbuat. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perilaku alami manusia. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa diam tanpa melakukan apa pun, bukan? Saat orang sedang lelah melakukan sesuatu, dia berhenti dan melakukan hal yang lain. Saat orang sedang bosan, dia mencari hiburan. Saat orang sedang stres, dia mencari kegiatan yang menenangkan hati. Begitu juga dengan motivasi, saat saya sedang linglung dan kehilangan semangat untuk melakukan apa pun, saya temukan motivasi untuk berkarya dengan melakukan sesuatu; tentunya yang saya utamakan adalah sesuatu yang positif dan bermanfaat.

Kenapa harus "positif dan bermanfaat"? Alasannya adalah karena konteks yang kita bicarakan adalah menemukan motivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Jadi, saya tidak mau berhenti dengan "melakukan sesuatu" saja. Saya tetap berusaha untuk menemukan motivasi dengan melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat. Contoh yang saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain membaca buku (lebih tepatnya e-book) dan menulis (lebih tepatnya blogging). Satu hal yang saya jaga dari "hal-hal positif dan bermanfaat" ini adalah jangan sampai membosankan. Titik ini saya hindari agar "hal-hal positif dan bermanfaat" itu tidak berubah menjadi "hal-hal negatif dan membebani pikiran". Inilah alasannya saya masih menyambangi circle Interesting di akun Google+ saya, bagian Discover di Twitter, LinkedIn Today, dan Stack Overflow.

Demikian tentang menemukan motivasi. Lalu bagaimana dengan menemukan potensi?

Sama dengan menemukan motivasi, hal pertama yang perlu kita tanam dalam keseharian kita adalah berperan aktif. Kalau kita sudah mau aktif mencari motivasi, tidak ada alasan bagi kita untuk pasif dalam menggali potensi. Potensi yang kita cari itu milik kita sendiri. Jadi buat apa kita menunggu? Sudah sepantasnya yang kita lakukan adalah mencari (menggali). Lihat kembali kepribadian kita, minat kita, hobi kita, apa yang membuat kita terobsesi, apa yang bisa kita lakukan dengan baik, apa yang menjadi bakat alami kita, apa yang bisa kita kembangkan, dan berbagai peluang lain yang bisa kita eksploitasi. Semua itu perlu kita gali sendiri! Bukan menunggu potensi ini muncul secara tidak sengaja atau karena dipaksa muncul oleh lingkungan eksternal.

Bila kita sudah mau berperan aktif menggali potensi kita sendiri, maka prosesnya akan menjadi lebih mudah karena sudah ada banyak tools yang tersedia untuk membantu kita. Untuk memahami kepribadian, kita bisa memilah apakah kita termasuk koleris, melankolis, sanguinis, atau phlegmatis. Selain itu ada juga analisa kepribadian berdasarkan golongan darah kita. Hobi dan minat dapat kita gali lewat berbagai kegiatan di luar rutinitas sehari-hari. Cari waktu untuk melakukan sesuatu yang positif dan bermanfaat di luar siklus hidup kita sehari-hari. Perhatikan bagaimana kita beradaptasi dan berkembang saat kita melakukan sesuatu yang baru ini. Perhatikan pula bagaimana perkembangan minat kita terhadap hal baru ini; apakah terus naik, stabil, atau perlahan-lahan menurun. Di akhir perjalanan panjang mencari potensi ini, fokuslah pada hal yang positif, bermanfaat, sesuai dengan karakter/bakat kita, dan tetap menarik untuk dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.

Mudah, bukan? Sederhana, iya. Mudah, tidak.

Sebenarnya menemukan motivasi dan potensi itu tidak serumit tulisan saya di atas. Intinya adalah semangat kita untuk terus melakukan hal yang positif dan bermanfaat. Kalau kita bisa terus mempertahankan semangat ini, motivasi dan potensi itu akan datang dengan sendirinya. Satu-satunya hal yang perlu kita waspadai adalah diri kita sendiri; dan syaithan bila Anda percaya pada eksistensi syaithan. Kita adalah makhluk yang gemar menikmati hidup, apalagi bila waktu luang kita banyak dan badan dalam kondisi sehat. Peran syaithan hanya sebagai katalisator terhadap perilaku "santai" ini. Jadi tantangan terbesar untuk tetap hidup penuh hal-hal positif dan bermanfaat ini adalah dengan menaklukan kecenderungan kita sendiri sebagai manusia. Saat hal ini berhasil kita lakukan, voila! Kita sudah menjadi the best of ourselves.

*Gambar ditemukan lewat Google

Senin, 21 Januari 2013

Be the Best of Yourself

0 opini
Motivasi yang Hilang*
Sudah 3 (tiga) minggu berturut-turut saya menulis tentang Motivasi di blog ini. Alhamdulillah saya masih bisa menyempatkan diri untuk berbagi pengalaman dan perubahan yang saya lakukan dalam hidup saya sendiri. Saya tidak bermaksud menjadi seorang motivator --walaupun saya memang bermimpi ingin menjadi motivator. Saya hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan menularkan perubahan-perubahan yang baik dalam hidup saya ini kepada orang lain. Tujuan saya yang utama tentu saja lillaahi ta'aala.

Sebelum saya menulis lebih lanjut tentang movitasi mtoivasi motivasi, rasanya perlu saya tegaskan terlebih dahulu bahwa apa yang saya tulis di blog ini tidak berarti 100% benar. Dalam konteks motivasi, kebenaran itu relatif. Masing-masing orang bisa jadi memiliki definisi sendiri terkait dengan motivasi ini. Dengan demikian, saya senantiasa membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Satu hal yang saya rasa bisa kita sepakati bersama adalah bahwa motivasi itu kita perlukan untuk senantiasa bergerak ke depan. Umumnya hidup dengan motivasi itu berarti hidup dengan tujuan dan hidup dengan tujuan itu berarti hidup dengan harapan. Dengan kehidupan yang penuh harapan, akan semakin mudah bagi kita untuk melangkah ke depan demi menggapai harapan-harapan kita. Dalam proses ini, hidup kita akan lebih bermakna dan tidak hambar. Itulah kenapa kita butuh motivasi. Tanpa ada motivasi, kita bisa melihat sendiri diri kita terdiam dan pada akhirnya tertinggal oleh orang-orang yang hidupnya dipenuhi energi bernama motivasi itu.

Contohnya tidak usah muluk-muluk. Hal kecil seperti bermain game saja sudah bisa menggambarkan pentingnya motivasi. Saat kita memiliki motivasi untuk bermain sebuah game, saat itu juga kita memiliki tujuan di dalam game tersebut. Dapat dipastikan akan ada prestasi-prestasi yang ingin kita capai dalam bermain game. Dengan begitu, game yang kita mainkan akan terasa seru dan menarik. Simple, bukan? Bisa bayangkan bermain game tanpa motivasi dan tujuan. Cap-pek-deh!

Kalau kita bawa analogi game itu ke dalam kehidupan, maka semakin jelas bahwa motivasi itu penting (untuk memainkan game bernama kehidupan nyata). Selain penting, kita juga dapat melihat bahwa motivasi masing-masing orang akan berbeda. Seperti banyaknya pilihan genre dalam game, kehidupan pun memberikan banyak pilihan tujuan hidup. Masing-masing orang diperbolehkan memilih tujuan hidupnya sendiri sesuai dengan karakternya, pekerjaannya, hobinya, status perkawinannya, jumlah dan usia anak-anaknya, dan berbagai faktor lainnya.

Dengan demikian, salah satu prinsip utama saya dalam urusan motivasi adalah Be the Best of Yourself. Saat kita ingin menjadi lebih baik, pada dasarnya kita hanya meningkatkan potensi kita, mengambil peluang yang ada dalam jangkauan kita, dan meminimalisir kekurangan/kelemahan kita. Fokusnya ada pada diri kita; bukan pada orang lain. Dalam proses perbaikan diri ini tentu saja kita akan belajar dari orang lain, tapi kita tidak perlu menjadi "orang lain" itu. Yang perlu kita lakukan adalah memaksimalkan berbagai kelebihan kita sehingga kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri; bukan menjadi diri orang lain.
Jangan sampai kita berperilaku seperti ABG jaman sekarang yang seringkali ingin menjadi orang lain. Mereka ingin sekali terlihat seperti para artis idola mereka sampai ada yang mengikuti model pakaiannya, model rambutnya, gaya bicaranya, produk-produk pilihannya, dan lain-lain. Mereka rela melakukan apa saja untuk menjadi seperti orang terkenal. Mungkin mereka pikir dengan meniru orang terkenal itu mereka pun akan ikut tenar --minimal di lingkungan RT. Padahal yang mereka lakukan justru membuang-buang waktu berharga mereka yang seharusnya bisa mereka manfaatkan untuk menggali dan memaksimalkan minat dan bakat mereka sendiri. Pada akhirnya mereka tumbuh menjadi orang yang biasa saja. Mereka tidak berhasil menjadi orang terkenal dan potensi mereka pun terpendam begitu dalam sampai tidak lagi bisa dipancing keluar. Bukan tidak mungkin pada titik ini hidup mereka akan dipenuhi penyesalan dan mereka pun kehilangan suntikan energi berharga yang kita sebut MO-TI-VA-SI.

Dengan mencoba Menjadi yang Terbaik dari Diri Kita Sendiri, kita tidak akan memanggul beban yang berlebihan karena perbaikan yang kita lakukan memang sesuai dengan karakteristik dan kapasitas kita sendiri. Kalau kita terus mencoba menjadi diri orang lain, ada kemungkinan kita akan memaksakan diri kita sendiri melebihi kemampuan kita atau merasa gagal karena kita merasa tidak mampu menjadi lebih baik. Kalaupun akhirnya kita berhasil, ada kemungkinan kita tidak merasa puas karena kita sudah bukan diri kita lagi --kita merasa kehilangan identitas kita sendiri.

Yang menjadi masalah dengan prinsip ini adalah kita punya kecenderungan puas dengan keadaan kita. Ada kemungkinan kita sudah merasa maksimal dalam proses pengembangan diri kita, padahal kita justru stuck pada menerima diri kita apa adanya --tanpa ada perkembangan sama sekali. Oleh karena itu, kita tetap perlu membuka wawasan kita dan berkaca pada orang lain; orang lain yang hebat dan sukses tentunya. Kita tetap perlu melihat prestasi-prestasi yang dicapai orang lain. Kita harus terus bertanya kepada diri kita sendiri, "kalau dia bisa begitu, saya bisa atau tidak?" Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan terus memancing kita untuk melihat kembali potensi yang kita miliki dan mencoba untuk terus memaksimalkannya. Bila proses sederhana ini dilakukan secara berulang dan terus-menerus, Menjadi yang Terbaik dari Diri Kita Sendiri akan datang dengan sendirinya.

*Gambar ditemukan lewat Google

Senin, 14 Januari 2013

Pentingnya Berbangga Diri

0 opini
Menyambung dari Tersambar Petir, pada tulisan kali ini saya ingin lebih menekankan pada aspek kebanggaan diri dari the boy who flew. Kebanggaan diri yang saya maksud di sini, seperti yang saya paparkan di Tersambar Petir, merupakan kompilasi tentang berbagai hal yang sudah kita capai dalam hidup kita. Kebanggaan diri di sini merupakan sebuah kumpulan pencapaian hidup yang memungkinkan kita untuk secara gamblang menegaskan bahwa diri kita itu "bernilai".

"Seberapa pentingkah menemukan kebanggaan diri kita?" Let's start with a story.

Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang pria bernama Joni yang jatuh cinta pada seorang wanita bernama Isabela. Sayang seribu sayang, Isabela bukanlah wanita yang mudah didapatkan. Selain kompetisi yang ketat untuk mendapatkan hatinya, Isabela sendiri memang bukan tipe wanita yang mudah "takluk" pada pesona sembarang pria.

Walaupun begitu, Joni tidak patah semangat. Bersaing dengan pria-pria yang lebih tampan atau lebih kaya tidak lantas membuat dia mundur dari kompetisi. Joni pun mulai menyusun berbagai rencana untuk merayu Isabela. Tanpa modal harta yang melimpah atau paras seorang selebriti, Joni tetap mencoba mendekati Isabela. Beberapa hari kemudian, Joni datang ke rumah Isabela sambil membawa cake buatannya sendiri. Cake itu diterima oleh Isabela dengan ucapan terima kasih. Sayangnya Isabela sama sekali tidak terlihat terkesan.

Seminggu kemudian, Joni datang lagi ke rumah Isabela dengan membawa lukisan Isabela hasil karyanya sendiri. Isabela yang terus ada di dalam pikirannya telah memberikan inspirasi kepada Joni untuk menuangkannya di atas kanvas. Hasilnya adalah lukisan seorang wanita cantik dengan senyuman yang membuat menenangkan jiwa. Lukisan itu diterima Isabela dengan ucapan terima kasih. Sayangnya Isabela pun tetap saja tidak terkesan.

Hampir 2 (dua) minggu sejak memberikan lukisan kepada Isabela, Joni datang lagi dengan membawa sweater yang dirajutnya sendiri. Besar harapan Joni agar Isabela mau memakai sweater buatannya itu. Sayangnya Joni tidak melihat harapan itu terkabul saat Isabela menerima pemberiannya. Di balik ucapan terima kasihnya, Isabela tetap saja tidak terkesan.

Joni dan Isabela? Bukan!
Joni masih tetap melanjutkan perjuangannya untuk merebut hati Isabela saat dia tiba-tiba dikejutkan kabar bahwa Isabela sedang bersiap-siap pergi. Rupanya Isabela sudah bertunangan dengan seorang pria dari negara tetangga. Joni tidak lagi melihat harapan untuk memenangkan hati Isabela. "Bagaikan punuk merindukan bulan," itu pikir Joni.

Bagaimana kelanjutan kisah Joni? Kita sama-sama tahu bahwa Joni punya dua pilihan. Joni bisa terus meratapi kegagalannya mendapatkan cinta Isabela atau Joni bisa mulai menyadari betapa banyaknya hal yang dia capai dalam usahanya mendapatkan cinta Isabela. Joni berhasil membuat cake, melukis, dan merajut dalam "kegagalannya" mendapatkan cinta Isabela. Bisa dibayangkan bukan bahwa yang berhasil dicapai Joni itu lebih besar dari apa yang gagal dicapainya?

Kita pun kerap seperti itu. Kita seringkali disibukan dengan kegagalan kita saat belajar terbang sampai-sampai kita lupa bahwa di balik kegagalan itu tersembunyi sebuah fakta. Fakta itu menunjukan bahwa kita sudah terbang, walaupun hanya beberapa (puluh) meter. Kita seringkali terlalu sibuk menyesali kegagalan kita sehingga kita tidak sadar dengan hal-hal yang berhasil kita capai dalam proses yang kita jalani.

Lalu kembali ke pertanyaan kita, "seberapa pentingkah menemukan kebanggaan diri kita?" Sepenting kebahagiaan hidup kita. Saat kita bangga dengan berbagai hal yang kita capai, kita akan mendapatkan suntikan energi untuk terus maju menembus berbagai rintangan hidup. Kebanggaan diri ini menjadi motivasi kita untuk terus berkarya walaupun diterpa kegagalan karena kita tahu bahwa di balik kegagalan itu ada satu-dua keberhasilan.

Dengan suntikan energi ini, kita akan terbebas dari penyesalan dan ratapan yang membuat hidup terasa berat. Mood kita pun dapat dipastikan akan beranjak membaik sehingga kita mampu menatap hidup dengan pandangan positif. Kebanggaan terhadap diri sendiri ini pada akhirnya akan meningkatkan rasa percaya diri kita.

Satu hal yang perlu kita ingat dalam membanggakan diri sendiri adalah kebanggaan ini membuat kita besar kepala bin angkuh. Mengacu kepada pengalaman dan pengamatan saya sendiri, batas antara sikap membanggakan diri yang positif dan membanggakan diri yang negatif (sombong) itu tipis. Jangan sampai tujuan baik kita untuk memotivasi diri sendiri dan memberikan suntikan energi untuk terus berkarya ini berdampak negatif pada lingkungan sosial kita. Jangan sampai rasa bangga terhadap berbagai keberhasilan diri kita sendiri membuat kita dijauhi orang lain karena kita dianggap sombong.

Demikian.

Here's to our self-esteem!

*Gambar ditemukan lewat Google

Senin, 07 Januari 2013

Kanibalisme dan Gosipisme

0 opini
Saya yakin tidak ada satu orang berakal di dunia ini yang mau menjadi seorang kanibal. Menurut saya memang tidak masuk akal bila seorang manusia mau memakan manusia lain. Buat saya pribadi, bukan sekedar "tidak masuk akal". Bayangan seseorang memakan orang lain sudah berhasil membuat saya merasa mual.

Tulisan ini tentu saja bukan untuk membahas kanibalisme. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas salah satu kebiasaan kita yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kanibalisme, yaitu gosipisme. Gosipisme, yaitu kebiasaan kita untuk ngomongin orang lain, adalah sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan ini tidak mengenal batas. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, semua sudah terbiasa ngegosip. Bahkan tidak sedikit acara di televisi yang isinya hanya gosip.

Ngegosip tentu saja ditargetkan kepada orang lain. Pernah dengar seseorang ngegosip tentang dirinya sendiri? Tentu saja tidak ada. Ngegosip itu selalu tentang orang lain. "orang lain" di sini Kalau seseorang sedang membicarakan dirinya sendiri, kemungkinan besar orang itu sedang pamer; bukan ngegosip.

Keburukan adalah ciri lain dari ngegosip. Yang dibicarakan di dalam sebuah sesi gosip pada umumnya adalah keburukan orang lain. Keburukan-keburukan yang dibicarakan pun bervariasi mulai dari tingkah laku konyol seseorang sampai perkataan atau perbuatan buruk yang bersifat serius. Gosip tidak pernah membicarakan kebaikan orang lain. Kalau yang dibicarakan itu kebaikan, kemungkinan besar itu adalah sesi pengajian; bukan sesi gosip.

Dari dua karakteristik itu saja saya menganggap bahwa gosipisme pada hakikatnya sama dengan kanibalisme. Seperti para kanibal, para penggosip pun sama-sama menikmati "bangkai" orang lain. Keburukan-keburukan orang lain dijadikan bahan tertawaan oleh para penggosip sebagaimana potongan tubuh orang lain dijadikan bahan makanan oleh para kanibal. Perbedaannya adalah kanibalisme ini mudah sekali membuat kita merasa jijik, sementara gosipisme justru membuat kita merasakan kenikmatan.

Perbedaan lain dari kedua metode memangsa orang lain ini adalah dampaknya. Kalau kita menjadi mangsa para kanibal, kita pasti mati. Selesai. Tidak ada dampak negatif lain yang bisa kita rasakan. Kalaupun kita menjadi mangsa hidup-hidup, rasa sakit yang kita rasakan pun akan berhenti saat kita mati. Berbeda dengan kalau kita menjadi mangsa para penggosip. Dampak negatif dari gosip ini akan terus kita rasakan sampai gosip ini terbantahkan atau sampai gosip ini tidak lagi dijadikan tema pembicaraan orang-orang di sekitar kita. Bisa bayangkan rasanya hidup dengan prasangka negatif yang menumpuk di pundak? Rasanya lebih baik mati, bukan?

Saat kita menjadi korban gosip, bukan tidak mungkin kita akan dituduh yang bukan-bukan. Selain itu, orang-orang di sekitar kita mulai melihat kita secara negatif. Bukan tidak mungkin kita justru akan dijauhi oleh orang-orang yang biasanya dekat dengan kita. Semua ini lebih menyakitkan dari mati dan semua ini diawali oleh omongan-omongan orang yang tidak berdasar (baca: tidak punya otak).

Curcol? Bukan. :)

Saya sendiri beruntung bahwa saya tidak pernah merasakan kepedihan separah itu. Hanya saja saya pernah beberapa kali menjadi saksi bagaimana gosip itu bisa merusak hidup seseorang. Kaya, miskin, pria, wanita, terdidik, tidak terdidik, hidup mereka bisa rusak begitu saja digerogoti oleh gosip. Tidak ada seorang pun di antara kita yang ingin hidupnya rusak oleh gosip, tapi entah kenapa kita ini tidak pernah mengalami kesulitan ngegosip.

Saya pribadi tidak pernah mau menjadi bahan gosip. Kalau ada hal buruk yang saya katakan atau lakukan, saya lebih suka ditegur langsung. Dengan ditegur langsung, mungkin saja saya sakit hati. Tapi sakit hati seperti ini sifatnya sementara dan akan hilang seiring perbaikan terhadap diri sendiri yang saya lakukan. Jauh lebih baik sakit hati yang frontal seperti ini dibandingkan terus-menerus menjadi bahan gunjingan.

Dan keinginan untuk tidak menjadi bahan gosip itulah yang membuat saya mulai bergerak untuk menjauhi gosip. Pokoknya kalau obrolan sudah mulai mengarah ke orang yang tidak hadir, saya mencoba untuk tidak terlibat. Melakukan hal ini pada dasarnya sulit; sesulit mengendalikan lidah kita untuk nyeletuk dan ikut ngegosip. Sepertinya analogi gosipisme dengan kanibalisme ini akan menjadi pegangan penting bagi saya untuk menjaga diri saya dari menikmati pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain.

**Semua gambar ditemukan lewat Google