Tampilkan postingan dengan label Pemerkosaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemerkosaan. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 Maret 2012

Kenapa Pakai Rok Mini, Kakak?

26 opini
Seandainya saya bertanya, "Kenapa pakai rok mini, Kakak?" Saya rasa jawaban dari pertanyaan ini akan bervariasi. Akan tetapi saya yakin salah satu jawaban yang akan saya dengar adalah demi kebebasan berekspresi, yaitu bahwa setiap wanita sudah selayaknya memiliki kebebasan untuk memakai pakaian yang dia inginkan. Yang paling penting adalah pakaian yang dipilihnya tidak dianggap mengganggu kenyamanan publik. Jadi, kalaupun seorang memakai bikini di tengah keramaian atau bahkan telanjang dada sekalipun, semua itu tidak masalah apabila publik menyetujuinya.

Baiklah. Saya tidak akan mempermasalahkan keinginan setiap wanita untuk bebas berekspresi, tapi apakah kebebasan berekspresi ini harus dibuktikan lewat rok mini? Ini yang sebenarnya ingin saya tanyakan pada para wanita yang mengenakan rok mini. Ini pula yang saya ingin tanyakan kepada para pria yang mendukung para wanita untuk mengenakan rok mini.

Kita ini hidup di dunia para pria, Kakak. Para pria ini memiliki syahwat yang tidak terbatas. Bagi para pria normal, wanita seksi yang mengenakan rok mini adalah pemandangan yang membangkitkan gairah. Kalau memang ada pria normal yang tidak "terangsang" melihat wanita seksi yang mengenakan rok mini, kemungkinan pria ini sudah terlalu sering melihatnya sehingga wanita dengan rok mini tidak lagi menarik.

Dalam dunia pria ini, para wanita adalah anggota masyarakat kelas dua. Kalau saja tidak ada yang turun tangan dan membela hak para wanita, maka sampai saat ini pun para wanita akan tetap tertindas. Bahkan saat pembelaan hak terhadap para wanita ini sudah sebegitu gencarnya, para wanita ini tetap saja dianggap anggota masyarakat kelas dua. Pelecehan seksual, pemerkosaan, dan berbagai perampasan hak para wanita masih terus berjalan. Dan tebak siapa yang menjadi mayoritas bintang utama dalam film-film porno? Pria atau wanita? Saya rasa cukup jelas untuk dikatakan bahwa kita ini memang hidup di dunia para pria, Kakak.

Satu hal yang tidak luput dari "peran" para wanita ini adalah sebagai objek syahwat pria, Kakak. Entah itu secara eksplisit lewat pornografi dan prostitusi atau secara implisit lewat siulan-siulan lelaki hidung hitam putih (baca: belang). Kalau seorang wanita mengenakan rok mini, bukankah itu sama saja menegaskan kalau wanita ini siap menjadi objek syahwat pria? Kalau seorang wanita mengenakan rok mini, bukankah itu sama saja membuka dirinya terhadap pelecehan para pria (baik implisit maupun eksplisit)?

Di tengah-tengah perjuangan para wanita untuk mendapatkan kesetaraan hak terhadap para pria, bukankah mengenakan rok mini justru bersifat kontraproduktif? Saat para wanita ingin dinilai dari kemampuannya, bukankah mengenakan rok mini justru membuat para pria menilai wanita dari banyaknya kulit yang diperlihatkan? Saat para wanita bersikeras untuk mendapatkan penghargaan yang sama dengan para pria, bukankah mengenakan rok mini jelas-jelas akan membuat wanita tetap dihargai dari sudut pandang syahwat semata?

Kenapa pakai rok mini, Kakak? Dengan penalaran yang saya lakukan di atas, sulit bagi saya untuk menerima alasan Kakak memakai rok mini. Dengan begitu, sulit pula bagi saya untuk mendukung Kakak saat Kakak ingin mengenakan rok mini. Walaupun Kakak bersikeras atas nama kebebasan, saya justru berpikir kebebasan yang Kakak inginkan ini salah arah.

Apakah Kakak hanya ingin mengikuti trend? Apakah Kakak terpengaruh opini para pembela kebebasan? Apakah Kakak terpengaruh media dengan berbagai iklan mode yang provokatif dan proaktif itu? Apakah Kakak rela menjadi objek syahwat pria demi trend, kebebasan, atau iklan mode itu?

Akhirnya saya harus bertanya kembali. Kenapa mau (dan masih) pakai rok mini, Kakak?

Update [29 Mei 2012]
Perihal otak kotor, jawaban saya selaras dengan apa yang saya kutip di bawah ini:
Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani tepuk dada bilang: tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke jalan mendukung semua wanita untuk memakai rok mini.. Agar makin banyak wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?
Sumber kutipan di atas: http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/05/28/kata-kata-bijak-yang-koplak-dian-jatikusuma/

Selasa, 11 Oktober 2011

Rok Mini dan Pemerkosaan

2 opini
Peluit Pemerkosa(an)
Sesekali waktu saya ingin menulis tentang pemerkosaan di blog ini. Walau bagaimana pun, pemerkosaan dan pernikahan memiliki keterkaitan langsung. Keduanya sama-sama memiliki awalan "pe-" dan akhiran "-an". Lalu apakah pembahasan mengenai pemerkosaan ini telat? Mungkin saja. Topik ini sempat melejit di media sampai mendorong munculnya demonstrasi yang ingin menegaskan bahwa rok mini itu tidak ada hubungannya dengan pemerkosaan. Pada akhirnya topik itu hilang dengan sendirinya seiring dengan berkurangnya laporan terkait di media. Typical.

Telat atau tidak, saya tetap lanjutkan.

Jadi, esensi dari kontroversi di atas itu adalah adanya pihak yang menolak pernyataan yang mengkaitkan pemerkosaan dengan rok mini. "Jangan salahkan rok mininya. Salahkan pemerkosanya." Kira-kira seperti itu bunyi penolakan yang muncul dalam kontroversi terkait. Denial? Nanti dulu. Jangankan denial, mungkin saja masalah ini tidak masuk kategori kontroversi.

Kita sama-sama sepakat bahwa pihak yang salah, yaitu yang wajib dihukum, dalam sebuah kasus pemerkosaan adalah pemerkosanya. Korban pemerkosaan, apa pun pakaiannya, tidak layak disalahkan atau dihukum. Rasanya mengenaskan bila korban pemerkosaan, yang kemungkinan besar akan mengalami trauma, justru kehilangan dukungan dari masyarakat yang ikut menudingnya turut andil dalam pemerkosaan itu.

Sebagaimana kita ketahui bersama, pemerkosaan itu bergantung pada 4 (empat) faktor utama, yaitu pelaku, korban, waktu, dan lokasi. Di masing-masing faktor tersebut, ada sekumpulan faktor-faktor turunan lain yang perlu diperhatikan. Waktu dan lokasi memiliki peran penting dalam konteks pemerkosaan. Apa mungkin pemerkosaan terjadi di tengah keramaian pada siang hari? Kalau mungkin, itu artinya moral masyarakat di sekitar lokasi tersebut sudah bobrok sebobrok-bobroknya.

Faktor pelaku tentu saja lebih dominan dibandingkan waktu atau lokasi. Pemerkosaan dapat terjadi di tempat-tempat yang tidak kita bayangkan. Seorang gadis mungkin saja diperkosa di rumahnya sendiri; misalnya saat gadis itu memang sedang sendirian di rumah. Siang atau malam bisa jadi tidak relevan dalam konteks pemerkosaan; yang penting lokasinya sepi. Jelas sekali bahwa faktor penentu terjadinya pemerkosaan adalah pelakunya sendiri.

Saat seseorang tidak mampu lagi membendung hasrat seksualnya, tidak memiliki penyaluran yang sah, dan (secara tidak sadar) membenarkan pemerkosaan, maka pemerkosaan ini kemungkinan besar akan terjadi. Pemerkosaan mungkin saja terjadi tidak hanya pada wanita dengan rok mini, tapi mungkin saja terjadi pada wanita yang mengenakan pakaian yang tertutup. Pakaian yang dipakai korban pemerkosaan menjadi tidak relevan. Wanita muslim yang mengenakan jilbab panjang pun tidak akan lepas dari ancaman pemerkosaan.

Dari gambaran di atas, faktor pelaku terlihat jelas sebagai faktor dominan dalam pemerkosaan. Waktu, lokasi, bahkan korban sekali pun tidak dapat menyaingi dominasi faktor pelaku dalam setiap "sesi" pemerkosaan. Kalau faktor korban saja tidak dominan, apalagi rok mini (yang merupakan faktor turunan dari faktor korban).

Jadi, rasanya wajar kalau ada pihak yang menolak bila rok mini ikut disalahkan dalam masalah pemerkosaan. Yang perlu disorot memang pelakunya. Apa yang membuat pelaku pemerkosaan itu melakukan aksinya? Apakah terpaan pornografi yang diakses lewat Internet? Apakah perilaku tidak senonoh yang didapat lewat film? Apakah ada faktor-faktor lain yang membuat pelaku berani memperkosa wanita lain? Justru hal-hal seperti ini yang perlu disorot; dan tentu saja dibenahi.

Apakah itu artinya rok mini tidak memiliki pengaruh apa pun? Justru sebaliknya. Keberadaan rok mini juga turut andil mendorong hasrat seksual. Hanya saja rok mini di sini bukan sekedar rok mini pemerkosanya. Rok mini yang dimaksud adalah rok mini yang dipakai wanita di ruang publik dan bebas dipelototi pria-pria mata trolley (mata keranjang tidak lagi representatif). Rok mini yang dimaksud adalah rok mini yang dipakai berbagai aktris dan model dan dapat dikonsumsi secara bebas lewat media elektronik.

Ya, rok mini tetap memiliki andil. Akan tetapi, jangan memandang rok mini ini dengan kacamata kuda. Masih ada banyak faktor lain yang turut andil mempertahankan angka kasus pemerkosaan di Indonesia; atau bahkan di seluruh dunia. Semua faktor ini harus diperhatikan dan dibenahi sesuai prioritasnya. Tidak sepantasnya kita menyoroti satu-dua hal yang trivial semata untuk mengatasi masalah pemerkosaan.

Lalu bagaimana dengan kebebasan berpakaian? Sesuai dengan alur pembahasan saya di atas, silakan saja para wanita menggunakan rok mini. Yang perlu diingat adalah, walaupun rok mini tidak sepantasnya disalahkan, rok mini tetap memiliki andil memancing datangnya pemerkosaan. Pemerkosaan memang tetap saja bisa terjadi terlepas dari korban memakai pakaian minim atau pakaian tertutup, tapi pemilihan pakaian ini merupakan bagian dari kehati-hatian yang menjadi tanggung jawab setiap individu terhadap dirinya sendiri.

Bila rumah kita kosong selama beberapa hari, apakah kita akan mengumumkannya ke lingkungan sekitar? Bukankah pengumuman itu ibarat memancing datangnya pencuri? Kalau kita sedang naik bus atau kereta saat jam sibuk, apakah kita akan menyimpan dompet kita di saku celana (atau tempat lain yang mudah dijangkau)? Bukankah sikap seperti ini ibarat memancing datangnya pencopet?

Dalam dua contoh di atas, kalau rumah kita dibobol pencuri, maka yang patut disalahkan adalah pencuri. Tapi bukankah kita turut andil memudahkan pencuri itu untuk membobol rumah kita? Kita pun "bersalah". Kemudian kalau dompet kita dicopet, maka yang patut disalahkan adalah pencopet. Tapi bukankah kita turut andil memudahkan pencopet itu mengambil dompet kita? Kita pun "bersalah".

Saya rasa dua contoh di atas tidak jauh berbeda dengan seorang wanita yang menggunakan rok mini di ruang publik. Kalau sampai wanita ini diperkosa oleh seorang (atau kemungkinan besar beberapa orang) pria, maka yang patut disalahkan adalah (para) pemerkosanya. Tapi bukankah wanita ini turut andil memancing terjadinya pemerkosaan itu? Wanita ini pun "bersalah".

Rok mini memang tidak sepantasnya menjadi sorotan utama dalam kasus pemerkosaan. Rok mini memang tidak sepantasnya dituding sebagai dalang kasus pemerkosaan. Akan tetapi, dengan menggunakan rok mini, para wanita dapat dikatakan sedang memperbesar resiko diperkosa. Dengan menggunakan rok mini, para wanita dapat dikatakan lalai. Dan kelalaian itu sudah jelas memiliki andil dalam setiap kasus kejahatan.

Kesimpulannya?

Pakaian yang dipakai korban tidak bisa dijadikan alasan atau bahkan pembenaran dalam kasus pemerkosaan, tapi bersikap hati-hati (menjaga diri) dengan berpakaian sopan dan tidak minim sebaiknya diutamakan.

Selasa, 31 Agustus 2010

Dunia Wanita yang Memprihatinkan

5 opini
Seringkali saya merasa bahwa dunia saat ini masih memperlakukan wanita sebagai objek untuk meningkatkan daya tarik. Banyak iklan, dalam berbagai bentuk, yang menggunakan wanita sebagai modelnya walaupun pada kenyataannya tidak terlalu relevan. SPG (Sales Promotion Girl) tentunya lebih banyak terlihat ketimbang SPB (Sales Promotion Boy). Kelihatannya SPB lebih cenderung ditempatkan di gudang atau bagian angkut barang.

Untuk urusan bisnis, wanita pun punya andil yang signifikan. Saat mengajukan penawaran ke klien, sales wanita lebih diutamakan; apalagi kalau klien yang dituju adalah pria. Bagian layanan pelanggan pun umumnya mempekerjakan para wanita untuk menerima keluhan pelanggan. Alasannya kemungkinan besar karena suara wanita lebih enak didengar ketimbang suara pria.

Contoh-contoh di atas mungkin tidak representatif; atau bahkan salah. Mungkin saja para wanita lebih dihargai karena kemampuan dan prestasinya, tapi tetap saja penilaian terhadap wanita tidak lepas dari kondisi fisiknya. Entah itu parasnya, bentuk tubuhnya, suaranya, atau kondisi fisik lainnya, penilaian terhadap potensi wanita sepertinya sangat subjektif.

Eksploitasi terhadap wanita ini sudah membentuk opini umum tentang cantik dan seksi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Terbentuknya opini umum ini tentunya tidak lepas dari peran industri mode yang iklan-iklannya secara spesifik membentuk citra seorang wanita yang cantik dan seksi itu. Akhirnya para wanita berbondong-bondong merubah dirinya menjadi cantik dan seksi.

Saya pribadi tidak menentang usaha seseorang, baik pria maupun wanita, menuju keindahan diri. Hanya saja menurut saya usaha ini kerap berbalik menjadi memprihatinkan. Mereka yang berkulit hitam ingin berkulit putih hanya karena cantik itu identik dengan putih walaupun mereka yang mengeluarkan uang banyak untuk produk kecantikan. Mereka yang gemuk ingin menjadi lebih kurus hanya karena seksi itu identik dengan langsing. Mereka pun tak segan menjaga pola makan (kadang sampai ke titik ekstrim), membeli obat-obatan pengecil lingkar pinggang, dan mengikuti berbagai perawatan tubuh untuk mendapatkan tubuh yang langsing.

Tinggi badan pun tidak luput dari perhatian para wanita. Berhubung cantik dan seksi itu tidak lepas dari kata "semampai", banyak wanita pun mengejar tinggi badan yang memadai untuk melengkapi kulitnya yang putih dan badannya yang langsing. Putih, tinggi, langsing menjadi tiga kata yang krusial untuk mendefinisikan cantik dan seksi. Itu pun bila mereka tidak memasukan hal-hal sepele seperti bibir, hidung, alis mata, payudara, atau hal-hal sepele lainnya.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi di atas itu tidak kenal usia. Dari anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar sampai wanita yang sudah pantas dipanggil "nenek" hidup dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Anak SD sudah tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Nenek-nenek tetap tahu bagaimana caranya terlihat cantik. Anak SD sudah akrab dengan dandanan. Nenek-nenek tetap berdandan layaknya wanita usia 30-an.

Dunia wanita begitu memprihatinkan. Keprihatinan ini mungkin akan lebih terasa saat kita mendengar komentar seorang pria jomblo yang tidak pernah puas dengan kecantikan gadis-gadis yang dikenalkan orang lain kepadanya. Hal ini tentu saja menjelaskan kenapa pria itu tetap jomblo. Rasa prihatin itu akan timbul saat kita mendengar kisah seorang suami yang selingkuh demi wanita yang lebih cantik. Belum lagi cerita bagaimana seorang wanita cerdas dan berprestasi tidak kunjung mendapatkan pasangan karena dirinya kurang cantik. Dan masih banyak lagi cerita-cerita memprihatinkan lainnya.

Entah siapa yang harus disalahkan atas terbentuknya dunia seperti itu? Dunia mode, dunia periklanan, dunia bisnis, para pria, atau para wanita itu sendiri? Entah ada berapa faktor yang akhirnya menyebabkan para wanita harus bersaing untuk terlihat cantik dan seksi. Satu hal yang pasti, para pria punya andil. Mereka yang melihat wanita lewat syahwatnya dan mengukur potensi wanita lewat ukuran dada dan pinggulnya tentunya punya andil yang sangat besar.

Penulis pun seorang pria yang tidak lepas dari tanggung jawab itu, tapi tulisan ini bukan sebuah topeng kemunafikan yang dipakai saat menulis. Tulisan ini merupakan bagian dari proses introspeksi diri karena sebuah perubahan besar hanya dapat terjadi bila setiap orang yang terlibat mau melakukan perubahan yang sama pada dirinya sendiri.