Jumat, 24 Januari 2014

Satu Semester Bersama MTI GCIO

25 opini
Tidak lama lagi, semester kedua kuliah akan segera dimulai. Waktu untuk bersantai menikmati cuaca dingin akibat hujan berkepanjangan pun akan segera berakhir. Bersamaan dengan itu, rutinitas perkuliahan seperti pulang malam akibat kuliah malam, begadang dan menghabiskan akhir pekan untuk membaca materi-materi kuliah dan mengerjakan tugas, dan berbagai rutinitas melelahkan (dan kadang menjemukan) lainnya akan segera dimulai. Untuk menyambut kedatangan semester kedua ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya di semester pertama.

Cerita yang akan saya sampaikan di sini pada dasarnya adalah kelanjutan dari tulisan saya "MTI GCIO, Saya Datang!". Saya resmi diterima sebagai penerima beasiswa GCIO dari Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) pada tanggal 19 Mei 2013, tapi saya baru mulai kuliah di awal September 2013. Jadwal perkuliahan tentu saja mengikuti jadwal perkuliahan program S2 yang saya pilih, yaitu Magister Teknologi Informasi (MTI) di Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom), Universitas Indonesia (UI).

Total penerima beasiswa GCIO di MTI Fasilkom UI, termasuk diri saya, ada 34 orang. Apakah angka "34" ini mencerminkan kuota penerima beasiswa? Entahlah. Intinya kelas menjadi ramai karena 34 orang itu dikumpulkan menjadi 1 (satu) kelas. Tidak hanya ramai, tapi juga bervariasi karena mereka datang dari berbagai instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Selain banyaknya teman kuliah, kabar baik lainnya adalah insentif dalam bentuk "biaya operasional" yang diberikan setiap bulannya kepada penerima beasiswa itu benar adanya. Setelah berbulan-bulan bergalau ria karena insentif itu tak kunjung cair, ditambah lagi informasi yang simpang siur tentang ada atau tidaknya insentif tersebut, akhirnya kegalauan itu sirna setelah rapelan insentif cair di bulan November.

Satu-satunya hal yang membuat saya kecewa adalah jumlah mata kuliah per semester. Program beasiswa GCIO ini hanya menanggung biaya kuliah untuk 3 (tiga) semester. Bila seorang penerima beasiswa harus kuliah lebih dari 3 (tiga) semester, maka dia harus menanggung biaya kuliahnya sendiri. Sungguh mengenaskan bila hal ini terjadi; kecuali yang bersangkutan memiliki alasan dan dukungan dana yang kuat. Dengan jumlah semester yang lebih sedikit dari jumlah semester kuliah S2 pada umumnya, saya berasumsi jumlah kredit yang harus diambil pun lebih sedikit dari biasanya. Ternyata asumsi saya salah.
Jumlah kredit yang harus diambil selama 3 (tiga) semester itu sama dengan jumlah kredit yang harus diambil selama 4 (empat) semester seperti halnya mahasiswa umum. Ini berarti jumlah kredit per semester harus lebih banyak dari biasanya. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar jumlah mata kuliah di semester ketiga yang diambil bersamaan dengan pembuatan tesis tidak terlalu banyak. Pengaturan yang dilakukan berujung pada 5 (lima) mata kuliah di semester pertama, 5 (lima) mata kuliah di semester kedua, dan 2 (dua) mata kuliah di semester ketiga; belum termasuk tesis. Angka "5" mungkin terbilang kecil, tapi saya pribadi sebenarnya berharap tidak mengambil lebih dari 4 (empat) mata kuliah per semester.

Bagi saya, dampak dari 1 (satu) mata kuliah ini terasa signifikan. Ada momen-momen saat saya berpikir betapa tidak nyamannya mengambil 5 (lima) mata kuliah sekaligus di semester pertama lalu. Momen-momen seperti ini membuat saya berpikir "seandainya hanya 4 (empat mata kuliah)...". Rutinitas perkuliahan yang melelahkan di awal tulisan ini memang benar adanya. Saya tidak membesar-besarkan saat saya menyebutkan bahwa akhir pekan saya habis untuk mengerjakan tugas atau membaca kembali materi-materi kuliah.

Walaupun begitu, semester pertama dapat saya lewati dengan baik. Determinasi saya untuk serius belajar didukung penuh oleh istri saya. Istri saya menerima dengan baik kenyataan bahwa saya tidak bisa terlalu banyak terlibat dalam mengurus anak-anak dan bahwa niat saya untuk mencari penghasilan tambahan (karena sebagian besar gaji saya dipotong saat kuliah) harus dibatalkan. Istri saya sendiri yang melarang saya untuk memaksakan diri mencari penghasilan tambahan. Dia bahkan mengatakan sebaiknya waktu di luar urusan kuliah itu saya manfaatkan untuk keluarga atau untuk beristirahat. Istri yang superrr, bukan?

Masih banyak lagi pengalaman yang bisa saya ceritakan selama semester pertama, mulai dari dosen-dosennya, materi-materi kuliahnya, tugas-tugas kelompoknya, ujian-ujiannya, makan sore dan makan malamnya, dan berbagai hal lainnya. Sebagian di antaranya lucu, menarik, menantang, dan menyenangkan. Sebagian lainnya melelahkan, membosankan, dan menyebalkan. Sayangnya tulisan ini sudah mencapai paragraf kesembilan (baca: sudah cukup panjang). Jadi cerita lainnya akan saya tuangkan dalam tulisan lain; insya Allah.

Kamis, 09 Januari 2014

Rumah Ramah Batita

0 opini
Tepat tanggal 4 Januari 2014, Yelena Pramudita Amira memasuki bulan ke-7 dalam hidupnya. 6 bulan penuh suka dan duka sudah kami (saya dan +Ratna Aditia) lewati bersama Yelena; Raito dan Aidan tentu saja tidak ketinggalan. Sedikit ceritanya bisa ditemukan di 19 Hari Kemudian. Di bulan ke-7 ini, waktunya bagi Yelena untuk makan MPASI (Makanan Pendamping ASI) dan bagi saya untuk mulai merapikan barang-barang yang dapat dijangkaunya saat dia belajar berdiri dan berjalan kelak.

Soket Listrik*
Momennya memang tepat. Yelena memasuki bulan ke-7 saat saya sedang libur kuliah. Hal ini menjadi pengingat bahwa waktu libur kuliah ini harus saya manfaatkan untuk membuat rumah saya menjadi lebih ramah batita. Membuat rumah menjadi ramah batita ini sebenarnya bukan urusan rumit, tapi kalau tidak dilakukan bisa berakibat fatal. Fatal seperti apa? Contoh paling sederhana adalah soket listrik yang terlalu rendah. Soket listrik yang terlalu rendah membuka kesempatan bagi seorang batita untuk memasukan jari mungilnya ke dalam soket listrik itu dan menimbulkan risiko terkena sengatan listrik. Untuk meminimalisir risiko ini, soket listrik yang terlalu rendah harus ditutup dengan baik.

Tujuan dari membuat rumah ramah batita adalah untuk meminimalisir risiko-risiko yang sejenis dengan contoh soket listrik yang rendah di atas. Untungnya bagi saya, urusan listrik ini tidak menjadi pikiran karena semua soket listrik di rumah saya tingginya mencapai kisaran 1,5 meter. Yang tersisa adalah memastikan bahwa tidak ada kabel-kabel ekstensi yang posisinya dapat dijangkau oleh Yelena. Hal ini bukan masalah besar.

Selepas urusan listrik, hal berikutnya yang perlu disesuaikan adalah meja-meja pendek. Meja-meja pendek yang mudah goyah (umumnya yang berkaki tunggal) dan meja-meja pendek dengan ujung lancip perlu diperhatikan. Di antara meja-meja pendek ini, perhatian utama saya tujukan pada meja yang mudah goyah karena risiko tertimpa meja dan risiko akibat tertimpa meja itu cukup besar. Untuk urusan meja-meja pendek ini pun tidak menjadi pikiran bagi saya karena meja-meja pendek di rumah saya bukan tipe yang mudah jatuh. Langkah ekstra yang dapat diambil adalah memberi lapisan tumpul pada ujung meja yang lancip, tetapi langkah ekstra ini tidak saya ambil karena alasan yang tidak bisa saya ceritakan di sini (baca: malas).

Kunci Tempel
Setali tiga uang dengan meja adalah laci/lemari, yaitu laci-laci/lemari-lemari berposisi rendah yang tidak memiliki kunci. Untuk perabot seperti ini, alternatif paling praktis adalah dengan membeli sejenis kunci yang bisa ditempel. Dengan begitu, saya tidak perlu repot-repot pasang baut dan merusak laci/lemari yang saya miliki. Di rumah saya saat ini hanya ada 1 (satu) set laci seperti itu sehingga saya tidak perlu membeli terlalu banyak kunci tempel. Dari beberapa pilihan yang ada, kunci tempel yang saya gunakan ada 2 (dua) jenis seperti pada gambar di atas. Kunci tempel seperti di atas memang praktis karena mudah dipasang, tapi seperti yang dikatakan kawan saya, +Aresto Yudo, kunci seperti ini mungkin tidak bertahan terlalu lama seiring dengan bertambah kuatnya daya betot Yelena.

Rak Tempel
Setelah listrik, meja dan berbagai laci/lemari, hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah peralatan/dekorasi. Perabot-perabot rumah harus saya amankan dari jangkauan Yelena kelak. Beruntung saya dan istri bukan tipe orang yang gemar menghias rumah sehingga urusan perabot ini tidak terlalu rumit. Satu-satunya hal yang perlu saya pikirkan adalah trio dekoder TV kabel-modem Internet-WiFi Router. Hal ini yang memaksa saya untuk membeli bor listrik, papan kayu (beserta penyangganya), dan perlengkapan lainnya untuk membuat rak tembok sederhana seperti gambar di samping.

Satu hal lagi yang perlu saya perhatikan adalah masalah akses. Yelena pasti akan pergi ke mana saja dia mau dan tempat-tempat seperti dapur, kamar mandi, atau bahkan di luar rumah merupakan petualangan baru yang senantiasa menarik bagi dirinya. Akses seperti ini perlu diperhatikan karena masing-masing lokasi membawa risikonya sendiri, misalnya dapur dengan perabot dapurnya, kamar mandi dengan licinnya, dan luar rumah dengan... segala risikonya.

Pagar Untuk Batita*
Langkah paling mudah untuk urusan akses ini adalah dengan membeli pagar buatan yang umumnya terbuat dari bahan plastik seperti pada gambar di samping. Pagar buatan ini jelas lebih praktis bila dibandingkan dengan harus menambah pintu kecil untuk menjaga agar Yelena tidak keluyuran. Walaupun begitu, saya pribadi tidak terlalu ambil pusing untuk urusan akses ini. Yang saya lakukan adalah menegaskan kepada setiap orang dewasa di rumah saya bahwa Yelena tidak boleh ditinggal sendirian. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa Yelena tidak akan melakukan aktivitas yang memiliki risiko tinggi.

Urusan akses ini menjadi penting bagi para batita yang tinggal di rumah bertingkat. Salah satu anggota keluarga saya sendiri pernah mengalami musibah terkait urusan akses ini, yaitu saat anaknya jatuh dari lantai 2 ke lantai 1. Saat itu anaknya yang sedang bermain di lantai 2 sempat lepas dari pengawasan, membuka pintu kecil tambahan di tangga menuju lantai 1, dan akhirnya terjatuh ke arah tangga hingga lantai 1. Rincian kejadiannya tidak bisa saya paparkan lebih lanjut, tapi dari kejadian ini dapat kita lihat bahwa penjagaan ekstra (pintu kecil tambahan) itu menjadi tidak berarti kalau pengawasan terhadap anak tetap rendah.

Demikian cerita panjang lebar tentang pengalaman saya mempersiapkan rumah ramah batita. Sebagian dari beberapa hal di atas juga saya lakukan saat Raito dan Aidan mencapai usia yang cukup untuk bergerak dengan liar. Ada beberapa hal yang berbeda karena kondisi tempat tinggal kami saat itu berbeda dengan saat ini. Sampai saat ini saya merasa sudah melakukan semua hal yang perlu saya lakukan demi menjaga keamanan Yelena. Kalau menurut Anda ada bagian yang terlupa, mohon sampaikan di bagian komentar.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search