Sabtu, 15 Agustus 2015

Kenapa Anak Berbohong? - 1

4 opini
Masih tentang kejujuran.

Sebelumnya saya bercerita bahwa untuk menumbuhkan[1] sifat jujur dalam diri anak-anak itu diperlukan sikap tegas, adil, dan konsisten. Tegas dengan menyatakan bahwa bohong itu salah, adil dengan ikut bersikap jujur, terutama saat berurusan dengan anak-anak, dan konsisten dalam menerapkan semua itu. Bila kita bisa menerapkan ketiga sikap tersebut, sifat jujur akan lebih mudah tumbuh di dalam diri anak-anak; cepat atau lambat.

Walaupun begitu, ada baiknya kita pun mencari tahu berbagai alasan anak-anak kita berbohong. Kenapa kita perlu mencari informasi tentang itu? Karena untuk memenangkan perang, kita perlu mengenali musuh kita. Jadi, untuk menumbuhkan sifat jujur dalam anak-anak kita, kita pun perlu mengenali alasan-alasan kenapa anak-anak kita berbohong. Dengan mengenali berbagai penyebab anak-anak berbohong, kita akan memiliki peluang yang lebih baik untuk mencegah munculnya kebiasaan berbohong. Pada akhirnya, bila kebiasaan berbohong tak kunjung muncul, sifat jujur pun akan lebih mudah tumbuh dalam diri anak-anak kita.

Kaligrafi Amaanah*
Ada 2 alasan mendasar yang membuat seorang anak berbohong. Pertama, seorang anak berbohong karena dia tidak tahu apa itu berbohong. Ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi. Anak-anak kita dilahirkan ke dunia ini tanpa tahu apa itu berbohong. Kita yang bertanggung jawab untuk menjelaskan apa itu berbohong kepada anak-anak kita. Bagaimana mungkin anak-anak kita bisa berhenti berbohong kalau mereka sendiri tidak tahu apa itu "berbohong", bukan?

Mengajarkan apa itu berbohong tentu saja tidak membutuhkan kelas atau sesi khusus. Tanpa kita ajarkan pun anak-anak kita akan mengetahui sendiri apa itu yang dimaksud dengan berbohong. Mereka bisa mengetahuinya dari mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar mereka, dari buku yang mereka baca, dari serial televisi atau film yang mereka tonton, atau bahkan dari pengalaman mereka sendiri. Walaupun begitu, kita perlu memastikan bahwa anak-anak kita sudah tahu apa itu berbohong sebelum kita mulai mengajarkan mereka tentang kejujuran.

Kedua, seorang anak berbohong karena dia tidak tahu bahwa berbohong itu buruk. Kalaupun anak-anak kita sudah mengerti apa itu berbohong, mereka tetap akan berbohong selama mereka menganggap berbohong itu baik. Kita lagi-lagi berperan penting untuk menjelaskan kenapa berbohong itu buruk kepada anak-anak kita. Kalau anak-anak kita tidak mengetahui buruknya sebuah kebohongan, kenapa mereka harus berhenti berbohong?

Mengajarkan keburukan dari berbohong kepada anak-anak kita tentu lebih sulit daripada sekedar mengajarkan apa itu berbohong. Apalagi kalau anak-anak kita sudah mulai (atau bahkan terbiasa) berbohong, mengajarkan keburukan dari berbohong akan menjadi lebih sulit lagi. Salah satu penyebabnya adalah karena anak kita sudah merasakan "manfaat" berbohong, misalnya untuk menutupi kesalahan yang mereka lakukan dan menyelamatkan mereka dari murka ayah-bunda. Kondisi ini yang menjadi tantangan besar kita dalam menumbuhkan sifat jujur ke dalam diri anak-anak kita.

Saat anak-anak kita sudah menyadari bahwa berbohong itu salah, atau paling tidak memberikan akibat buruk bagi diri mereka sendiri, mereka akan berhenti berbohong dengan sendirinya. Kejujuran pun akan tumbuh dengan sendirinya di dalam diri anak-anak kita. "Pohon kejujuran" itu pun bukan sekedar tumbuh, tapi tumbuh dengan subur karena hati anak-anak kita sudah menjadi "tanah" yang gembur dan cocok bagi pohon tersebut.

Dua alasan di atas merupakan alasan-alasan mendasar yang dapat "mendorong" seorang anak berbohong. Alasan yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah alasan kedua, yaitu ketidaktahuan seorang anak bahwa berbohong itu buruk. Kenapa menarik? Karena ketidaktahuan anak mengenai keburukan berbohong itu memiliki beberapa alasan turunan yang membuat seorang anak menganggap bahwa berbohong itu baik. Tulisan mengenai alasan-alasan turunan tersebut akan saya tuangkan dalam tulisan berikutnya; insya Allah.

--
[1] Saya sengaja menggunakan kata "menumbuhkan", bukan "menanamkan", karena saya pun yakin bahwa sifat jujur itu sudah ada di dalam diri setiap anak. Hal yang perlu kita lakukan adalah membantu mereka menumbuhkan sifat jujur itu agar tidak hilang ditelan pragmatisme.

*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Minggu, 14 Juni 2015

Jujur Pangkal Baik - 2

0 opini
Melanjutkan tulisan sebelumnya: Jujur Pangkal Baik.

Membiasakan anak-anak untuk bersikap jujur itu memang sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Hal yang penting untuk dilakukan adalah bersikap tegas, adil, dan konsisten. Saya sudah pernah menulis tentang menjadi ayah yang tegas, adil, dan konsisten sebelumnya, tapi dalam tulisan ini, konteksnya akan saya batasi pada menumbuhkan sikap jujur dalam diri anak-anak.

Tegas
Being Firm*
Untuk menumbuhkan sikap jujur pada diri anak-anak, setiap orang tua harus bersikap tegas dalam menolak segala sikap yang berbau kebohongan. Saya sendiri terbilang ekstrim dalam hal ini karena berbohong untuk bercanda pun saya tegaskan sebagai sesuatu yang salah. Bila saya memergoki anak saya berbohong dalam konteks bercanda, saya tetap tegur mereka dan mengingatkan mereka bahwa perbuatan mereka itu tidak benar.

Ketegasan di atas sebenarnya merupakan cerminan dari ajaran Islam tentang kebohongan. Dalam Islam, bohong itu tidak dapat dibenarkan kecuali untuk hal-hal yang bersifat darurat. Ada beberapa kondisi tertentu yang dapat membenarkan kebohongan dalam ajaran Islam, tapi bercanda bukanlah salah satunya. Itulah alasannya kenapa saya tidak membiarkan anak-anak saya berbohong, walaupun hanya untuk haha-hihi semata.

Kadar kebohongan itu sendiri bervariasi. Kadang hanya untuk bercanda, kadang untuk menutupi suatu insiden atau perbuatan buruk. Oleh karena itu, kadar penolakan yang saya terapkan pun harus disesuaikan dengan kadar kebohongan yang dilakukan oleh anak saya. Contohnya kalau bohong yang dilakukan hanya sebatas bercanda, penolakan yang saya lakukan hanya sebatas teguran lisan. Itu pun dengan syarat mereka mau menyesali perbuatan mereka. Kalau bohong yang dilakukan sudah sampai ke tingkat menutupi suatu insiden atau perbuatan buruk, penolakan yang saya lakukan bisa saya tingkatkan sampai mencabut kebutuhan sekunder atau tersier yang mereka nikmati.

Adil
Being Fair*
Setelah tegas, datanglah adil. Dalam konteks menumbuhkan sikap jujur dalam diri anak-anak, bersikap adil berarti tidak hanya menuntut anak-anak untuk tidak berbohong, tapi juga menuntut diri kita sendiri sebagai orang tua untuk tidak berbohong; terutama di depan anak-anak kita. Jelas tidak adil bila kita menuntut anak kita untuk senantiasa jujur, sementara kita sendiri dengan mudahnya berbohong.

Kadang kita berbohong tanpa kita sadari. Mungkin karena kita sudah terbiasa berbohong saat bercanda atau saat merasa kepepet, kebiasaan itu pun muncul begitu saja di depan anak-anak kita; bahkan saat kita sudah berniat untuk tidak berbohong. Contohnya adalah saat kita menakut-nakuti anak kita dengan adanya hantu atau monster, kita sedang berbohong karena kita tahu hantu atau monster itu tidak ada. Contoh lainnya adalah saat kita tidak menepati janji kita, misalnya membatalkan janji membelikan sesuatu atau mengajak anak kita jalan-jalan ke suatu tempat karena kita malas, kita pun sedang berbohong. Kalaupun kita tidak merasa diri kita berbohong, anak-anak kita tetap akan menganggap kita mengucapkan sesuatu yang tidak benar. Dan itu, bagi anak-anak kita, adalah berbohong.

Kalau kita masih berbohong kepada (atau di hadapan) anak-anak kita, anak-anak akan menganggap kita curang karena hanya bisa menyuruh tanpa bisa melakukan. Anak-anak kita pun akan mulai menganggap enteng kejujuran karena orang tua mereka sendiri ternyata masih berbohong. Pada akhirnya usaha untuk menumbuhkan sikap jujur di dalam diri anak-anak tidak akan tercapai; bukan karena mereka tidak mau, tapi karena kita yang tidak adil.

Konsisten
Being Consistent*
Untuk melengkapi tegas dan adil, kita pun harus bisa bersikap konsisten. Berdasarkan pengalaman saya, bersikap tegas dan adil itu sulit, tapi bersikap konsisten dalam ketegasan dan keadilan itu jauh lebih sulit lagi. Tantangan sebenarnya dalam bersikap tegas dan adil itu justru muncul saat kita berusaha untuk tetap konsisten.

Saat ingin konsisten bersikap tegas, kita kadang merasa kasihan kepada anak kita sehingga kita mulai mengendurkan sikap tegas kita. Saat sikap tegas kita naik-turun seperti itu, kepatuhan anak-anak untuk tetap bersikap jujur pun akan naik-turun. Bukan tidak mungkin naik-turunnya sikap tegas kita justru dianggap sebagai sebuah kelemahan yang dapat dieksploitasi oleh anak-anak kita.

Saat ingin konsisten bersikap adil, kita kadang merasa malas dan lebih banyak menuntut ketimbang memberi contoh. Saat sikap adil kita naik-turun seperti itu, kepatuhan anak-anak untuk tetap bersikap jujur pun akan naik-turun. Bukan tidak mungkin naik-turunnya sikap adil kita justru membuat anak-anak kita semakin tidak menghormati dan mematuhi kita.

Sikap tegas, adil, dan konsisten adalah tiga sikap yang terus saya tekankan pada diri saya dalam hal mendidik anak. Tantangannya tidak sedikit, tapi hasil akhirnya pun sangat memuaskan. Anak-anak saya tumbuh dengan menyadari bahwa bohong itu salah. Saat tulisan ini dibuat, sesekali waktu mereka masih berbohong, tapi mereka masih mau menyadari kesalahan mereka dan meminta maaf saat mereka berbohong; bahkan saat bercanda. Hasil akhir yang lebih memuaskan lagi adalah saya pun tumbuh menjadi orang tua yang dapat dipercaya. Mereka mungkin saja tidak mempercayai kata-kata seseorang, tapi mereka percaya penuh dengan kata-kata saya walaupun apa yang saya katakan sama persis dengan yang mereka dengar dari orang tersebut.

Demikian pengalaman yang bisa saya ceritakan lewat tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat membantu kita, terutama diri saya sendiri, dalam menumbuhkan sikap jujur dalam diri anak-anak kita. Aamiin.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Minggu, 24 Mei 2015

Jujur Pangkal Baik

0 opini
Kaca Retak*
Jujur pangkal baik. Itulah salah satu prinsip hidup yang saya pegang hingga saat ini. Prinsip hidup tersebut mulai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup saya sejak saya duduk di bangku kelas 3 SMA, yaitu saat saya dipergoki mencontek pada waktu ulangan Sejarah. Saya tidak tahu persis pemicunya, tapi kepergok mencontek saat itu menumbuhkan penyesalan yang sangat mendalam dalam hati saya sehingga saya memutuskan untuk tidak lagi mencontek. Bukan hanya itu, saya pun memutuskan untuk tidak lagi berbohong.

Ternyata keputusan untuk tidak lagi berbohong itu membawa kebaikan yang jauh lebih besar. Bagaimana tidak? Semua hal-hal buruk yang biasa saya lakukan dan saya tutupi dengan kebohongan lambat laun berkurang seiring dengan berkurangnya kebohongan yang saya lakukan. Berhubung saya tidak mau lagi berbohong, saya pun "terpaksa" mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk saya. Dengan berhenti berbohong, saya tidak hanya berubah menjadi orang yang jujur, tapi saya pun berubah menjadi orang yang lebih baik.

Prinsip hidup tersebut yang ingin saya wariskan kepada anak-anak saya. Saya ingin anak-anak saya memahami dan menyadari bahwa kejujuran adalah sifat dasar yang harus mereka miliki. Saya ingin anak-anak saya memahami dan menyadari bahwa kejujuran adalah bagian penting yang tidak boleh "hilang" dari seorang manusia. Saya ingin anak-anak saya memahami dan menyadari bahwa kejujuran adalah modal dasar seorang manusia untuk tumbuh menjadi manusia yang baik.

Tentu saja saya tidak akan menunggu sampai anak-anak saya duduk di bangku kelas 3 SMA untuk menanamkan sikap jujur dalam diri mereka. Sebaliknya saya ingin menanamkan sikap jujur itu sedini mungkin karena semakin tua seseorang, semakin sulit pula membentuk kepribadian mereka. Itulah alasannya kenapa saya mulai membiasakan anak-anak saya untuk bersikap jujur (dan tidak pernah berbohong) sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SD.

Prosesnya tentu saja bertahap. Saya tentu saja mengawalinya dengan memperkenalkan konsep jujur dan bohong. Kenapa konsep bohong juga perlu diperkenalkan? Tujuannya adalah agar anak-anak saya memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai "jujur" dan "tidak jujur". Jangan sampai hal-hal yang "tidak jujur" dianggap sebagai hal-hal yang "jujur" atau juga sebaliknya. Pengenalan konsep-konsep ini pun berjalan secara perlahan karena kemampuan anak-anak di kelas 1 SD untuk memahami sebuah konsep itu memang masih sangat terbatas.

Walaupun begitu, memperkenalkan konsep jujur dan bohong pada anak-anak berusia 6-7 tahun itu mudah kok. Tantangan sebenarnya ada pada proses "membiasakan". Justru membiasakan anak-anak untuk bersikap jujur itu yang sangat jauh dari mudah. Ada 2 tantangan utama dalam proses tersebut. Pertama, saya sebagai orang tua harus SELALU bersikap jujur, khususnya saat berurusan dengan anak-anak. Kedua, anak-anak saya tetap bisa belajar berbohong dari sumber lain dan mulai menganggap bahwa berbohong itu memang perlu dilakukan. Kedua tantangan itu kerap menghabiskan energi yang tidak sedikit.

Membiasakan anak-anak untuk bersikap jujur itu memang sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Hal yang penting untuk dilakukan adalah... siap-siap berangkat shalat Isya dan melanjutkan tulisan ini di kesempatan berikutnya. Insya Allah.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Minggu, 17 Mei 2015

Waktunya Menulis Kembali

1 opini
To Blog or Not To Blog*
Sudah lama sekali saya tidak menulis di blog, baik di blog ini, di Bagaimana Cara, maupun di Teknokrasi. Saya sendiri memang tidak rutin menulis di blog. Kesibukan kuliah justru membuat saya semakin tidak rutin menulis di blog. Sejak saya mulai kuliah, yaitu awal September tahun 2013 (kira-kira 18 bulan yang lalu), saya hanya mempublikasikan 12 tulisan di blog ini, 4 tulisan di Bagaimana Cara, dan 4 tulisan lainnya di Teknokrasi. Mayoritas tulisan itu pun sepertinya saya tulis saat libur kuliah.

Saat kuliah, saya lebih memilih untuk fokus belajar dan mengerjakan tugas-tugas kuliah dibandingkan menulis panjang-lebar di blog. Akhir pekan juga sering saya manfaatkan untuk urusan kuliah. Saat ada waktu luang, saya lebih memilih untuk menghabiskan waktu saya untuk berhibur bersama istri dan anak-anak. Pola hidup seperti itu lambat laun terbentuk dengan sendirinya sehingga pasca kuliah pun, setelah saya kembali bekerja, saya masih menerapkan pola hidup yang sama. Senin s.d. Jumat saya maksimalkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab saya, sementara Sabtu dan Minggu saya dedikasikan untuk istri dan anak-anak.

Lalu kenapa saya memutuskan untuk kembali menulis di blog? Karena saya merasa kehilangan. Kehilangan apa? Pertama, saya kehilangan satu saluran untuk berbagi manfaat. Saya yakin tulisan-tulisan saya bisa memberikan manfaat walaupun jumlahnya tidak seberapa. Sebagai seorang muslim, kesempatan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat itu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja; sekecil apa pun kesempatan itu. Saya bisa saja berbagi tulisan melalui status update di Facebook atau membuat rangkaian twit di Twitter, tapi tulisan-tulisan tersebut akan lebih mudah ditemukan lewat Google Search bila dipajang di blog.

Kedua, saya kehilangan satu cara untuk berpikir kreatif. Saya memang bukan orang paling kreatif di dunia ini, tapi saya masih merasa bahwa menulis itu justru menumbuhkembangkan kreativitas saya. Paling tidak, dengan menulis di blog, saya bisa memikirkan (dan menuliskan) hal-hal di luar rutinitas sehari-hari. Kalaupun tidak bisa lepas dari rutinitas sehari-hari, paling tidak menulis itu bisa membantu menata pemikiran saya menjadi lebih logis dan sistematis.

Ketiga, saya kehilangan satu paksaan untuk membaca. Menulis itu pada dasarnya memaksa saya untuk membaca. Tidak mungkin saya menulis sesuatu yang saya tidak tahu. Hal ini jelas bertolak belakang dengan keinginan saya untuk memberikan manfaat lewat tulisan. Saya pasti akan menulis sesuatu yang saya tahu. Bila pengetahuan saya kurang, otomatis saya akan mencari tahu dan minimal saya akan membaca tulisan-tulisan yang relevan dan memiliki kredibilitas yang memadai.

Tiga hal tersebut yang menjadi alasan utama kenapa saya kembali memutuskan untuk menulis di blog. Walaupun saya semakin jarang menulis di blog, bahkan mendekati status vakum, darah blogger itu ternyata belum berhenti mengalir di dalam tubuh saya. Sudah waktunya bagi saya untuk meramaikan kembali blog-blog saya; minimal blog ini. Semoga saja keputusan ini tidak bersifat sepihak, maksud saya, tidak bersifat sementara.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Senin, 09 Februari 2015

Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (2)

2 opini
Sambungan dari Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (1)

Gladi Resik Wisuda UI
Berbeda dengan acara Wisuda Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom), acara Wisuda Universitas Indonesia (UI) terbagi menjadi dua hari, yaitu satu hari untuk gladi resik dan satu hari untuk acara wisuda terkait. Inti dari acara gladi resik adalah berfoto bersama dekan masing-masing fakultas dan rektor. Memang benar dalam gladi resik itu dijelaskan prosesi acara wisuda yang sebenarnya. Masing-masing wisudawan dan wisudawati pun ikut berpartisipasi dalam gladi resik itu; bukan hanya sebagai penonton. Walaupun begitu, saya pribadi merasa kalaupun saya tidak mengikuti gladi resik, saya tidak akan mengalami kesulitan sama sekali mengikuti acara wisuda.

Berdiri untuk Menyanyikan Lagu Indonesia Raya
Lain cerita bila saya adalah pemegang indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi. Pemegang IPK tertinggi untuk masing-masing fakultas (bukan masing-masing program studi) akan diminta naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan rektor dan dekan fakultas terkait. Jadi penting bagi pemegang IPK tertinggi ini untuk hadir dan memperhatikan prosesi gladi resik agar tidak sampai salah tingkah saat acara wisuda berlangsung.

Intinya tetap pada foto bersama rektor dan dekan. Sesi foto itu dilakukan setelah gladi resik selesai. Panggilan untuk foto dilakukan per fakultas. Setiap wisudawan dan wisudawati dari fakultas yang dipanggil akan berbaris untuk bergiliran mengambil foto bersama rektor dan dekan. Fasilkom mendapatkan giliran kedua dari akhir untuk pengambilan foto tersebut. Akibatnya saya dan teman-teman saya harus menunggu sekitar dua jam untuk berfoto bersama rektor dan dekan.

Berbaris untuk Foto Bersama Rektor dan Dekan
Bagian yang paling menyenangkan di gladi resik ini adalah adanya kesempatan untuk mengambil foto bersama teman-teman kuliah. Para wisudawan dan wisudawati yang belum dipanggil untuk foto bersama rektor dan dekan segera memanggil diri mereka dan teman-teman mereka untuk foto bersama. Bangku-bangku lipat yang sudah disusun sedemikian rupa oleh panitia acara wisuda pun berantakan akibat "kebrutalan" para wisudawan dan wisudawati yang hendak foto bersama.

Wisuda UI
Pasca gladi resik, pikiran saya langsung tertuju pada acara Wisuda UI. Seperti halnya saat Wisuda Fasilkom, saya pun berangkat sepagi mungkin untuk menghindari kemacetan. Lalu lintas memang tidak macet karena Wisuda UI digelar pada hari Sabtu. Kemacetan yang saya hindari adalah kemacetan di dalam lingkungan UI karena sudah pasti akan ada banyak orang yang membawa mobil untuk menghadiri acara wisuda tersebut.

Tidak Lupa Ambil Konsumsi
Saya dan keluarga tiba di UI cukup pagi. Lalu lintas di UI masih lancar dan area parkir pun masih lengang. Setelah foto-foto bersama anak istri, saya langsung meluncur ke tempat para wisudawan dan wisudawati menunggu untuk diarak masuk ke dalam Balairung Kampus UI Depok. Untungnya saya tidak lupa mengambil konsumsi yang sudah disediakan panitia. Roti dan teh botol kotak cukup membantu menahan lapar yang perlahan muncul akibat lupa sarapan.

Menunggu Diarak ke Dalam Balairung
Setelah diarak, para wisudawan dan wisudawati langsung duduk di bangku yang sudah disediakan oleh panitia per fakultas masing-masing. Saya dapat tempat duduk di bagian depan (kalau tidak salah, baris ke-5 dari depan). Barisan Fasilkom sendiri ada di tengah-tengah Balairung. Di bagian atas-kanan dan atas-kiri Balairung diperuntukan bagi para keluarga wisudawan dan wisudawati. Paduan suara mahasiswa berada di bagian atas-belakang Balairung. Podium untuk legenda UI (baca: Bapak Sudibyo) berada beberapa baris di belakang saya. Dari podium itu beliau mengatur dan memimpin paduan suara tersebut.

Tempat Duduk Rektor dan Para Dekan
Bagian Atas-Kiri Balairung
Bapak Sudibyo dan Pasukannya
Acara wisuda baru dimulai sekitar jam 9 yang ditandai dengan diaraknya rektor dan para dekan saat memasuki Balairung. Acara dibuka dengan sambutan dari Rektor UI. Saya sendiri tidak terlalu ingat urutan acaranya. Saya lebih cenderung pasif dan mengikuti instruksi saja karena rasa bosan sudah terlanjur hinggap akibat terlalu lama menunggu acaranya dimulai.

Rektor dan Para Dekan Meninggalkan Balairung
Untungnya acara wisuda tidak molor. Seluruh prosesi wisuda selesai sekitar pukul 11. Para wisudawan dan wisudawati (beserta keluarganya) diharapkan segera meninggalkan Balairung karena Balairung akan disiapkan untuk acara wisuda program sarjana. Acara wisuda program sarjana itu sendiri dijadwalkan untuk dimulai jam 1 siang.

Dari keseluruhan acara wisuda yang saya ikuti, Wisuda UI terasa lebih hambar bila dibandingkan dengan Wisuda Fasilkom. Nuansa keakraban yang dirasakan di Wisuda Fasilkom jelas kurang terasa di Wisuda UI. Apalagi selama mengikuti acara wisuda, saya lebih banyak duduk diam. Alhasil tidak ada kesan yang istimewa bagi saya saat mengikuti Wisuda UI.

Sedikit berbeda dengan teman saya yang bernama Anton (bukan nama panggilan sebenarnya). Anton sempat bercerita bahwa masuk ke Balairung sebagai wisudawan itu memberikan kebanggaan tersendiri baginya. Hal itu adalah sesuatu yang dia nantikan sejak dia kuliah dan pada akhirnya memiliki andil dalam memacu semangatnya untuk segera lulus kuliah. Saya bisa memahami rasa bangga yang dimaksud Anton, tapi saya sendiri tidak berpikir sejauh itu. Apa mungkin karena saya sudah terlalu sering melihat Balairung? Entahlah.

Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI
Kalau saya harus memilih, misalnya karena dana untuk wisuda terbatas, saya tentu akan memilih Wisuda Fasilkom. Hanya saja saya harus bisa mencari toga pinjaman karena Panitia Wisuda Fasilkom memang tidak menyediakan toga. Mencari toga pinjaman itu tidak mudah karena hanya sedikit alumni yang kita kenal dan ukuran toganya belum tentu sesuai dengan badan kita. Salah satu teman saya yang bernama Aryo berhasil mendapat toga pinjaman dengan ukuran yang sesuai, tapi warna tali di topi toganya ternyata berbeda. Sebegitu malasnya saya mencari toga pinjaman sampai saya sendiri memutuskan untuk ikut Wisuda UI justru karena Panitia Wisuda UI memang menyediakan toga. Dengan begitu, saya tidak perlu repot untuk mencari pinjaman toga untuk mengikuti Wisuda Fasilkom.

Selain urusan toga, alasan lain yang membuat saya ikut Wisuda UI adalah kesempatan untuk berfoto bersama rektor di Balairung. Kapan lagi saya mendapat kesempatan untuk berfoto bersama rektor? Untuk foto bersama dekan, saya bisa mendapatkannya di Wisuda Fasilkom, tapi foto bersama rektor bisa jadi merupakan kesempatan sekali seumur hidup. Bagi saya, kesempatan ini adalah kesempatan yang sebaiknya tidak saya lewatkan.

Pada akhirnya, Wisuda UI pun memiliki daya tariknya sendiri. Wisuda Fasilkom memang lebih akrab dan berkesan, tapi bukan berarti Wisuda UI tidak meninggalkan kesan sama sekali. Masing-masing acara wisuda memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Satu hal yang sama di antara kedua acara wisuda tersebut adalah keduanya sama-sama melelahkan dan berpotensi mendatangkan rasa bosan yang akut. Walaupun begitu, saya tetap bersyukur karena saya memiliki dana dan waktu yang cukup serta pasangan hidup yang bersedia merasakan lelah dan bosan untuk menemani saya di kedua acara wisuda tersebut.

Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (1)

0 opini
Akhirnya masa perkuliahan saya benar-benar berakhir. Dua acara wisuda pun sudah saya lewati, yaitu Wisuda Fakultas Ilmu Komputer (Wisuda Fasilkom) dan Wisuda Universitas Indonesia (UI). Rasa lelah, bosan, senang, dan bangga pun bercampur aduk selama menjalani dua acara wisuda tersebut.

Dua acara wisuda tersebut terbagi menjadi tiga hari berturut-turut, yaitu Kamis, Jumat, dan Sabtu. Kamis untuk acara Wisuda Fasilkom, Jumat untuk gladi resik Wisuda UI, dan Sabtu untuk acara Wisuda UI. Masing-masing acara wisuda tersebut memiliki kesan tersendiri. Saya akan berbagi kesan-kesan tersebut dalam tulisan ini.

Wisuda Fasilkom
Acara Wisuda Fasilkom berlangsung di Gedung Sabha Widya (Kampus Universitas Indonesia, Depok). Demi menghindari kemacetan di hari kerja, saya berangkat sepagi mungkin. Alhasil saya tiba di lokasi acara sekitar jam setengah tujuh, padahal acaranya sendiri baru dimulai sekitar jam delapan. Tentu saja pada saat itu belum banyak tamu undangan (wisudawan dan keluarganya) yang hadir. Untungnya sesi foto sudah dimulai sehingga saya pun memanfaatkan waktu yang tersedia untuk berfoto bersama istri dan anak-anak.

Panggung Acara Wisuda Fasilkom
Setelah sesi foto keluarga selesai, saya dan keluarga pun memasuki ruangan untuk acara wisuda. Ruangannya cukup luas dan nyaman (baca: tidak membuat gerah). Para tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan tidak lupa mengambil kesempatan untuk berfoto di panggung.

Suasana Menjelang Acara Wisuda Fasilkom
Format acara Wisuda Fasilkom sebenarnya cukup sederhana. Para wisudawan dan wisudawati akan diarak masuk ke dalam ruangan untuk menempati tempat duduk yang sudah ditentukan sebelumnya. Acara wisuda kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Dekan Fasilkom, perwakilan wisudawan, dan perwakilan orang tua wisudawan.

Persembahan Angkatan 2014
Acara dilanjutkan dengan penyerahan tabung ijazah kepada seluruh wisudawan dan wisudawati yang hadir, penyerahan medali untuk wisudawan dan wisudawati yang lulus dengan predikat cum laude, dan penyerahan plakat IPK tertinggi untuk masing-masing program studi. Keseluruhan proses penyerahan tabung ijazah, medali, dan plakat tersebut diselingi dengan hiburan-hiburan berupa persembahan dari mahasiswa Fasilkom dari berbagai angkatan.

Peraih Medali Cum Laude Program Studi S1 Ilmu Komputer
Menjelang akhir acara wisuda pun sempat dilakukan pemutaran film dokumenter. Saya sendiri tidak memperhatikan isi film dokumenter tersebut karena rasa lelah dan bosan sudah terlanjur hinggap di tubuh saya. Semangat mulai datang kembali saat pembacaan doa karena saya tahu acara akan segera berakhir.

Acara pun berakhir pasca pembacaan doa. Ruangan tempat berlangsungnya acara wisuda seketika gaduh karena setiap orang langsung bergerak untuk mengurus keluarga dan acara mereka masing-masing. Sebagian menyempatkan diri mengambil foto, sebagian langsung bergerak meninggalkan lokasi acara. Saya termasuk orang-orang yang segera meninggalkan lokasi acara karena saya, istri, dan anak-anak saya sudah terlalu lelah. Salah satu tamu undangan bahkan menyempatkan diri untuk tidur di karpet musala setempat akibat kelelahan.

Terkapar Di Karpet Musala
Terlepas dari rasa lelah dan bosan, Wisuda Fasilkom jelas terasa akrab karena hanya dihadiri oleh para wisudawan dan wisudawati dari Fasilkom. Setiap wisudawan dan wisudawati pun dipanggil namanya satu per satu untuk naik ke atas panggung. Selanjutnya mereka mendapat kesempatan untuk bersalaman dan berfoto dengan salah seorang dosen saat penyerahan tabung ijazah. Umumnya dosen yang menyerahkan tabung ijazah adalah dosen pembimbing skripsi/tesis, tapi beberapa yang beruntung, seperti teman saya yang bernama Yuni (bukan nama panggilan sebenarnya), bisa mendapatkan kesempatan untuk bersalaman dan berfoto dengan dosen favorit mereka.

Para peraih predikat cum laude bahkan mendapatkan kehormatan untuk naik ke atas panggung sebanyak dua kali. Pertama untuk menerima tabung ijazah. Kedua untuk menerima medali yang diserahkan langsung oleh Dekan Fasilkom. Bersalaman dan berfoto dengan seorang dekan tentu memberikan kesan tersendiri, tapi yang lebih membanggakan tentu saja saat IPK para penerima cum laude itu disebutkan satu per satu (dari yang cum laude hingga sangat cum laude) saat mereka dipanggil ke atas panggung untuk menerima medali dari Dekan Fasilkom.

Kesan-kesan di atas tentu saja bersifat subjektif. Masing-masing lulusan Fasilkom memiliki persepsi tersendiri terhadap penting-tidaknya acara wisuda. Masing-masing lulusan Fasilkom yang hadir di acara wisuda tersebut pun memiliki kesan tersendiri terhadap akrab-tidaknya, menyenangkan-tidaknya, atau membosankan-tidaknya acara wisuda tersebut. Saya sendiri merasa senang dan puas karena bisa berkumpul untuk terakhir kalinya dengan teman-teman kuliah dan juga merasa bangga karena melihat sendiri teman-teman saya yang berhasil meraih predikat cum laude naik ke atas panggung.

Bersambung ke Wisuda Fasilkom vs. Wisuda UI (2)

Rabu, 28 Januari 2015

Tiga Semester Bersama MTI GCIO

0 opini
Satu semester, dua semester, dan akhirnya tiga semester kuliah S2 berhasil saya lampaui. Keberhasilan tersebut tentu saja tidak lepas dari berbagai dukungan dan bantuan, baik moril maupun materiil, dari banyak pihak, khususnya dari istri saya sendiri. Ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk membalas dukungan dan bantuan yang saya terima selama tiga semester. Saya hanya bisa berdoa semoga Allah SWT berkenan membalas kebaikan yang telah diberikan kepada saya dengan kebaikan yang lebih besar dan lebih banyak lagi.

Santai dengan Cara Fantastis*
Lalu ada cerita apa di balik semester ketiga perkuliahan saya? Di semester 3, beban kuliah akhirnya menurun. Beban berat yang saya rasakan karena harus mengambil lima mata kuliah di semester 1 dan 2 akhirnya terbayar. Di semester 3, saya hanya perlu mengambil dua mata kuliah dan satu mata kuliah spesial, yaitu karya akhir (tesis). Kalau dibandingkan dengan mahasiswa dari kelas reguler yang harus mengambil empat mata kuliah dan tesis (agar dapat lulus dalam tiga semester), beban kuliah saya jelas lebih ringan.

Di semester 3, frekuensi begadang saya terbilang rendah sehingga waktu tidur saya menjadi lebih teratur. Waktu di akhir pekan masih saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah atau mengulang materi-materi kuliah, tapi intensitasnya masih lebih rendah dibandingkan semester 1 dan 2. Saya pun tidak direpotkan dengan membuat proposal tesis karena proposal tesis yang sudah saya susun di semester 2 diterima oleh dosen pembimbing. Saya hanya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian kecil di beberapa bagian proposal saya. Intinya waktu yang saya miliki di semester 3 untuk diri sendiri, istri, dan anak-anak pun menjadi lebih banyak dibandingkan semester-semester sebelumnya.

Sayangnya kondisi "santai" itu hanya bertahan selama satu bulan. Setelah tiba waktunya untuk mulai mengerjakan tesis, yaitu saat proposal sudah disetujui secara resmi dan diterima oleh sekretariat, intensitas perkuliahan kembali meningkat. Peningkatan intensitas perkuliahan tersebut awalnya berjalan perlahan. Frekuensi begadang tidak mendadak melonjak tinggi, waktu akhir pekan tidak mendadak habis untuk urusan kuliah, dan waktu saya ke kantor (untuk mengerjakan tesis) pun masih teratur. Peningkatan intensitas perkuliahan di bulan kedua masih dapat saya kelola dengan baik.

Panik mulai menyerang saya di bulan ketiga karena perkembangan tesis saya di bulan sebelumnya meleset jauh dari target akibat munculnya kendala terkait perangkat lunak. Berhubung tesis (penelitian) saya terkait erat dengan perangkat lunak yang tersedia di kantor, perkembangan penelitian saya pun sangat bergantung pada ketersediaan perangkat lunak tersebut. Saya tidak pernah menduga bahwa pada saat yang sama dengan jalannya penelitian saya, proses pemeliharaan perangkat lunak tersebut juga dijadwalkan untuk berjalan. Saya pun harus mengalah karena proses pemeliharaan tersebut tidak dapat ditunda. Kepentingan kantor jelas lebih utama dibandingkan kepentingan satu orang mahasiswa. Singkat cerita, bulan kedua berubah menjadi bulan yang mengecewakan. Data yang saya butuhkan memang berhasil saya kumpulkan, tapi langkah penelitian selanjutnya setelah pengumpulan data itu belum berjalan sama sekali.

Hal positif di balik tersendatnya penelitian itu adalah saya bisa mencurahkan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas dari dua mata kuliah lainnya, khususnya dari mata kuliah MITI yang tugasnya justru menumpuk di awal hingga tengah semester. Hal positif lainnya adalah saya punya lebih banyak waktu untuk memperkaya hasil tinjauan pustaka yang menjadi dasar penelitian saya. Walaupun begitu, hal-hal positif itu tidak mengubah fakta bahwa penelitian saya berjalan di tempat.

Up, up, and away!*
Bulan ketiga pun menjadi bulan untuk melakukan akselerasi penelitian. Saya pun harus memaksakan diri untuk mengerjakan penelitian saya di sore dan malam hari. Ada kalanya saya harus datang saat semua orang pulang dan pulang saat tidak ada satu orang pun yang tersisa di kantor. Ada kalanya bahkan saya bingung membagi waktu karena terbentur dengan jadwal kuliah di malam hari. Untungnya rekan-rekan kerja di kantor cukup kooperatif sehingga bersama berbagai kesulitan yang saya hadapi itu hadir pula berbagai kemudahan.

Dampak dari vakumnya bulan kedua adalah waktu yang saya butuhkan untuk melakukan percobaan dalam penelitian saya pun semakin terbatas. Akselerasi yang saya lakukan di bulan ketiga masih belum memadai sehingga saya harus bisa memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk penelitian saya. Pada akhirnya setiap hari Sabtu dan Minggu pun saya memaksakan diri untuk bekerja di kantor. Awalnya saya mengajak anak-anak saya untuk menemani saya bekerja. Sayangnya kerja saya justru tidak optimal bila ditemani anak-anak. Akhirnya istri saya yang menawarkan diri untuk menemani saya menghabiskan akhir pekan saya di kantor. Walaupun saya merasa sungkan, tawaran itu tetap saya terima. Akhirnya di bulan keempat itu saya dan istri saya lebih banyak menghabiskan akhir pekan kami di kantor saya.

Pada akhirnya, intensitas perkuliahan di semester 3 tetap lebih tinggi daripada semester-semester sebelumnya. Waktu dan energi yang diperlukan untuk melampaui semester 3 jelas lebih banyak daripada semester-semester sebelumnya. Biaya perkuliahan pun meningkat secara signifikan di semester 3, khususnya biaya yang terkait dengan tesis. Saya hanya bisa bersyukur bahwa semuanya bisa saya lampaui dengan baik tanpa perlu menambah satu semester lagi.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search