Minggu, 20 November 2022

Ayah Boleh Curhat

0 opini

Minggu lalu saya membuat tulisan singkat bahwa dalam parenting, orang tua juga perlu memperhatikan perasaan dan kebutuhannya sendiri. Hal itu bisa dilakukan. Jadi, perasaan dan kebutuhan anak dan orang tua diusahakan agar berjalan beriringan.

Hari ini, saya mendapat kesempatan untuk mempraktikkan (lagi) apa yang saya tulis pekan lalu. Hari ini, setelah sekian banyak isu dengan anak-anak, saya meminta waktu mereka untuk mendengarkan uneg-uneg saya. Ya, saya curhat tentang anak-anak saya langsung ke anak-anak saya. 

Saya mulai dengan menjelaskan kepada anak-anak saya bahwa setiap isu di dalam keluarga juga memiliki dampak buruk untuk saya sendiri. Saat saya menegur mereka, bukan hanya mereka yang merasa tidak nyaman, saya juga sama. Bukan hanya mereka yang sakit hati, saya juga. 

Dari situ saya tegaskan bahwa kalaupun sudah disepakati ada konsekuensi dari setiap masalah, mereka memang dirugikan, tapi bukan berarti saya tidak kecewa. Kekecewaan, sekecil apa pun itu, kalau terjadi berulang-ulang, akan menumpuk juga. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. 

Mereka memang konsekuen. Apa yang menjadi konsekuensi, mereka jalani. Contohnya kalau disepakati bahwa konsekuensinya adalah tidak main gim, mereka tidak main gim. Masalahnya adalah konsekuen menjalani konsekuensi tidak otomatis menyembuhkan rasa kesal yang terlanjur menumpuk. 

"Kalian terus-menerus menyakiti hati Abi," kata saya, "Rasanya ingin pergi." Saya tegaskan juga soal rasa jenuh saya menghadapi berbagai masalah yang muncul, khususnya yang berulang. Saya ceritakan dampak buruknya secara utuh terhadap semangat saya mendidik mereka. 

Curhatnya cukup panjang, tapi setelah curhat, hati ini terasa plong. Rasa kesal yang saya tahan akhirnya lepas dengan cara yang baik. Saya merasa puas karena didengarkan. Rasa "ingin pergi" menghilang begitu saja dan saya bersemangat kembali untuk tetap terlibat mendidik mereka. 

Minggu, 13 November 2022

Orang Tua juga Butuh Diperhatikan

0 opini

Parenting umumnya fokus pada kebutuhan, perasaan, bakat, dan minat anak. Hal itu memberi kesan kalau orang tua tidak perlu diperhatikan. Pengamatan dan pengalaman saya justru melihat hasil parenting akan lebih optimal kalau setiap orang, yaitu anak dan orang tua, diperhatikan. 

Contoh ketimpangannya banyak. Pertama, saat anak sedih, simpati dan empati berdatangan, tapi saat orang tua sedih, responnya hanya "Sabar, ya." Kedua, upaya ekstra diberikan untuk mengembangkan bakat/minat anak, tapi untuk minat orang tua, tidak usah repot-repot. 

Ketimpangan itu memang wajar karena orang tua memang perlu berkorban demi anaknya. Akan tetapi, bayangkan kalau orang tua yang sedih juga mendapatkan simpati atau empati. Bayangkan kalau minat orang tua juga diperhatikan, lalu diselaraskan dengan minat anaknya. Keren, kan? 

Maksud saya adalah di balik pengorbanan orang tua, kebahagiaan mereka tidak harus dikorbankan. Orang tua juga butuh ruang aman untuk berkeluh kesah. Orang tua juga butuh waktu dan tempat untuk melakukan apa yang dia sukai, bukan hanya melakukan apa yang menjadi kewajibannya. 

Nah, bayangkan kalau perhatian terhadap orang tua itu juga masuk dalam kerangka parenting. Dalam kondisi itu, bukan hanya anak-anak yang menjadi obyek parenting, tapi orang tua juga. Walaupun intensitasnya berbeda, minimal orang tua tidak perlu cuek terhadap dirinya sendiri. 

Itu artinya orang tua bisa mengupayakan kebahagiaan anaknya tanpa harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Hal yang dicari adalah jalan tengah. Parenting tidak berhenti di "anak butuh apa", tapi juga melihat "orang tua butuh apa" dan "komprominya bagaimana". 

Tujuan besarnya adalah meningkatkan keterlibatan. Orang tua yang tahu kalau dirinya juga diperhatikan sangat mungkin akan lebih terlibat (dan lebih bertanggung jawab) dalam parenting. Saat itu terjadi, ikatan antara orang tua dan anak akan lebih mudah terbentuk. 

---

Artikel ini berhubungan dengan urgensi moment dan attachment dalam parenting. Pembahasan singkat mengenai moment dan attachment itu dapat dibaca di sini: Menemukan Moment dan Attachment dalam #AgileParenting

Rabu, 09 November 2022

Dua Lompatan Besar Menjauhi Riba dan Utang

0 opini

Bebas Finansial

Enam tahun yang lalu, saya menjauhi riba lewat take over KPR dari bank konvensional ke bank syariah. Modal hanya belasan juta. Durasi cicilan berkurang dari 11 tahun menjadi 10 tahun. Hidup juga (lebih) bebas riba.

Cerita lengkapnya di sini: https://asyafrudin.blogspot.com/2016/01/satu-lompatan-besar-menjauhi-riba.html

Setelah mencicil KPR selama 6 tahun, saya berhasil mengumpulkan modal untuk melakukan pelunasan. Strategi saya menabung sambil mencicil diridhai Allah Swt. Saya berhasil menyiapkan uang sebesar cicilan bulanan x sisa waktu cicilan (48 bulan). Totalnya sekitar 200 juta rupiah. 

Ternyata perhitungan saya meleset. Uang yang saya butuhkan untuk melakukan pelunasan ... lebih sedikit. Saya hanya perlu membayar pokok utang + 2 x margin cicilan bulanan. Setelah dihitung petugas bank, saya hanya butuh sekitar 150 juta rupiah untuk pelunasan.

Alhamdulillaah. 

Langkah pertama adalah menyiapkan surat permohonan percepatan pelunasan pembiayaan. Petugas bank sudah berbaik hati memberi contoh. Langkah selanjutnya, surat itu dikirim ke petugas bank dengan dilampiri KTP. Semua dikirim secara elektronik. Tidak perlu repot-repot ke bank. 

Oya, bank yang saya gunakan adalah BSI. Enam tahun yang lalu, saat take over, saya masih berurusan dengan BSM. Perubahan itu tidak berpengaruh terhadap urusan administrasi pelunasan, tapi akan menambah sedikit urusan saat mengurus roya. Saya akan ceritakan di akhir tulisan ini. 

Singkat cerita, urusan administrasi pelunasan tidak pakai ribet. Saya hanya perlu mengirim surat permohonan yang sudah ditandatangani, KTP, dan dana yang dibutuhkan. Dokumennya bisa dikirim secara daring, sementara uangnya cukup disiapkan dalam rekening untuk didebit oleh bank. 

Fast forward ke uang saya sudah didebit oleh bank. Langkah selanjutnya adalah mengambil agunan. Untuk hal itu, saya harus datang ke bank (tidak ada opsi daring). Menurut informasi dari petugas bank, estimasi pengambilan agunan adalah 14 hari kerja setelah tanggal pendebitan. 

Sesuai informasi, 15 hari setelah uang saya didebit untuk pelunasan, saya sudah bisa mengambil agunan di bank. Semua dokumen dan beberapa surat keterangan dari bank sudah saya terima tanpa embel-embel apa pun. Sorenya, uang yang diblokir di rekening juga sudah dibuka kembali. 

Setelah dokumen-dokumen saya terima dan blokir dana di rekening sudah dibuka, urusan pelunasan selesai. Saya secara resmi sudah bebas dari KPR. Urusan berikutnya adalah mengurus roya. Ternyata prosesnya ekstra karena bank tempat saya kredit, yaitu BSM, sudah merger menjadi BSI. 

Roya saya urus di Kantor Pertanahan setempat. Petugasnya menjelaskan bahwa sebelum mengurus roya, saya harus mengurus Merger Hak Tanggungan. Hal itu perlu dilakukan karena KPR saya tercatat di bank bernama BSM, tapi begitu melunasi, BSM sudah merger dengan bank lain menjadi BSI. 

Gara-gara urusan merger itu, saya harus ke Kantor Pertanahan 2 kali. Ternyata urusan merger dan roya tidak bisa dikerjakan di hari yang sama. Kali pertama, saya masukkan berkas untuk urus merger. Kali kedua, saya ambil berkas hasil urus merger dan masukkan berkas untuk urus roya. 

Kenapa hanya 2 kali, bukannya harus 3 kali karena harus balik lagi untuk ambil berkas hasil urus roya? Secara teknis, iya, tapi saya dapat layanan ekspres untuk sejumlah pemohon pertama per hari di Kantor Pertanahan itu. Jadi, berkas masuk pagi, siang sudah bisa diambil. 

Dan, selesai!

SHM rumah saya sudah kembali ke tangan saya. Tidak lagi ada hal yang "menyandera" SHM itu. Hidup bebas utang bisa saya mulai asalkan saya tidak tergiur atau terpaksa mengambil cicilan yang lain.

がんばりましょう!

Minggu, 16 Januari 2022

Tanpa Gim, Tanpa Proyek (2)

0 opini
Game Over oleh Freepik

Sambungan dari Tanpa Gim, Tanpa Proyek (1)

Pilihan untuk berhenti mengerjakan proyek pribadi tidak langsung diterima oleh anak-anak saya. Mereka masih mencoba mengikuti kemauan saya agar mereka terus mengerjakan proyek yang sudah disepakati sebelumnya. Hal-hal seperti membangun keterampilan, memperluas wawasan, atau mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dijadikan alasan untuk terus mengerjakan proyek. Tapi, apa yang terucap sudah tidak lagi terlihat. Cara mereka mengerjakan proyek pribadi mereka sudah jelas menunjukkan bahwa mereka tidak lagi bersemangat. Sangat jelas terlihat bahwa mereka melakukan itu hanya demi main gim setiap hari. Kesimpulannya, proyek pribadi tetap berhenti.

Seminggu setelah kesepakatan itu kami buat, saya tanyakan kembali kesan mereka setelah 1 minggu tidak mengerjakan proyek. Untungnya kami sudah terbiasa melakukan pertemuan keluarga setiap pekan. Jadi, waktu untuk melakukan evaluasi terhadap kesepakatan di dalam keluarga selalu tersedia. Di pertemuan keluarga itu, salah satu anak saya menyatakan bahwa tidak mengerjakan proyek itu "biasa saja." Saudaranya justru berkata, "enak." Walaupun mereka terlihat sungkan mengutarakan itu, tapi itu adalah ungkapan yang jujur. Saya terima jawaban mereka apa adanya.

Akhirnya kami sepakat untuk meniadakan proyek pribadi sampai waktu yang tidak ditentukan. Berhubung proyek pribadi sepaket dengan waktu main gim di hari kerja, tidak ada proyek berarti tidak ada waktu main gim di hari kerja. Akan tetapi, kesempatan untuk main gim di hari kerja itu masih saya buka. Syaratnya hanya 1, yaitu mereka harus meluangkan waktu untuk melakukan sesuatu yang ekstra. Argumen saya sederhana. Main gim di hari kerja itu, kan, ekstra dan untuk mendapatkan sesuatu yang ekstra, kita juga perlu upaya ekstra.

Secara tidak langsung, saya masih berharap mereka mengerjakan sesuatu di luar urusan akademis dan rutinitas sehari-hari mereka. Secara tidak langsung, saya masih berharap mereka mengerjakan proyek pribadi. Bedanya, kali ini saya memberikan kebebasan mutlak kepada mereka untuk memilih apa yang mau mereka kerjakan dan kapan mereka mengerjakannya. Hak dan kewajibannya sama, tapi tidak terlalu mengikat seperti sebelumnya.

Seminggu setelah kesepakatan itu dibuat, lagi-lagi di dalam pertemuan keluarga, saya evaluasi kembali "kebebasan" yang mereka dapatkan. Berhubung saya sesekali work from home (WFH), saya melihat sendiri bahwa mereka merasa lebih nyaman tanpa proyek. Walaupun tidak lagi bisa main gim setiap hari, hidup mereka tetap terlihat lebih santai. Saya sempatkan diri untuk menanyakan soal "upaya ekstra" mereka selama seminggu terakhir untuk melihat apakah ada yang akan main gim setiap hari di minggu berikutnya. Tidak ada satu pun yang melakukannya. Tapi, tidak ada satu pun yang terlihat menyesal, walaupun itu berarti hanya main gim di akhir pekan.

Sampai saat tulisan ini dibuat, kondisinya masih sama. Mereka hidup tanpa gim, tanpa proyek. Durasinya belum terlalu lama karena kondisi ini dimulai sejak awal Januari. Jadi, perubahannya baru berjalan selama 2 minggu. Mungkin minggu depan mereka berubah pikiran, mungkin sampai akhir tahun kondisinya akan tetap sama. Siapa yang tahu, kan? Satu hal yang pasti, sebelum mereka menemukan proyek yang mereka senang lakukan tanpa paksaan, sepertinya kondisi tanpa gim (di hari kerja) dan tanpa proyek ini lebih baik bagi mereka. 

Minggu, 09 Januari 2022

Tanpa Gim, Tanpa Proyek (1)

0 opini

 

Gamer oleh Freepik

Kemudahan akses, pengaruh lingkungan, dan pengaruh iklan membuat gim tidak pernah lepas dari pikiran anak-anak. Kalau bisa main gim 24/7, anak-anak pasti akan melakukannya. Kalau waktu main gim itu dibatasi, anak-anak mungkin saja merasa terkekang atau bahkan tertekan. Oleh karena itu, waktu main gim adalah sesuatu yang perlu diatur dengan baik di dalam keluarga agar kepuasan bermain dapat diperoleh anak-anak tanpa main gim secara berlebihan.

Di dalam keluarga saya, waktu main gim anak-anak sudah mengalami beberapa kali perubahan. Awalnya anak-anak saya hanya main gim di gawai saya dan mainnya hanya di akhir pekan. Setelah ada cukup uang untuk membeli gawai baru, anak-anak memiliki gawai bersama untuk dipakai main gim bergantian, tapi waktu mainnya tetap hanya di akhir pekan. Setelah mereka cukup besar untuk memiliki gawai sendiri, mereka bebas mengatur gim di gawai masing-masing, tapi waktu main gim mereka tetap hanya di akhir pekan.

Sayangnya anak-anak saya terlalu cerdas untuk menahan diri main gim hanya di akhir pekan. Mereka sering menemukan cara curang untuk bisa main gim di luar waktu yang ditentukan, yaitu di hari kerja. Saat kecurangan-kecurangan itu bermunculan, saya mencoba mengatasinya dengan menegur dan menutup semua celah yang terbongkar. Akan tetapi, cara seperti itu melelahkan. Siapa yang tidak lelah kucing-kucingan dengan anak sendiri? Mau kita sikapi dengan keras, kasihan. Mau kita biarkan, semakin liar. Betul, kan?

Akhirnya saya dan istri saya sepakat memberikan sedikit waktu bermain di hari kerja, yaitu dari pukul 16.00 s.d. pukul 17.30. Kami tawarkan pilihan itu kepada anak-anak kami dengan syarat mereka mau melakukan upaya ekstra, yaitu dengan mengerjakan proyek pribadi. Bagi kami, itu adalah solusi menang-menang. Mereka menang karena bisa main gim di luar akhir pekan. Kami menang karena bisa membiasakan mereka melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat dalam hidup mereka. Untungnya mereka setuju.

Waktu main gim tambahan itu berlaku untuk semua anak-anak saya, tapi proyek pribadi hanya dikerjakan oleh kedua anak remaja saya. Anak saya yang paling kecil tidak memiliki proyek pribadi. Waktunya sudah cukup banyak terpakai untuk mengerjakan bahasa di Duolingo dan Matematika di Khan Academy. Kedua anak remaja saya juga memiliki target harian menggunakan 2 aplikasi itu, tapi kecepatan mereka menyelesaikan target harian dan mengatur waktu jauh lebih baik daripada adik mereka. Jadi, tambahan urusan berupa proyek pribadi itu hanya berlaku untuk kedua anak remaja saya.

Saya juga jelaskan kepada kedua anak saya bahwa adanya proyek itu punya beberapa manfaat. Pertama, proyek pribadi membantu kita membangun keterampilan atau memperluas wawasan di luar rutinitas sehari-hari kita. Kedua, membuat diri kita menjadi lebih bermanfaat dengan menghasilkan sesuatu yang positif dalam hidup kita. Ketiga, yang paling pragmatis, membantu mengisi waktu luang agar waktu itu tidak berbalik menjerumuskan ke dalam hal-hal yang merusak hidup kita. Namanya juga remaja, kan?

Berhubung mereka tidak bisa memutuskan proyek sendiri, saya menyarankan 2 alternatif: membuat gim atau mengulas buku. Mereka sudah menulis beberapa ulasan yang dipublikasikan di blog pribadi mereka, tapi untuk pembuatan gim, mandek. Mereka berhasil membuat dengan meniru dan mengubah gim yang dibagikan oleh orang lain, tapi mereka terus saja kesulitan untuk membuat sesuatu yang benar-benar baru. Saya tidak bisa cerita terlalu banyak di sini. Satu hal yang pasti, belum ada gim buatan mereka yang mau mereka publikasikan.

Kesepakatan untuk bermain gim di hari kerja dan mengerjakan proyek pribadi itu berjalan lancar, tapi lama-lama rasa jenuh itu muncul dan terus menguat. Walaupun mereka sungkan mengakuinya, saya bisa pastikan motivasi mereka untuk mengerjakan proyek pribadi itu mulai sirna. Puncaknya ada di akhir tahun 2021, yaitu di masa liburan sekolah. Pada saat itu, saya akhirnya menawarkan pilihan bagi anak-anak saya untuk berhenti mengerjakan proyek.

Bersambung ...